Tampilkan postingan dengan label cerita gay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita gay. Tampilkan semua postingan

Mencintai cowok bayaran

Sejurus aku menatap pemuda yang berdiri tepat di hadapan ku itu. Wajahnya memang tampan dan rupawan. Tubuhnya atletis, dengan tinggi sekira 178 cm.

Hidungnya sedikit mancung, ada belahan tipis di tengah dagunya, yang membuat ia semakin terlihat manis. Rahangnya kokoh. Rambutnya ikal rapi.

Benar-benar sosok laki-laki sempurna.

Hanya saja sayang, dia seorang cowok bayaran.

Ya, namanya Ferdi. Setidaknya begitu lah pengakuannya padaku. Saat aku mencoba menghubunginya di media sosial.

Aku memang tak sengaja menemukan akun Ferdi di salah satu media sosial yang khusus hanya ada kaum gay disana. Dan Ferdi dengan terang-terangan menjelaskan di deskripsi akunnya, kalau dia bisa di booking, dengan harga yang cukup lumayan.

Lalu seperti apakah kisah cinta ku bersama cowok bayaran itu?

Mungkinkah kami bisa bersama? Sementara aku tahu seperti apa kehidupan Ferdi?

Simak kisah menarik ini dari awal sampai akhir ya..

Namun sebelumnya bla... bla...

****

Nama ku Rifky. Saat ini usia ku sudah 30 tahun.

Aku bekerja di sebuah Bank swasta, sebagai seorang branch manager.

Dengan jabatan ku itu, aku memang punya penghasilan di atas rata-rata. Karena itu juga, pada saat aku berusia 28 tahun, aku pun memutuskan untuk menikah.

Aku menikah dengan seorang gadis, yang bekerja sebagai seorang tenaga pengajar di sebuah sekolah swasta.

Meski pun sudah dua tahun menikah, kami belum mempunyai anak.

Aku anak tunggal, yang di besarkan oleh seorang ibu sendirian. Ayah ku meninggal pada saat aku masih berusia sepuluh tahun.

Ibu ku yang hanya seorang pekerja serabutan, akhirnya mampu membiayai aku hingga aku lulus kuliah, dan kemudian mendapatkan pekerjaan di sebuah Bank swasta.

Tiga tahun bekerja di bank tersebut, sebagai seorang karyawan biasa, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang branch manager.

Satu tahun aku menikah, ibu ku pun meninggal. Yang membuat aku menjadi sedikit linglung. Aku memang sangat dekat dengan ibuku. Dan kepergiannya benar-benar membuat aku terpukul.

Hal itu cukup berpengaruh pada kehidupan pernikahan ku. Aku jadi jarang berada di rumah. Karena setiap kali berada di rumah, aku selalu teringat akan ibuku.

Istri ku sangat mengerti akan hal itu. Dia sengaja memberikan aku kebebasan.

Namun ada satu hal, yang istri ku dan orang-orang tidak tahu tentang aku.

Aku menikah dengan istri ku, bukan karena aku mencintainya. Tapi itu merupakan permintaan dari ibu ku. Dia ingin menimang cucu sebelum ia meninggal. Namun sayangnya, keinginannya itu tidak terwujud, karena meski pun aku akhirnya menikah, tapi tetap saja aku belum bisa memberikan ia cucu.

Dan hal itu sebenarnya cukup menjadi beban bagi ku, karena aku tidak bisa memenuhi permintaan terakhir ibu ku.

Dan terlepas dari itu semua. Alasan aku tidak mencintai istriku ialah karena aku memang tidak pernah bisa jatuh cinta kepada perempuan.

Sejak remaja, entah mengapa, aku selalu saja jatuh cinta kepada sosok laki-laki dewasa. Mungkin karena aku sangat merindukan sosok seorang ayah dalam hidupku.

Namun apa pun itu, aku memang selalu jatuh cinta kepada laki-laki dan tidak pernah merasakan jatuh kepada perempuan, termasuk juga istri ku.

Meski pun demikian, aku belum pernah pacaran dengan laki-laki. Aku tak pernah berani mencobanya.

Status sosial dan ruang lingkup pergaulan ku sangat tidak mendukung hal tersebut. Apa lagi semenjak aku mulai bekerja di bank.

Namun semenjak kematian ibu ku, entah mengapa keinginan untuk berhubungan dengan laki-laki terus menghantui pikiran ku.

Karena itu, aku pun mulai berselancar di dunia maya, dan mencari aplikasi-aplikasi yang khusus untuk kamu gay.

Sampai akhirnya aku melihat akun milik Ferdi. Dan aku merasa tertarik dengannya. Hanya saja sayangnya, dia laki-laki bayaran.

Namun hal itu justru membuat ku lebih mudah untuk bisa bertemu dengannya secara langsung.

Karena itu juga, aku pun nekat untuk mengubunginya dan membookingnya.

Aku sengaja menyewa sebuah kamar hotel, dan meminta Ferdi untuk datang.

****

Ferdi, pemuda tampan yang katanya masih berusia 22 tahun itu, datang tepat waktu.

Aku menyambutnya dengan senyum termanis ku.

"Rifky." ucapku menyebut nama ku, saat kami saling berjabat tangan.

"Ferdi." balas pemuda itu ramah. Suaranya berat dan terdengar sangat maskulin.

Aku mempersilahkan Ferdi duduk dan menyuguhkannya sebotol minuman ringan.

"bang Rifky udah nikah?" tanya Ferdi memecah keheningan.

Aku mengangguk ringan. Karena menurut ku pertanyaan itu tidak terlalu penting untuk di jawab.

Apa bedanya bagi Ferdi? Aku sudah menikah atau belum, tetap saja aku akan membayarnya sesuai kesepakatan.

"kalau sudah nikah, kenapa masih mau booking cowok?" tanya Ferdi selanjutnya.

"apa itu penting untuk di bahas?" tanya ku balik, enggan untuk menjelaskan hal tersebut pada Ferdi.

"gak, sih. Cuma sekedar basa-basi aja. Sekedar menghilangkan kekakuan di antara kita, yang baru saja saling kenal. Gak ada salahnya kan, kalau kita kenal lebih dekat?"ucap Ferdi membalas.

"gak ada yang salah, sih. Aku suka, kalau kamu bukan hanya sekedar menawan secara fisik, tapi juga cukup asyik untuk di ajak ngobrol." balasku ringan.

"ya, aku memang selalu suka mengajak pelanggan ku untuk ngobrol-ngobrol dulu, sebelum kita memulai acara inti.." ucap Ferdi lagi.

"acara inti. Istilah yang cukup unik, tapi aku suka." balasku sambil tersenyum.

"iya, bukankah tujuan utama bang Rifky membooking ku adalah untuk itu, dan obrolan adalah bumbu-bumbunya sebagai pembuka, agar kita bisa lebih enjoy untuk menikmati acara intinya." Ferdi berujar, sambil turut tersenyum membalas senyum ku.

Aku mengangguk setuju. Sepertinya Ferdi memang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi pelanggannya.

"maaf, kalau boleh saya tahu, sudah berapa lama kerja seperti ini?" tanya ku kemudian.

"bari sih, bang. sebenarnya. Mungkin baru beberapa bulan belakangan ini." jawab Ferdi.

"kamu kuliah?" tanya ku lagi.

Ferdi hanya mengangguk ringan.

"jadi ini semua untuk biaya kuliah?" tanya ku ragu.

"sebagiannya iya, bang. Tapi sebagiannya lagi ...." Ferdi sengaja menggantung kalimatnya.

"sebagiannya lagi untuk apa?" tanya ku jadi penasaran.

"bang Rifky yakin, mau mendengar cerita ku?" tanya Ferdi kemudian.

"kita masih punya banyak waktu, Fer." ucapku akrab.

"kamu cerita aja, kamu kan udah aku booking untuk sampai pagi di sini. Jadi gak ada salahnya, kalau sebagian waktu itu, kita gunakan untuk saling bertukar cerita." lanjut ku meyakinkan.

Dan Ferdi pun memulai ceritanya.

****

Ferdi merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya perempuan, masih SMA.

Sama seperti ku, Ferdi juga sudah kehilangan ayahnya saat ia masih kecil. Ibunya lah yang membesarkan ia dan adiknya.

Ibunya seorang buruh cuci. Dan tak pernah menikah lagi semenjak ayah Ferdi meninggal.

Mungkin karena sudah bertahun-tahun harus bekerja keras untuk membesarkan kedua anaknya dan mungkin juga karena usianya yang sudah cukup tua, ibunya Ferdi pun jatuh sakit.

Sakitnya bukan sakit biasa. Tapi ia mengalami gagal ginjal, yang membuat ia harus melakukan cuci darah, setidaknya dua kali dalam seminggu.

"biaya untuk cuci darah itu tidak sedikit, bang. Dan jika tidak di lakukan, maka penyakit ibu akan semakin parah, dan besar kemungkinan ibu tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Hanya cuci darah itulah yang membuat ibu masih bertahan hingga sekarang." Ferdi melanjutkan ceritanya.

"kami sudah tidak punya simpanan lagi, bang. Adik ku juga masih butuh biaya untuk sekolah. Dan aku tidak punya pekerjaan, karena masih harus kuliah. Lagi pula, jika aku hanya mengandalkan pekerjaan serabutan, tentu saja hasilnya jauh dari pada cukup."

"karena itulah aku memilih jalan ini, bang. Meski pun aku tidak menginginkannya sama sekali. Aku juga sebenarnya bukan lelaki homo. Tapi sepertinya mencari uang dengan cara seperti ini, terasa lebih mudah dan cepat."

"aku butuh uang yang banyak, bang. Untuk biaya cuci darah ibu ku, dua kali seminggu. Aku juga butuh biaya untuk sekolah adikku dan juga untuk biaya kuliah ku sendiri."

"aku tahu, apa yang aku lakukan ini salah. Tapi ini bukan pilihan yang mudah bagi ku, bang. Aku tidak ingin kehilangan ibuku. Aku akan melakukan apa saja, untuk membuatnya tetap bertahan hidup."

cerita Ferdi panjang lebar. Suaranya parau. Matanya berkaca. Dan aku benar-benar terharu mendengar itu semua.

Ternyata hidupku jauh lebih baik dari pada Ferdi, meski pun saat ini aku telah kehilangan ibu ku.

"aku salut sama kamu, Fer." ucapku akhirnya.

"makasih, bang. Abang sudah mau mendengar cerita ku." balas Ferdi lirih.

Aku mengangguk ringan. Menatap Ferdi yang masih tersenyum getir.

Aku dapat merasakan kepedihan hidup yang Ferdi jalani.

Dan seperti apakah kelanjutan dari kisah ini?

Silahkan simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua..

****

 Part 2

"aku punya penawaran buat kamu, Ferdi." ucapku memecah keheningan, sambil terus menatap pemuda tampan nan menawan itu.

"apa?" tanya Ferdi, ia sudah mulai kelihatan ceria kembali.

"tapi kamu jangan tersinggung ya." ucapku lagi.

"bang Rifky ngomong aja. Aku gak apa-apa, kok. Tersinggung bukan lagi menjadi bagian dari diriku. Aku sudah biasa menghadapi kepahitan hidup. Jadi tak ada alasan bagi ku untuk tersinggung." balas Ferdi dengan nada lirih.

"aku tak berniat merendahkan kamu, Fer. Tapi jika kamu mau, aku akan bantu keuangan kamu. Aku akan bantu semua biaya hidup dan juga pengobatan ibu mu." ucapku pelan, berhati-hati.

"apa yang bang Rifky harapkan dari semua itu?" tanya Ferdi.

"aku.. aku ingin ... kamu berhenti dari pekerjaan mu ini. Aku ingin kamu hanya melayani ku saja." ucapku semakin pelan.

"apa itu tidak terlalu memberatkan bagi bang Rifky? Uang yang aku butuhkan tidak sedikit loh, bang." balas Ferdi.

"iya, aku tahu. Tapi aku yakin, aku mampu kok." ucapku lagi.

"bagaimana dengan keluarga bang Rifky? Mereka pasti juga butuh biaya hidup kan?" tanya Ferdi.

"istri ku bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah swasta. Aku tidak punya anak. Dan aku juga tidak punya biaya lainnya. Jadi aku rasa, hal itu tidaklah terlalu berat bagi ku." balasku yakin.

Ferdi kemudian terdiam. Ia terlihat berpikir keras.

Aku tahu, tawaran ku bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ferdi untuk menerimanya.

Tapi mungkinkah Ferdi akan bersedia menerima tawaran ku tersebut?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla.. bla..

****

"ibuku meninggal sekitar setahun yang lalu, Fer. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu. Apa lagi cerita kehidupan kita tidaklah terlalu jauh berbeda. Ayahku juga meninggal saat aku masih kecil. Hanya bedanya, aku tidak punya adik, seperti kamu." cerita ku kepada Ferdi, dalam usaha ku untuk meyakinkannya untuk menerima tawaran ku.

"aku bisa saja menerima tawaran, bang Rifky. Tapi apa bang Rifky yakin? Apa yang bisa aku berikan untuk membalas itu semua, bang. Aku tak punya apa-apa." ucap Ferdi pilu.

"kamu punya hati, Fer. Dan aku ingin memiliki mu, bukan saja karena fisik mu yang memang menarik, tapi juga karena hati mu yang begitu baik. Jika kamu bisa mencintai ku, itu sudah lebih dari cukup bagiku." ucapku kemudian.

"butuh waktu bagiku, bang. Untuk bisa mencintai bang Rifky. Seperti yang aku katakan, aku bukan laki-laki homo. Aku melakukan ini semua hanya karena terpaksa." timpal Ferdi pelan.

"aku tak peduli seberapa banyak waktu yang kamu butuhkan, untuk bisa membuat kamu mencintai ku, Fer. Namun aku benar-benar berharap, kamu bisa berhenti dari pekerjaan ini." balas ku penuh harap.

"bagaimana kalau akhirnya aku tetap tak bisa mencintai bang Rifky?" tanya Ferdi pelan.

"itu tidaklah masalah, Fer. Yang penting kamu selalu punya waktu untukku, kapan pun aku membutuhkan mu." balasku yakin.

"aku hanya ingin membantu kamu, Fer." sambung ku lagi.

Ferdi kembali terdiam. Ia menarik napas beberapa kali.

"kalau itu yang bang Rifky inginkan, aku mau, bang. Aku juga sebenarnya mulai merasa bosan menjalani ini semua. Mungkin memang lebih baik, kalau aku hanya terikat pada satu laki-laki. Tapi aku harap bang Rifky bisa lebih memahami ku." ucap Ferdi akhirnya.

"aku akan selalu memahami kamu, Fer. Aku sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Aku ingin memiliki kamu seutuhnya. Aku ingin kamu hanya jadi milikku, tanpa harus berbagi dengan pelanggan mu yang lain." balas ku penuh perasaan.

"aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk bang Rifky. Aku akan belajar untuk bisa mencintai bang Rifky. Hanya saja, kalau aku boleh tahu, sampai kapan semua ini, bang?" ucap Ferdi lagi.

"Entahlah, Fer. Aku juga tidak bisa memutuskannya sekarang. Sampai ibu mu bisa pulih kembali, Fer. Atau sampai kamu dapat pekerjaan yang lebih layak. Sampai kamu lulus kuliah, atau sampai aku memutuskan untuk berubah dan menjalani kehidupan ku sebagai laki-laki normal." jawabku penuh keraguan.

Aku juga memang tidak tahu, sampai kapan aku ingin bersama Ferdi. Namun yang pasti selama aku masih mampu memberinya uang, aku ingin selalu bersamanya.

"yah, itu terserah bang Rifky aja. Selama bang Rifky terus membayarku, aku akan terus bertahan bersaam bang Rifky." ucap Ferdi kemudian.

****

"sudah hampir jam 3 pagi bang, kita belum melakukan acara intinya, bang. Kita bahkan belum melakukan pemanasan." ucap Ferdi tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"itu sudah tidak penting untuk malam ini, Fer. Karena itu bisa kita lakukan lain waktu. Jadi lebih baik malam ini kita habiskan untuk lebih mengenal pribadi kita masing-masing." balas ku apa adanya.

"terserah bang Rifky aja. Aku milik bang Rifky mulai malam ini dan malam-malam selanjutnya." pungkas Ferdi santai.

"kamu percaya gak, kalau aku katakan, aku belum pernah pacaran dengan laki-laki?" tanya ku mencoba membuka cerita lagi.

"percaya gak percaya sih, bang. Tapi masa' iya bang Rifky belum pernah pacaran dengan laki-laki, padahal usia abang kan udah 30 tahun." balas Ferdi.

"itu dia masalah nya, Fer. Meski pun sudah berusia 30 tahun, bahkan aku sudah menikah, aku memang belum pernah pacaran dengan laki-laki. Selama ini aku tak pernah berani, Fer. Meski pun aku berkali-kali jatuh cinta pada laki-laki." ucapku.

"lalu mengapa sekarang abang berani?" tanya Ferdi.

"tadinya aku juga gak berani, Fer. Butuh waktu berhari-hari bagiku untuk memberanikan diri menghubungi kamu, Fer. Dan karena kamu bisa dibayar, ditambah lagi, aku memang sudah sangat lama penasaran, bagaiman sih rasanya berhubungan dengan laki-laki, akhirnya aku nekat." jelasku jujur.

"jadi bang Rifky memang belum pernah melakukan hal tersebut dengan laki-laki?" tanya Ferdi dengan nada heran.

"belum, Fer. Kamu adalah yang pertama bagiku." jawabku sedikit tersipu.

"kita bahkan belum melakukan apa-apa, bang." timpal Ferdi cepat.

"ya, tapi aku mulai berharap kita bisa masuk ke acara inti sekarang. Aku benar-benar penasaran, Fer. Mau kah kau mengajari ku dari awal?" ucapku ragu.

"hal seperti itu tidak perlu pelajaran khusus, bang. Apa lagi bang Rifky kan sudah nikah juga. Hal itu gak jauh beda, bang. Mungkin posisi dan letaknya saja yang berbeda. Lagi pula, kalau saran saya, bang Rifky ikuti saja naluri bang Rifky sendiri." ucap Ferdi ringan.

"tapi, maaf. Kalau boleh saya tahu, bang Rifky lebih suka di posisi apa? T atau B?" tanya Ferdi melanjutkan.

"aku terserah kamu aja, Fer. Aku ngikut aja. Aku juga gak ngerti hal-hal seperti itu. Yang pasti aku ingin menghabiskan malam ini bersama kamu. Apa pun posisnya, biarkan semuanya mengalir sesuai naluri kita masing-masing, seperti katamu." ucapku membalas.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya aku pun bisa merasakan hal tersebut. Hal itu ternyata sangat indah. Apa lagi Ferdi memang sangat gagah. Dia juga sangat berpengalaman. Kami pun beberapa kali saling berganti posisi.

Aku bisa jadi keduanya, Ferdi juga. T dan B. Sungguh sebuah perpaduan yang sangat indah.

****

Hari-hari selanjutnya jadi lebih berwarna bagi ku. Aku mulai merasakan keindahan hidup ini.

Hal yang selama ini aku pendam dalam hidupku, kini tercurah sudah. Aku benar-benar merasakan menjadi diriku sendiri.

Rasanya bisa memiliki orang yang kita cintai adalah sebuah anugerah terindah bagiku.

Aku terhanyut dengan cinta ku kepada Ferdi. Aku jadi semakin jarang berada di rumah.

Istri ku pun sudah mulai protes padaku, karena hampir tidak pernah lagi mendapatkan 'jatah' dariku.

Aku tak peduli, karena aku memang tidak pernah mencintainya.

Dan aku berharap, dengan segala perubahan sikapku dan juga dengan aku selalu mengabaikannya, istri ku akan meminta cerai padaku.

Aku juga tidak ingin terus menyiksa diriku dengan segala kesepiannya. Tapi aku tidak punya alasan yang tepat saat ini untuk menceraikannya.

Sementara aku dan Ferdi masih terus bertemu. Aku sengaja menyewa sebuah apartemen, untuk tempat kami bisa bertemu dengan bebas.

Hidup ku benar-benar aku habiskan hanya untuk Ferdi. Dunia ku begitu indah bersamanya.

Ferdi adalah pacar lelaki pertamaku, dan aku sangat mencintainya.

Meski pun aku tahu, sampai saat ini, Ferdi belum benar-benar membuka hatinya untukku.

Tapi setidaknya, aku masih bisa terus memiliki raga nya. Utuh. Tanpa cela.

Dan seperti apakah akhir dari kisah kami?

Apakah yang terjadi selanjutnya?

Simak kelanjutannya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini ya..

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai ya.. semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua .. muach.

****

Part 3

"aku mencintai bang Rifky." ucap Ferdi suatu malam padaku.

Aku tidak terlalu terkejut mendengar hal tersebut. Karena aku yakin, setelah segala perhatian dan pengorbanan ku selama, Ferdi pasti akan membuka hatinya untukku.

"tapi bukan itu intinya, bang." ucap Ferdi lagi.

"maksud kamu?" tanyaku heran.

"ibu harus segera di operasi, bang. Pihak rumah sakit sudah mendapatkan pendonor ginjal untuk ibuku. Tapi biayanya sangat mahal." jawab Ferdi pilu.

"berapa?' tanya ku lagi.

"sekitar lima ratus jut, bang." jawab Ferdi.

"lalu apa hubungannya dengan kamu mengatakan kalau kamu mencintaiku?" tanyaku dengan nada heran.

"abang yakin mau tahu?" tanya Ferdi membalas.

Aku mengangguk yakin.

"ya udah, silahkan simak kisah ini sampai selesai ya.."

Namun sebelumnya bla.. bla..

****

"aku mencintai bang Rifky, setelah hampir setahun kita bersama, bang. Abang telah berkorban banyak untuk ku. Tapi saat ini, aku tidak bisa lagi terus bersama bang Rifky." jelas Ferdi kemudian.

"kenapa?" tanya ku tak mengerti.

"karena aku harus mendapatkan uang sebanyak lima ratus juta dalam waktu dekat ini, bang. Untuk biaya operasi ibu ku. Dan aku harus kembali menjadi laki-laki bayaran, untuk mendapatkan laki-laki berduit dan mau membayarku mahal." jelas Ferdi, yang membuatku tercengang.

"aku juga laki-laki berduit." timpalku akhirnya.

"tapi bang Rifky gak punya uang sebanyak itu sekarang kan?" ucap Ferdi.

Aku terdiam. Aku memang tidak punya uang sebanyak lima ratus juta saat ini. Semua tabunganku mungkin saat ini bahkan belum sampai seratus juta.

"aku punya." ucapku akhirnya, setelah menemukan sebuah ide.

"bang Rifky yakin?" tanya Ferdi.

"aku punya, Fer. Tapi aku butuh waktu untuk mendapatkannya. Aku pasti akan mendapatkannya dalam waktu dekat ini. Kamu jangan cari laki-laki lain ya.." ucapku sedikit memohon.

"apa maksud, bang Rifky?" tanya Ferdi lagi.

"aku.. aku akan jual rumah ku, Fer. Dan itu lebih dari cukup untuk aku berikan padamu." balasku.

"lalu bagaimana dengan istri bang Rifky? Kalian akan tinggal dimana?" Ferdi bertanya kembali.

"aku akan menceraikan istriku, dan membiarkan dia hidup dengan pilihannya. Dan untuk sementara aku akan tinggal di apartemen ini, Fer. Nanti aku akan mulai mengumpulkan uang kembali, dan membeli rumah yang lebih murah." jelasku mulai yakin dengan keputusanku.

"bang Rifky tak perlu melakukan hal itu." timpal Ferdi.

"aku harus melakukannya, Fer. Aku sangat mencintai kamu. Apa pun akan aku lakukan, agar tetap bisa bersama kamu selamanya." balas ku yakin.

"aku tak pantas menerima semua itu, bang. Pengorbanan bang Rifky terlalu besar." ucap Ferdi.

"tapi cinta ku padamu lebih besar dari itu semua, Fer. Begitu juga cinta kamu kepada ibu mu. Aku melakukan ini, bukan hanya untuk kamu, Fer. Tapi juga untuk ibu mu." jelasku lagi.

Dan Ferdi pun akhirnya tidak bisa menolak tawaranku. Aku tahu, Ferdi sangat menyayangi ibunya. Dia akan melakukan apa saja, untuk bisa menyelamatkan ibunya.

Setelah mendapatkan kata sepakat dengan Ferdi. Aku pun segera kembali ke rumah, dan membicarakan semuanya dengan istri ku.

Meski pun cukup berat, istri ku pun rela untuk bercerai dengan ku.

Aku pun segera menjual rumah peninggalan ayah ku tersebut. Meski pun sebagian besarnya rumah itu di renovasi dengan uang hasil kerja keras ku selama ini.

*****

Operasi ibu Ferdi berjalan dengan lancar. Beliau bahkan sudah pulih kembali.

Aku sekarang tinggal di apartemen sewaan kecil itu. Namun aku merasa bahagia bisa melakukan semua itu. Aku yakin, pelan namun pasti, aku akan bisa mengumpulkan uang kembali, untuk membeli rumah yang baru.

Dan tentu saja Ferdi sangat berterima kasih padaku. Ia bahkan rela menghabiskan waktunya bermalam-malam bersama ku, saat ibunya sudah sembuh dan sudah kembali ke rumah.

"aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi, untuk bisa berterima kasih padamu, bang." ucap Ferdi suatu malam.

"kamu tak perlu melakukan apa pun, Fer. Cukup dengan kamu selalu ada untukku. Cukup dengan kamu selalu bersama ku." balas ku.

"tapi aku tetap merasa berhutang budi pada bang Rifky." ucap Ferdi lagi.

"kamu tak perlu merasa berhutang budi, Fer. Karena dalam cinta, tidak ada yang namanya hutang budi. Semua akan aku lakukan untuk orang yang aku cintai." balas ku lagi.

"setelah ini bang Rifky tak usah lagi membayarku. Aku akan cari kerjaan, bang. Yang pasti bukan jadi cowok bayaran lagi. Tapi kerjaan yang halal. Lagi pula ibu juga sudah sembuh, beliau tidak perlu lagi melakukan cuci darah." ucap Ferdi kemudian.

"tapi kamu masih tetap bersama ku kan, Fer?" tanya ku ragu.

"aku akan selalu ada untuk bang Rifky. Bukan karena aku merasa berhutang budi pada bang Rifky, tapi karena aku benar-benar telah jatuh cinta pada bang Rifky." jawab Ferdi yakin.

"saat ini dan selanjutnya, hubungan kita bukan lagi antara cowok bayaran dengan pelanggannya, tapi antara dua orang yang saling mencintai." lanjut Ferdi lagi.

Aku pun tersenyum. Aku merasa bahagia mendengar semua itu.

Pengorbanan ku tidak sia-sia. Perjuanganku akhirnya membuahkan hasil yang indah.

Meski pun aku tahu, Ferdi juga punya pengorbanan yang sangat besar dalam hal ini.

Ia rela mengorbankan kenormalan nya sebagai laki-laki, demi untuk bisa membalas cinta ku.

Dan rasanya uang ratusan juta, tidak lah sebanding dengan keputusan yang harus Ferdi ambil dalam hidupnya.

Karena untuk ke depannya, Ferdi tidak akan pernah lagi bisa jatuh cinta kepada perempuan.

Dia telah mengikat diri dan hatinya hanya untuk ku. Dia telah mengorbankan masa depannya hanya untukku.

Namun apa pun itu, begitulah jalan takdir kami berdua.

Aku bertemu Ferdi, karena dia dulunya adalah cowok bayaran, yang aku booking.

Dan pertemuan itu, ternyata membuat aku telah jatuh cinta padanya.

Cinta yang begitu besar, sampai aku rela mengorbankan apa saja untuknya. Hingga akhirnya Ferdi pun membuka hatinya untukku.

Kini cinta kami pun menyatu. Hari-hari kami semakin terasa indah.

Semoga saja cinta ini tetap bertahan selamanya.

Ya, semoga saja.

Demikianlah kisah cinta ku bersama cowok bayaran yang tampan dan gagah itu.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video-video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua..

****

Aku dan Rio

Aku menatap pemuda itu dengan seksama. Mencoba mengenalinya.

Pemuda itu tersenyum. Senyum yang sangat menawan.

"kamu siapa?" tanya ku mengulang.

"saya Rio, bang. Saya temannya Kalila." jawab pemuda itu akhirnya. "teman kampusnya.." lanjutnya meyakinkan.

Aku mengangguk ringan, sambil membalas tersenyum.

"Kalila nya ada, bang?" tanya pemuda itu lagi.

"iya. Ada." jawabku jadi sedikit salah tingkah. "masuk aja." lanjutku menawarkan.

Begitulah awalnya aku mengenal Rio. Pemuda tampan dengan senyum menawan dan postur tubuh yang gagah.

Dia adalah teman kampus adik perempuan ku satu-satunya, Kalila.

Lalu seperti apakah kisah ku bersama Rio terjalin?

Silahkan simak kisah ini dari awal sampai akhir ya..

Namun sebelumnya bla.. bla...

*****

Namaku Jaka. Sebut saja begitu.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak pertama ku seorang laki-laki, sekarang sudah menikah dan sudah punya seorang putra.

Adik bungsu ku perempuan, masih kuliah.

Sedangkan aku sendiri, sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang karyawan.

Usia ku sudah 27 tahun saat ini, namun aku masih belum menikah.

Aku dan adikku, Kalila, tinggal bersama kedua orangtua kami. Ayahku seorang pegawai pemerintah yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Sedangkan ibu ku seorang guru di sebuah sekolah dasar.

Kakak pertamaku, karena sudah menikah, sekarang sudah tinggal di rumahnya sendiri.

Kehidupan ku sebenarnya biasa saja. Aku lahir, tumbuh dan besar sebagai seorang laki-laki biasa.

Sejak remaja, sebenarnya aku sudah menyadari kalau aku berbeda dari laki-laki pada umumnya. Aku lebih punya ketertarikan kepada sesama laki-laki dari pada perempuan.

Karena itu, aku tidak pernah dekat apa lagi pacaran dengan perempuan.

Aku pernah jatuh cinta dengan laki-laki, beberapa kali malah. Namun selama ini, aku hanya bisa memendamnya. Selain karena aku tidak punya keberanian untuk mendekati apa lagi mengungkapkan perasaan ku pada laki-laki yang aku suka.

Aku juga sebenarnya ingin mengubah itu semua. Aku merasa terjebak pada yang namanya kehidupan.

Aku merasa tidak pernah menjadi diri ku sendiri. Aku tak pernah mengekspresikan diri ku sesungguhnya.

Selama ini aku selalu berpura-pura menjadi laki-laki yang utuh. Laki-laki yang sama seperti laki-laki pada umumnya.

Namun semenjak mengenal Rio. Aku merasa kalau sudah saatnya aku untuk jujur pada diriku sendiri.

Sejak pertama kali mengenal Rio, aku sudah merasakan ketertarikan padanya. Aku mengaguminya.

Rio yang tampan, dengan senyumnya yang menawan dan postur tubuhnya yang kekar. Benar-benar sosok laki-laki yang sempurna. Dia lelaki terindah yang pernah aku kenal.

Hanya saja seperti biasa, aku hanya bisa memendam semua itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa mendekati Rio.

Selain usia kami yang terpaut hampir lima tahun, Rio juga adalah teman adik perempuanku.

Mungkin saja Rio dekat dengan Kalila, justru karena ia menyukai adik ku itu. Dan mungkin juga Kalila juga menyukai Rio.

Tapi sebagai seseorang yang sudah terlanjur jatuh cinta, aku selalu memikirkan bagaimana caranya bisa kenal lebih dekat dengan Rio.

Hingga kesempatan itu pun akhirnya tiba.

Saat itu Rio datang ke rumah. Seperti biasa ia mencari Kalila. Namun kali Kalila tidak sedang berada di rumah.

Kebetulan Kalila dan kedua orangtua ku sedang berada di kampung halaman ibu ku, untuk menghadiri sebuah acara pesta keluarga. Dan aku tidak bisa ikut, karena tidak mendapat izin libur dari kantor ku.

****

"Kalila nya ada, bang?" tanya Rio, saat aku membuka pintu untuknya.

Aku menggeleng ringan.

"Kalila sedang berada di kampung bersama orangtua kami. Lagi ada pesta di sana." jawabku menjelaskan.

Rio membulatkan bibir.

"kalau begitu saya permisi pulang aja ya, bang." ucapnya.

"jangan pulang dulu.." cegah ku tanpa sadar.

Aku memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini.

"kenapa, bang Jaka?" tanya Rio dengan raut heran.

"kita bisa ngobrol sebentar?" tanya ku ragu.

"bisa, bang." jawab Rio.

"lagian, kamu kan udah sampai sini, masa' iya mau langsung pulang aja.." timpal ku mencoba akrab.

Rio tersenyum. Sekali lagi, senyum yang menawan.

Aku pun kemudian mempersilahkan Rio masuk dan duduk di ruang tamu.

"bang Jaka sendiran aja di rumah?" tanya Rio.

Aku mengangguk ringan, sambil tersenyum ramah.

"kenapa gak ikut ke kampung?" Rio bertanya kembali.

"aku gak dapat izin libur dari kantor. Jadi aku harus masuk kerja hari ini. Ini pun aku baru aja pulang kerja." jelasku.

"oh." Rio sekali lagi membulatkan bibir, dan hal itu menambah pesona tersendiri bagi pemuda tampan itu.

"kemungkinan mereka akan pulang besok siang. Jadi ya malam ini, aku juga sepertinya akan tidur sendiri di rumah." aku berucap lagi menjelaskan, meski pun Rio tidak mempertanyakan hal tersebut.

Untuk sesaat suasana tiba-tiba menjadi hening. Aku kehabisan kalimat untuk di ucapkan.

Sampai akhirnya aku pun menawarkan minuman untuk Rio. Aku bergegas ke dapur, untuk mengambil minuman, sambil sedikit menenangkan hatiku,, yang tiba-tiba saja berdebar hebat.

"oh, ya. Bang Jaka mau ngobrol tentang apa?" tanya Rio, setelah ia meneguk minumannya.

"hmmm... aku... aku .. cuma butuh teman untuk ngobrol. Gak ada yang penting sebenarnya. Gak apa-apa, kan. Kita ngobrol-ngobrol sebentar di sini?" jawabku dengan sedikit terbata.

"gak apa-apa sih, bang." balas Rio ringan.

"kamu dan Kalila... pacaran?" tanya ku tiba-tiba, benar-benar ingin tahu.

"ya gak lah, bang. Kalila kan udah punya cowok di kampus. Aku dekat ama Kalila, karena kebetulan ada tugas kampus yang kami kerjakan bareng." jawab Rio terdengar santai.

Entah mengapa aku merasa lega mendengar hal itu. Mungkin karena aku merasa punya sedikit harapan, untuk bisa mendapatkan Rio.

Setidaknya aku tidak harus bersaing dengan adik ku sendiri.

Untuk selanjutnya kami pun mulai berbicara banyak hal. Yang membuat aku akhirnya berhasil membujuk Rio untuk menginap di rumahku.

****

Malam itu, sehabis mandi dan makan malam, kami kembali ngobrol.

Meski pun kami baru saling kenal, tapi aku merasa sudah cukup akrab dengan Rio.

Selain karena Rio memang cukup asyik untuk di ajak ngobrol, dia juga orangnya sangat terbuka.

"aku ini anak bungsu, bang. Tiga orang kakak-kakak ku semuanya perempuan." cerita Rio.

"ayahku sudah meninggal sejak aku masih berusia enam tahun. Ibu ku membesarkan kami sendirian. Ibu punya usaha toko kue di dekat rumah kami. Di bantu kakak-kakak ku, kami pun berhasil melewati masa-masa sulit. Hingga ketiga kakak-kakak ku, pun berhasil menjadi sarjana."

"ketiga kakak ku sekarang sudan berkeluarga, dan juga sudah punya pekerjaan serta sudah punya rumah sendiri. Jadi aku hanya tinggal berdua bersama ibu ku di rumah. Aku yang sekarang membantu ibu untuk mengelola toko kue." lanjut Rio bercerita.

"lalu bagaimana dengan pacar?" tanyaku kemudian, setelah untuk beberapa saat kami terdiam

"maksudnya, bang?" tanya Rio balik.

"maksud saya, sebagai laki-laki yang berparas tampan seperti kamu, pasti banyak kan cewek-cewek yang naksir sama kamu. Gak mungkin kan kamu belum punya pacar." ucapku menjelaskan, sengaja sedikit memujinya.

"aku gak suka cewek, bang." ucap Rio sedikit lebih pelan.

"maksud kamu?" tanya ku dengan raut penuh keheranan. Aku hanya tidak percaya, Rio akan berkata seperti itu.

"bang Jaka pasti ngerti maksudnya apa.." balas Rio yakin.

"ya.. aku ngerti.... tapi..." ucapan ku terbata, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

"kenapa? bang Jaka gak percaya kalau aku gay?" ucap Rio menjawab keraguanku.

"sulit di percaya, sih. Soalnya kamu kan orangnya terlihat maskulin dan gagah.." balasku jujur.

"gak ada jaminan, bang. Laki-laki yang terlihat gagah, belum tentu dia hetero kan? bang Jaka misalnya, padahal bang Jaka kan orangnya juga gagah dan atletis, tapi..." Rio sengaja menggantung kalimatnya.

"saya bukan gay.." ucapku lugas.

"kalau bukan gay, gak mungkin kan bang Jaka sering memperhatikan ku diam-diam, saat lagi ngobrol sama Kalila. Kalau bukan gay, gak mungkin kan bang Jaka, ngajak aku ngobrol bahkan sampai mengajak aku nginap segala." terang Rio, yang membuatku jadi sedikit tersipu.

Ternyata diam-diam selama ini Rio juga memperhatikan ku. Dan aku tidak pernah menyadari hal itu.

"udah, bang Jaka gak usah malu. Lebih baik bang Jaka jujur saja, sebelum saya berubag pikiran." Rio berucap lagi melihat keterdiamanku.

"aku... aku.. memang suka sama kamu, Rio. Bahkan sejak pertama kali aku melihat mu." ucapku akhirnya dengan suara bergetar.

"aku juga suka sama bang Jaka..." timpal Rio yakin, "bahkan sebenarnya aku kesini kali ini, memang berniat untuk bertemu bang Jaka. Aku sudah tahu kalau Kalila tidak di rumah, dia udah cerita di kampus kemarin. Karena itu aku nekat datang ke sini, dan berharap bisa bertemu bang Jaka." lanjut Riio lagi.

Aku terdiam. Sungguh semua itu di luar dugaanku. Aku tak menyangka kalau Rio diam-diam juga menyukai ku, dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Malam itu, setelah saling jujur dengan perasaan kami masing-masing, kami pun benar-benar tidur bersama.

Dan untuk pertama kalinya, bagiku dan Rio, kami pun melakukan hal tersebut.

Kami mencoba mengikuti segala naluri kami malam itu. Dan semuanya terasa sangat indah bagiku.

Lelaki terindah itu, Rio, akhirnya bisa aku miliki. Bukan sekedar mimpi. Bukan sekedar khayalan. Tapi benar-benar nyata.

Rio begitu indah, dia begitu sempurna. Dan aku tidak ingin melepaskannya walau pun sedetik pun malam itu.

Cinta kami menyatu. Berpadu dalam lautan rasa yang indah.

Kebahagiaan terpancar dari wajah kami yang tidak menutupi perasaan dan hati kami malam itu.

Benar-benar sebuah keindahan yang sempurna. Sebuah keindahan yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Lelaki pertama dan kesan pertama yang begitu indah. Tak dapat ku lukiskan bahagia ku malam itu. Tak ada satu kalimat pun yang mampu mewakili perasaan ku.

Dan kami pun terlelap dalam keindahan mimpi yang sempurna.

*****

Sejak saat itu lah aku dan Rio menjalin hubungan cinta. Sebuah hubungan rahasia. Sebuah hubungan yang indah.

Kami punya jadwal dan tempat tersendiri untuk bisa bertemu. Kami selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, untuk bisa menikmati kebersamaan kami.

Dan cinta kami begitu indah, meski hanya kami berdua yang tahu, dan bisa merasakannya.

Namun seperti apakah akhir dari kisah kami?

Mungkinkah kami akan tetap bisa bertahan dalam hubungan cinta terlarang tersebut?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.

*****

Part 2 

Setahun aku dan Rio menjalin hubungan asmara. Sungguh sebuah hubungan yang sangat indah bagiku.

Aku mencintai Rio lebih dari apa pun, dan begitu juga yang di rasakan Rio.

Meski pun kami tahu kalau hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Tapi bukankah cinta itu egois?

Cinta adalah sebuah misteri. Kita tidak pernah tahu, kapan dan kepada siapa cinta itu akan tumbuh.

Namun yang pasti selama cinta itu bisa kita miliki, kita berhak untuk bahagia akan hal itu.

Tapi seindah apa pun sebuah cinta di dunia gay, pada akhirnya akan menemukan jalan buntu.

Dan begitulah akhirnya yang aku rasakan bersama Rio.

Pada akhirnya kami memang harus berpisah. Bukan karena kami tidak lagi saling cinta. Tapi karena takdir tidak selalu seperti yang kita harapkan.

Namun perpisahan ku dengan Rio, bukanlah sebuah perpisahan yang biasa. Karena itu terjadi sungguh di luar kuasa kami sebagai manusia biasa.

Lalu seperti apakah akhir dari kisah ku bersama Rio?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla... bla...

*****

"kita liburan yuk, bang." ajak Rio suatu ketika, "berdua aja.." lanjutnya.

"kemana?" tanya ku.

"kemana aja, bang. Yang penting kita bisa menikmati waktu berdua." balas Rio.

Aku pun mengangguk setuju. Lagi pula, sejak aku jadian sama Rio, kami memang belum pernah melakukan perjalanan berdua.

"anggap aja honeymoon, bang." ucap Rio lagi, yang membuatku tersenyum.

Dan setelah mempersiapkan segala sesuatunnya, kami pun terbang menuju sebuah pulau yang berada cukup jauh dari kota tempat kami tinggal.

Sebuah pulau yang cukup terkenal dengan keindahan alamnya. Sebuah pulau nan eksotic.

Kami sengaja menyewa sebuah kamar hotel di dekat pulau tersebut, untuk kami menginap selama beberapa malam.

"disini kita bebas menjadi diri kita sendiri, bang. Tanpa rasa khawatir akan di pergoki oleh orang yang kita kenal." ucap Rio, saat kami sudah berada di dalam kamar hotel.

Kami memang tiba di sana saat hari sudah mulai gelap, karena itu kami pun memutuskan untuk langsung masuk ke kamar, untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.

"jadi malam ini kita di hotel aja kan?" tanya ku, sedikit mengabaikan pernyataan Rio barusan.

"besok baru kita keliling dan menikmati pulau ini." lanjutku.

"oke, bang. Aku setuju. Lagian yang terpenting itu, bukan pulau nya, tapi adalah kebersamaan kita. Dan hanya saat di hotel inilah kita benar-benar bisa berduaan, bang." balas Rio dengan nada riang.

Untuk selanjutnya kami pun mulai melakukan ritual malam kami. Sebuah ritual dari ungkapan cinta yang sesungguhnya. Puncak dari keindahan cinta itu sendiri.

Rio begitu sempurna. Dia begitu indah. Setiap jengkal kulitnya adalah lukisan maha karya yang indah.

Lekukan otot-otot yang menyembul dari lengan dan dadanya, menambah kesempurnaannya sebagai seorang laki-laki.

Aku terbuai dengan segala keindahan itu. Aku tak ingin melewatkan sedetik pun kesempatan untuk bisa menikmati kebersamaan ku dengan Rio.

Malam itu, meski pun kami sudah sering melakukannya, tetap saja hal itu terasa sangat indah bagiku. Apa lagi saat ini, kami benar-benar bebas menjadi diri kami seutuhnya.

Kami bebas mengekspresikan perasaan kami masing-masing, dan mengungkapkan segala rasa yang ada.

*****

Keesokan paginya, kami pun berjalan-jalan di pinggiran pantai pulau itu. Menikmati pemandangan alam yang begitu indah.

Berlari-larian mengejar ombak yang datang silih berganti.

Lalu kemudian kami pun berjemur diatas pasir pantia yang putih bersih itu.

"seandainya saja kita bisa selamanya seperti ini, bang." ucap Rio, ia duduk di sampingku.

"kita akan selamanya seperti ini, Rio." balasku pelan.

"kita akan tetap bersama, Rio. Walau apa pun yang akan terjadi." lanjutku, kali aku mencoba menatap Rio.

"aku juga ingin selamanya kita bersama, bang. Tapi ada satu hal yang bang Jaka belum tahu tentang aku." ucap Rio, ia memalingkan muka dari ku, menatap deburan ombak yang menerpa batu karang.

"apa maksud mu, Rio. Rahasia apa yang kamu sembunyikan dari ku?" tanya ku penasaran.

Setahun lebih aku mengenal Rio. Rasanya aku sudah benar-benar mengenalnya. Rasanya sudah tidak lagi rahasia di antara kami.

"nanti juga bang Jaka pasti tahu. Saat ini yang paling penting adalah menikmati kebersaman kita, bang." balas Rio penuh teka-teki.

"aku gak ngerti maksud kamu, Rio. Tapi kalau memang ada yang kamu sembunyikan, lebih baik kamu menceritakannya sekarang." ucapku pelan, sambil terus menatapi wajah tampan itu.

"jangan rusak kebahagiaan kita kali ini, bang. Aku benar-benar ingin menikmati saat ini dengan kebahagiaan.." timpal Rio, ia masih menatap ke arah lautan.

"tapi kamu yang memulai, Rio.." balasku.

"maaf, kalau gitu, bang. Lupakan saja kalimatku itu. Aku juga gak ngerti mengapa aku harus berkata seperti itu." ucap Rio lagi.

Lalu kemudian dia pun berdiri, dan segera berlari menerjang gulungan ombak yang datang cukup besar menerpa pantai itu.

Aku menatap pemuda gagah itu dari kejauhan. Kalimatnya barusan benar-benar mengganggu pikiran ku tiba-tiba. Tapi sepertinya Rio memang tidak ingin membahas hal itu saat ini.

Aku kemudian ikut berlari menuju deburan ombak tersebut, mengejar Rio. Mengikutinya yang sudah mulai berenang di air laut tersebut.

Dan setelah merasa cukup puas bermain-main  di pantai itu, kami pun memutuskan untuk kembali lagi ke kamar.

Hari pun terasa begitu cepat berlalu, hingga malam kembali menjelang.

Malam itu, seperti malam sebelumnnya, kami pun memutuskan untuk tetap berada di dalam kamar. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam itu kembali hanya berdua di kamar.

Ini benar-benar terasa bagai bulan madu bagiku. Indah.

Rio juga terasa berbeda bagiku, dia lebih bersemangat dari biasanya. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai setiap hal yang ia lakukan pada ku malam itu.

Aku merasa semakin mmencintainya. Aku semakin takut kehilangan dia.

****

Selama lebih kurang tiga hari tiga malam kami menikmati liburan kami.

Sampai akhirnya kami pun harus kembali ke kehidupan kami semula.

Aku harus kembali bekerja, sementara Rio harus kembali untuk kuliah.

Meski pun liburan itu terasa singkat bagiku, tapi kesan yang terjadi selama liburan itu benar-benar indah dan penuh warna.

Itu adalah liburan terindah yang pernah aku rasakan sepanjang perjalanan hidupku.

"kapan-kapan kita ulang lagi ya.." ucapku kepada Rio, saat di perjalanan pulang.

"semoga saja kita masih punya waktu untuk mengulanginya lagi, bang." balas Rio misterius.

"kita masih punya banyak waktu, Rio. Dan kita nanti akan pergi ke tempat yang lebih indah." ucapku yakin.

"entahlah, bang. Andai saja kita masih punya waktu untuk mengulanginya, bang." balas Rio lagi, seperti mengulang kalimat yang sama.

"maksud kamu apa sih, Rio. Mengapa kamu berkata seolah-olah kita tidak punya waktu untuk bersama lagi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ku?" tanyaku dengan nada ragu.

"aku ingin.... aku ingin ... setelah ini, kita tidak usah bertemu lagi, bang." ucap Rio tiba-tiba dengan terbata dan suara yang bergetar.

Aku menatapnya. Berharap Rio hanya sekedar bercanda. Dia memang suka bercanda bukan? bathinku.

"aku serius, bang. Aku ingin kita pisah.  Aku ingin kita udahan." ucap Rio lagi, seakan bisa menebak keraguanku.

"kenapa?" tanyaku tercekat. Hatiku tiba-tiba saja terasa perih.

"apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyaku lagi melanjutkan.

"aku sangat mencintai bang Jaka. Tapi..... aku tidak bisa selamanya bersama bang Jaka." jawab Rio terdengar yakin.

"kenapa?" tanyaku dengan nada penuh keheranan.

"aku gak bisa menjelaskannya sekarang, bang. Namun yang pasti mulai saat ini, bang Jaka gak usah menghubungi atau pun menemui aku lagi." ucap Rio, ia memalingkan muka.

Namun aku masih melihat sekelebat mendung di matanya.

Ada apa dengan Rio? Bathin ku penuh tanya.

Baru saja kami berliburan bersama. Semuanya berjalan-jalan dengan baik-baik saja, bahkan berjalan dengan sangat indah.

Lalu mengapa Rio tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungan kami?

Sungguh, aku tidak bisa menerima itu semua.

"apa salahku?" tanyaku dengan suara bergetar.

"gak ada yang salah, bang. Bang Jaka gak salah." balas Rio.

"lalu mengapa tiba-tiba saja kamu ingin kita udahan, Rio? Setelah baru saja kita menikmati manisnya cinta kita bersama. Kita bahkan belum sampai ke rumah loh, Rio." ucapku lirih. Pilu.

Hatiku benar-benar sakit.

"aku tidak bisa menjelaskannya saat ini, bang. Aku harap abang ngerti. Ini juga berat bagiku. Tapi itu satu-satu nya pilihan yang aku punya saat ini, bang." ucapan Rio kali ini lebih keras, meski pun suaranya terdengar mulai parau.

"kamu egois, Rio." balasku akhirnya, setelah tidak tahu harus berkata apa lagi.

Sepertinya Rio memang benar-benar serius dengan ucapannya.

Hanya saja aku tidak bisa menerima keputusannya begitu saja. Aku butuh penjelasan.

Namun percuma saja, aku meminta penjelasan Rio. Dia tidak akan mau berbicara saat ini.

Untuk selanjutnya kami lebih banyak diam. Sepanjang perjalanan. Kami sudah seperti dua orang asing yang tidak saling kenal.

Kami pun kembali ke rumah masing-masing, dengan masih menyimpan sejuta tanya di hatiku.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Rio?

Kenapa ia tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungan kami?

Temukan jawabannya di part berikutnya ya, bisa lihat di channel ini, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaaachhh..

****

Part 3

Seminggu setelah kepulangan kami dari liburan, Rio benar-benar sudah tidak bisa aku hubungi lagi.

Dia menghindari ku. Telpon ku tak pernah ia angkat, pesan ku pun tak pernah ia balas lagi.

Aku semakin dengan sikap Rio, yang tiba-tiba saja berubah.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan Rio?

Mengapa ia tiba-tiba saja ingin putus dari ku, sementara aku merasa hubungan kami baik-baik saja?

Simak kelanjutan kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya... bla... bla..

****

Pernah sekali aku datang ke rumah Rio, karena penasaran. Namun ibu nya bilang, kalau Rio sedang tidak di rumah.

"kemana Rio kira-kira ya, Tante?" tanya ku merasa kurang puas dengan jawaban ibunya Rio.

"tante juga kurang tahu, nak Jaka. Mungkin dia lagi sibuk dengan tugas kuliahnya." jawab ibu Rio.

Karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti, aku pun segera pamit.

Aku bahkan pernah bertanya tentang Rio kepada Kalila, adik perempuan ku itu.

"Rio sudah beberapa hari ini tidak pernah masuk kuliah, bang Jaka. Menurut kabar yang Kalila dapat, katanya Rio sedang berada di Singapur." jelas Kalila.

"Singapur? Ngapain Rio ke Singapur?" tanya ku heran.

"kurang tahu juga, bang." jawab Kalila santai.

"tapi kok tumben, bang Jaka tanya-tanya soal Rio." ucap Kalila lagi.

"gak. Gak apa-apa, kok. Cuma sekarang kok Rio jarang datang kesini ya?" tanya ku beralasan.

"ya, karena memang tugas kami kan udah selesai, bang. Jadi Rio gak punya alasan lagi dong untuk main kesini. Lagian kami kan juga gak terlalu dekat." jelas Kalila lagi.

Aku pun tidak bertanya lebih lanjut kepada Kalila. Aku takut Kalila curiga kalau kami ada apa-apanya.

Hal ini semakin membuat aku bingung.

Kemana Rio sebenarnya? Apa yang terjadi dengannya.

Semuanya benar-benar menjadi misteri bagiku.

Misteri yang tak bisa aku temukan jawabannya.

Tapi aku benar-benar butuh penjelasan. Aku benar-benar ingin tahu, dimana Rio sebenarnya.

Oh, Rio. Kenapa kamu membuat aku seperti ini?

Padahal aku sangat membutuhkan mu. Aku sangat mencintaimu Rio. Bathin ku lirih.

*****

Hampir sebulan, aku tak pernah lagi kontak dengan Rio.

Aku benar-benar kehilangan semangat. Aku kehilangan gairah hidup.

Aku merasa tidak punya tujuan saat ini. Aku hampir putus asa.

Sampai akhirnya, aku mendapat kabar dari Kalila, kalau Rio sudah pergi untuk selama-lamanya.

Rio sudah tidak ada. Rio meninggal.

Dan kabar itu benar-benar membuat aku syok.

"kabarnya Rio itu ternyata punya penyakit kanker otak sejak lama. Dia di bawa berobat ke Singapur, dan akhirnya meninggal." jelas Kalila kemudian.

Aku diam. Aku berpura-pura tidak terlalu terkejut mendengar cerita Kalila. Meski hatiku terasa pilu.

Rio selamanya ini tidak pernah cerita tentang penyakitnya. Dia selalu terlihat sehat.

Dengan perasaan hancur, aku pun mencoba mendatangi rumah Rio. Aku berharap masih sempat melihat jasadnya untuk yang terakhir kalinya.

Namun saat aku sampai disana, aku hanya bertemu dengan ibunya Rio dan juga tiga orang kakak-kakaknya. Jasad Rio baru saja di kubur.

"Rio memang tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitnya, kecuali kami." ucap ibu Rio bercerita.

Kami ngobrol di teras rumahnya, berdua.

Mata ibu Rio terlihat sembab karena habis menangis.

"Rio diagnosa kanker otak sekitar empat tahun yang lalu. Kanker itu sudah cukup parah, stadium akhir. Tapi Rio menolak untuk di operasi. Karena itu dokter hanya bisa menjamin kalau Rio hanya akan bertahan tidak lebih dari dua tahun."

"namun karena kuasa Tuhan, Rio mampu bertahan lebih dari dua tahun. Bahkan dia terlihat selalu sehat. Sampai akhirnya ia bertemu nak Jaka. Rio semakin terlihat penuh semangat dan semakin ceria. Dia seakan melupakan tentang penyakitnya."

"tante tahu, kalau Rio menyukai nak Jaka. Tante juga tahu, kalau kalian akhirnya menjalin hubungan. Tapi tante tak ingin melarangnya. Meski pun tante tahu itu salah. Namun Rio terlihat bahagia dengan semua itu."

"sebagai seorang ibu, yang mengetahui kalau usia anaknya tidak akan lama lagi, rasanya wajar, kalau tante membiarkan Rio menikmati kebahagiaannya. Bahkan tante pun memberi izin Rio untuk pergi berlibur bersama nak Jaka."

"saat itu sebenarnya, penyakit Rio mulai kambuh lagi. Saat kami periksa kembali ke dokter, kanker Rio semakin ganas, dan sudah tidak ada harapan untuk bisa sembuh kecuali dengan jalan operasi."

"kali itu Rio setuju untuk operasi ke Singapur, tapi dengan syarat tante harus mengizinkannya pergi berliburan bersama kamu, nak Jaka. Karena itu tante memberinya izin."

"Rio sebenarnya berharap dengan operasi penyakitnya bisa hilang. Meski pun dokter mengatakan kalau harapannya sangat tipis. Tapi Rio orang yang kuat, dia tidak pernah mau terlihat di depan orang-orang."

"Rio sangat mencintai kamu, nak Jaka. Karena itu juga ia setuju untuk operasi, dia berharap dia bisa sembuh dan bisa lebih lama lagi bersama nak Jaka."

"tapi ternyata Tuhan berkata lain. Rio tidak bisa di selamatkan. Setelah hampir sebulan berada di Singapur, untuk pengobatan dan operasinya, Rio ternyata tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

Ibu Rio bercerita panjang lebar padaku.

Selama itu pula, hatiku bagai di sayat-sayat. Sakit sekali rasanya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa bersama orang yang aku cintai. Namun itu semua tidak bertahan lama.

Dan bahkan ibu Rio sendiri sudah setuju dengan hubungan kami. Meski pun itu ia lakukan, hanya untuk membuat Rio merasa bahagia di sisa akhir hidupnya.

Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Aku lebih memilih hubungan kami tidak di setujui oleh siapa pun, asalkan Rio masih ada. Asalkan dia tetap hidup.

Aku rela menjalin hubungan rahasia bersama Rio selamanya. Aku tidak butuh restu siapa pun. Aku hanya butuh Rio selalu ada.

Namun kenyataannya, Rio telah pergi untuk selama-lamanya.

Semua tanya ku selama ini sudah terjawab. Aku mengerti semua alasan dan sikap Rio padaku akhir-akhir ini.

Aku mengerti mengapa Rio ingin mengakhiri hubungan kami.

Aku mengerti mengapa tiba-tiba saja ia berubah.

Namun jawaban dari semua pertanyaan itu, sungguh sangat menyakitkan bagiku. Bahkan jau lebih sakit dari pertanyaan-pertanyaan itu sendiri.

Kalau aku boleh memilih, mungkin lebih Rio menghilang tanpa kabar. Lebih baik dia pergi dari ku dan hidup bersama orang lain. Lebih baik dia mengkhianati ku, dari pada dia harus pergi untuk selama-lamanya.

Aku menangis pilu. Semuanya terasa begitu menyakitkan. Aku tidak bisa menerimanya.

Mengapa orang yang aku cintai, harus pergi begitu cepat?

Mengapa Rio harus pergi?

Akh, aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Sakit, kecewa, perih dan berbagai rasa pilu bersarang di hatiku.

Maafkan aku Rio, karena terlalu mencintai dirimu.

Maafkan aku juga, karena belum siap kehilangan dirimu. Rintihku di pusara Rio.

Air mata ku sudah tidak bisa aku bendung lagi. Aku menangis. Benar-benar menangis.

****

Kini hari-hari ku semakin terasa berat. Rasanya aku sudah tidak punya semangat lagi, untuk terus melanjutkan hidup ini.

Kehilangan Rio bagai kehilangan separoh napas ku. Aku lebih sering menghabiskan waktu ku dengan bermuram durja.

Hidupku hancur, pekerjaan ku berantakan. Semua keluarga ku bingung melihat perubahan ku.

Kalian tahu, apa yang paling menyakitkan dari itu semua. Aku tidak punya tempat untuk mencurahkan perasaanku saat ini. Aku tidak punya orang yang mengerti, untuk bisa mendengarkan curahan hatiku.

Aku hanya bisa memendamnya sendiri. Aku hanya bisa merasakan sakit itu sendiri. Tanpa siapa pun yang tahu, dan tanpa siapa pun yang bisa mengerti.

Dan disinilah aku curahkan semuanya. Sekedar untuk mengurangi beban yang ada dalam hatiku.

Terima kasih sudah mendengarkan kisah ku ini, semoga terhibur.

Pesanku, jika saat ini kamu bersama seseorang yang kamu cintai dan juga mencintai mu, maka jangan pernah lewatkan setiap kesempatan yang ada untuk kalian bisa bersama.

Karena kita tidak pernah tahu, kapan perpisahan itu akan datang.

Salam sayang selalu untuk kalian semua, dan sampai jumpa lagi.. muach.

****

sekian...

Cowok gagah si penjual bakso keliling

Cinta bagi ku adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan.

Dulu, aku berpikir seperti itu. Jauh sebelum aku benar-benar merasakan jatuh cinta.

Jauh sebelum aku mengenal bang Agus. Seorang laki-laki gagah, yang merupakan penjual bakso keliling langganan ku.

 

Cerpen gay  sang penuai mimpi

Aku mengenal bang Agus, karena ia hampir setiap sore singgah di depan rumahku.

Bang Agus seorang penjual bakso keliling, dengan mendorong gerobaknya ke sekeliling perumahan tempat aku tinggal.

Kebetulan aku tinggal di salah satu perumahan tersebut. Rumahku itu tepat berada di persimpangan jalan. Karena itu bang Agus selalu singgah di sana, untuk menanti beberapa orang langganan baksonya. Yang salah satunya adalah aku.

Rumah tempat aku tinggal itu sebenarnya, adalah rumah yang sudah lama di beli oleh ayahku, namun selama ini tidak di tempati.

Karena sekarang aku sudah kuliah, ayah ku mempercayai ku untuk menempati rumah itu sendiri. Agar aku bisa lebih dekat dengan kampus tempat aku kuliah.

Sementara orangtua dan dua orang adik-adikku tinggal di rumah kami yang lain, yang berjarak cukup jauh dari rumah tempat aku tinggal.

Karena tinggal sendiri dan juga tidak suka masak, aku memang lebih sering membeli makanan siap saji di luar. Salah satu nya ialah bakso bang Agus.

Bakso bang Agus sudah menjadi langganan ku sejak lama, setidaknya sejak aku pindah ke rumah ini, sekitar setahun yang lalu.

Pertama kali melihat dan bertemu bang Agus, aku mulai merasa tertarik dengannya. Aku tidak tahu, entah mengapa aku begitu mengagumi sosok bang Agus.

Wajahnya yang tampan, senyumnya yang selalu ramah terukir dari bibirnya yang manis. Tubuhnya yang atletis dan gagah. Semua itu benar-benar telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Semakin hari perasaan itu semakin berkembang aku rasakan. Dan aku selalu memikirkan bang Agus di hampir setiap malamku.

Bang Agus selalu ramah kepada setiap pelanggannya, dan hal itu terkadang membuat aku jadi salah paham akan keramahannya padaku.

Lalu seperti apakah kisah ku bersama bang Agus si penjual bakso keliling itu?

Mungkinkah aku mempu merebut hati laki-laki gagah itu?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Bang Agus sudah berusia 27 tahun, dan menurut pengakuannya juga, ia masih lajang.

Hal itu sedikit memberi harapan padaku, untuk bisa mendapatkan cinta bang Agus.

Untuk menarik perhatiannya, terkadang aku sengaja berlama-lama ngobrol denganya saat membeli bakso. Saat hanya kami berdua di sana.

"bang Agus kenapa belum nikah?" tanyaku suatu sore, saat itu hanya kami berdua di situ.

"siapa yang mau sama seorang penjual bakso keliling seperti saya ini, Wisnu." lemah suara bang Agus menjawab.

"gak ada yang salah dengan berjualan bakso, bang. Justru saya kagum sama bang Agus. Selain bang Agus seorang pekerja keras, bang Agus juga tampan dan gagah. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama bang Agus." ujarku jujur.

"ah, kamu bisa aja, Wisnu. Tapi nyatanya sampai saat ini aku masih jomblo." balas bang Agus.

"mungkin karena bang Agus terlalu pemilih.." ucapku pelan.

"gak juga. Aku hanya cari orang yang bisa terima aku apa adanya." balas bang Agus lagi.

"seandainya aku ini cewek, aku pasti mau sama bang Agus.." ucapku tanpa sadar.

"kamu gak perlu jadi orang lain, untuk menyukai seseorang, Wisnu. Lebih baik kamu jadi diri kamu sendiri. Karena aku lebih menyukai kamu sebagai Wisnu, bukan sebagai orang lain." ucap bang Agus dengan nada sedikit pelan.

"aku bisa menyukai bang Agus sebagai diri ku sendiri. Tapi aku tidak bisa memiliki bang Agus, jika tetap menjadi diri ku yang seperti ini." timpalku kemudian.

"siapa bilang tidak bisa? Jika kamu memang benar-benar menginginkannya, bisa saja hal itu menjadi mungkin kan?" balas bang Agus terdengar serius.

"maksud bang Agus bagaimana?" tanya ku benar-benar tidak mengerti.

"kalau kamu belum mengerti, itu artinya kamu belum benar-benar mengenalku, Wisnu." balas bang Agus lagi.

"tapi..." kalimat ku terhenti, saat tiba-tiba seorang anak remaja datang untuk membeli bakso.

Bang Agus kemudian sibuk melayani pembeli, yang mulai berdatangan cukup ramai.

Aku terpaksa menyimpan rasa penasaran ku, atas kalimat bang Agus barusan.

Aku kembali ke rumah dengan masih menyimpan tanda tanya di benakku.

*****

Ke esokan sorenya, dengan tidak sabar, aku menunggu kedatangan bang Agus di depan rumahku.

Semalaman aku hampir tidak tidur, karena terus bertanya-tanya maksud dari pernyataan bang Agus sore kemarin.

Apa mungkin bang Agus juga menyukai ku?

Apa mungkin bang Agus juga penyuka sesama jenis seperti ku?

Akh, rasanya itu sangat mustahil. Mengingat bang Agus, sangat terlihat maskulin dan jantan.

Meski pun tidak menutup kemungkinan, bahwa seorang laki-laki segagah apa pun, juga bisa saja adalah penyuka sesama jenis.

Tapi masa' iya, bang Agus seperti itu?

Aku terus bertanya-tanya sepanjang malam dan bahkan sepanjang hari ini. Aku benar-benar tak sabar menunggu sore.

Dan ketika akhirnya bang Agus datang, aku pun segera menghampirinya.

"bakso?" ucap bang Agus menyambut kedatangan ku.

"iya. Sekalian aku mau menanyakan maksud dari pernyataan bang Agus kemarin sore." balasku cukup berani.

"apa lagi yang ingin kamu tanyakan, Wisnu?" balas bang Agus bertanya.

"bang Agus pasti ngerti apa yang aku maksud." balasku pelan.

"aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Wisnu. Aku juga ingin agar kamu jujur padaku. Kamu katakan saja, apa yang kamu rasakan padaku." ucap bang Agus membalas.

"aku... aku,... bang Agus... " aku terbata, tidak tahu harus berkata apa.

"mungkin lebih baik, kalau kita atur waktu dan tempat yang tepat untuk kita ngobrol lebih lanjut, Wisnu. Sekarang ini aku lagi kerja. Jadi lebih baik kita bicarakan lagi nanti." ucap bang Agus melihat ketergagapan ku.

"kapan?" tanya ku spontan.

"bagaimana kalau nanti malam?  Aku bisa datang ke rumah mu kan?" tanya bang Agus.

"bisa, bang. Abang datang aja. Aku tunggu ya..." balas ku cepat.

"oke. Nanti sehabis jualan, aku akan datang ke rumah kamu. Tapi mungkin itu sudah jam sepuluh malam, gak apa-apa kan?" ucap bang Agus lagi.

"gak apa-apa, bang. Aku juga sendirian di rumah. Dan lagi pula, aku benar-benar ingin berbicara berdua bersama bang Agus." ucapku lugas.

Bang Agus hanya mengangguk ringan, karena beberapa orang pembeli sudah mulai datang mendekat.

Aku pun kembali ke rumah, dengan membawa semangkok bakso dan segumpal harapan.

Semoga saja harapan ku kali ini akan menjadi nyata.

****

Waktu bergulir, namun jarum jam terasa begitu lambat berputar bagiku.

Aku menunggu. Aku menunggu bang Agus, laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Aku menunggunya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih.

Padahal aku dan bang Agus sampai saat ini, masih hanya sekedar berteman. Tapi entah mengapa, aku jadi punya harapan lebih padanya.

Mungkin karena aku terlalu mencintainya. Mungkin juga karena bang Agus sepertinya sudah memberi harapan padaku.

Namun cinta tetaplah sebuah misteri. Ia tidak mudah di tebak. Kita tidak pernah tahu, kapan rasa itu tumbuh. Kita juga tidak pernah tahu, kepada siapa rasa itu akan tumbuh. Dan kita juga tidak akan tahu, bagaimana perasaan orang lain kepada kita. Bahkan perasaan orang yang paling dekat dengan kita sekali pun.

Aku tetap menunggu. Hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Debaran di jantung ku semakin tak beraturan.

Dan aku semakin gelisah, ketika jarum jam sudah melewati beberapa menit dari jam sepuluh.

Mungkinkah bang Agus akan datang?

Atau aku hanya menunggu sesuatu yang tak pasti?

Aku mungkin terlalu berharap. Namun harapan itu, sepertinya belum berpihak padaku.

Lalu bagaimanakah akhirnya kisah ku bersama bang Agus, si penjual bakso keliling itu?

Apakah yang terjadi selanjutnya jika bang Agus datang?

Saksikan kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaachhh.

****

 Part 2 (Malam penuh kesan)

Bang Agus adalah seorang perantau. Orangtua dan adik-adiknya tinggal di kampung. Orangtua nya adalah seorang petani, yang hanya punya penghasilan pas-pasan.

Bang Agus di kota ini tinggal bersama pamannya, yang merupakan seorang pengusaha bakso. Dan bang Agus adalah salah seorang pekerjanya, yang menjajakan bakso tersebut berkeliling.

Setidaknya begitulah sedikit tentang hidupnya yang bang Agus pernah ceritakan padaku.

Namun terlepas dari apa pun latar belakang kehidupannya. Di mata ku bang Agus adalah sosok laki-laki sempurna. Dia adalah laki-laki terindah.

Aku mencintainya. Aku menyayanginya dengan sepenuh hatiku.

Namun menunggunya malam ini, hingga hampir jam sebelas malam, aku menjadi kian gelisah.

Aku ragu. Mungkinkah bang Agus serius dengan ucapannya sore tadi, untuk datang ke rumahku?

Atau ia hanya sekedar memberi harapan padaku?

Simak kelanjtan dari kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, selanjutnya ya ...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

Jam sebelas malam kurang lima menit. Bang Agus akhirnya datang.

"maaf, Wisnu. Saya terlambat." ucap bang Agus, sesaat setelah aku persilahkan ia masuk dan duduk di ruang tamu rumahku.

"tadi dagangan ku belum habis, jadi aku harus berkeliling lebih lama dari biasanya." bang Agus melanjutkan kalimatnya.

"gak apa-apa, bang." jawabku berusaha sesantai mungkin, berusaha menahan debaran yang bergejolak di dada ku.

"jadi gimana? Kamu udah siap untuk jujur, Wisnu?" tanya bang Agus kemudian.

Aku mengangguk ragu. Aku juga tidak yakin, akan berani untuk jujur tentang perasaanku pada bang Agus. Aku takut, kejujuran ku justru akan membuat bang Agus semakin jauh dari ku.

Namun aku memang harus mengatakan semuanya pada bang Agus. Selain karena aku sudah tidak bisa memendamnya lagi. Aku berpikir, mungkin inilah saatnya untuk aku bisa mengungkapkan perasaanku pada bang Agus.

Apa lagi saat ini, hanya kami berdua di rumah ini.

"aku gak tahu, kapan perasaan itu tumbuh, bang. Namun yang pasti sejak aku mengenal bang Agus, aku jadi sering memikirkan bang Agus. Aku selalu mengkhayalkan bang Agus setiap malamnya. Lalu kemudian aku sadar, kalau aku telah jatuh cinta kepada bang Agus."

"tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku cukup sadar, kalau bang Agus tidak mungkin punya perasaan yang sama denganku. Aku hanya bisa mencintai bang Agus dalam diam, tanpa berani untuk aku ungkapkan.." ucapku panjang lebar.

"lalu mengapa malam ini kamu berani mengungkapkannya?" tanya bang Agus.

"seperti kata bang Agus, kalau aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku harus jujur dengan perasaanku, dan aku harus jujur pada bang Agus. Karena jika tidak, aku tidak akan pernah tahu seperti apa perasaan bang Agus padaku." jawabku lugas.

Untuk sesaat suasana pun hening. Bang Agus terlihat menarik napas beberapa kali.

"bertahun-tahun aku berusaha untuk menghindari semua ini, Wisnu. Aku merantau ke kota, sebenarnya ingin menjauh dari orang yang aku cintai. Di kampung aku punya seorang kekasih. Namanya Alan. Dia seorang pemuda yang tampan namun lembut."

"aku dan Alan pacaran sudah hampir dua tahun. Ketika akhirnya Alan harus menerima perjodohannya dengan gadis pilihan orangtuanya." bang Agus memulai ceritanya.

"Alan adalah putra seorang juragan kaya di desa kami. Dia anak tunggal. Karena itu dia tidak bisa menolak keinginan orangtua nya tersebut. Namun meski pun Alan akhirnya menikah, kami tetap menjalin hubungan secara diam-diam."

"tapi kemudian, hubungan kami pun mulai di curigai oleh istri Alan. Karena itu kami pun sepakat untuk berpisah dan saling melupakan. Namun tidak mudah bagiku, karena aku terlalu mencintai Alan. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi dari kampung halaman ku."

"aku ingin belajar melupakan Alan. Aku ingin memulai hidupku yang baru. Aku ingin hidup sebagai mana layaknya seorang laki-laki. Tapi ternyata hal itu tidak mudah. Meski pun akhirnya aku bisa melupakan Alan, namun aku tidak bisa menolak pesona seorang laki-laki."

"saat pertama kali aku melihat kamu, Wisnu. Aku kembali merasakan getaran keindahan sebuah rasa. Sebuah rasa cinta yang telah lama tidak aku rasakan, semenjak aku berhasil melupakan Alan. Namun sejak aku mulai mengenal kamu, rasa cinta itu kembali tumbuh."

"aku berusaha memendamnya. Aku berusaha menutupinya. Aku takut jatuh cinta lagi pada laki-laki, karena pada akhirnya hubungan sesama laki-laki, tidak akan pernah berakhir dengan indah. Karena pada akhirnya, salah satu dari kita, harus menjalankan kodrat kita sebagai seorang laki-laki."

"dari awal, aku juga sudah tahu, kalau kamu menyukai ku, Wisnu. Namun karena trauma yang pernah aku rasakan di masa lalu, membuat ku berusaha untuk tidak menanggapi kehadiran mu. Aku tidak ingin lagi pacaran denga laki-laki."

"tapi kemudian aku sadar, cinta bukanlah sesuatu yang harus di sembunyikan, terlebih karena aku tahu kalau kamu juga menyukai ku. Karena itu, aku ingin kamu jujur, Wisnu. Bukan saja tentang perasaanmu padaku, tapi juga tentang harapan mu padaku untuk ke depannya."

Bang Agus mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku terdiam. Sungguh semua itu di luar dugaanku. Mungkin selama ini, aku bisa merasakan kalau bang Agus juga menyukai ku. Tapi aku tak pernah berpikir, kalau bang Agus punya cerita pahit di masa lalunya.

"aku mencintai, bang Agus. Terlepas dari apa pun yang pernah terjadi di masa lalu bang Agus. Dan aku berharap, jika kita memang saling mencintai, kelak hubungan kita tidak akan pernah berakhir, meski apa pun yang akan terjadi." ucapku akhirnya, setelah terdiam beberapa saat.

*****

"aku juga mencintai kamu, Wisnu. Dan aku juga berharap, hubungan kita tidak akan pernah berakhir nantinya. Tapi apa kamu yakin, akan menghabiskan sepanjang hidupmu untuk bersama ku?" bang Agus berucap dengan sambil menatapku tajam. Ia seperti mengharapkan sebuah kejujuran dariku.

"aku yakin, bang. Bagi ku cinta adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan. Jika aku sudah jatuh cinta, maka pantang bagi ku untuk memupusnya walau dengan alasan apa pun. Sejak aku mengerti cinta, aku selalu menanamkan keyakinan pada hatiku, bahwa hanya ada satu cinta yang akan aku pelihara, dan tidak akan mencintai siapa pun lagi, kecuali kekasihku." ucapku membalas penuh keyakinan.

"tapi bukankah hubungan seperti ini akan penuh resiko, Wisnu. Akan banyak tantangan yang harus kita hadapi ke depannya, terutama dari keluarga dan orang-orang di sekitar kita." ujar bang Agus.

"iya. Aku tahu, bang. Dan aku siap menghadapi itu semua. Aku siap kehilangan apa pun, jika itu adalah pengorbanan yang harus aku lakukan, untuk bisa bersama orang yang aku cintai." balasku yakin.

"namun tidak ada satu tempat pun yang bisa menerima hubungan seperti hubungan kita ini, Wisnu. Biar bagaimana pun, pada akhirnya kita memang harus menjalankan hidup sesuai dengan takdir dan kodrat kita sebagai seorang laki-laki." ucap bang Agus.

"jika kita memang saling mencintai, bang. Aku rasa kita tidak butuh tempat yang bisa menerima hubungan kita. Namun kita tetap bisa bersama, karena cinta itu tumbuhnya di hati, bang. Cinta bukan sesuatu yang harus di umbar. Biarkan cinta kita tetap hanya menjadi rahasia. Biarkan hubungan kita, hanya kita berdua yang tahu dan bisa merasakannya." balasku lagi.

"dan lagi pula, menurutku, kita tak perlu mencemaskan masa depan yang belum tentu terjadi, bang. Labih baik kita nikmati saja saat ini. Kita nikmati saja setiap kesempatan yang ada." ucapku melanjutkan.

"iya. Kamu benar, Wisnu. Mungkin karena aku pernah merasakan sakitnya berpisah dengan orang yang aku cintai, membuatku menjadi sedikit berlebihan dalam hal ini. Aku hanya tidak ingin merasakan rasa sakit itu lagi, Wisnu. Tapi aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa bersama orang yang aku cintai, yaitu kamu Wisnu." ucap bang Agus penuh perasaan.

Perlahan kami pun mendekat. Saling tatap. Lalu kemudian saling tersenyum penuh makna.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Agus pun menjalin hubungan asmara. Hampir setiap malam, bang Agus selalu datang ke rumahku, bahkan ia pun sering menginap di tempat ku.

Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan di cintai oleh orang yang aku cintai.

"aku bahagia, akhirnya bisa bersama kamu, Wisnu. Aku harap kamu tak akan pernah meninggalkan ku." bisik bang Agus suatu malam padaku.

"aku juga sangat bahagia, bang. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan bang Agus, walau dengan alasan apa pun." balasku ikut berbisik.

Cinta adalah sesuatu yang indah, ia hanya bisa dirasakan oleh dua hati yang telah menyatu.

Bang Agus begitu tampan, dia sangat gagah. Dan aku sangat mencintainya.

Namun mungkinkah hubungan kami dapat bertahan selamanya?

Mungkinkah cowok gagah si penjual bakso keliling itu bisa aku miliki selamanya?

Atau mungkin pada akhirnya hubungan kami harus berakhir?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaach...

****

Part 3 (Pertemuan di sawah)

Hubungan ku dengan bang Agus terus berjalan dengan indah. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Mencintai bang Agus adalah keindahan dan memilikinya adalah sebua anugerah bagi ku.

Berbulan-bulan bahkan hingga setahun lebih kami bersama. Hampir setiap malam kami menghabiskan waktu berdua, di rumah ku.

Bang Agus si penjual bakso keliling itu, sungguh mampu membuat ku terlena dengan cintanya yang  sempurna. Sesempurna lukisan maha karya keindaha dari raut wajahnya yang tampan, tubuhnya yang gagah dan atletis.

Aku begitu mengaguminya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tidak ingin melepaskannya, walau dengan alasan apa pun.

Aku hanya berharap, semoga cinta kami tetap utuh selamanya.

Namun biar bagaimana pun, hubungan seperti hubungan kami ini, akan selalu banyak batu sandungan yang akan menghalanginya.

Akan banyak rintangan yang harus kami hadapi.

Lalu mungkinkah kami akan tetap bertahan dengan segala rintangan tersebut?

Mampukah kami tetap bersama mempertahankan cinta kami?

Simak kelanjutan kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling selanjutnya ya..

Namun sebelumnya ... bla... bla...

*****

Bulan berganti, tahun pun berlalu, hingga sudah hampir dua tahun aku dan bang Agus menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan yang indah, meski hanya kami berdua yang tahu.

Kami menikmati setiap kebersamaan kami. Merajut kasih dengan penuh kemesraaan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami bisa bertahan selama itu. Selama dua tahun ini, hubungan kami baik-baik saja. Tanpa ada persoalan yang berarti.

Namun hubungan indah kami, pada akhirnya harus merasakan sebuah kepahitan.

Berawal dari bang Agus yang meminta izin padaku untuk pulang kampung selama beberapa hari.

"aku sudah lebih dari dua tahun tidak pulang kampung, Wisnu. Lagi pula aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sedang sakit parah saat ini, jadi aku harus pulang sekarang juga." ucap bang Agus.

"iya, bang. Aku ngerti. Abang juga gak harus minta izin seperti pada ku. Asalkan bang Agus kembali lagi kesini untukku, aku rela melepaskan bang Agus untuk pulang." balasku sendu.

Sebenarnya aku merasa sangat berat harus berpisah dengan bang Agus, meski hanya untuk sementara. Aku sudah terlanjur biasa melewati malam bersamanya. Aku pasti akan sangat merindukannya.

"aku pasti akan sangat merindukanmu, Wisnu." ucap bang Agus, seakan bisa membaca pikiranku.

"aku juga, bang." balasku lirih.

"tapi ini hanya untuk sementara, Wisnu. Hanya beberapa hari. Aku pasti akan kembali lagi kesini untukmu, Wisnu." ucap bang Agus parau.

"iya, bang. Aku juga pasti akan menunggu bang Agus di sini." balasku.

Beberapa saat kemudian, kami pun saling mendekat. Aku mendekap tubuh kekar bang Agus. Aku mendekapnya erat, seakan tak ingin melepaskannya.

Mungkin beberapa malam ke depan, bang Agus tak ada lagi disini. Aku pasti akan merasa kesepian. Karena itu, malam ini, aku tak ingin melewatkannya begitu saja. Aku ingin menghabiskan malam ini hanya berdua bersama bang Agus.

Menikmati setiap detik kebersamaan kami. Keindahan raga bang Agus, bagai sebuah ukiran maha karya yang sempurna. Setiap centinya. Setiap hembusan napasnya.\

Aku terlena dalam cinta yang begitu sempurna. Aku terbuai dalam lautan keindahan penuh warna.

Hingga pagi pun datang, meninggalkan kelamnya malam.

Dan aku merasa berat saat akhirnya aku harus melepas bang Agus untuk pergi meninggalkan ku pagi itu.

Entah mengapa aku merasa kalau kepergian bang Agus kali ini, akan terasa sangat lama bagiku.

Bahkan mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi.

****

Seminggu bang Agus pergi. Dia belum juga kembali.

Meski dia masih rutin memberi aku kabar melalui ponselnya. Dia mengabarkan kalau dia belum bisa pulang, karena penyakit ibunya semakian parah.

Aku mencoba bersabar menunggunya. Mencoba menjalani hari-hari sepi ku, tanpa bang Agus.

Namun hingga hampir sebulan, tiba-tiba aku kehilangan kontak dengannya. Nomor bang Agus tidak bisa aku hubungi lagi.

Aku merasa cemas, takut dan bimbang. Entah apa yang terjadi dengan bang Agus di kampung halamannya.

Mungkinkah dia baik-baik saja? bathin ku penuh tanya.

Dua bulan, tiga bulan dan hampir setengah tahun berlalu. Aku benar-benar kehilangan kabar dari bang Agus. Aku benar-benar telah kehilangan dia.

Karena penasaran, aku pun nekat untuk mendatangi desa bang Agus.

Dan setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh empat jam naik motor, aku pun sampai di desa bang Agus.

Aku bertanya kepada beberapa orang yang aku temui di jalan, untuk mengetahui di mana rumah bang Agus.

Hingga akhirnya aku bisa sampai di rumahnya.

"cari siapa?" tanya seorang wanita muda menyambut kedatangan ku di rumahnya.

"maaf, apa benar ini rumah bang Agus?" tanyaku ragu.

"iya, benar. Kamu siapa? Dan ada perlu apa dengan bang Agus?" tanya wanita itu lagi.

"saya... saya teman bang Agus ketika di kota dulu. Apa bang Agus ada di rumah?" balasku bertanya.

"oh.." wanita itu membulatkan bibir. "bang Agus sedang berada di sawah sekarang. Jika kamu gak keberatan kamu bisa nunggu di rumah." lanjut wanita itu.

"kira-kira bang Agus masih lama pulangnya?" tanyaku lagi.

"biasanya sih sore. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa susul dia ke sawah. Letaknya gak jauh kok dari sini, hanya sekitar satu kilo lagi." balas wanita itu.

"iya, gak apa-apa. Saya susul dia aja." ucapku kemudian memutuskan.

"tapi maaf, kalau boleh tahu, mbak ini siapa nya bang Agus?" lanjutku bertanya.

"saya istrinya. Kami baru menikah sekitar dua bulan yang lalu. Mungkin bang Agus belum cerita sama kamu." jelas wanita yang berparas cukup cantik itu.

Aku bagai mendengar suara petir siang itu. Sungguh tidak aku sangka kalau bang Agus telah menikah diam-diam, tanpa memberitahuku.

Dengan perasaan terluka aku pun pamit pada wanita itu.

Ingin rasanya saat itu aku menangis. Ingin rasanya aku segera kembali ke kota. Aku tak ingin menemui bang Agus lagi. Tapi aku butuh penjelasan.

Untuk itu, aku menuju sawah tempat bang Agus bekerja.

Sesampai di sana, bang Agus pun menyambutku dengan wajah penuh keterkejutan.

Aku yakin, dia tak menyangka kalau aku akan sampai ke kampungnya.

"Wisnu?" ucapnya, "kenapa kamu bisa sampai kesini?" tanyanya.

"itu gak penting, bang. Yang penting sekarang bang Agus harus menjelaskan semuanya padaku." ucapku dengan nada lemah.

"apa yang harus aku jelaskan, Wisnu?" tanya bang Agus.

"bang Agus gak usah pura-pura lagi. Aku sudah tahu kalau bang Agus sudah menikah." ucapku.

"aku tak masalah sebenarnya, kalau bang Agus menikah. Tapi kenapa bang Agus tak menceritakannya padaku. Bahkan bang Agus sengaja tak pernah menghubungiku, berbulan-bulan. Aku menunggu bang Agus dengan penuh harap, bang. Tapi kenyataannya bang Agus tak pernah kembali."

"dan saat aku nekat datang kesini, aku justru mendapatkan kabar yang sangat menyakitkan. Kenapa bang Agus setega itu padaku? Padahal bang Agus sendiri tahu, betapa aku sangat mencintai bang Agus. Dan bang Agus sendiri juga sudah berjanji, kalau abang pasti akan kembali untuk ku lagi." ucapku lagi dengan nada pilu.

"maafkan aku, Wisnu. Aku tak berdaya dengan semua ini. Aku terpaksa menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Itu merupakan permintaan terakhir dari ibuku, sebelum akhirnya beliau meninggal." ucap bang Agus membalas.

"tapi setidaknya abang bisa memberi aku kabar, bang. Bukan malah menghilang seperti ini." ucapku.

"aku takut memberi kabar padamu, Wisnu. Aku takut kamu kecewa." balas bang Agus.

"lalu apa abang pikir dengan begini, aku tidak kecewa?" tanya ku sedikit sengit.

"maaf, Wisnu. Aku tak berpikir kalau kamu akan nekat datang kesini. Aku pikir, kamu pasti akan bisa melupakanku, beriring berjalannya waktu." balas bang Agus.

"aku tak akan pernah bisa melupakan bang Agus. Sekali pun saat ini aku tahu, kalau bang Agus sudah menikah." ucap ku lugas.

"tapi kita sudah tidak mungkin bersama lagi, Wisnu. Maafkan aku untuk semua itu. Lebih baik kalau kita saling melupakan.." ucap bang Agus dengan nada lemah.

"andai saja bang Agus jujur dari awal padaku, aku mungkin tidak perlu sampai kesini, bang. Abang bisa saja menjelaskan semuanya padaku melalui handphone." ucapku berat.

Aku benar-benar tidak tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Sakit, kecewa, marah, benci dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatiku.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada.

"sekali lagi aku minta maaf, Wisnu. Aku minta maaf untuk semuanya..." bang Agus berucap pelan.

"kamu boleh marah padaku, Wisnu. Kamu boleh membenciku. Tapi aku hanya manusia biasa, Wisnu. Aku juga tak berdaya menghadapi ini semua." lanjutnya.

Aku tidak tahu, apa aku harus marah pada bang Agus? Atau aku harus membencinya?

Semua tanya itu tak pernah bisa aku jawab.

Aku dan bang Agus memang saling mencintai. Tapi takdir dan kodrat, tidak akan pernah membiarkan kami menyatu.

Pada akhirnya aku hanya bisa merelakan. Merelakan orang yang aku cintai hidup bersama orang lain. Dan itu adalah tingkat tertinggi dari mencintai.

Aku pun pergi meninggalkan bang Agus, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Aku ingin segera kembali ke kota. Aku ingin melanjutkah hidupku lagi, meski tanpa bang Agus.

Bang Agus hanyalah serpihan dari kisah masa lalu ku. Dia hanya tinggal kenangan sekarang. Dan aku harus bisa melupakannya.

Setidaknya aku pernah merasakan bagaimana rasanya di cintai oleh orang yang aku cintai. Setidaknya aku pernah hidup bersama orang yang aku cintai.

Bang Agus, si penjual bakso keliling itu, akan tetap menjadi salah satu cerita termanis dalam perjalanan hidupku.

Demikian kisahku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaaachhh..

****

Suami kakak ipar ku yang gagah

Nama ku Roy (bukan nama sebenarnya).

Dan ini adalah kisah ku.

Kisah ku bersama suami kakak ipar ku yang tampan dan gagah.

Seperti apakah kisah ku ini terjadi?

Silahkan simak kisah ini dari awal sampai akhir ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

****

Sebagai seorang anak bungsu dan merupakan anak laki-laki satu-satunya dari kami empat bersaudara, aku memang sedikit di manja oleh orang tua ku.

Aku tumbuh dalam asuhan seorang ibu dan tiga orang kakak perempuan.

Sementara ayah ku sudah meninggal pada saat aku masih berusia empat tahun.

Tumbuh dan besar tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah, membuatku jadi sering merindukan sosok seorang laki-laki dewasa.

Aku tak punya figur panutan seorang laki-laki dalam hidup ku. Setiap hari aku hanya berkumpul dengan ibu dan kakak-kakak perempuan ku.

Aku besar dan tumbuh dengan tetap merindukan sosok seorang ayah. Aku selalu penasaran, seperti apa rasanya dekapan hangat seorang ayah.

Dan semua itu ternyata membuat aku selalu merasa kagumk kepada laki-laki dewasa yang aku temui dalam perjalanan hidupku.

Mulai dari rasa kagum ku kepada seorang guru olahraga ku, ketika aku SMP. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga waktu itu. Hal itu terus berkembang menjadi sebuah rasa ketertarikan. Dan untuk pertama kalinya aku mernyadari, kalau aku telah jatuh cinta kepada guru olah raga ku itu.

Cinta pertama ku. Karena aku tidak punya sosok laki-laki lain dalam hidup ku, untuk aku jadikan panutan. Dan guru olah raga ku itulah yang menjadi sosok imajinasi ku mengiringi pertumbuhan ku dari seorang anak-anak menjadi seorang remaja.

Menyadari bahwa hal itu adalah sebuah kesalahan, aku pun hanya bisa memendamnya. Aku hanya bisa menjadi kan guru olahraga ku itu, sebagai sosok kekasih dalam khayalan ku.

Dan waktu pun terus bergulir. Aku lulus dari SMP, dan perlahan rasa cinta ku kepada guru olahraga ku itu, pun memudar. Karena aku tidak punya harapan sedikit pun, untuk bisa memilikinya.

Saat SMA, aku pun jatuh cinta kepada salah seorang kakak kelas ku. Seorang laki-laki. Gagah dan tampan. Namun sekali lagi, aku hanya bisa memendamnya.

Mengaguminya dalam diam, menjadikan sosok kekasih dalam dunia khayal ku. Hingga aku lulus SMA.

Ketika aku memasuki perguruan tinggi, aku pun sekali lagi, harus jatuh cinta kepada salah seorang dosen ku. Tapi tetap saja, itu hanya cinta yang tak pernah terucap.

Kadang aku membenci semua itu. Aku membenci diri ku yang itu.

Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai seorang laki-laki yang punya ketertarikan kepada sesama jenis. Tidak pernah.

Namun aku juga tidak melawan itu semua. Semua rasa itu tumbuh begitu saja. Tanpa pernah aku rencanakan, tanpa pernah aku inginkan dan tanpa pernah bisa aku cegah.

Sebagai seorang laki-laki, aku tetap berusaha menjalani kehidupan ku sebagaimana seorang laki-laki pada umumnya.

Aku pacaran dengan perempuan, meski pun aku justru mencintai laki-laki.

Aku menjalin hubungan dengan perempuan, hanya untuk menutupi bagian dari diri ku yang menyukai laki-laki.

Aku pacaran dengan perempuan, bukan karena aku menyukainya, tapi karena itu adalah tuntutan kenyataan yang tak bisa aku hindari.

Bahkan akhirnya, ketika sudah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan sebagai seorang karyawan di sebuah bank swasta, aku pun memutuskan untuk menikah.

Sekali lagi, aku menikah bukan karena aku mencintai istriku, tapi karena aku butuh status dan juga karena aku ingin mengubur dalam-dalam bagian dari diriku yang menyukai laki-laki.

Mulanya semua berjalan dengan baik. Aku dan istriku, Lena, hidup dengan bahagia.

Meski setelah menikah selama hampir dua tahun, kami belum juga memiliki anak.

****

Istriku, Lena, punya seorang kakak perempuan, bernama Leni. Mereka dua saudara, hanya beda dua tahun.

Leni, kakak istriku itu, punya seorang suami dan juga sudah punya dua orang anak.

Suami kak Leni, yang bernama mas Jamal itu, hanyalah seorang buruh di sebuah pabrik, sedangkan kak Leni sendiri hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Kehidupan mereka secara ekonomi memang masih belum mapan.

Mereka masih tinggal di sebuah rumah kontrakan. Namun keluarga mereka terlihat bahagia.

Orangtua istriku sudah lama meninggal. Dan itu merupakan salah satu alasan ku, untuk menikahi Lena, istri ku itu. Aku merasa kasihan melihat kehidupan mereka.

Setelah orangtuanya meninggal, Lena tinggal bersama kakaknya di rumah kontrakan itu.

Dan setelah menikah dengan ku, Lena pun tinggal bersama ku, di rumah yang aku beli atas usaha ku selama bertahun-tahun.

Saat ini, aku sudah berusia 28 tahun, sedangkan Lena sudah berusia 25 tahun. Sementara kak Leni, kakak istriku itu sudah berusia 27 tahun. Dan suaminya, mas Jamal, sudah berusia 30 tahun.

Kak Leni dan mas Jamal sudah menikah selama hampir enam tahun. Dan anak pertama mereka saat ini sudah berusia lima tahun, sedangkan anak kedua mereka baru berusia satu tahun.

Aku dan keluarga kak Leni memang sudah cukup dekat. Apa lagi pernikahan kami yang belum di karuniai anak, membuat aku dan istriku jadi sering mengunjungi keluarga kak Leni dan mas Jamal.

Mas Jamal adalah sosok laki-laki yang baik, tampan dan juga berpostur tubuh yang gagah.

Sejak awal mengenal mas Jamal, aku memang sudah mengaguminya. Namun aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Aku lebih berfokus pada istri ku.

Tapi lama kelamaan, perasaan kagum itu kian tumbuh semakin besar di hatiku. Aku jadi sering mengkhayalkan sosok mas Jamal. Aku jadi sering memikirkannya.

Kerinduanku akan sosok seorang laki-laki muncul kembali. Bagian dari diriku yang telah berusaha aku kubur itu, kini seakan memberontak untuk keluar.

Aku tak mampu lagi melawannya. Aku biarkan rasa itu berkembang di hati ku. Aku nikmati indahnya jatuh cinta lagi.

Dan dari situlah semuanya berawal.

****

Karena sudah terlanjur jatuh cinta kepada mas Jamal, aku jadi semakin sering mengunjungi keluarga mereka, dengan bahkan tanpa istri ku.

Berbagai alasan yang aku berikan, untuk bisa sekedar melihat mas Jamal.

Menatap senyumnya yang manis, wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang gagah.

Mas Jamal benar-benar sosok laki-laki sempurna. Dan aku semakin tergila-gila padanya.

Hingga pada suatu kesempatan. Aku akhirnya bisa berbicara berdua bersama mas Jamal.

Sore itu, aku sengaja datang ke rumahnya. Saat aku tahu, kalau kak Leni dan anak-anaknya sedang berada di rumah ku bersama istriku.

"gimana kabarnya, mas?" tanya ku mengawali pembicaraan kami, sekedar berbasa-basi.

"yah, beginilah, Roy. Hidup sebagai seorang buruh, sering merasa capek. Tapi harus tetap dinikmati kan?" balas mas Jamal.

"iya, mas. Bukankah setiap pekerjaan itu, selalu ada enak dan tidak enaknya." ucap ku sok bijak.

Mas Jamal hanya mengangguk ringan. Entah ia setuju atau tidak dengan pendapat ku tersebut.

"tapi ngomong-ngomong, bukannya istri dan anak-anak ku ada di rumah mu? Tapi kamu kok malah kesini?" tanya mas Jamal tiba-tiba.

"aku kesini justru mau bertemu sama mas Jamal.." jawabku spontan.

"bertemu saya? Ada apa?" mas Jamal mengerutkan kening.

"gak ada apa-apa sih, mas. Cuma mau ngobrol berdua aja sama mas Jamal." jawabku berusaha sesantai mungkin.

"kamu mau ngobrol tentang apa?" tanya mas Jamal lagi.

"tentang apa aja, mas. Yang penting aku bisa bersama mas Jamal malam ini.." balas ku.

"maksud kamu?" tanya mas Jamal terlihat sedikit bingung.

"bukan apa-apa, mas. Aku hanya asal ngomong. Lupakan saja.." balas ku ragu.

"kamu kalau mau ngomong sesuatu ngomong aja, Roy. Gak usah pake teka-teki seperti itu. Aku gak paham.." timpal mas Jamal.

"belum saatnya aku untuk ngomong, mas. Aku masih takut." balas ku lemah.

"kalau begitu, untuk apa kamu ke sini?" tanya mas Jamal, "atau kamu ingin cerita tentang pernikahan kalian yang belum mempunyai anak itu?" lanjutnya bertanya.

"bukan itu juga sih, mas. Itu tidak terlalu aku pikirkan saat ini." pungkas ku cepat.

"lalu apa yang kamu pikirkan saat ini?" tanya mas Jamal lagi.

"kamu, mas." jawabku repleks tanpa sadar.

"maksud kamu?" tanya mas Jamal terlihat bingung lagi.

Aku menarik napas berkali-kali. Aku memang sudah bertekad untuk mengatakan semuanya kepada mas Jamal. Tak peduli apa pun resikonya. Tak peduli apa pun penilaian mas Jamal pada ku nantinya.

Selama ini aku selalu jatuh cinta pada laki-laki, dan aku selalu tidak pernah berani untuk mengungkapkannya.

Namun kali ini, aku ingin mengungkapkannya. Setidaknya sekali dalam hidupku, aku bisa lebih jujur tentang perasaanku.

"aku pengen ngomong sama mas Jamal. Tapi mas Jamal harus janji, untuk tidak marah padaku." ucapku akhirnya.

"selama ini, kamu sudah sangat banyak membantu keluarga ku, Roy. Jadi aku rasa aku tidak punya alasan untuk marah sama kamu." balas mas Jamal.

Aku memang selalu membantu keluarga mas Jamal, terutama soal keuangan. Bahkan hingga saat ini, mas Jamal masih punya hutang padaku. Ia meminjam uang padaku, pada saat istrinya melahirkan anak kedua mereka.

"tapi apa yang ingin aku katakan ini, agak sedikit sensitif, mas." ujarku pelan.

"kamu katakan saja, Roy. Aku janji gak bakal marah." timpal mas Jamal.

"sebenarnya... sebenarnya... sudah sejak lama aku menaruh hati pada mas Jamal." ucapku akhirnya dengan sedikit terbata.

Mas Jamal menatapku, ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan.

"maksud kamu? Kamu ini seorang penyuka sesama jenis?" tanya mas Jamal dengan nada ragu.

"boleh di bilang begitu, mas. Tapi seumur hidup aku belum pernah pacaran dengan laki-laki. Aku hanya sekedar jatuh cinta dan hanya bisa memendamnya." jelas ku cepat.

"berarti kamu tidak mencintai Lena, istrimu itu? Lalu mengapa kamu menikahinya?" tanya mas Jamal beruntun.

"itu gak penting, mas. Yang penting saat ini, aku kembali merasakan jatuh cinta sejak mengenal mas Jamal. Meski pun selama ini aku tidak pernah berani untuk mengungkapkan perasaan ku kepada setiap laki-laki yang membuat aku jatuh cinta, tapi kali ini aku harus mengungkapkannya, mas. Aku tidak mau lagi terjebak dalam cinta yang tak pernah terucap." balas ku penjang lebar.

"meski pun resikonya mungkin mas Jamal akan membenci ku atau bahkan merendahkan ku.." lanjutku lagi.

"aku tidak akan membenci mu, Roy. Atau pun merendahkan mu. Hanya saja untuk selanjutnya, kami gak usah datang lagi ke sini.." ucap mas Jamal sedikit tegas.

Aku menghempaskan napas. Aku tahu ini bakal terjadi, tapi tetap saja aku merasa tidak siap menerimanya.

Lalu apakah yang terjadi selanjutnya?

Mungkinkah aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan mas Jamal?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya.. atau bisa langsung klik linknya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.. muaachhh..

****

Part 2 

Aku menghempas berat berkali-kali, berusaha mengusir bayangan yang terus melintas di benakku.

Aku memejamkan mata, namun bayangan itu terus menghantuiku.

Aku tak bisa melupakan kejadian sore itu bersama mas Jamal. Kejadian yang ingin aku hapus dari ingatanku.

Entah apa yang merasuki ku, sampai aku begitu nekatnya untuk berbicara jujur kepada mas Jamal tentang perasaanku padanya.

Yang membuat mas Jamal akhirnya menjauhi ku. Ia selalu menghindari ku. Setiap kali aku datang ke rumahnya, ia selalu pergi dengan berbagai alasan.

Lalu mungkinkah aku bisa mendapatkan mas Jamal?

Mungkinkah aku bisa memilikinya, sementara ia sudah terlanjur tidak menyukai ku?

Bagaimanakah kelanjutan kisah ku ini?

Silahkan simak video ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla.. bla...

*****

"kak Leni mau pinjam uang, mas. Ia butuh untuk biaya berobat anaknya..." suara istriku berat.

"pinjam uang lagi?" tanyaku, "bukankah hutangnya yang dulu belum terbayar?" lanjutku.

"iya, mas. Aku tahu. Tapi kasihan kak Leni loh, mas. Kasihan anaknya juga." ucap istri ku lagi.

"kan ia punya suami, Lena. Mas Jamal kan juga punya kerja. Masa' iya mereka gak punya uang sedikit pun?" ucapku lugas.

"gaji mas Jamal sebagai buruh pabrik itu tidak seberapa, mas. Untuk makan aja mereka masih kekurangan." jelas istriku.

"tapi gak selamanya juga kan, Lena. Mereka menggantung hidup kepada kita. Kita juga punya kebutuhan." balasku.

"iya, mas. Aku ngerti. Tapi bantulah mereka sekali ini lagi, mas.." suara istri ku lemah.

Aku diam. Berpikir.

Mas Jamal selalu menghindariku akhir-akhir ini. Dan sekarang tiba-tiba saja ia ingin meminjam uang padaku. Aku tidak bisa terima. Hidup ini harus adil. Dan aku punya cara agar hal ini terasa adil bagiku.

"aku akan pinjamkan uang kepada mereka. Tapi harus mas Jamal sendiri yang datang menemui ku." ucapku akhirnya dengan nada tegas.

"kenapa harus seperti itu, mas?" tanya istriku.

"udah. Kamu gak usah banyak tanya. Lebih baik sampaikan saja hal ini pada mas Jamal. Kalau mereka memang mau mendapatkan pinjaman dariku lagi." balasku masih dengan nada tegas.

Istriku pun tidak berkata apa-apa lagi. Dan aku tersenyum penuh kemenangan.

*****

Mas Jamal akhirnya menemui ku. Sendiri. Di rumahku.

Istriku dan kak Leni, istrinya mas Jamal, sedang berada di rumah sakit menjaga anaknya yang sedang sakit.

"langsung aja ya, mas Jamal. Aku akan meminjamkan uang kepada mas Jamal sebanyak apa pun yang mas Jamal butuhkan. Tapi dengan syarat, mas Jamal harus memenuhi keinginanku." ucapku berusaha setegas mungkin.

"apa yang kamu inginkan dari ku, Roy?" tanya mas Jamal.

"mas Jamal tahu persis apa yang aku inginkan dari mas Jamal." ucapku tegas lagi.

"tapi aku gak bis, Roy. Aku gak mungkin memenuhi keinginanmu yang itu. Kamu boleh minta apa saja dari ku, Roy. Tapi jangan yang itu." suara mas Jamal memelas.

"maaf, mas Jamal. Aku tidak punya keinginan lain pada mas Jamal. Aku hanya menginginkan mas Jamal. Dan jangan harap aku akan meminjamkan uang kepada mas Jamal, kalau mas Jamal masih menolak." ucapku lagi.

Kali ini mas Jamal terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"oke. Aku mau. Tapi aku juga punya syarat.." ucap mas Jamal akhirnya.

"apa syaratnya?" tanyaku.

"aku ingin semua hutangku sama kamu selama ini lunas. Dan uang yang akan aku terima nantinya bukan lagi sebagai hutang, tapi itu adalah upah untuk aku karena telah memenuhi keinginan mu." ucap mas Jamal tegas.

"hutang mas Jamal padaku cukup banyak. Dan uang yang mas Jamal butuhkan saat ini juga cukup banyak. Aku rasa itu tidak cukup adil bagiku." timpalku.

"kecuali... kalau mas Jamal bersedia menjadi kekasihku selamanya.." lanjutku.

"aku akan penuhi semua keinginan kamu, Roy. Aku akan lakukan apa pun yang kamu inginkan dariku. Sampai kapan pun, sampai kamu merasa bosan." balas mas Jamal yakin.

"dan aku rasa itu cukup adil bagi kita berdua.." lanjutnya.

Aku terdiam. Berpikir keras.

Aku memang sangat mencintai mas Jamal. Dan aku sangat menginginkannya. Aku juga ingin merasakan hal tersebut bersama laki-laki yang aku cintai.

Aku belum pernah merasakannya dengan laki-laki, dan itu membuat aku penasaran.

Jika dengan mengorbankan sedikit uang, untuk aku bisa merasakan hal tersebut, aku rasa tidak ada salahnya.

Meski pun sebenarnya itu bukanlah hal yang aku inginkan. Karena yang aku inginkan adalah mas Jamal menerima ku, atas dasar suka sama suka. Bukan karena terpaksa atau di bayar.

Tapi aku sudah terlanjut jatuh cinta padanya. Mas Jamal juga sudah terlanjur mengetahui semua tentang diriku yang sebenarnya. Jadi lebih baik aku terima saja tawaran mas Jamal.

Dan aku berharap, suatu saat nanti mas Jamal bisa membuka hatinya untukku.

****

"uang sudah aku transfer.." ucapku, setelah aku mentransfer sejumlah uang ke rekening mas Jamal melalui internet banking di hp android ku.

"silahkan hubungi istri mas Jamal, untuk memastikannya." lanjut ku lagi.

"oke. Aku percaya sama kamu. Aku sudah kirim kan pesan pada istriku, untuk segera melakukan pembayaran ke rumah sakit. Lalu apa sekarang?" balas mas Jamal.

"apa yang harus aku lakukan selanjutnya untuk kamu?" tanyanya lagi meyakinkan.

Aku terdiam sejenak. Berpikir.

"aku tidak ingin melakukannya di rumah ku. Aku takut, nanti istriku pulang. Jadi sekarang juga kita harus segera menuju hotel." ucapku akhirnya.

"hotel?" tanya mas Jamal dengan kening berkerut.

"iya. Disana kita lebih aman. Jadi sekalian mas Jamal sampaikan sama istrinya, kalau malam ini mas Jamal gak pulang." balas ku lugas.

Mas Jamal mengikuti perintahku. Dan kami pun bersiap-siap untuk segera berangkat menuju hotel terdekat.

Sesampai di hotel, aku segera memesan sebuah kamar untuk kami berdua. Aku benar-benar tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut.

Setelah mendapatkan sebuah kamar, kami pun segera naik ke lantai atas, menuju kamar tersebut.

Sesampai di dalam kamar, aku menjadi semakin berdebar-debar. Perasaanku campur aduk.

Aku belum pernah melakukan hal ini sebelumnya. Aku tak pernah punya kesempatan untuk bisa bersama laki-laki yang aku cintai.

Tapi saat ini, aku punya kesempatan untuk bisa memiliki laki-laki yang aku cintai, meski ini hanya keinginan diriku sendiri, bukan keinginan mas Jamal.

Namun bagiku itu semua sudah tidak penting lagi. Apa pun cara dan alasannya, yang penting saat ini aku bisa bersama mas Jamal.

"aku benar-benar tidak mengerti apa yang harus aku lakukan, Roy." ucap mas Jamal, saat itu kami sudah duduk di sisi ranjang hotel.

"aku juga belum pernah melakukan hal ini, mas. Tapi aku sudah pernah nonton video ini. Hal ini sama saja seperti mas Jamal melakukannya dengan istri mas Jamal, hanya saja tempat dan arahnya berbeda." ucapku membalas.

"kamu yakin akan hal ini, Roy?" tanya mas Jamal kemudian.

"aku yakin, mas. Sudah sangat lama aku menginginkan hal ini." jawabku yakin.

"ya udah, kamu mulai aja, Roy. Aku akan berinprovisasi untuk hal ini.." ucap mas Jamal akhirnya.

Dan  dengan mengumpulkan segenap keberanianku, aku pun memulainya.

Memulainya dari hal yang sederhana. Mengikuti naluriku.  Naluriku sebagai seorang laki-laki yang mencintai mas Jamal.

Mas Jamal adalah lukisan maha karya yang indah. Dan aku adalah pengagumnya.

Aku curahkan segala rasa ku padanya. Tak ingin aku lewati malam ini dengan sia-sia.

Bersama mas Jamal adalah keindahan. Menyatu dengannya adalah anugerah terindah bagiku.

Tak peduli mas Jamal menerimanya dengan perasaan atau tidak, yang penting bagiku aku bisa memilikinya.

Dan senyum kelegaan pun tersirat di wajahku yang tak menutupi rasa bahagia di hatiku.

Akhirnya aku bisa merasakan hal tersebut. Merasakan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalan ku.

Tak terlukis bahagia ku malam ini. Tak ada satu kata indah pun yang bisa mewakili perasaan ku saat ini.

Semua ini lebih dari sekedar indah. Bahkan berlipat-lipat lebih indah dari khayalanku.

*****

Dan sejak saat itu, aku dan mas Jamal pun menjalin hubungan asmara. Hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu.

Aku selalu berusaha untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Aku dan mas Jamal selalu mengatur waktu dan tempat yang tepat, agar kami bisa berdua.

Cinta ku kepada mas Jamal semakin besar dan dalam. Meski aku tahu, mas Jamal melakukannya, hanya karena terpaksa.

Namun aku yakin, suatu saat nanti mas Jamal pasti akan membuka hatinya untukku.

Suatu saat nanti ia pasti akan melakukannya dengan sepenuh hati. Tanpa merasa terpaksa, dan tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Dan begitulah hubungan kami terjalin. Meski pun ini belum berakhir.

Akan ada begitu banyak kejadian, yang akan terjadi selama hubungan kami.

Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut saat ini.

Saat ini aku hanya ingin menikmati kebersamaanku dengan mas Jamal, suami kakak iparku tersebut.

Mas Jamal yang tampan dan gagah.

Tapi mungkinkah hubungan rahasia kami tersebut, akan bertahan selamanya?

Dan mungkinkah mas Jamal bisa membuka hatinya untukku pada akhirnya?

Lalu seberapa lama sebenarnya hubungan kami akan bertahan?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai. Semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.. muaachhh..

****

Part 3

Berbulan-bulan bahkan hingga hampir setahun berlalu. Hubungan ku dengan mas Jamal masih terus terjalin.

Dan pada akhirnya mas Jamal pun membuka hatinya untuk ku. Dia berhubungan dengan ku, bukan lagi karena dia punya hutang padaku, tapi lebih karena dia juga menginginkan hal tersebut.

Aku sebenarnya merasa bahagia dengan semua itu. Aku mencintai mas Jamal. Namun jujur saja ada rasa bersalah dalam diriku, untuk istriku dan juga untuk kakak iparku.

Tapi terkadang cinta mampu mengalahkan segalanya. Cinta mampu membuat kita melupakan logika.

Hingga aku memilih untuk tetap mempertahankan hubunganku bersama mas Jamal.

Lalu bagaimanakah akhir dari kisah kami?

Mampukah kami tetap menjaga rahasia tersebut?

Sementara para istri kami sudah mulai mencurigai kedekatan kami.

Simak kelanjutan kisah ini ya..

Namun sebelumnya bla... bla....

*****

"aku mencintai kamu, Roy. Dan itu yang aku rasakan setelah berbulan-bulan kita bersama." ucap mas Jamal suatu malam padaku, ketika untuk kesekian kalinya kami bertemu di sebuah kamar hotel.

"aku juga mencintai, mas Jamal." balas ku lugas.

"lalu sampai kapan kita akan seperti ini, Roy?" tanya mas Jamal tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat kami sempat terdiam.

"maksud, mas Jamal?" tanya ku sedikit heran.

"kamu juga tahu, kalau hubungan kita ini adalah sebuah kesalahan, Roy. Kamu juga tahu, kalau kita juga sudah menikah, dan bahkan aku sudah punya dua orang anak." balas mas Jamal terdengar serius.

"kita gak mungkin selamanya seperti ini, Roy. Apa lagi saat ini, istri ku sering bertanya, kenapa aku sering tidak pulang ke rumah. Aku tak punya alasan lagi, Roy. Aku tak bisa selamanya terus membohongi istriku." lanjut mas Jamal.

Untuk sesaat aku terdiam. Apa yang mas Jamal katakan barusan, memang benar adanya. Istri ku juga sebenarnya sudah sering bertanya, kenapa aku lebih sering menginap di luar.

Tapi jujur saja, aku tidak ingin semua ini berakhir. Aku sangat mencintai mas Jamal. Aku selalu ingin bersamanya. Meski pun aku tahu dia adalah suami kakak iparku.

"lalu mas Jamal mau nya gimana?" tanya ku akhirnya, seperti kehabisan kata-kata.

"aku juga gak tahu, Roy. Kamu yang memulai semua ini. Aku ingin kamu juga yang akan memutuskan apa yang harus kita lakukan ke depannya." balas mas Jamal terdengar lemah.

"aku tidak ingin mengakhiri ini, mas. Aku sangat mencintai mas Jamal." ucapku yakin.

"tapi aku tidak bisa lagi melanjutkan ini, Roy. Aku tak sanggup lagi. Meski jujur saja, aku juga merasa berat harus berpisah dari kamu, Roy." balas mas Jamal.

"kalau begitu, bagaimana kalau kita pisah saja dari istri kita masing-masing, mas. Lalu kita hidup bersama selamanya." tawarku tiba-tiba, meski aku sendiri merasa ragu dengan tawaranku sendiri.

"itu bukan pilihan, Roy. Aku gak mungkin meninggalkan anak-anak dan istriku. Meski pun aku mencintai kamu, tapi aku masih sangat menyayangi keluarga ku." balas mas Jamal.

Aku terdiam kembali. Cinta memang rumit. Namun lebih rumit lagi, jika cinta yang tumbuh justru kepada orang yang salah.

Andai aku bisa hidup satu kali lagi, aku hanya ingin hidup bersama mas Jamal. Tanpa batas. Tanpa ada dinding yang menghalangi cinta kami.

Namun saat ini, aku tak bisa berbuat apa-apa, untuk mempertahankan orang yang aku cintai.

Meski pun kami saling mencintai, namun pada akhirnya semua memang harus berakhir.

Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa kami hindari.

****

Waktu masih terus bergulir. Hidup masih terus berjalan.

Untuk saat ini, aku dan mas Jamal memang tidak punya pilihan lain. Kami masih terus bersama, meski pun kebersamaan kami tidak lagi seperti dulu.

Kami tidak pernah lagi menginap. Kami hanya bertemu beberapa jam, saling melepas rindu, lalu kemudian kami pun harus kembali ke kehidupan kami yang lain.

Dan jadwal pertemuan kami pun semakin jarang. Semua itu untuk menghindari kecurigaan istri-istri kami. Biar bagaimana pun, kami punya kehidupan lain yang harus kami jalani.

Dan waktu untuk kami bersama terasa kian sempit bagiku. Sangat terbatas. Dan hal itu benar-benar membuat aku tidak nyaman. Aku menjadi dilema.

Antara bertahan dengan hubungan terlarang ku bersama mas Jamal, atau melepaskannya untuk menjalani kehidupan yang tak pernah aku inginkan.

Aku memang menikah dengan istri ku bukan karena aku mencintainya. Tapi aku hanya mencoba menjalani kodrat ku sebagai seorang laki-laki. Namun keterikatan itu ternyata justru menyiksa ku.

Dan mungkin juga menyiksa perasaan istriku.

Apa lagi setelah bertahun-tahun pernikahan kami, kami belum juga di karuniai anak.

Kadang aku berpikir untuk mengakhiri saja pernikahan ku dan memilih jalan ku sendiri. Membebaskan istri ku dari keterikatannya padaku.

Membiarkannya hidup dengan orang yang benar-benar mencintainya, lalu mendapatkan keturunan.

Namun itu bukanlah pilihan yang mudah bagiku. Banyak yang harus aku pertimbangkan.

Sampai akhirnya pada suatu malam, seperti biasa aku bertemu kembali dengan mas Jamal, setelah hampir seminggu ini kami tidak bertemu.

"aku ingin kamu melupakan ku, Roy." ucap mas Jamal dengan suara serak.

Aku menatap wajah tampan itu. Wajah itu terlihat serius, meski ada mendung dari sisi matanya yang teduh itu.

"aku mungkin tidak bisa melupakan mas Jamal. Tapi jika mas Jamal meminta ku untuk menjauh, aku akan mencobanya, mas. Meski itu sangat berat bagiku." timpal ku akhirnya.

"aku juga berat harus berpisah dari mu, Roy. Tapi aku harus memilih. Aku tak mungkin terus melanjutkan hubungan ini. Lebih baik kita akhiri saja semuanya, sebelum semuanya lebih terlambat lagi." ucap mas Jamal lirih.

"iya, aku ngerti, mas. Aku juga tidak akan memaksa mas Jamal untuk terus bersamaku. Aku cukup sadar diri.." balasku pilu.

"aku harap ini adalah kali terakhir kita bertemu seperti ini, Roy. Selepasnya kita adalah keluarga. Biar bagaimana pun kamu adalah suami adik iparku dan aku adalah suami kakak ipar mu. Hubungan kita cukup sampai di situ, Roy." ujar mas Jamal, suaranya semakin serak.

"aku minta maaf, Roy. Aku minta maaf untuk semuanya. Dan terima kasih atas segala cinta yang telah engkau persembahkan untukku selama ini. Terima kasih untuk segala kenangan indah yang telah engkau ciptakan selama kita bersama. Kamu adalah hal terindah yang pernah hadir dalam perjalanan hidupku, Roy..." suara mas Jamal kian serak.

Aku melihat genangan di matanya. Dan sesaat kemudian, setetes air mata pun jatuh di pipinya.

"seandainya saja kita tidak sejenis, Roy. Mungkin aku akan rela meninggalkan kelurgaku demi untuk hidup bersama kamu. Seandainya saja kita bisa menjadi mungkin, aku tak akan pernah meninggalkan kamu, Roy.." lanjut mas Jamal berucap, sambil ia mengusap pipinya sendiri.

"aku yang harusnya minta maaf, mas. Aku yang memulai semua ini. Seandainya saja aku tidak memaksa mas Jamal waktu itu. Mungkin semua ini tidak perlu terjadi." ucapku akhirnya.

"dan aku juga sangat berterima kasih padamu, mas. Kamu telah mengukir cerita yang begitu indah di antara kita. Mas Jamal adalah anugerah terindah yang pernah aku miliki. Aku tak akan pernah melupakan mas Jamal. Selamanya...." lanjut ku lagi.

Dan aku tidak bisa membendung air mata ku yang tiba-tiba saja jatuh di pipi ku.

Perpisahan memang selalu terasa berat. Terlalu menyakitkan.

Namun tingkat tertinggi dari mencintai adalah melepaskan.

Melepaskan orang yang kita cintai, hidup dengan pilihannya sendiri.

****

Hari-hari selanjutnya kiah terasa berat bagiku. Rasanya hampa.

Aku kehilangan sebagian dari semangat hidupku.

Meski pun aku masih bisa bertemu mas Jamal, tapi hanya sebatas hubungan keluarga.

Dan aku merasa semakin sakit dengan semua itu.

Mungkin akan lebih baik, kalau aku tidak pernah bertemu mas Jamal lagi.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk menceraikan istriku. Bukan saja, karena aku ingin membebaskan istriku dari keterikatannya denganku, tapi juga karena aku ingin menghindari pertemuanku dengan mas Jamal.

Selain itu, aku juga merasa, kalau aku mungkin lebih baik hidup sendiri.

Dan begitulah akhir dari kisah ku bersama mas Jamal, suami kakak iparku itu.

Sebuah kisah yang tidak akan pernah aku lupakan dalam perjalanan hidupku.

Pada akhirnya aku harus merelakannya. Dan pada akhirnya aku juga harus melepaskan istri ku.

Aku kehilangan keduanya. Namun itu adalah pilihanku.

Aku harus merelakan semua itu. Dan aku akan memulai hidupku yang baru. Hidupku yang sesungguhnya. Tanpa topeng.

Demikian kisah ku bersama suami kakak iparku.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai, semoga terhibur dan semoga ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sederhana ini.

Sampai jumpa lagi di cerita-cerita selanjutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.. Muaachh...

****

Selesai...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate