Islam-kan saya karena Allah ....

Nama saya Baskoro, orang-orang biasa memanggil saya Bas.
Saya adalah seorang penganut Katholik. Saya seorang Katholik karena kedua orang tua dan seluruh keluarga saya merupakan penganut Katholik secara turun temurun.
Namun kedua orang tua saya bukanlah Katholik yang taat, mereka jarang sekali beribadah seperti penganut Katholik pada umumnya.
Mereka juga orang-orang yang modern, dimana agama bukan lagi menjadi tolak ukur dalam kehidupan.
Mereka tidak pernah memberatkan kami, anak-anaknya, dalam hal beribadah.
Jadi saya pun tumbuh dengan tidak begitu mengenal agama. Saat kecil dulu, ayah dan ibu, sering mengajak saya untuk datang ke gereja setiap minggu. Namun setelah menjadi dewasa, saya hampir tak pernah lagi datang ke gereja.


Saya lulus kuliah saat masih berusia sekitar 23 tahun. Mengambil jurusan pendidikan, membuat saya akhirnya menjadi seorang guru.
Pada suatu waktu saya mencoba mengikuti tes CPNS yang diselenggarakan secara umum oleh pemerintah. Saya pun lulus dengan hasil memuaskan.
Singkat cerita, saya pun akhirnya ditugaskan disebuah desa yang cukup jauh dari kota. Saya ditugaskan menjadi seorang guru SD di sana.
Awalnya kehadiran saya di desa itu, tidak bisa diterima dengan baik oleh penduduk disana, karena saya yang seorang Katholik. Penduduk desa tersebut seratus persen menganut agama Islam. Mereka orang-orang yang taat.
Kehadiran saya, yang non muslim, benar-benar sesuatu yang baru bagi mereka.
Mereka tidak terima, jika saya harus mengajarkan anak-anak mereka di sekolah. Mereka takut saya akan mengajarkan sesuatu yang diluar agama mereka, kepada anak-anak mereka.
Namun dengan drama yang cukup panjang, dan tentu saja penjelasan yang panjang lebar dari kepala desa dan juga orang-orang yang berpendidikan disana, akhirnya mereka bisa mengerti dan menerima kehadiran saya. Meski tentu saja tidak sepenuh hati, dan tidak semua masyarakat bisa menerima semua penjelasan tersebut.

Sebagai seorang guru dari luar daerah, saya memang diharuskan tinggal dan menetap disana. Sebuah perumahan guru tersedia disana. Saya tinggal di salah satu perumahan guru tersebut. Selain saya, ada empat orang guru lainnya yang tinggal disana, mereka juga berasal dari daerah lain. Mereka sudah menetap disana selama bertahun-tahun. Mereka juga telah berkeluarga. Selain itu, ada tiga orang guru lagi yang merupakan penduduk setempat.
Secara ekonomi, kehidupan penduduk disana, cukup sejahtera. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Karena memang desa tersebut berada tidak jauh dari sungai. Sebagian lagi ada yang menjadi petani dan bekerja di kebun-kebun sawit milik para pengusaha.
Masyarakat disana sangat taat beragama, banyak kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan untuk memperingati hari-hari besar Islam.

Disana terdapat sebuah mesjid yang cukup megah. Mesjid tersebut selalu ramai setiap harinya, terutama pada hari jum'at.
Pada hari jum'at, biasanya semua penduduk meliburkan diri dari bekerja. Kecuali bagi mereka yang bekerja di pemerintahan, termasuk guru tentunya.
Bagi mereka, hari jum'at adalah hari dimana mereka bisa berkumpul dengan keluarga dan bercengkerama dengan tetangga dan sanak saudara.
Selain itu, biasanya mereka pada hari jum'at, melaksanakan kegiatan semacam majelis ta'lim. Dimana setiap jum'at-nya secara bergiliran, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk, untuk membaca surat yasin bersama dan melakukan kegiatan ibadah ringan lainnya.
Kegiatan rutin ini terbagi dalam tiga kelompok, yakni ada kelompok wirid yasin remaja putri, ada kelompok wirid yasin ibu-ibu dan ada juga kelompok wirid yasin pemuda dan bapak-bapak.
Kegiatan-kegiatan seperti itu memang sangat sering mereka lakukan.

Hampir setahun tinggal disana, saya mulai mengenal beberapa orang, terutama rekan-rekan guru. Saya mulai hafal rutinitas kegiatan masyarakat disana. Mengenal beberapa orang penduduk disana dan juga para pemuda dan pemudinya.
Saya sering ikut kegiatan pemuda disana, karena memang usia saya masih tergolong muda.
Meskipun kegiatan pemuda disana lebih sering dilakukan di Mesjid, saya tetap mencoba berbaur dengan mereka.
Dari situlah saya akhirnya berkenalan dengan seorang gadis, yang dua tahun lebih muda dari saya. Dia gadis yang cantik, namanya Aisyah, anak salah seorang tokoh agama yang cukup disegani. Aisyah lulusan sebuah pesantren, namun ia tidak kuliah. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan dan juga Aisyah lebih memilih untuk merawat kedua orangtuanya yang memang sudah tua, serta untuk mengabdikan diri ke masyarakat, dalam mengajarkan ilmu agama melalui kegiatan majelis ta'lim.

Mengenal Aisyah, membuat saya seperti menemukan hal baru dalam hidup. Gadis yang selalu berhijab itu, telah mampu mengetuk pintu hati saya. Sikapnya yang sopan, ramah dan pintar, menumbuhkan rasa kagum saya yang besar padanya.
Namun Aisyah sendiri selalu menjaga jarak dengan saya. Saya tahu, itu semua karena latar belakang kepercayaan kami yang berbeda.
Sebagai satu-satunya orang yang berbeda agama disana, tentu saja, tindakan yang bisa saya lakukan sangat terbatas. Saat berkumpul pun, saya lebih memilih untuk banyak diam. Karena pembicaraan mereka yang lebih sering membahas soal agama mereka.
Meski sebenarnya, sebagian besar dari mereka, lebih terbuka menerima kehadiran saya disana. Karena selama tinggal disana, sikap saya cukup baik terhadap mereka.
Mereka juga memperlakukan saya dengan cukup baik.

**********

Dua tahun saya berada disana, saya belajar banyak hal. Terutama tentang Islam. Saya jarang sekali pulang ke kota, karena saya merasa sangat nyaman berada di desa tersebut.
Orang tua saya tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Seperti yang pernah saya ceritakan, orang tua saya telah memberikan kebebasan penuh kepada saya, untuk memilih jalan hidup saya sendiri.
Lagi pula, di kota, masih ada adik dan kakak saya yang tinggal dan bekerja disana.
Adik laki-laki saya, masih kuliah, dia masih tinggal bersama orang tua kami.
Kakak saya yang perempuan, sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah orang tua kami.
Sementara kakak sulung saya, laki-laki, juga sudah menikah dan bekerja disebuah perusahaan.
Jadi Ayah dan Ibu saya, tidak terlalu mempersoalkan, jika pun saya sampai berbulan-bulan tak pulang.

Dua tahun berada di desa tersebut dan mengenal Aisyah, perlahan telah membuka hati saya untuk mengenal Islam lebih dalam. Diam-diam, saya mencoba mendatangi seorang ustadz yang berada di desa tersebut. Namanya ustadz Salman, beliau merupakan salah seorang ustadz yang senior di desa tersebut, usianya sudah hampir enam puluh tahun. Namun beliau masih terlihat segar dan energik. Ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi.
Saya mendatangi beliau, mencoba bertanya-tanya tentang Islam lebih dalam.
Saya pun membeli dan membaca beberapa buah buku tentang Islam.
Sampai akhirnya, hati saya merasa terbuka, untuk menerima Islam sebagai agama yang benar.
Ajaran Islam terasa sangat masuk akal bagi saya.
Apa lagi selama ini, saya sering ngobrol dengan Aisyah, meski hanya melalui telepon genggam. Aisyah banyak mengajarkan saya tentang nilai-nilai kebaikan dalam ajaran Islam.
Kedekatan saya dengan Aisyah semakin membuka hati dan pikiran saya.
Kecerdasan Aisyah dalam menyampaikan ilmu-ilmu Islam mampu membuat saya terkagum-kagum.
Dan sejujurnya harus saya akui, kalau Aisyah telah mampu mencuri hati saya. Aisyah telah benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya.

Tak sanggup memendam semua perasaan cinta tersebut, saya pun dengan cukup berani mengungkapkannya kepada Aisyah.
"maaf, Bang. Dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran atau pun cinta-cintaan. Kami hanya mengenal istilah taaruf..." ucap Aisyah dari telepon genggamnya. Setelah dengan susah payah saya mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan perasaan saya.
"taaruf? apa itu?" tanya saya penasaran.
"taaruf itu, semacam kegiatan perkenalan diri dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan juga sebaliknya. Taaruf harus dilakukan di dalam rumah, dan harus di depan kedua orang tua atau pun keluarga." jelas Aisyah.
Saya terdiam, mencoba memahami hal tersebut.
"nanti jika kedua belah pihak sudah saling kenal dan saling suka, baru lah lamaran bisa dilakukan. Jadi gak ada yang namanya pacaran..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tidak terlalu mengerti dengan apa yang Aisyah jelaskan barusan. Saya hanya menyimpulkan, bahwa jika saya memang mencintai Aisyah, saya harus segera melamarnya.
Namun bagaimana mungkin saya bisa melamar Aisyah. Sementara saya bukan seorang muslim. Sudah jelas saya akan ditolak mentah-mentah oleh keluarga Aisyah.
Sekalipun Aisyah juga mencintai saya, dia jelas tidak akan bisa menerima kehadiran saya yang bukan seorang Islam.
Menyadari hal tersebut, saya pun lebih mendalami Islam. Belajar lebih banyak, baik dari Ustadz maupun dari Aisyah sendiri, dan juga dari buku-buku yang sengaja saya beli.
Sampai akhirnya, saya pun memutuskan untuk memeluk Islam secara utuh.
Saya menyampaikan niat tersebut kepada kedua orang tua saya dan keluarga saya, mereka tidak keberatan dan mengizinkan saya untuk melakukan apa yang terbaik buat saya.

Saya pun segera menemui ustadz Salman, ustadz yang selama ini mengajarkan saya tentang Islam, untuk memintanya membantu saya memeluk agama Islam.
Tentu saja dengan senang hati ustadz Salman bersedia untuk membantu dan meng-Islam-kan saya. Hal ini pun saya ceritakan kepada Aisyah, sebagai salah satu bukti keseriusan saya padanya.

******
Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate