Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Bersama abang kuli bangunan

Nama ku Annisa. Aku tinggal di sebuah desa yang masih terisolir. Sebuah desa tertinggal yang berada jauh dari perkotaan. Di desa kami ini belum ada listrik masuk. Bahkan jalan menuju desa kami ini masih berupa jalan tanah yang becek, apa lagi jika musim hujan.

Di desa kami ini juga belum ada sekolah sama sekali. Sekolah terdekat itu berada di desa tetangga yang jaraknya lebih kurang 5 km dari desa kami, itu pun hanya sekolah dasar.

Jadi biasanya, anak-anak usia sekolah dasar akan bersekolah di sekolah dasar desa tetangga tersebut, dengan hanya berjalan kaki, atau menggunakan sepeda. Dan bagi keluarga yang mampu, ada yang menggunakan motor.

Bagi orangtua di desa kami ini, sekolah bukanlah hal yang utama. Bagi mereka pendidikan itu tidaklah terlalu penting, karena mengingat jarak sekolah yang jauh dan juga karena biaya yang cukup mahal.

Karena itu, kebanyakan dari kami hanya bersekolah sampai tamat SD, terutama bagi anak perempuan. Dan kalau anak laki-laki biasanya, setamat SD banyak yang pergi merantau ke luar daerah.

Kehidupan masyarakat di desa kami masih sangat primitif. Kami masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan di malam hari, kami masih menggunakan jenis lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas di beri sumbu dengan masih memakai minyak tanah.

Memang ada beberapa keluarga yang mampu, yang sudah punya mesin diesel sendiri untuk penerangan rumah mereka, tapi hanya beberapa keluarga saja. Selebihnya masih sangat ketinggalan.

Kami juga tidak punya ponsel, selain karena memang tidak ada jaringan sama sekali di desa kami, tapi juga karena ponsel merupakan barang mewah bagi kami. Tentu saja kami tidak akan mampu membelinya.

Mata pencaharians sebagian besar masyarakat desa kami adalah petani karet. Kebun karet yang kami kelola, bukanlah milik kami. Tapi milik para juragan kaya di desa kami dan desa tetangga. Kami hanya mendapatkan upah yang tak seberapa dari hasil kerja kami di kebun karet tersebut.

Setidaknya begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini di desa kami ini. Aku tumbuh dari keluarga yang kurang mampu. Aku hanya sekolah sampai kelas 5 SD, kemudian harus berhenti, karena kedua orangtua ku menganggap sekolah bagi anak perempuan itu tidak penting dan hanya buang-buang biaya.

Aku punya dua orang abang laki-laki, dan mereka juga hanya sekolah sampai tamat SD. Setelah itu, mereka ikut merantau ke luar daerah bersama teman-teman sebaya nya yang lain. Seperti pada umumnya yang di lakukan oleh para pemuda di desa kami.

Sejak kedua abang-abang ku pergi merantau, aku hanya tinggal bertiga bersama ibu dan ayah ku di rumah. Ibu dan ayah ku bekerja di sebuah kebuh karet milik seorang juragan kaya di desa kami. Aku lah yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci pakaian dan juga membersihkan rumah setiap harinya.

Sekarang aku sudah berusia 19 tahun. Aku tumbuh sebagai gadis yang ceria dan suka ceplas-ceplos kalau kalau lagi ngomong. Kegiatan ku sehari-hari hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah. Dan sekali-kali aku juga ikut ibu dan ayah untuk bekerja di kebun karet. Aku juga suka berkumpul-kumpul bersama para gadis-gadis lain yang ada di desa kami.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini.

Sampai pada suatu saat.

Sebuah kabar gembira tersebar di desa kami. Yah.. bagi kami itu merupakan sebuah kabar yang gembira. Kabar jika di desa kami akan didirikan sebuah gedung sekolah dasar. Sebuah kabar yang sudah sangat lama kami nantikan.

Karena biar bagaimana pun, anak-anak usia sekolah yang harus menempuh perjalanan sejauh 5 km untuk bisa bersekolah, sudah sangat banyak di desa kami. Memang sudah seharusnya sekolah dasar tersebut di buka di desa kami ini.

Mendengar kabar tersebut, kami tentu saja menyambutnya dengan senang hati. Setidaknya jika sekolah tersebut jadi dibangun, tentu saja anak-anak usia sekolah, tidak lagi harus ke desa tetangga untuk bersekolah. Dan hal itu cukup meringankan beban para orangtua di desa kami.

*****

"Kamal.." tegas lelaki itu menyebut namanya, ketika kami berjabat tangan.

"Annisa.." balasku pelan.

"mereka berempat ini adalah para tukang bangunan yang akan mengerjakan proyek pembangunan sekolah dasar di desa kita ini.." begitu suara ayah ku menjelaskannya pada aku dan ibu.

Kami berdiri tepat di halaman rumah kami. Memang ada empat orang laki-laki yang ayah perkenalkan kepada aku dan ibu. Tapi jujur saja, dari keempat laki-laki tersebut, hanya laki-laki terakhir yang ayah perkenalkan itu yang membuat aku merasa cukup terkesan. Laki-laki yang mengaku bernama Kamal tersebut.

Sebenarnya keempat laki-laki yang merupakan tukang bangunan tersebut, rata-rata sudah berusia diatas 35 tahun, kecuali laki-laki yang bernama Kamal itu, mungkin masih dibawah 30 tahun usianya.

Namun yang membuat aku merasa terkesan dengan Kamal, ialah bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan gagah serta di dukung oleh wajahnya yang tampan. Aku benar-benar terpesona pada pandangan pertama.

"selama mereka mengerjakan proyek tersebut, mereka akan tinggal di rumah kosong yang berada di samping rumah kita itu.." ayah kembali menjelaskan, sambil mengarahkan pandangannya ke rumah kosang yang memang berada tepat di samping rumah kami.

Rumah itu memang sudah lama tidak di huni, karena pemiliknya sudah pindah ke kota. Tapi rumahnya masih cukup bagus dan masih layak untuk ditempati. Biasanya pemilik rumah tersebut, masih sering berkunjung, untuk merawat dan membersihkannya.

"selain itu, selama mereka tinggal disini, mereka juga minta tolong untuk dimasakin sama ibu dan Annisa.." ayah melanjutkan penjelasannya.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas ayah lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap salah seorang tukang tersebut, sambil mengarahkan telunjuknya kepada lelaki gagah di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." Kamal memperjelas ucapan temannya tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." si Kamal ini melanjutkan kalimatnya.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba ibu ku ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas salah seorang tukang yang paling tua, mungkin lelaki itu adalah kepala tukangnya.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." lelaki itu berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." ayah ku yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba ibu ku bertanya, sebelum mereka berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." jelas lelaki si kepala tukang tadi.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" ibu ku bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas laki-laki tersebut.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap ibu kemudian.

****

Sejak perkenalan ku dengan bang Kamal, si lelaki gagah tersebut, entah mengapa aku selalu membayangkan wajahnya yang tampan itu. Aku selalu memikirkannya. Aku mungkin memang telah jatuh hati padanya.

Meski pun aku baru mengenalnya. Meski pun aku belum tahu siapa dia sebenarnya. Mungkin juga ia sudah menikah. Atau setidaknya ia sudah punya pacar di tempat asalnya. Tapi aku gak peduli. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

Apa lagi aku punya banyak kesempatan untuk itu. Selain ia tinggal di samping rumah ku, aku juga akan setiap hari ke rumahnya untuk mengantarkan makanan mereka berempat.

Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur dibuatnya. Wajah tampan bang Kamal dan juga tubuhnya yang gagah selalu menghantui fantasi ku, setiap kali aku coba memejamkan mata.

Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, rasanya wajar kalau aku mulai menyukai sosok seorang laki-laki dalam hidupku. Mengingat selama ini, belum ada seorang laki-laki pun yang coba mendekati ku.

Bukan karena aku tidak cantik, tapi memang di desa kami, tidak banyak laki-laki yang masih lajang. Para pemuda di usia ku ini, kebanyakan sudah lama pergi merantau. Dan lagi pula, selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah ku, sehingga aku tidak terlalu memikirkan tentang laki-laki.

Tapi entah mengapa, sejak bertemu bang Kamal sore tadi, aku jadi suka memikirkannya. Mungkin karena selama ini, aku memang jarang bertemu laki-laki. Apa lagi laki-laki setampan dan segagah bang Kamal. Dia benar-benar telah mampu membuat aku terpesona dengan segala kelebihannya tersebut.

Ah, sebegitu kesepiannya kah hidup ku selama ini? Sebegitu membosankannya kah hidup ku selama ini?

Sehingga aku dengan begitu mudahnya jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru aku kenal.

Tapi begitulah yang aku alami saat ini. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu baru pertama kali juga aku alami. Rasa cinta itu tumbuh begitu saja di hati ku. Tanpa bisa aku cegah. Dan tak mungkin juga aku pungkiri.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, aku pun mengantarkan sarapan ke rumah para tukang tersebut.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa ku ramah, ketika aku sudah berada di rumah tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutku lagi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." balas salah seorang dari mereka.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kruang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucapku kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk seorang lelaki yang baru keluar dari kamarnya.

"kalian cuma bertiga?" tanya ku melihat hanya mereka bertiga yang ada disana, tanpa bang Kamal.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas lelaki tadi lagi.

"oh, begitu.." gumam ku sedikit kecewa. Padahal aku berharap bisa bertemu bang Kamal pagi itu.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" tanya lelaki yang paling tua.

"saya aja yang ambil nanti.." balas ku pelan, aku hanya berharap, nanti bisa bertemu bang Kamal.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." tiba-tiba bang Kamal muncul dari belakang, ia kelihatn habis mandi dan hanya memakai handuk yang terlilit dipinggangnya.

Deg! Dadaku berdegup kencang melihat pemandangan tersebut. Aku menelan ludah beberapa kali. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Seumur hidup baru kali ini, aku melihat laki-laki tanpa baju berdiri di depan ku.

Apa lagi bang Kamal terlihat sangat kekar. Otot-otot dadanya sangat atletis dan maskulin. Itu adalah pemandangan yang luar biasa. Aku jadi sedikit tertegun.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." bang Kamal menyambung ucapannya.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balasku, sambil menahan debaran di dada ku yang kian menjadi.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." aku kembali berujar dengan cepat. Walau pun sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di situ. Aku ingin sekali berlama-lama menatap keindahan tersebut. Tapi aku merasa gak enak hati. Karena itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Kamal yang kembali membalas ucapan ku.

Aku segera berlalu dari sana. Sambil menahan gejolak di hati ku. Bang Kamal memang benar-benar mengagumkan. Di mata ku ia begitu sempurna. Benar-benar sosok laki-laki yang aku idamkan selama ini.

Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar ku, berusaha menenangkan pikiran dan gemuruh di dada ku, yang terus saja berdebar hebat membayangkan hal tersebut.

Oh, bang Kama... Betapa kamu begitu gagah dan tampan. Aku ingin sekali bisa memiliki mu. Bathin ku penuh harap.

****

Siang itu, aku mengantarkan makan siang ke rumah para tukang tersebut. Dan kebetulan saat itu, hanya ada bang Kamal di rumah.

"selamat siang, bang Kamal." sapa ku lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjut ku.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas bang Kamal, sambil ia mengambil alih makanan tersebut dari tangan ku.

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya ku mencoba berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas bang Kamal.

"abang sakit perut kenapa?" tanyaku merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas bang Kamal.

"oh.." gumam ku membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" aku bertanya lagi, aku benar-benar tidak ingin segera pergi dari situ, mumpung bang Kamal lagi sendirian.

"enak, kok." bang Kamal membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" bang Kamal melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balasku pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya ku melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas bang Kamal.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucapku apa adanya.

Bang Kamal tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapnya.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucapku meyakinkan.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelas bang Kamal lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya ku memberanikan diri.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas bang Kamal.

"oh, gitu.." aku berguman dengan rasa kecewa.

Padahal aku berharap, kalau bang Kamal belum menikah. Jadi peluang ku untuk bisa mendapatkannya jauh lebih besar. Tapi kalau ia sudah menikah, peluang aku untuk bisa memilikinya, jadi semakin sulit.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." bang Kamal berucap lagi, seakan merasa bangga dengan semua itu.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" aku bertanya lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." jelas bang Kamal.

"abang anak tunggal?" tanyaku kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami empat bersaudara. Abang pertama ku, jadi satpam sekarang. Abang kedua ku jadi buruh pabrik. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Sedangkan adik bungsu ku yang perempuan satu-satunya, sekarang sedang kuliah.." bang Kamal menjelaskan lagi.

Aku cukup merasa senang, karena bang Kamal begitu terbuka padaku, tentang keluarganya.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" aku bertanya kembali, aku benar-benar ingin mengenal bang Kamal lebih dekat lagi. Sekali pun ia sudah mengatakan kalau ia sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah ku untuk tetap menjadi dekat dengannya.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas bang Kamal panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya ku kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang ada kerjaan.." balas bang Kamal.

Dan tak lama kemudian, ketiga teman bang Kamal tadi pun datang. Aku pun segera pamit pulang ke rumah kembali, dengan perasaan yang begitu bahagia. Aku merasa bahagia, bisa bercerita berdua bersama bang Kamal. Rasanya begitu indah, bisa mengenal bang Kamal lebih dekat lagi.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Kamal jadi sering ngobrol berdua. Aku selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu bang Kamal saat ia sendirian di rumahnya. Bang Kamal termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Terbukti, ketiga temannya sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi bang Kamal lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, aku jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua dengannya.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu mampu membuat aku benar-benar merasa bahagia. Aku dan bang Kamal terasa semakin dekat. Aku juga begitu terbuka padanya. Semua cerita tentang hidupku, aku cerita kan pada bang Kamal. Dan dia dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan bang Kamal tinggal dan bekerja di desa kami. Kami juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya bang Kamal sendirian di rumah. Ketiga temannya sudah pulang kampung, karena sudah sebulan mereka di desa kami.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya ku.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas bang Kamal.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" aku bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balas bang Kamal singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucapku seakan sengaja memberi tahu bang Kamal akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya bang Kamal.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelasku apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" aku bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balas bang Kamal.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanyaku sedikit berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya bang Kamal.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas ku pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap bang Kamal.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya ku sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau aku tidak sedang bermimpi.

Berada berdua bersama bang Kamal di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah hal yang aku inginkan selama ini. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas bang Kamal, yang membuat ku merasa melambung.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya ku.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balas bang Kamal dengan nada candanya.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." bang Kamal melanjutkan ucapannya, masih dengan nada candanya.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balasku spontan.

"ah, yang benar?" ucap bang Kamal.

"benar, bang.." balasku yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." aku melanjutkan ucapan ku, tanpa rasa ragu lagi. Bang Kamal harus tahu perasaan ku padanya. Mumpung ada kesempatan. Mumpung hanya kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balas bang Kamal.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap ku lagi ceplas-ceplos.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" bang Kamal bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawabku jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanya bang Kamal lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucapku lagi, hampir tak mampu menahan diriku sendiri. Suasananya benar-benar mendukung.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" bang Kamal bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." aku berucap dengan penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balas bang Kamal pelan.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucapku berusaha meyakinkan bang Kamal.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" bang Kamal bertanya kembali, sepertinya ia masih ragu.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucapku dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucap bang Kamal akhirnya.

Ucapan yang membuat aku merasa lega. Ucapan yang membuat aku merasa bahagia.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada bang Kamal, lelaki cinta pertama ku tersebut. Lelaki tampan dengan tubuhnya yang gagah. Lelaki yang aku impikan selama ini.

Bang Kamal melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku dibuatnya terbuai, dalam ayunan cinta yang indah. Ku persembahkan semuanya, untuk bang Kamal. Ku persembahkan dengan penuh perasaan, seluruh jiwa raga ku ini untuknya.

Betapa hal itu terasa sangat indah bagi ku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari semua khayal ku selama ini, tentang bang Kamal.

Dia benar-benar lelaki yang luar biasa dan perkasa. Dan aku jadi semakin rela untuk memberikan semuanya. Ku biarkan lelaki gagah itu, mengambil hal tersebut. Aku berikan semuanya dengan sepenuh jiwaku. Dan aku merasa sangat bahagia dan lega. Benar-benar terasa lega. Seakan aku mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Rasa dahaga yang selama ini aku tahan, kini terlepaskan sudah. Dan hal itu benar-benar memberikan kesan yang sangat indah bagi ku. Begitu indah. Dan begitu sempurna.

****

Sejak malam itu, aku dan Kamal pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa memiliki lelaki aku cintai sepenuh hati tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Aku selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu bang Kamal.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah ku, terutama saat ayah dan ibu ku sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun aku sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Bang Kamal hanya singgah di dalam hidupku, bukan untuk tinggal selamanya. Tapi aku tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Dan tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang mereka bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, mereka semua akan segera pergi dari desa kami. Itu artinya, aku dan bang Kamal akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanyaku, ketika malam terakhir bang Kamal berada di desa ku.

"iya, dek.." balas bang Kamal pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanyaku sekedar menguatkan diri ku sendiri, karena aku sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balas bang Kamal.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucapku dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." bang Kamal berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal ku akhirnya, sambil berusaha menahan air mata ku sendiri.

****

Dan keesokan harinya, bang Kamal dan rekan-rekannya pun akhirnya benar-benar pergi dari desa kami. Rasanya hal itu begitu menyakitkan bagiku. Berpisah dengan orang yang paling aku cintai, telah menumbuhkan sebuah luka yang teramat dalam di hati ku.

Semalam, setelah bertemu bang Kamal, aku hanya mengurung diri di kamar. Padahal orang-orang begitu ramai di rumah tempat bang Kamal tinggal. Para warga yang sudah merasa dekat dengan para tukang tersebut, sengaja membuat sedikit acara perpisahan.

Tapi enggan ikut bersama mereka. Hatiku begitu pilu. Aku merasa sangat sedih. Pertama kali aku jatuh cinta pada seorang laki-laki, dan pertama kali juga aku merasakan keindahan bersama lelaki yang aku cintai tersebut, justru semuanya kini harus berakhir, dengan begitu menyakitkan bagi ku.

Tapi aku tidak pernah menyesalinya. Aku justru merasa bangga melakukan semua itu. Aku bangga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk bang Kamal. Aku bahagia bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya, walau hanya sementara saja.

Cinta ku kepada bang Kamal begitu besar. Tapi takdir mempertemukan kami, bukan untuk bersama selamanya, hanya untuk memberi sedikit kebahagiaan dalam perjalanan hidupku yang sepi.

Kini bang Kamal telah pergi, hari-hari ku kembali terasa sunyi. Rasa sakit dan luka yang aku rasakan begitu dalam dan pedih. Namun segala keindahan yang aku rasakan selama beberapa bulan tersebut, mampu menyembuhkan semua luka itu.

Kebahagiaan yang aku rasakan bersama bang Kamal, memang tidak sebanding dengan kekecewaan yang aku rasakan karena kepergiannya dari hidupku.

Tapi setidaknya, semua keindahan itu telah mampu memberi ku sejuta kenangan untuk aku ingat, sebagai bagian terindah dalam perjalanan hidupku.

Semoga saja, aku mampu melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Kamal lagi.

Semoga saja, di suatu saat nanti, aku bisa bertemu laki-laki yang mungkin jauh lebih indah dari pada bang Kamal...

Yah.... Semoga saja..

*****

Mandor cantik pencuri hati

 

Namaku Keken.

Sekarang usiaku sudah hampir 28 tahun.

Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan seorang gadis yang usia dua tahun lebih tua dari ku.

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 22 tahun.

Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang.

Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun.

Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku.

Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP.

Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.

Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan.

Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja.

Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Hal itulah salah satu penyebab mengapa aku belum pernah pacaran sampai saat itu. Selain karena kehidupan ekonomi ku yang kurang mapan.

Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung.

Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

****

Waktu terus bergulir, aku masih sangat betah menjadi seorang kuli bangunan. Karena sebenarnya memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.

Hingga suatu saat, mang Rohim mendapat sebuah proyek yang cukup besar. Sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit.

Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar. Aku dan mang Rohim beserta beberapa orang kuli bangunan lainnya, tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.

Disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita cantik. Namanya Citra, usianya dua tahun lebih tua dariku, dan aku biasa memanggilnya mbak Citra.

Dia adalah mandor kami, selama pengerjaan proyek perumahan tersebut.

Selain cantik, Citra juga memiliki tubuh yang ramping. Ia juga  ramah, dan sangat baik. Dan tentu saja pintar.

Mulanya semuanya berjalan biasa saja. Kami melakukan tugas kami sebagai kuli bangunan, dan begitu juga Citra, ia juga melakukan tugasnya sebagai seorang mandor.

Sebulan saya bekerja disana. Hingga suatu malam, tiba-tiba Citra, si mandor cantik itu, mengajak aku mengobrol. Kami ngobrol berdua di bangku depan rumah tempat kami, para kuli tinggal.

Waktu itu malam minggu. Seperti biasa, hari minggunya kami libur kerja. Untuk itu teman-teman kuli yang lain, tidak berada di rumah. Mereka ada yang pulang kampung, seperti mang Rohim. Ada juga yang keluyuran keluar, menikmati malam minggu mereka sendiri.

Aku sendiri sebenarnya, memutuskan untuk tidak kemana-mana malam itu, aku hanya ingin beristirahat di rumah.

Namun tiba-tiba Citra datang, sendirian. Rumah Citra memang tidak begitu jauh dari situ. Tapi Citra datang memakai mobilnya.

Awalnya aku cukup kaget, karena tak biasanya Citra datang malam-malam.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelas Citra padaku waktu itu, ketika aku mempertanyakan kedatangannya.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, Citra bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Citra bertanya banyak hal padaku, terutama tentang kehidupanku. Demikian juga sebaliknya, Citra juga secara blak-blakan bercerita tentang dirinya padaku malam itu.

Aku sebenarnya cukup sungkan, namun karena Citra yang bersifat ramah, aku pun mencoba untuk bersikap rileks.

Dari Citra aku tahu, kalau ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya perempuan. Kedua kakaknya sudah berkeluarga dan sudah mempunyai rumah masing-masing.

Jadi dirumahnya, hanya ada Citra dan kedua orangtuanya. Dan tentu saja ada beberapa orang pembantu di rumahnya.

Citra memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dan dari Citra juga aku jadi tahu, jika perumahan elit yang sedang kami bangun tersebut adalah milik ayahnya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran..." ujar Citra di sela-sela obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Tak berniat juga untuk terlalu meyakinkan Citra.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjut Citra lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini Citra melanjutkan, dengan tersenyum manis menatapku.

Entah mengapa, mendengar pujian Citra barusan, aku merasa tersanjung. Aku tersenyum tipis dan segera menunduk, tak sanggup lebih lama menentang tatapan Citra.

Harus aku akui, bahwa seumur hidup, aku belum pernah dipuji seperti itu oleh siapa pun. Apalagi aku memang tidak pernah dekat dengang seorang cewek.

"mbak Citra sendiri gimana?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanya Citra dengan kening berkerut.

"maksud saya, mbak Citra sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanyaku lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawab Citra dengan nada datar. Ia seperti tak begitu berminat membicarakan kisah cintanya.

****

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Citra pun menjadi dekat dan akrab. Citra semakin sering mengajakku ngobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, Citra lebih sering datang ke tempat tinggal kami. Ia bahkan tidak segan-segan mengajakku jalan-jalan berdua pakai mobilnya.

Ia sering mentraktir aku makan dan berjalan-jalan keliling kota. Dan bahkan kami pernah nonton di bioskop berdua. Citra juga sering mengajakku main ke rumahnya, tentu saja tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Hingga suatu hari, aku mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepalaku. Cukup parah. Aku hampir kehabisan darah, kalau saja Citra tidak segera membawaku ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawaku masih terselamatkan.

Dan dari keterangan dokter, aku tahu, bahwa Citra ikut menyumbangkan darahnya, agar aku bisa diselamatkan.

Citra juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu aku dirawat. Citra selalu setia menemaniku. Ia juga mengeluarkan banyak uang, untuk biaya aku berobat.

"makasih ya, mbak Citra." ucapku, ketika Citra mengantarku pulang dari rumah sakit, "mbak Citra sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjutku lagi.

Citra hanya tesenyum, ia terlihat tulus.

Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas semua kebaikan Citra padaku. Rasanya apapun akan aku lakukan, untuk bisa membalas jasanya.

"kamu yakin, gak mau pulang kampung saja, Ken?" tanya mang Rohim, setelah aku beberapa hari pulang dari rumah sakit.

Luka ku memang sudah mulai sembuh, namun aku belum diperbolehkan bekerja, terutama oleh mang Rohim dan Citra.

"iya, gak apa-apa, Mang. Lagian saya juga gak punya ongkos untuk pulang, uang yang kemarin udah saya kirim ke kampung..." balasku kepada mang Rohim, yang masih saja menatapku.

Aku memang tak berniat untuk pulang, selain karena tidak punya uang, aku juga tak ingin membuat cemas kedua orangtuaku. Aku sudah berpesan kepada mang Rohim agar tidak memberitahukan mereka, tentang kejadian yang menimpaku. Mereka tidak perlu tahu.

Lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi.

********

Pagi itu, aku termenung sendirian di dalam rumah. Mang Rohim dan rekan kuli lainnya, sudah berangkat kerja.

Tiba-tiba di balik pintu yang memang tidak tertutup itu, muncul sesosok tubuh seorang wanita.

Aku cukup kaget, namun segera aku tersenyum, karena aku lihat Citra sudah berdiri disana. Ia tersenyum manis, ditangan kanannya ia menenteng sebuah kantong plastik putih transparan.

"aku bawakan sarapan buat kamu..." ucap Citra, sambil ia melangkah masuk dan duduk di dekatku.

Ia menyerahkan kantong plastik itu, dengan masih tersenyum.

Sebenarnya aku merasa cukup berat menerimanya. Namun sudah beberapa hari ini, sejak aku pulang dari rumah sakit, Citra memang rutin membawakan aku sarapan.

Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara menolak semua kebaikan Citra padaku. Rasanya kebaikan Citra sudah tidak bisa dibalas dengan apapun.

Namun aku selalu tak bisa menolaknya, aku takut Citra tersinggung. Citra selalu terlihat tulus padaku, sehingga aku menjadi tak kuasa untuk menolaknya.

Pagi itu, entah mengapa aku merasa Citra berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia memakai blues hijau lengan panjang. Bajunya dimasukkan ke dalam rok mininya, yang terlilit ikat pinggang hitam. Rok mini yang ia pakai berwarna hitam. Rok itu terlihat cukup pendek. Sehingga tubuh Citra yang memang seksi itu, terlihat semakin menarik.

"mbak Citra sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucapku akhirnya memberanikan diri. Saya baru saja menghabiskan sarapan yang dibawa Citra tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tanpa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Citra duduk di samping ku.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucap Citra perlahan.

Aku menatap Citra sekilas.

"mbak Citra mau jujur tentang apa?" tanyaku penasaran.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin saya, apa lagi sampai marah sama saya...." balas Citra, kali ini ia menatapku kembali, dengan wajah sedikit memohon.

Aku justru semakin penasaran.

"saya mana berani marah sama mbak Citra.." ucapku, "mbak Citra sudah terlalu baik sama saya.." aku melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." Citra berujar lagi, suaranya sedikit mengecil.

"iya. Mbak Citra ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balasku meyakinkan.

Aku benar-benar penasaran dengan semua yang ingin diomongkan Citra padaku. Pikiranku menerawang, mencoba menebak-nebak.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya Citra pun berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suara Citra tergagap. Namun cukup mampu membuatku sangat kaget.

"maksud mbak Citra?" tanyaku akhirnya, keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku jatuh cinta sama kamu..." Citra berujar lagi, suaranya masih terbata.

"tapi saya, kan...." aku sengaja menggantung kalimat ku.

"iya, saya tahu. Kamu hanya seorang kuli." Citra memotong ucapanku cepat. "tapi aku sudah terlanjur suka sama kamu, Ken. Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli, sekali pun kamu hanya seorang kuli. Kamu mau kan pacaran sama saya?" Citra melanjutkan lagi. Ia terdengar semakin berani.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa.

Seharusnya aku memang sudah bisa menduga hal itu dari awal. Kebaika Citra selama ini padaku, sudah cukup membuktikan hal tersebut. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka, kalau Citra akan seberani itu, untuk mengungkapkan perasaannya pada ku.

Aku juga tidak menyangka, kalau Citra bisa jatuh cinta padaku. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ia adalah putri seorang pengusaha kaya. Citra juga seorang wanita berpendidikan dan berwawasan tinggi. Rasanya, sangat tidak mungkin ia akan tertarik padaku, yang hanya seorang kuli proyek.

Tapi Citra sudah berterus terang padaku. Ia dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaannya. Dan aku salut atas kejujurannya itu.

Aku memang belum pernah pacaran. Aku belum pernah mengungkapkan perasaanku pada siapapun. Aku tak tahu rasanya. Meski aku sering mengkhayalkannnya.

Namun tak pernah aku sangka, jika aku harus mendengarkan ungkapan perasaan dari seorang wanita secantik dan sekaya Citra.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suara Citra mengagetkanku lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." Citra melanjutkan kalimatnya, melihat saya hanya terdiam.

Tak lama kemudian, Citra pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." Citra mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pelan keluar.

Aku masih dalam keterdiamanku. Semuanya terasa aneh bagiku. Pikiranku tiba-tiba kacau tak menentu. Hatiku dibalut dilema. Aku masygul.

****

Seminggu kemudian, aku sudah mulai bekerja lagi seperti sedia kala.

Seminggu ini, pikiranku terasa berat. Pernyataan Citra minggu lalu, masih terus menghantui ku setiap saat.

Citra memang tidak pernah lagi datang kerumah, sejak seminggu itu. Kami bahkan tidak pernah bertemu dari jarak dekat, kami hanya saling pandang dari kejauhan.

Perasaanku semakin tak karuan.

Jika aku menolak pernyataan cinta Citra untuk menjadi pacarnya, jelas ia akan kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin hal itu terjadi, biar bagaimanapun Citra sudah teramat sangat baik padaku selama ini. Ia rela mengorbankan apa saja untukku. Ia bahkan telah menyumbangkan darahnya, demi menyelamatkan nyawaku. Dan lagi pula Citra adalah mandor, tempat aku bekerja sebagai kuli bangunan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan, orang sebaik Citra?

Sebegitu tidak tahu terima kasihkah aku?!

Sebegitu jahatkah aku?

Yang tega membuat kecewa, orang yang sudah sangat baik padaku.

Namun jika aku menerima cinta Citra, entah mengapa aku merasa tidak pantas.

Bagaimana nantinya kami bisa menjalin hubungan?

Bagaimana rasanya punya pacar yang lebih tua dari ku? dan juga jauh lebih kaya dari ku?

Aku benar-benar merasa tidak pantas.

Aku pernah membayangkan, suatu saat akan punya pacar. Tapi tentu saja, yang aku bayangkan adalah punya pacar seorang cewek yang kehidupannya sepadan dengan ku.

Tapi sekarang?? Akh... aku benar-benar bingung.

Aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Citra. Jujur, aku memang mengagumi sosok seorang Citra. Terlepas dia seorang wanita yang cantik dan seksi, Citra juga seorang wanita yang sangat baik dan ramah. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat dia marah.

Namun aku tidak bisa begitu saja jatuh cinta padanya. Biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Dan lagi pula, aku juga tidak ingin punya pacar yang usianya lebih tua dariku, meski pun hanya dua tahun.

Aku memang merasa nyaman, saat bersama Citra. Karena segala kebaikannnya padaku selama ini.

Tapi bukan berarti, aku telah jatuh hati padanya.

Aku juga memang belum pernah pacaran. Hatiku memang selalu kosong. Tapi bukan berarti juga, aku harus membiarkan Citra masuk ke dalamnya dengan begitu mudah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Haruskah aku mencobanya?

Setidaknya untuk membuat Citra merasa senang.

Setidaknya untuk membalas semua kebaikan Citra selama ini. Meski sebenarnya, itu semua tidak akan pernah cukup. Citra terlalu baik padaku.

********

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanya Citra akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, Citra datang sekitar setengah jam yang lalu. Aku memang sedang sendirian di rumah. Seperti biasa, teman-teman kuli yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." Citra berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.

Mudah bagi Citra untuk berkata demikian. Aku bisa saja menolak, tapi pasti hubungan kami ke depannya akan merenggang. Dan pasti juga, Citra akan sangat kecewa.

"saya bingung, mbak. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada mbak Citra, selain perasaan sebagai teman.." aku berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin mbak Citra kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama mbak Citra. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." aku berkata cukup panjang, suaraku semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanya Citra sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Saya tidak menjawab, namun repleks saya pun mengangguk. Meski hati saya sendiri tidak begitu yakin.

Kulihat Citra tersenyum sangat lebar. Gigi putihnya yang rapi terlihat. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan yang terpancar dari hatinya. Aku merasa turut senang, melihat semua itu.

Setidaknya aku hanya ingin membuat Citra merasa bahagia, meski harus mengorbankan perasaanku.

Tiba-tiba Citra menyentuh lembut tanganku. Aku kaget. Namun aku membiarkannya, aku tak ingin Citra tersinggung.

Entah mengapa tangan Citra terasa lembut menyentuh kulitku, meski ada rasa kaku menggelitik hatiku.

Sekali lagi, aku benar-benar merasa tidak pantas.

*****

Dengan segala perasaan tidak pantas ku itu, aku mencoba menjalani hubungan asmara ku bersama Citra.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamar Citra, atau pun di hotel-hotel yang sengaja Citra sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

"kamu yakin dengan semua ini, Cit?" tanya ku pada suatu malam, ketika pertama kalinya ia mengajak ku ke kamarnya.

"iya, aku yakin.. Kebetulan orangtua ku sedang ada acara ke luar negeri.." balas Citra.

"tapi....." kalimat ku terputus, karena tiba-tiba Citra menarik tangan ku untuk masuk.

"udah kamu masuk aja.. Kita aman kok, disini.." ucap Citra, sambil terus menarik tangan ku.

Aku pun akhirnya, hanya bisa menuruti semua itu. Tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmara ku dengan Citra terjalin.

Entah mengapa, lama kelamaan, aku mulai merasa menyukai Citra.

Aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dihatiku untuk Citra. Aku semakin sering memikirkan Citra. Aku sering menatapnya dari kejauhan, saat kami bekerja. Aku kadang juga merasa rindu, bila sehari tak bertemu dengan Citra.

Sejak pacaran, Citra memang semakin baik padaku. Ia tidak pernah sekalipun membuat aku kecewa. Ia selalu berusaha, untuk membuatku selalu tersenyum. Ia juga sering memberi aku kejutan, dengan memberiku beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat aku semakin menyayangi Citra. Dan aku pun akhirnya jatuh cinta padanya. Rasanya begitu nyaman, saat berada di samping Citra.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan tidak pantas yang aku rasakan dari awal hubungan kami, kini telah sirna. Berganti dengan rasa bahagia yang tak terkira.

***

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Citra harus berpisah untuk sementara, karena aku harus kembali ke kampung halamanku.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Citra. Begitu juga yang dirasakan Citra.

Tapi aku harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama aku tidak pulang. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi di kota itu.

Meski Citra berusaha menahanku, dan meminta ku untuk tetap tinggal di kota. Ia  bersedia menyewakan sebuah apartemen untukku. Namun aku terpaksa menolak. Aku merasa tidak enak hati, harus tetap tinggal di kota, sementara aku tidak punya pekerjaan. Citra pun mencoba untuk memahaminya.

***

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan aku berada di kampung. Selama itu, aku dan Citra, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Citra pernah sekali datang ke kampungku, sekedar melepas rindu katanya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama, karena ia harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampungku dengan kota tempat Citra tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk Citra bisa sampai ke kampungku.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, Citra pun mengabarkan padaku, bahwa ia akan menikah dengan seorang pria pilihan orangtuanya.

Citra sebenarnya sudah berusaha menolak. Namun keinginan orangtuanya sudah sangat kuat, mengingat usia Citra yang sudah cukup dewasa. Dan lagi pula, Citra juga tidak pernah berani untuk menceritakan tentang hubungan kami kepada keluarganya. Untuk itu orangtuanya, bersikeras menjodohkan Citra dengan anak salah seorang rekan bisnis ayahnya.

Entah mengapa, aku merasa begitu sakit mendengar kabar itu. Hatiku tak rela Citra-ku, menikah dengan orang lain.

Namun aku dan Citra tidak bisa berbuat banyak.

Biar bagaimana pun, hubungan kami pasti tidak akan pernah direstui oleh orangtua Citra. Mengingat betapa banyaknya perbedaan yang ada diantara kami berdua.

Citra pernah mengajak ku untuk kawin lari dengannya. Tapi aku dengan tegas menolak. Rasanya itu bukanlah jalan keluar terbaik untuk hubungan kami berdua.

Kami harus bisa menerima kenyataan, bahwa hubungan kami memang harus berakhir. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankannya. Apa lagi sekarang, jarak antara kami berdua kian jauh terbentang.

Tapi rasanya sangat berat menerima itu semua.

Sebenarnya Citra berharap, agar kami tetap berhubungan, sekali pun ia sudah menikah. Tapi aku tak menginginkan hal itu. Aku tak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan Citra dan suaminya.

Aku berusaha untuk mengikhlaskannya.

Mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup dengan orang lain.

Aku hanya ingin Citra bahagia dan menjalani hidupnya dengan baik. Menjalani hidupnya bersama orang yang sepadan dengannya. Bukan seorang kuli seperti diriku.

Aku sendiri akan berusaha untuk melupakan Citra, dan berusaha untuk menemukan jodohku sendiri. Dari golongan orang yang sederajat pula kehidupannya dengan ku.

Meski akhirnya harus terpisah, setidaknya aku pernah merasakan bahagia dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku.

Setidaknya aku pernah merasakan, indahnya hubungan cinta dengan wanita yang usianya lebih tua dariku.

Kini semua itu, hanyalah tinggal kenangan bagiku.

Aku akan memulai hidupku yang baru. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan mampu melupakan segala kenanganku dengan Citra seutuhnya.

Tapi setidaknya aku akan mencoba.

Semoga saja aku mampu...

Yah.. semoga saja..

Sekian...

Satu malam bersama penjual jamu gendong

Pernah pada suatu ketika, aku pergi berjalan-jalan ke kota sendirian, dengan mengendarai motor butut ku. Jarak kota dari kampung tempat aku tinggal, hanya sekitar satu jam perjalanan naik motor.

Aku teramat jarang datang ke kota, kecuali jika ada keperluan penting atau pun ada sesuatu yang harus aku beli di kota.

Dan kebetulan waktu itu, ada sesuatu yang harus aku beli ke kota, kebetulan juga waktu itu, aku baru saja gajian. Jadi aku juga sekalian jalan-jalan, untuk melepas penat, setelah bekerja sebulan penuh.

Singkat cerita, setelah perjalanan yang cukup panjang, dan menemukan apa yang aku cari, serta setelah lelah berkeliling-keliling gak jelas, akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang ke kampung. Saat itu sudah hampir jam 10 malam.

Namun rencana pulang ku harus berantakan, karena tiba-tiba saja hujan turun sangat deras malam itu. Mau tidak mau, aku harus singgah untuk sekedar berteduh. Aku singgah di sebuah halaman ruko yang tertutup. Beberapa orang pengendara lain juga ikut berteduh di sana.

Ruko itu berderet panjang sebanyak lima pintu. Semua pintu ruko itu sudah tertutup, kecuali ruko paling ujung. Kebetulan aku berteduh di ruko deretan nomor dua dari ujung, tepat di samping ruko yang masih terbuka tersebut.

Hujan turun sanga deras, di iringi suara petir yang bersautan di langit sana. Padahal waktu itu masih musim kemarau. Namun entah mengapa, setelah sekian lama, hujan akhirnya turun juga malam itu.

Aku berdiri dengan menyilangkan kedua tangan ku di dada, sambil aku bersandar di pintu ruko yang tertutup tersebut. Motor ku segaja aku parkir di depan. Sedikit terkena hujan, karena angin yang berhembus cukup kencang.

****

Hampir lima belas menit aku berdiri di situ, saat tiba-tiba pintu ruko yang aku sandari tersebut, terbuka dengan perlahan dari dalam. Seorang wanita menongolkan kepalanya, untuk melihat keadaan di luar.

Karena kaget, aku pun spontan menatap wanita tersebut. Wanita itu juga menatap ku. Kami saling tatap beberapa saat, lalu kemudian sama-sama tersenyum.

"kamu.. Jaya, kan?" ucap wanita itu setengah ragu.

Aku mencoba menatap wanita itu lebih lama. Mencoba mengenali wajahnya. Rasanya aku tidak punya kenalan yang tinggal di daerah ini, tapi mengapa wanita itu tahu nama ku? tanya ku membathin sejenak.

"iya, tante.." balasku akhirnya, "tante kok tahu saya?" tanya ku melanjutkan.

"saya tante Wina. Masih ingat?" wanita itu balas bertanya.

"tante Wina?" aku meragu.

"iya.. ibunya Arkan. Ingat toh?" ucap wanita yang hanya memakai baju tidur tersebut.

"oh, iya.. aku ingat, tante.." balasku akhirnya, setelah aku benar-benar yakin, kalau itu adalah tante Wia yang aku kenal.

"kamu ngapain di sini? Ayo masuk!" ucap tante Wina akhirnya menawarkan.

"iya, tante.." balasku, sambil mulai melangkah mengikuti langkah kaki tante Wina yang kembali masuk ke dalam ruko nya.

Tante Wina mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi yang tersusun rapi di dalam ruko tersebut. Kursi-kursi tersebut di susun layaknya sebuah warung makan, yang di sertai beberapa buah meja juga. Ternyata Ruko tersebut adalah sebuah toko yang menjual berbagai macam minuman jamu tradisional dan juga jamu modern.

Ada sebuah etalase panjang di tengah ruangan, yang berisi berbagai perlengkapan, dan juga berbagai rempah-rempah sebagai bahan untuk membuat jamu. Di dinding-dinding ruko, juga tersusun, jamu-jamu yang sudah di kemas dengan rapi.

"silahkan di minum.." ucap tante Wina, saat ia sudah kembali dari dalam. "ini jamu buatan tante sendiri loh.." lanjutnya.

"iya, tante.. makasih.." balasku masih merasa sedikit sungkan.

"kalau boleh tahu ini jamu apa, tante?" tanya ku berbasa-basi, saat aku sudah meneguk jamu tersebut beberapa kali.

"itu jamu sehat. Biar kamu gak masuk angin, dan juga bisa untuk meningkatkan daya tahan tubuh.." jelas tante Wina lembut.

****

Aku mengenal tante Wina, sekitar lima belas tahun yang lalu. Namun sudah hampir sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu lagi. Dulu tante Wina sempat tinggal di kampung ku, selama lebih kurang lima tahun lamanya.

Yang aku tahu, tante Wina adalah seorang single parent. Ia mempunyai seorang putra. Namanya Arkan. Arkan dulu, ketika masih di kampung, adalah teman sekelas ku saat SMP. Kami juga berteman cukup dekat waktu itu. Aku juga sering main ke rumah Arkan, begitu juga sebaliknya.

Tante Wina adalah penjual jamu gendong keliling waktu itu. Ia bekerja keras, untuk bisa membiayai hidup mereka berdua. Sampai Arkan lulus SMP, lalu kemudian mereka pun pindah. Dan setelah itu, kami tidak pernah bertemu lagi.

"tante kok masih ingat ya, sama saya? Padahal kita sudah hampir sepuluh tahun loh, gak pernah ketemu." ucapku mencoba memecah keheningan. Hujan di luar masih terdengar cukup deras.

"tante selalu ingat senyum kamu yang khas itu, Jay. Di tambah lagi tahi lalat yang ada di ujung hidung mu itu. Yang membuat kamu jadi semakin manis, dan sulit untuk di lupakan.." balas tante Wina.

"ah.. tante bisa aja.." ucapku sedikit tersipu. "tante juga tidak banyak berubah, masih kelihatan muda dan masih cantik..." lanjutku apa adanya.

Ku lihat tante Wina hanya tersenyum simpul mendengar kalimat ku barusan.

"oh, ya tante, Arkan ada dimana sekarang? Apa kabar dia?" aku bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Arkan sekarang udah kerja di luar kota. Jadi, tante hanya tinggal sendiri di kota ini." balas tante Wina. "kamu sendiri gimana, Jay? Kerja dimana sekarang?" lanjutnya bertanya.

"saya masih tinggal di kampung, tante. Sekarang saya udah kerja di kantor desa, jadi salah satu staff disana.." jawab ku sejujurnya.

"oh.. baguslah... orang tua mu apa kabar?" tanya tante Wina lagi.

"mereka baik, tante." balasku pelan.

Untuk sesaat suasana pun kembali hening. Sementara hujan masih juga belum reda.

****

"kamu udah married?" tiba-tiba tante Wina bertanya demikian, setelah lama kami saling terdiam.

"belum, tante.." balasku jujur.

"kenapa?" tanya tante Wina lagi.

"yah... kan saya masih 25 tahun, tante. Masih cukup muda. Saya masih ingin menikmati masa lajang saya, sambil saya mengumpulkan uang buat married.." balasku apa adanya.

"berarti calonnya udah ada ya?" tante Wina bertanya kembali.

"belum juga tante... Saya sudah lama jomblo. Sejak lulus kuliah, dan mulai bekerja di kantor desa, saya tidak pernah lagi pacaran." jelasku.

"oh.. gitu.." balas tante Wina singkat.

"iya, tante.. Tante sendiri gimana?" aku memberanikan diri untuk bertanya.

Tante Wina menatapku beberapa saat. Mungkin ia tak percaya aku akan bertanya demikian.

"tante... ya.. gini-gini aja sih, Jay. Masih seorang single parent. Dan berusaha untuk tetap bertahan menjalani kehidupan ini." ucapnya akhirnya.

"tapi. .sekarang tante Wina kan udah cukup sukses. Udah punya toko jamu sebesar ini.. Dan Arkan juga sudah lulus kuliah, bahkan juga sudah punya pekerjaan tetap. Artinya perjuangan tante selama ini tidak sia-sia.." aku berucap sok bijak.

"yah.. tante sangat bersyukur dengan semua ini, Jay. Tapi tetap saja, sebagai seorang wanita, tante juga sering merasa kesepian. Apa lagi sejak Arkan pindah ke luar kota, tante jadi semakin merasa kesepian.." balas tante Wina terdengar lemah.

"kenapa tante Wina gak menikah lagi?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"tante sih mau aja menikah lagi, tapi... tante masih merasa trauma.." suara tante Wina sedikit serak.

"kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan pernikahan tante dulu?" aku bertanya kembali.

"panjang ceritanya, Jay..." balas tante Wina pelan.

****

"dulu ... tante itu nikah muda, karena kebablasan. Waktu itu, usia tante baru 20 tahun. Beruntunglah pacar tante waktu itu, mau bertanggungjawab. Apa lagi ia juga sudah berusia 25 tahun waktu itu, dan juga sudah punya pekerjaan tetap."

"kami pun akhirnya menikah. Kedua belah pihak keluarga kami juga sangat mendukung pernikahan kami. Kami juga sebenarnya saling cinta. Dan kami pun merasa bahagia dengan pernikahan tersebut. Apa lagi sejak anak pertama kami lahir, Arkan."

"namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah Arkan berusia lima tahun, tante hamil anak kedua kami. Beberapa bulan kemudian, anak kedua kami pun lahir, seorang perempuan. Cantik."

"tapi sayang.. usianya tidak genap satu tahun. Karena akhirnya ia di serang penyakit diabetes, yang menyebabkan ia meninggal dunia. Suami tante tidak bisa terima hal tersebut. Ia marah sama tante. Ia menganggap tante sebagai penyebab kematian putri kami."

"sejak saat itu, rumah tangga kami mulai berantakan. Hampir setiap hari kami hanya saling bertengkar dan saling menyalahkan. Suami tante juga mulai berubah. Ia jadi jarang berada di rumah."

"hingga akhirnya, dengan terang-terangan, suami tante membawa perempuan lain ke rumah kami. Mereka melakukan hal tersebut di depan mata ku. Aku tidak bisa terima hal tersebut. Aku pun meminta cerai."

"suami tante bersedia menceraikan tante, dengan syarat tante tidak boleh membawa Arkan. Tapi tante tidak mau memenuhi syarat tersebut. Tante tetap membawa Arkan diam-diam. Tanpa sepengetahuan suami tante."

"suami tante tentu saja marah besar. Ia berusaha mencari dimana pun kami bersembunyi. Tante terus saja bersembunyi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tante tidak pernah menetap. Karena takut, ditemukan oleh mantan suami tante tersebut."

"hingga akhirnya tante sampai ke desa kamu, Jay. Di sana tante merasa sedikit aman. Karena mantan suami tante, tidak mungkin menemukan kami di sana. Itu lah kenapa, kami bisa bertahan selama lima tahun tinggal di sana. Sebelum akhirnya tante memutuskan untuk pindah ke kota ini."

"setelah pindah ke kota ini, tante tetap berjualan jamu gendong keliling, hasilnya jadi lebih lumayan, karena lebih banyak peminat, dari pada saat di desa dulu. Hingga tante berhasil mengumpulkan uang buat modal, dan tante memutuskan untuk membuka usaha toko jamu ini.."

"yah.. meski pun ruko ini bukan milik kami, hanya sewa. Tapi... setidaknya, tante tidak perlu lagi repot-repot berkeliling untuk berjualan jamu. Ini semua juga atas ide nya Arkan. Ia juga yang berhasil mempromosikan toko kami, melalui media sosial."

"dan sekarang... disinilah tante. Sendirian. Sementara Arkan, memutuskan untuk bekerja di luar kota."

begitulah kira-kira cerita tante Wina, perihal perjalanan hidupnya padaku waktu itu.

"lalu sekarang? Mantan suami tante Wina gimana? Apa masih terus mencari tante?" tanya ku sedikit berempati.

"tante gak tahu pasti, Jay. Tapi sepertinya ia sudah menyerah. Kabar terakhir yang tante dapat, ia sudah menikah lagi, dan bahkan sudah punya dua orang anak. Tante yakin, ia pasti sudah melupakan semuanya. Apa lagi sekarang Arkan juga sudah cukup dewasa. Jadi tante gak perlu merasa khawatir lagi akan hal tersebut." jelas tante Wina.

****

"makasih ya, Jay. Sudah mau mendengarkan cerita tante. Sebelumnya tante belum pernah bercerita hal ini, kepada siapa pun. Sekarang tante jadi merasa sedikit lega.." ucap tante Wina kemudian, setelah untuk beberapa saat kami hanya terdiam.

"saya yang harusnya terima kasih sama tante. Karena sudah diperbolehkan untuk berteduh di sini. Dan juga sudah dijadikan orang yang di percaya untuk bercerita hal tersebut." balasku pelan.

"kamu gak perlu merasa sungkan, Jay. Kamu boleh mampir disini lagi, kapan pun kamu mau.." ucap tante Wina kemudian.

"iya, tante.. saya pasti akan sering-sering main ke sini. Dan jangan lupa, sampaikan juga salam saya buat Arkan ya, tante.." balasku kemudian.

Hujan di luar mulai reda. Namun malam sudah semakin larut, sudah hampir jam satu malam. Cuaca pun semakin terasa dingin.

"kalau begitu saya pamit dulu ya, tante.. hujan juga udah mulai reda kayaknya.." ucapku kemudian.

"loh.. ini kan sudah larut, Jay. Kamu yakin mau pulang? Gak nginap di sini aja?" balas tante Wina sedikit menawarkan.

"gak usah tante.. saya gak enak, takut merepotkan.." balasku ragu.

"ruko ini terlalu besar, untuk tante tempati sendiri, Jay. Kadang tante merasa gak kuat, harus tinggal sendirian. Jadi.. gak apa-apa loh, kalau malam ini kamu mau menginap di sini." tawar tante Wina lagi sedikit bersikeras.

"saya sih mau menginap di sini, tante. Tapi... besok saya harus kerja. Jadi mungkin lain waktu ya, tante.. Saya pasti akan kesini lagi, kok." balasku berusaha meyakinkan.

"baiklah, Jay. Tante akan tunggu kedatangan kamu berikutnya.." ucap tante Wina terdengar pasrah.

Dan aku pun segera keluar dari ruko tersebut. Keadaan di luar sudah mulai sepi. Orang-orang yang tadi ikut berteduh, sudah tidak ada lagi di teras ruko. Jalanan juga sudah mulai terlihat sunyi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang. Dan cuaca terasa begitu dingin.

Jika tidak mengingat besok harus kerja. Sudah pasti aku akan memutuskan, untuk menginap saja di tempat tante Wina. Tapi.. ya sudahlah... Mungkin next time kali ya...?!

****

Bersambung...

Ku pinjam istri mu satu malam

Malam mulai larut, ketika terdengar deringan sesaat. Aku melirik ke meja kecil di samping tempat tidurku, mengambil telepon genggamku. Ada pesan singkat dari Arjun, sahabatku dari semasa kuliah. Seperti biasa, ia hanya melontarkan sejuta keluh kesah.

Ku hela nafas panjang. Di kepala ku sendiri masalah pun rasanya sudah segudang. Namun aku tetap berusaha untuk menanggapinya, walaupun hanya sekedar basa-basi saja.

“Perkawinanku sudah di ambang batas. Aku tahu aku salah, aku menyesal. Aku ingin mencoba memperbaikinya, tapi Berliana tak pernah mau memberi aku kesempatan,” begitu bunyi pesannya.

“Kau telpon aku saja lah.., sedang malas aku mengetik,” singkat, aku menjawab.

Aku sendiri sedang sibuk mempersiapkan draft replik perceraianku dengan Elsa.

Ya, aku memang tidak memakai pengacara untuk mengurus masalahku ini. Percuma membuang-buang uang untuk sesuatu yang telah telanjur menjadi ampas dan sama sekali tak ada gunanya.

Segala rasa berkecamuk dalam diri ku, namun deraan banyak hal sepertinya tak henti-hentinya berdatangan, menambah sesak dada.

Termasuk urusan sahabat ku ini, yang sepertinya hidupnya hanya diisi dengan mengeluh saja, dan aku yang selalu menjadi penampungannya. Seakan-akan tidak ada satu kesenanganpun yang pernah diberikan Tuhan untuknya dan dunia ini hanya penuh dengan problemanya saja.

Tak lama kemudian, meluncurlah kata-kata panjang tanpa titik koma dari suara di seberang. Suara Arjun. Aku hanya bisa menyimak sepintas, mengambil intinya.

Kepala ku sudah terlalu penuh untuk menyimpan berbagai masalah. Jangankan untuk orang lain, untuk diri ku sendiri saja sebagian keluh kesah kepahitan hidup ku sudah aku buang ke tong sampah. Tak ingin diingat lagi atau diucap.

Diiringi dengan nada suara yang cukup serius, Arjun mengutarakan apa yang diinginkannya dari ku.

“Kau tolonglah aku. Coba bicara dengan Berliana, agar dia bisa menerima aku kembali. Posisi mu kan sama dengannya, teraniaya. Mungkin dia bisa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi denganmu, sehingga dia mau kembali padaku, demi anak,” pinta Arjun memelas pada ku.
 

Aku menghela nafas panjang sekali lagi. Ku singkirkan sejenak batu besar yang serasa menindih benak ku, berusaha berempati.

“Ok, kapan aku harus menemuinya..??” tanya ku pada Arjun.

“Besok malam. Aku beri kau nomor telpon genggamnya. Tolong hubungi dia secepatnya. Aku percayakan urusan ini padamu,” pasrah suara Arjun terdengar.

****


Sore itu, di sudut sebuah café bernuansa Italy. Aku menunggu Berliana, menyeruput segelas cappuccino dingin sambil mata ku sesekali menyapu ke luar jendela. Empat potong roti yang tadi aku pesan pun sudah ludes ku santap. Namun tak juga ku lihat sosok yang ku nanti.

Aku pun mulai merasa kesal. Untunglah beberapa menit kemudian pesan singkat dari Berliana masuk.

“Sudah dekat, maaf tadi keluar kantor agak terlambat,” begitu katanya.

Selang seperempat jam setelah itu, kami pun telah duduk berhadapan. Berliana memesan minuman yang sama dengan yang aku pilih.

“Kamu gak pesan makanan..??” tawar ku.

Berliana menggeleng. “Masih agak kenyang. Tadi makan siang agak terlambat,” jawabnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja.

Matanya setelah itu justru sibuk mengamati ku, dari atas ke bawah, sambil tersenyum sedikit nakal.

”Lain kau sekarang,” katanya.

Terkekeh aku mendengarnya.

“Kenapa..??" tanya ku sedikit heran.

"terlihat lebih keren dan tampan.” jawabnya yang diikuti dengan derai tawa kencang.

 Aku pun mencoba untuk ikut terbahak.

“Awal yang baik memulai pembicaraan”, pikir ku.

Suasana yang tadinya ku kira akan kaku karena sudah sekian lama aku tak bertemu dengan istri sahabat karib ku ini, ternyata tak terjadi.

Sudah tiga tahun lebih kalau tak salah, sejak Arjun membawa Berliana ke rumah ku, mengantarkan undangan perkawinan mereka kala itu. Wajar, jika aku sempat kuatir apa yang diamanatkan pada ku akhirnya gagal.

“Akan lancar sepertinya misiku,” ujar ku lagi dalam hati.

Namun perkiraan ku salah. Susah betul meyakinkan perempuan itu untuk menerima suaminya kembali. Dianggapnya semua tingkah dan penyesalan yang diperlihatkan suaminya, itu hanya kepalsuan sesaat yang akan kembali lagi kala lelaki yang sudah memberinya satu anak itu kelelahan memakai topengnya. 

Oh.., paham betul aku akan perasaan itu. Tak jauh lebih baik dari yang aku alami. Hidup dalam kepalsuan yang kurang lebih sama, pengkhianatan-pengkhianatan dan rekayasa mimpi-mimpi dalam keterkurungan sebuah sangkar besi yang dinamakan perkawinan, berakhir dengan terbongkarnya maksud dan tujuan Elsa mau menikah dengan ku dahulu, yang tak pernah terbayangkan olehku, lalu tersadar telah membuang sekian belas tahun penuh pengorbanan tanpa pernah ada hitungan.

Pengkhianatan paling menyakitkan yang pernah ada, manakala pada akhirnya aku tahu bahwa keberadaan diriku ternyata dinilai sebatas materi saja.

Mungkin akan lebih baik bagiku melihat Elsa berselingkuh dengan 1000 laki-laki, daripada setelah sekian lama mata ku baru terbuka, bahwa Elsa mau menjadi istri ku, hanya karena harta.

Mengingat itu, seketika seperti ada yang terlepas sumbatannya. Cerita kelam dari lubuk hati ku pun bagai banjir bandang, tumpah ruah membludak diiringi penyesalan yang sudah tak terbendung lagi, tanpa bisa diredam.

Terlalu lama semua kepahitan itu aku simpan sendirian, tanpa pernah aku bagikan barang sedikit pada siapapun, walau hanya untuk sekedar meringankan pikiran.

Sudah tak ku ingat lagi tugas yang ku emban, terkubur oleh himpitan beban yang menggerus ketahanan mental ku. Saat itu, yang tinggal hanyalah diri ku dan segala penyesalan.

Mungkin karena melihat pemandangan nelangsa di depan matanya, tangan lembut Berliana itupun spontan menggenggam tangan ku yang sedikit gemetar, menahan emosi.

“Sudahlah..sabar saja,” kata Berliana, mencoba menghibur. Hmm.., memang apa lagi yang bisa aku lakukan selain itu..?? Menangis hanyalah pelampiasan sesaat untuk membuang beban. Menjadikan butiran-butiran air mata itu sebagai tiang-tiang pembangun kekuatan diri ku untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk memperlihatkan kelemahan.

Kami pun sama-sama terdiam, dalam hening. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Lalu mata kami pun saling beradu. Satu sama lain seperti mengerti apa yang kami mau, walau tanpa suara. Hanya bahasa tubuh kami yang saling bicara.

“Yuk,” ajak Berliana.

Dan tak perlu banyak kata, kami pun keluar dari café itu, mencari sebuah tempat pelampiasan. Puaskan segala amarah, kegetiran, luka dan ketercampakan. Dua orang dewasa dalam satu nasib. Beradu salurkan energi negatif. Mengamuk rasa dalam gelora sesaat tanpa cinta. Sisakan peluh penuh kenikmatan dalam dekapan dosa.

“Maafkan aku, teman..”, ucap ku lirih, dalam ketel4n-j*ngan yang masih menyisakan r3ng-kuh*n hangat Berliana di t*buhku. Pulas terlelap usai h4s-r*tnya terurai. Tak peduli ada keinginan yang masih menggantung tanpa penyelesaian. Sesuatu yang sudah sangat biasa aku terima dalam pendaman kecewa. Kesepihakan. Dan ketakacuhan atas apa yang aku rasakan.

****

Selama lebih dari delapan bulan, aku merasa lelah terjebak dalam kebohongan. Tak sanggup lagi aku menahannya. Memang tak perlu diumbar, namun aku pun tak mau lagi menyimpannya. Beban berat bagi ku, walau aku sadari bahwa yang tahu hanya aku, Berliana dan Tuhan.

Memang, belasan tahun yang lalu Arjun pernah melakukan hal yang sama pada diri ku. Diam-diam di belakang ku, ia menjalin hubungan dengan Gladis, wanita yang dulu aku harapkan bisa mejadi pelabuhan terakhirku.

Namun demi Tuhan, apa yang aku lakukan dengan Berliana sama sekali bukan sebagai pembalasan, tapi karena tergelincirnya aku dalam kebodohan. Kebodohan akan pemuasan n*fsu sesaat yang pada ujungnya sangat aku sesalkan.

Ku kirim sebuah pesan berisi pengakuan kepada Arjun. Sudah siap aku terima segala makian dan hujatan dengan lapang dada. Menerima getah dari nangka yang sama sekali tak manis namun terlanjur rakus aku makan, hingga habis tak bersisa.

Benar saja, balasan pesan itu aku terima hanya dalam hitungan detik, dengan huruf-huruf kapital. Singkat, namun padat makna.

“DASAR GIG*LO..!! PENGKHIANAT..!!”, itu yang terpampang di layar telpon genggam ku. Dari Arjun.

Aku mencoba tersenyum, sadar gelar itu memang pantas untuk ku.

Ya, aku adalah pengkhianat dengan nurani mati, berdarah dingin. Gi-gol* jah4nam, walau tanpa pernah ada bayaran.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Kini aku telah kehilangan semuanya. istri ku dan juga sahabat ku. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Karena saat ini, aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Aku akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu ku. Melupakan semua kepahitan-kepahitan yang pernah aku rasakan selama ini.

Aku hanya berharap, semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Yah... semoga saja.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate