Tampilkan postingan dengan label kisah sedih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah sedih. Tampilkan semua postingan

Bersama abang kuli bangunan

Nama ku Annisa. Aku tinggal di sebuah desa yang masih terisolir. Sebuah desa tertinggal yang berada jauh dari perkotaan. Di desa kami ini belum ada listrik masuk. Bahkan jalan menuju desa kami ini masih berupa jalan tanah yang becek, apa lagi jika musim hujan.

Di desa kami ini juga belum ada sekolah sama sekali. Sekolah terdekat itu berada di desa tetangga yang jaraknya lebih kurang 5 km dari desa kami, itu pun hanya sekolah dasar.

Jadi biasanya, anak-anak usia sekolah dasar akan bersekolah di sekolah dasar desa tetangga tersebut, dengan hanya berjalan kaki, atau menggunakan sepeda. Dan bagi keluarga yang mampu, ada yang menggunakan motor.

Bagi orangtua di desa kami ini, sekolah bukanlah hal yang utama. Bagi mereka pendidikan itu tidaklah terlalu penting, karena mengingat jarak sekolah yang jauh dan juga karena biaya yang cukup mahal.

Karena itu, kebanyakan dari kami hanya bersekolah sampai tamat SD, terutama bagi anak perempuan. Dan kalau anak laki-laki biasanya, setamat SD banyak yang pergi merantau ke luar daerah.

Kehidupan masyarakat di desa kami masih sangat primitif. Kami masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan di malam hari, kami masih menggunakan jenis lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas di beri sumbu dengan masih memakai minyak tanah.

Memang ada beberapa keluarga yang mampu, yang sudah punya mesin diesel sendiri untuk penerangan rumah mereka, tapi hanya beberapa keluarga saja. Selebihnya masih sangat ketinggalan.

Kami juga tidak punya ponsel, selain karena memang tidak ada jaringan sama sekali di desa kami, tapi juga karena ponsel merupakan barang mewah bagi kami. Tentu saja kami tidak akan mampu membelinya.

Mata pencaharians sebagian besar masyarakat desa kami adalah petani karet. Kebun karet yang kami kelola, bukanlah milik kami. Tapi milik para juragan kaya di desa kami dan desa tetangga. Kami hanya mendapatkan upah yang tak seberapa dari hasil kerja kami di kebun karet tersebut.

Setidaknya begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini di desa kami ini. Aku tumbuh dari keluarga yang kurang mampu. Aku hanya sekolah sampai kelas 5 SD, kemudian harus berhenti, karena kedua orangtua ku menganggap sekolah bagi anak perempuan itu tidak penting dan hanya buang-buang biaya.

Aku punya dua orang abang laki-laki, dan mereka juga hanya sekolah sampai tamat SD. Setelah itu, mereka ikut merantau ke luar daerah bersama teman-teman sebaya nya yang lain. Seperti pada umumnya yang di lakukan oleh para pemuda di desa kami.

Sejak kedua abang-abang ku pergi merantau, aku hanya tinggal bertiga bersama ibu dan ayah ku di rumah. Ibu dan ayah ku bekerja di sebuah kebuh karet milik seorang juragan kaya di desa kami. Aku lah yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci pakaian dan juga membersihkan rumah setiap harinya.

Sekarang aku sudah berusia 19 tahun. Aku tumbuh sebagai gadis yang ceria dan suka ceplas-ceplos kalau kalau lagi ngomong. Kegiatan ku sehari-hari hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah. Dan sekali-kali aku juga ikut ibu dan ayah untuk bekerja di kebun karet. Aku juga suka berkumpul-kumpul bersama para gadis-gadis lain yang ada di desa kami.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini.

Sampai pada suatu saat.

Sebuah kabar gembira tersebar di desa kami. Yah.. bagi kami itu merupakan sebuah kabar yang gembira. Kabar jika di desa kami akan didirikan sebuah gedung sekolah dasar. Sebuah kabar yang sudah sangat lama kami nantikan.

Karena biar bagaimana pun, anak-anak usia sekolah yang harus menempuh perjalanan sejauh 5 km untuk bisa bersekolah, sudah sangat banyak di desa kami. Memang sudah seharusnya sekolah dasar tersebut di buka di desa kami ini.

Mendengar kabar tersebut, kami tentu saja menyambutnya dengan senang hati. Setidaknya jika sekolah tersebut jadi dibangun, tentu saja anak-anak usia sekolah, tidak lagi harus ke desa tetangga untuk bersekolah. Dan hal itu cukup meringankan beban para orangtua di desa kami.

*****

"Kamal.." tegas lelaki itu menyebut namanya, ketika kami berjabat tangan.

"Annisa.." balasku pelan.

"mereka berempat ini adalah para tukang bangunan yang akan mengerjakan proyek pembangunan sekolah dasar di desa kita ini.." begitu suara ayah ku menjelaskannya pada aku dan ibu.

Kami berdiri tepat di halaman rumah kami. Memang ada empat orang laki-laki yang ayah perkenalkan kepada aku dan ibu. Tapi jujur saja, dari keempat laki-laki tersebut, hanya laki-laki terakhir yang ayah perkenalkan itu yang membuat aku merasa cukup terkesan. Laki-laki yang mengaku bernama Kamal tersebut.

Sebenarnya keempat laki-laki yang merupakan tukang bangunan tersebut, rata-rata sudah berusia diatas 35 tahun, kecuali laki-laki yang bernama Kamal itu, mungkin masih dibawah 30 tahun usianya.

Namun yang membuat aku merasa terkesan dengan Kamal, ialah bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan gagah serta di dukung oleh wajahnya yang tampan. Aku benar-benar terpesona pada pandangan pertama.

"selama mereka mengerjakan proyek tersebut, mereka akan tinggal di rumah kosong yang berada di samping rumah kita itu.." ayah kembali menjelaskan, sambil mengarahkan pandangannya ke rumah kosang yang memang berada tepat di samping rumah kami.

Rumah itu memang sudah lama tidak di huni, karena pemiliknya sudah pindah ke kota. Tapi rumahnya masih cukup bagus dan masih layak untuk ditempati. Biasanya pemilik rumah tersebut, masih sering berkunjung, untuk merawat dan membersihkannya.

"selain itu, selama mereka tinggal disini, mereka juga minta tolong untuk dimasakin sama ibu dan Annisa.." ayah melanjutkan penjelasannya.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas ayah lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap salah seorang tukang tersebut, sambil mengarahkan telunjuknya kepada lelaki gagah di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." Kamal memperjelas ucapan temannya tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." si Kamal ini melanjutkan kalimatnya.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba ibu ku ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas salah seorang tukang yang paling tua, mungkin lelaki itu adalah kepala tukangnya.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." lelaki itu berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." ayah ku yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba ibu ku bertanya, sebelum mereka berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." jelas lelaki si kepala tukang tadi.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" ibu ku bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas laki-laki tersebut.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap ibu kemudian.

****

Sejak perkenalan ku dengan bang Kamal, si lelaki gagah tersebut, entah mengapa aku selalu membayangkan wajahnya yang tampan itu. Aku selalu memikirkannya. Aku mungkin memang telah jatuh hati padanya.

Meski pun aku baru mengenalnya. Meski pun aku belum tahu siapa dia sebenarnya. Mungkin juga ia sudah menikah. Atau setidaknya ia sudah punya pacar di tempat asalnya. Tapi aku gak peduli. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

Apa lagi aku punya banyak kesempatan untuk itu. Selain ia tinggal di samping rumah ku, aku juga akan setiap hari ke rumahnya untuk mengantarkan makanan mereka berempat.

Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur dibuatnya. Wajah tampan bang Kamal dan juga tubuhnya yang gagah selalu menghantui fantasi ku, setiap kali aku coba memejamkan mata.

Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, rasanya wajar kalau aku mulai menyukai sosok seorang laki-laki dalam hidupku. Mengingat selama ini, belum ada seorang laki-laki pun yang coba mendekati ku.

Bukan karena aku tidak cantik, tapi memang di desa kami, tidak banyak laki-laki yang masih lajang. Para pemuda di usia ku ini, kebanyakan sudah lama pergi merantau. Dan lagi pula, selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah ku, sehingga aku tidak terlalu memikirkan tentang laki-laki.

Tapi entah mengapa, sejak bertemu bang Kamal sore tadi, aku jadi suka memikirkannya. Mungkin karena selama ini, aku memang jarang bertemu laki-laki. Apa lagi laki-laki setampan dan segagah bang Kamal. Dia benar-benar telah mampu membuat aku terpesona dengan segala kelebihannya tersebut.

Ah, sebegitu kesepiannya kah hidup ku selama ini? Sebegitu membosankannya kah hidup ku selama ini?

Sehingga aku dengan begitu mudahnya jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru aku kenal.

Tapi begitulah yang aku alami saat ini. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu baru pertama kali juga aku alami. Rasa cinta itu tumbuh begitu saja di hati ku. Tanpa bisa aku cegah. Dan tak mungkin juga aku pungkiri.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, aku pun mengantarkan sarapan ke rumah para tukang tersebut.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa ku ramah, ketika aku sudah berada di rumah tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutku lagi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." balas salah seorang dari mereka.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kruang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucapku kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk seorang lelaki yang baru keluar dari kamarnya.

"kalian cuma bertiga?" tanya ku melihat hanya mereka bertiga yang ada disana, tanpa bang Kamal.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas lelaki tadi lagi.

"oh, begitu.." gumam ku sedikit kecewa. Padahal aku berharap bisa bertemu bang Kamal pagi itu.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" tanya lelaki yang paling tua.

"saya aja yang ambil nanti.." balas ku pelan, aku hanya berharap, nanti bisa bertemu bang Kamal.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." tiba-tiba bang Kamal muncul dari belakang, ia kelihatn habis mandi dan hanya memakai handuk yang terlilit dipinggangnya.

Deg! Dadaku berdegup kencang melihat pemandangan tersebut. Aku menelan ludah beberapa kali. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Seumur hidup baru kali ini, aku melihat laki-laki tanpa baju berdiri di depan ku.

Apa lagi bang Kamal terlihat sangat kekar. Otot-otot dadanya sangat atletis dan maskulin. Itu adalah pemandangan yang luar biasa. Aku jadi sedikit tertegun.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." bang Kamal menyambung ucapannya.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balasku, sambil menahan debaran di dada ku yang kian menjadi.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." aku kembali berujar dengan cepat. Walau pun sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di situ. Aku ingin sekali berlama-lama menatap keindahan tersebut. Tapi aku merasa gak enak hati. Karena itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Kamal yang kembali membalas ucapan ku.

Aku segera berlalu dari sana. Sambil menahan gejolak di hati ku. Bang Kamal memang benar-benar mengagumkan. Di mata ku ia begitu sempurna. Benar-benar sosok laki-laki yang aku idamkan selama ini.

Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar ku, berusaha menenangkan pikiran dan gemuruh di dada ku, yang terus saja berdebar hebat membayangkan hal tersebut.

Oh, bang Kama... Betapa kamu begitu gagah dan tampan. Aku ingin sekali bisa memiliki mu. Bathin ku penuh harap.

****

Siang itu, aku mengantarkan makan siang ke rumah para tukang tersebut. Dan kebetulan saat itu, hanya ada bang Kamal di rumah.

"selamat siang, bang Kamal." sapa ku lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjut ku.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas bang Kamal, sambil ia mengambil alih makanan tersebut dari tangan ku.

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya ku mencoba berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas bang Kamal.

"abang sakit perut kenapa?" tanyaku merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas bang Kamal.

"oh.." gumam ku membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" aku bertanya lagi, aku benar-benar tidak ingin segera pergi dari situ, mumpung bang Kamal lagi sendirian.

"enak, kok." bang Kamal membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" bang Kamal melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balasku pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya ku melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas bang Kamal.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucapku apa adanya.

Bang Kamal tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapnya.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucapku meyakinkan.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelas bang Kamal lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya ku memberanikan diri.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas bang Kamal.

"oh, gitu.." aku berguman dengan rasa kecewa.

Padahal aku berharap, kalau bang Kamal belum menikah. Jadi peluang ku untuk bisa mendapatkannya jauh lebih besar. Tapi kalau ia sudah menikah, peluang aku untuk bisa memilikinya, jadi semakin sulit.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." bang Kamal berucap lagi, seakan merasa bangga dengan semua itu.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" aku bertanya lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." jelas bang Kamal.

"abang anak tunggal?" tanyaku kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami empat bersaudara. Abang pertama ku, jadi satpam sekarang. Abang kedua ku jadi buruh pabrik. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Sedangkan adik bungsu ku yang perempuan satu-satunya, sekarang sedang kuliah.." bang Kamal menjelaskan lagi.

Aku cukup merasa senang, karena bang Kamal begitu terbuka padaku, tentang keluarganya.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" aku bertanya kembali, aku benar-benar ingin mengenal bang Kamal lebih dekat lagi. Sekali pun ia sudah mengatakan kalau ia sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah ku untuk tetap menjadi dekat dengannya.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas bang Kamal panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya ku kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang ada kerjaan.." balas bang Kamal.

Dan tak lama kemudian, ketiga teman bang Kamal tadi pun datang. Aku pun segera pamit pulang ke rumah kembali, dengan perasaan yang begitu bahagia. Aku merasa bahagia, bisa bercerita berdua bersama bang Kamal. Rasanya begitu indah, bisa mengenal bang Kamal lebih dekat lagi.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Kamal jadi sering ngobrol berdua. Aku selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu bang Kamal saat ia sendirian di rumahnya. Bang Kamal termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Terbukti, ketiga temannya sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi bang Kamal lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, aku jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua dengannya.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu mampu membuat aku benar-benar merasa bahagia. Aku dan bang Kamal terasa semakin dekat. Aku juga begitu terbuka padanya. Semua cerita tentang hidupku, aku cerita kan pada bang Kamal. Dan dia dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan bang Kamal tinggal dan bekerja di desa kami. Kami juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya bang Kamal sendirian di rumah. Ketiga temannya sudah pulang kampung, karena sudah sebulan mereka di desa kami.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya ku.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas bang Kamal.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" aku bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balas bang Kamal singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucapku seakan sengaja memberi tahu bang Kamal akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya bang Kamal.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelasku apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" aku bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balas bang Kamal.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanyaku sedikit berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya bang Kamal.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas ku pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap bang Kamal.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya ku sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau aku tidak sedang bermimpi.

Berada berdua bersama bang Kamal di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah hal yang aku inginkan selama ini. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas bang Kamal, yang membuat ku merasa melambung.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya ku.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balas bang Kamal dengan nada candanya.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." bang Kamal melanjutkan ucapannya, masih dengan nada candanya.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balasku spontan.

"ah, yang benar?" ucap bang Kamal.

"benar, bang.." balasku yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." aku melanjutkan ucapan ku, tanpa rasa ragu lagi. Bang Kamal harus tahu perasaan ku padanya. Mumpung ada kesempatan. Mumpung hanya kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balas bang Kamal.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap ku lagi ceplas-ceplos.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" bang Kamal bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawabku jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanya bang Kamal lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucapku lagi, hampir tak mampu menahan diriku sendiri. Suasananya benar-benar mendukung.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" bang Kamal bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." aku berucap dengan penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balas bang Kamal pelan.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucapku berusaha meyakinkan bang Kamal.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" bang Kamal bertanya kembali, sepertinya ia masih ragu.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucapku dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucap bang Kamal akhirnya.

Ucapan yang membuat aku merasa lega. Ucapan yang membuat aku merasa bahagia.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada bang Kamal, lelaki cinta pertama ku tersebut. Lelaki tampan dengan tubuhnya yang gagah. Lelaki yang aku impikan selama ini.

Bang Kamal melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku dibuatnya terbuai, dalam ayunan cinta yang indah. Ku persembahkan semuanya, untuk bang Kamal. Ku persembahkan dengan penuh perasaan, seluruh jiwa raga ku ini untuknya.

Betapa hal itu terasa sangat indah bagi ku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari semua khayal ku selama ini, tentang bang Kamal.

Dia benar-benar lelaki yang luar biasa dan perkasa. Dan aku jadi semakin rela untuk memberikan semuanya. Ku biarkan lelaki gagah itu, mengambil hal tersebut. Aku berikan semuanya dengan sepenuh jiwaku. Dan aku merasa sangat bahagia dan lega. Benar-benar terasa lega. Seakan aku mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Rasa dahaga yang selama ini aku tahan, kini terlepaskan sudah. Dan hal itu benar-benar memberikan kesan yang sangat indah bagi ku. Begitu indah. Dan begitu sempurna.

****

Sejak malam itu, aku dan Kamal pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa memiliki lelaki aku cintai sepenuh hati tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Aku selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu bang Kamal.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah ku, terutama saat ayah dan ibu ku sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun aku sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Bang Kamal hanya singgah di dalam hidupku, bukan untuk tinggal selamanya. Tapi aku tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Dan tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang mereka bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, mereka semua akan segera pergi dari desa kami. Itu artinya, aku dan bang Kamal akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanyaku, ketika malam terakhir bang Kamal berada di desa ku.

"iya, dek.." balas bang Kamal pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanyaku sekedar menguatkan diri ku sendiri, karena aku sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balas bang Kamal.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucapku dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." bang Kamal berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal ku akhirnya, sambil berusaha menahan air mata ku sendiri.

****

Dan keesokan harinya, bang Kamal dan rekan-rekannya pun akhirnya benar-benar pergi dari desa kami. Rasanya hal itu begitu menyakitkan bagiku. Berpisah dengan orang yang paling aku cintai, telah menumbuhkan sebuah luka yang teramat dalam di hati ku.

Semalam, setelah bertemu bang Kamal, aku hanya mengurung diri di kamar. Padahal orang-orang begitu ramai di rumah tempat bang Kamal tinggal. Para warga yang sudah merasa dekat dengan para tukang tersebut, sengaja membuat sedikit acara perpisahan.

Tapi enggan ikut bersama mereka. Hatiku begitu pilu. Aku merasa sangat sedih. Pertama kali aku jatuh cinta pada seorang laki-laki, dan pertama kali juga aku merasakan keindahan bersama lelaki yang aku cintai tersebut, justru semuanya kini harus berakhir, dengan begitu menyakitkan bagi ku.

Tapi aku tidak pernah menyesalinya. Aku justru merasa bangga melakukan semua itu. Aku bangga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk bang Kamal. Aku bahagia bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya, walau hanya sementara saja.

Cinta ku kepada bang Kamal begitu besar. Tapi takdir mempertemukan kami, bukan untuk bersama selamanya, hanya untuk memberi sedikit kebahagiaan dalam perjalanan hidupku yang sepi.

Kini bang Kamal telah pergi, hari-hari ku kembali terasa sunyi. Rasa sakit dan luka yang aku rasakan begitu dalam dan pedih. Namun segala keindahan yang aku rasakan selama beberapa bulan tersebut, mampu menyembuhkan semua luka itu.

Kebahagiaan yang aku rasakan bersama bang Kamal, memang tidak sebanding dengan kekecewaan yang aku rasakan karena kepergiannya dari hidupku.

Tapi setidaknya, semua keindahan itu telah mampu memberi ku sejuta kenangan untuk aku ingat, sebagai bagian terindah dalam perjalanan hidupku.

Semoga saja, aku mampu melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Kamal lagi.

Semoga saja, di suatu saat nanti, aku bisa bertemu laki-laki yang mungkin jauh lebih indah dari pada bang Kamal...

Yah.... Semoga saja..

*****

Bapak kost

Namaku Nirmala, dan aku seorang mahasiswi tingkat awal. Aku baru berusia 18 tahun saat ini. Aku berasal dari kampung. Selulus dari SMA, aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sebuah kampus ternama di kota.

Karena kota tempat aku kuliah berada sangat jauh dari kampung tempat aku tinggal selama ini, aku terpaksa mengambil sebuah kamar kost, untuk tempat aku tinggal selama aku kuliah.

Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Penghasilan mereka jauh dari cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Apa lagi aku masih punya dua orang adik yang saat ini masih bersekolah.

Sebenarnya aku enggan untuk melanjutkan kuliah, namun karena dorongan dari kedua orangtua ku dan juga karena aku mendapatkan beasiswa, aku pun memutuskan untuk tetap kuliah, meski ekonomi keluarga ku sangat kekurangan.

Orangtua ku berusaha keras, untuk dapat mengirimkan uang padaku setiap bulannya, untuk membayar kost dan juga untuk biaya hidup ku sehari-hari. Meski pun untuk biaya kuliah ku sendiri, aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya apa-apa.

Tapi, untuk bisa hidup di kota besar ini, aku tetap saja masih membutuhkan biaya, terutama untuk membayar kost dan untuk makan ku sehari-hari.

Lima bulan pertama, semuanya berjalan dengan lancar, meski aku harus sangat berhemat karena uang yang dikirimkan orangtua ku tidaklah pernah cukup. Biaya hidup di kota besar ini sangat tinggi.

Aku juga sudah berusaha untuk mencari pekerjaan paroh waktu, agar aku bisa meringankan beban orangtua ku. Namun sampai saat ini, tidak ada satu pun pekerjaan yang bisa aku dapatkan.

Memasuki bulan keenam, orangtua ku tidak bisa lagi mengirimkan uang untuk ku, karena pendapatan mereka menurun, dan juga  kedua adik-adik ku sedang butuh biaya banyak untuk sekolah mereka.

Dengan sangat terpaksa, aku benar-benar harus berhemat. Aku hanya bisa makan sekali sehari, itu pun dengan lauk seadanya. Dan sudah dua bulan pula aku menunggak uang kost.

Buk Ros, pemilik kost, sudah beberapa kali mendatangi ku, dan meminta uang kost. Aku berusaha untuk meminta pengertiannya. Meski pun buk Ros, masih memberi aku waktu untuk bisa melunasi uang kost ku tersebut, namun tetap saja, aku harus segera mendapatkan uang untuk bisa melunasinya.

Aku masih tetap berusaha untuk mencari pekerjaan setiap harinya. Namun, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan paroh waktu di kota besar ini.

Sampai pada suatu waktu, pak Dadang, suami buk Ros, pemilik kost ini, datang menemui ku.

"aku dengar kamu sudah dua bulan belum bayar uang kost.." ucap pak Dadang terdengar santai.

Aku tahu, buk Ros pasti udah cerita pada suaminya, tentang hal tersebut.

Buk Ros dan pak Dadang memang sepasang suami istri yang memiliki usaha kost ini, dan juga sebuah toko harian di depan rumah mereka. Setahu ku, mereka berdua sudah lama menikah, tapi belum mempunyai anak.

Kalau aku perkirakan, pak Dadang mungkin sudah berusia 45 tahun lebih, sedangkan buk Ros sendiri sudah lebih dari 42 tahun usianya. Dan rasanya sudah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk bisa memiliki anak.

"iya, pak. Dan saya sudah minta waktu pada buk Ros, mungkin minggu depan akan saya bayar, pak.." ucapku akhirnya, membalas ucapan pak Dadang barusan.

"kamu yakin, bisa melunasi sampai minggu depan?" tanya pak Dadang kemudian.

Kali ini aku terdiam. Karena sebenarnya aku tidak yakin, akan bisa melunasinya hanya dalam waktu seminggu. Apa lagi, orangtua ku sudah memastikan kalau untuk bulan depan, mereka masih belum bisa mengirimkan uang untuk ku.

"pasti saya usahakan, pak.." balasku setengah ragu.

Pak Dadang terdiam sesaat, tatapannya tajam menatapku.

Pak Dadang memang sering menggantikan buk Ros untuk meminta uang kost kepada kami para anak kost, apa bila buk Ros sibuk dengan kegiatan lainnya.

"kalau ternyata kamu tidak bisa melunasinya sampai minggu depan, bagaimana? Apa kamu udah siap untuk di usir dari sini?" ucap pak Dadang selanjutnya.

"tolong jangan usir saya, pak. Orangtua saya lagi banyak kebutuhan lain di kampung, jadi saya mohon pengertiannya.." balasku sedikit menghiba.

"saya bisa mengerti kesulitan kamu. Dan saya juga bisa bantu kamu, kalau kamu mau.. Tapi ada syaratnya.." suara pak Dadang sedikit bergetar.

"maksudnya, pak?" tanyaku heran.

"saya bisa melunasi semua tunggakan kost kamu selama dua bulan ini, tapi kamu harus mau memenuhi keinginan saya.." balas pak Dadang terdengar blak-blakan.

"keinginan bapak?" tanyaku, kening ku sedikit berkerut.

"iya... kamu pasti ngerti maksud saya apa.." balas pak Dadang.

"saya benar-benar tidak mengerti, pak. Apa yang bapak inginkan dari saya?" suara ku sedikit tercekat, aku mulai memahami kemana arah pembicaraan pak Dadang.

"kamu hanya perlu melay4.ni saya satu kali saja, dan semua tunggakan kost kamu saya anggap lunas.." ucap pak Dadang tegas.

Dan aku benar-benar tercekat mendengar semua itu. Sungguh aku tidak pernah menyangka, kalau pak Dadang akan menawarkan hal tersebut padaku.

"maaf, pak. Saya bukan perempuan mur4han seperti itu. Saya masih punya harga diri. Saya belum pernah melakukan hal tersebut seumur hidup saya.." suara ku sedikit parau berucap demikian.

"yah... terserah kamu sih. Saya hanya coba membantu. Lagi pula, kalau mau hidup di kota besar ini, kamu harus mau sedikit berkorban.." balas pak Dadang.

"itu bukan pengerbonan yang sedikit, pak. Itu pengorbanan yang sangat besar. Saya masih suci. Dan saya hanya akan memberikannya pada suami saya kelak..." ucapku lagi.

"lagi pula, apa bapak gak takut, kalau buk Ros tahu, dia pasti akan sangat marah.." lanjutku.

"buk Ros tidak perlu tahu, selama kamu tidak buka mulut. Dan kalau pun kamu coba-coba cerita pada buk Ros, kamu bakal tahu akibatnya. Lagi pula, dia pasti tidak akan percaya akan hal tersebut.." balas pak Dadang lagi.

Kali ini aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Kalau pun aku cerita pada buk Ros tentang kelakuan pak Dadang tersebut, aku pasti akan dianggap mengada-ngada, demi untuk bisa membayar tunggakan kost.

"oke... saya akan kasih kamu waktu seminggu lagi, untuk memikirkan hal tersebut. Dan jika dalam waktu seminggu, kamu tidak bisa melunasinya, kamu mestinya tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap pak Dadang lagi.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun pergi meninggalkan aku sendirian.

Sementara aku sendiri hanya bisa menangis mengingat semua itu.

Mengapa aku harus mengalami semua ini?

Mengapa pilihan hidupku begitu sulit?

Haruskah aku mengorbankan segalanya, hanya untuk bisa bertahan hidup di kota besar ini?

Ah.. aku benar-benar dilema.

****

Seminggu ini, aku mencoba bertahan dengan keadaan uang seadanya. Aku masih berusah untuk mencari pekerjaan. Bahkan aku juga berusaha untuk meminjam uang kepada teman-teman kuliah ku. Tapi mereka tidak bisa membantu banyak.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya perjalanan hidupku memang harus seperti ini.

Ingin rasanya kau berhenti kuliah, tapi aku takut orangtua kecewa. Aku juga tidak ingin, beasiswa yang diberikan padaku jadi sia-sia.

Dan seminggu pun berlalu, tanpa aku bisa berbuat apa-apa untuk hidupku.

Malam itu, aku termangu sendiri di kamar ku. Meratapi perjalanan hidupku yang malang.

Hingga ku dengar suara ketukan di pintu. Aku mencoba melangkah untuk membuka pintu kamar kost tersebut. Di depan pintu telah berdiri pak Dadang, dengan senyum seringainya.

"udah seminggu, kamu udah punya uangnya?" suara pak Dadang tegas.

"maaf, pak. Saya bisa minta waktu beberapa hari lagi?" aku membalas dengan sedikit memelas.

"sesuai perjanjian kita dari awal, waktu kamu hanya seminggu. Sekarang kamu hanya punya dua pilihan, pergi dari kost ini malam ini juga, atau... kamu bisa terima tawaran saya..." ucap pak Dadang masih dengan suara tegas.

"saya gak mungkin pergi dari kost ini, pak. Saya tidak punya tempat lain di kota ini.." suaraku mulai serak.

"kalau begitu, kamu bisa pilih pilihan kedua.. gampang kan.." balas pak Dadang.

"saya... saya... gak mungkin melakukan hal itu sama pak Dadang, bagaimana kalau buk Ros tahu?" ucapku kemudian.

"udah... kamu tenang aja, buk Ros lagi ke pasar malam, dan dia gak bakal tahu.." balas pak Dadang lagi.

"tapi.. pak...." suara ku terputus.

"kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus pergi malam ini juga dari sini..." pak Dadang kembali berucap tegas.

Aku terdiam. Hening.

Tiba-tiba pak Dadang masuk dan langsung menutup pintu kamar.

"bapak mau apa?" tanyaku bergetar.

"kamu udah gak punya pilihan lain, Nirmala. Kamu harus menerima tawaran saya. Jika kamu tidak ingin di usir dari kost ini. Dan saya yakin, kamu juga tidak ingin berhenti kuliah, hanya karena tidak bisa membayar kost.." pak Dadang berucap, sambil terus mendekat.

"oke..." jawabku akhirnya, "saya mau, tapi... semua tunggakan kost saya harus lunas. Dan bapak harus memberi saya uang tambahan. Karena saya sangat butuh uang saat ini.." lanjutku.

"uang tidak masalah bagi saya, Nirmala. Kamu tenang aja, kalau kamu mau, kamu bebas kost disini selama apa pun yang kamu mau, dan saya akan beri kamu uang tambahan setiap kali kamu bisa memenuhi keinginan saya tersebut.." balas pak Dadang penuh semangat.

"tapi... saya hanya mau melakukan semua itu, selama saya belum dapat pekerjaan. Jika saya sudah dapat pekerjaan, saya tidak sudi lagi melakukannya. Dan saya akan pindah kost dari sini.." ucapku lagi.

"itu semua terserah kamu, tapi selama kamu belum punya uang untuk bayar kost, kamu harus mau memenuhi keinginan saya, kapan saya menginginkannya. Dan jangan coba-coba ceritakan hal tersebut kepada siapa pun, terutama kepada istri saya..." balas pak Dadang kemudian, dengan nada sedikit mengancam.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun mulai melakukan aksinya. Sementara aku hanya bisa terdiam. Terpaku. Dan pasrah.

Aku biarkan semuanya terjadi begitu saja. Meski rasa perih begitu tajam menggores hatiku. Aku menangis. Tapi pak Dadang tak pedulikan hal itu. Ia tetap saja melakukan aksinya.

Hingga akhirnya malam itu, pak Dadang pun berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku. Sesuatu yang berusaha aku pertahankan selama ini.

****

Keesokan harinya, aku terbangun dengan perasaan penuh kesedihan dan rasa penyesalan. Aku menangis lagi, untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi semua kenyataan ini.

Pagi itu, aku bertemu buk Ros, dan dia dengan penuh senyum menyapa ku.

"terima kasih ya, Nirmala..." ucapnya pelan.

"terima kasih... untuk apa, buk?" tanyaku ragu.

"terima kasih karena tadi malam kamu sudah melunasi semua tunggakan kost kamu, dan bahkan kamu juga sudah membayarnya untuk bulan depan..." ucap buk Ros menjelaskan.

"oh.." aku hanya membulatkan bibir, dan berusaha untuk tersenyum, walau rasa pedih masih menggores di hatiku.

Pak Dadang memang menepati janjinya. Untuk melunasi semua tunggakan kost ku, dan juga memberi aku uang tambahan. Tapi aku tidak menyangka, kalau ia juga membayar uang kost ku untuk bulan depan.

Namun apa pun itu, begitulah kehidupan yang harus aku jalani saat ini. Kehidupan yang tidak pernah aku inginkan sama sekali.

Aku tidak menyangka, kalau aku akan jadi korban dari bapak kost ku sendiri. Meski pun akhirnya aku tahu, aku bukan satu-satunya yang pernah jadi korban pak Dadang. Ia sudah terbiasa melakukan hal tersebut, kepada anak kost lainnya. Terutama bagi mereka, yang memiliki ekonomi rendah seperti ku.

Aku mencoba menerima semua itu. Mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Setidaknya, untuk saat ini, aku tidak perlu lagi memikirkan tentang bagaimana caranya memdapatkan uang untuk membayar kost.

Sejak kejadian itu juga, pak Dadang semakin sering mendatangi ku. Ia semakin sering meminta 'jatah' padaku, terutama saat aku belum juga mendapatkan uang untuk membayar kost.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Aku tidak pernah bisa untuk menghindarinya. Aku merasa terjebak dengan semua itu. Orangtua ku memang sudah mulai kembali mengirimkan uang padaku, tapi jumlah uang yang mereka kirim jauh lebih sedikit dari biasanya.

Aku masih mencoba mencari pekerjaan yang layak. Aku masih terus berusaha memperbaiki hidupku. Tapi sepertinya, nasib memang tidak pernah memihak padaku. Dan aku harus menerima semua itu. Meski hatiku hancur karenanya.

Entah sampai kapan semua ini harus aku jalani. Entah sampai kapan, aku hidup seperti ini. Aku benar-benar hanya bisa pasrah.

Aku hanya berharap, aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Aku hanya berharap, semua ini cepat berlalu. Agar aku tidak lagi menjadi korban seorang laki-laki seperti pak Dadang.

Semoga saja, aku kuat menjalani semua ini. Semoga saja, ada keajaiban yang datang padaku, untuk bisa mengubah nasib ku.

Yah... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Anak tiri ku 

Anak tiri ku

Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Ibu ku hanya seorang buruh cuci keliling, sedangkan ayah ku adalah seorang pengangguran, yang tak punya pekerjaan tetap. Selain itu, ayah ku juga suka berjudi.

Saat usia ku 15 tahun, ayahku akhirnya harus melanjutkan hidupnya di penjara, karena kasus judi dan juga KDRT. Ternyata selama ini, uang hasil kerja keras ibu ku, sebagian besarnya di minta paksa oleh ayahku, yang ia gunakan untuk berjudi.

Dan ternyata selama ini, ibu ku juga kerap mendapatkan perlakuan kasar dari ayah ku, yang membuat ibu ku akhirnya memutuskan untuk melaporkan ayah ku ke pihak berwajib.

Sejak saat itu, aku pun hidup tanpa sosok seorang ayah. Meski pun aku tidak tahu bedanya dimana, antara masih hidup bersama ayah tapi tak pernah diperhatikan, atau hidup tanpa ayah. Semuanya terasa sama bagi ku.

Sejak saat itu pula, ibu ku berusaha sendiri untuk memperbaiki kehidupan ku. Ia berusaha agar aku bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Meski aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut. Karena aku memang tidak suka sekolah.

Sebagai anak tunggal, aku memang berwatak sedikit keras. Hal itu tidak terlalu mengherankan, karena aku tercipta dari sosok seorang ayah yang hampir tidak punya hati nurani. Dan hal itu pula lah, yang membuat aku jadi tidak punya keinginan untuk sekolah, dan juga tidak punya cita-cita.

Keinginan ku cuma, aku ingin menjadi orang kaya. Karena aku sudah capek hidup miskin. Dan orangtua ku tidak mampu memenuhi keinginan ku tersebut.

Aku sekolah, hanya sampai tamat SMA. Meski pun ibuku bersikeras agar aku bisa kuliah, tapi aku dengan sangat terpaksa harus menolak keinginan ibu tersebut. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin ibu membuang-buang uangnya, untuk membiayai aku kuliah, sementara aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut.

Setelah lulus SMA, aku pun akhirnya terjerumus pada sebuah pergaulan bebas. Aku mulai mengenal dunia hitam. Aku mulai mabuk-mabukan. Aku jadi jarang berada di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulan ku.

Sudah teramat sering ibu ku menasehati ku, dan meminta aku untuk segera berubah menjadi laki-laki baik. Tapi aku selalu mengabaikannya. Karena sejujurnya, aku merasa kecewa dengan kehidupan ini.

Aku kecewa, terlahir dari keluarga miskin dan banyak masalah. Aku kecewa punya ayah seorang pengangguran dan penjudi, bahkan akhirnya di penjara. Aku kecewa karena tidak bisa memenuhi keinginan ibu ku.

Hingga pada akhirnya, saat usia ku beranjak 22 tahun, ibu ku pun akhirnya meninggal. Ibu ku meninggal karena sakit jantung yang ia derita. Dan sejak saat itu, dunia ku pun hancur lebur. Kekecewaan ku terhadap hidup semakin mendalam. Aku benci hidup ku.

Ayah ku sudah keluar dari penjara, tapi ia memilih untuk menghilang dari hidup ku. Ia bahkan tidak pernah berusaha untuk menemui ku lagi. Aku memang tak pernah dianggap ada oleh ayah ku.

****

Setelah kepergian ku ibu ku, hidup ku terasa semakin hancur. Aku kehilangan pegangan. Aku merasa sangat kesepian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan hal itu mampu membuat ku merasa putus asa.

Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi merantau ke kota besar. Aku ingin melarikan semua kesedihan ku, dan aku juga ingin melupakan semua kenangan masa lalu ku. Aku harus terbiasa hidup dengan kesendirian ku.

Sesampai di kota, aku mulai melakukan banyak pekerjaaan, dari jadi tukang parkir, buruh angkut, sampai buruh bangunan. Semua itu aku lakukan, hanya untuk bertahan hidup.

Sampai akhirnya aku bertemu mbak Yuni. Seorang wanita yang sudah berusia 40 tahun lebih, dan mempunyai seorang putri yang masih berusia 16 tahun waktu itu.

Mbak Yuni adalah seorang wanita karir yang sukses. Ia memiliki usaha kuliner yang cukup maju, dan sudah mempunyai banyak cabang. Mbak Yuni mengelola usahanya sendiri, karena memang mbak Yuni adalah seorang janda.

Ia bercerai suaminya sejak lebih dari lima tahun yang lalu. Karena suaminya memilih untuk menikah lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda darinya. Setidaknya begitulah cerita mbak Yuni pada ku waktu itu.

Aku mengenal mbak Yuni, karena kebetulan aku sempat bekerja di salah satu kafe nya jadi pelayan. Entah mengapa aku bisa menjadi pusat perhatian mbak Yuni waktu itu. Sehingga ia nekat untuk mengajak aku mengobrol berdua dengannya.

Semakian hari, mbak Yuni semakin penuh perhatian padaku. Aku merasa di istimewakan olehnya. Bahkan ia jadi sering mengajak aku makan malam berdua.

Awalnya mbak Yuni hanya sekedar mengobrol biasa dengan ku. Menceritakan semua kisah hidupnya padaku. Aku juga menjadi sangat terbuka padanya. Aku bahkan juga menceritakan perjalanan hidupku pada mbak Yuni. Hal itu justru membuat ia merasa iba padaku.

****

Setahun mengenal mbak Yuni dan menjadi dekat dengannya, membuat hidup ku jadi lebih punya makna. Segala perhatian mbak Yuni padaku, membuat aku merasa berharga. Merasa di penting.

Hingga akhirnya pada suatu kesempatan...

"saya mau ngomong sesuatu yang serius sama kamu, Shapta..." begitu ucap mbak Yuni awalnya, saat kami untuk kesekian kalinya, makan malam berdua di sebuah restoran mewah.

"mbak Yuni mau ngomong apa?" tanya ku setenang mungkin.

"sejak awal melihat kamu, saya sudah merasa tertarik sama kamu, Shapta. Karena itulah saya selalu berusaha untuk mendekati kamu. Saya tahu, saya sudah tidak muda lagi, tapi saya masih punya perasaan. Saya masih seorang wanita normal, yang punya rasa ketertarikan pada laki-laki..." ucap mbak Yuni.

"dan entah mengapa, semakin mengenal kamu, saya semakin suka sama kamu, Shapta. Saya merasa nyaman saat bersama kamu. Dan harus saya akui, kalau saya memang telah jatuh cinta sama kamu." mbak Yuni menarik napas sejenak.

"saya sayang sama kamu, Shapta. Apa kamu mau menjadi suami ku?" mbak Yuni mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan, yang membuat aku merasa jadi serba salah.

Aku memang terlahir dari keluarga miskin dan juga urakan, tapi aku juga pernah jatuh cinta dan pacaran. Aku pernah pacaran beberapa kali. Namun selama itu, selalu aku yang memulai duluan. Meski pun pada akhirnya, kisah cinta ku selalu kandas.

Tapi kali ini rasanya berbeda. Selain karena mbak Yuni jauh lebih tua dari ku, ia juga seorang janda yang sudah punya satu orang anak. Dan mbak Yuni juga yang memulai semuanya. Bahkan ia yang mengungkapkan perasaannya duluan.

Dan bukan cuma itu, mbak Yuni bukan hanya sekedar mengungkapkan perasaannya padaku, ia juga mengajak untuk menikah dengannya. Tentu saja hal itu, cukup membuat kaget dan merasa tak percaya.

Aku memang merasa nyaman saat bersama mbak Yuni, apa lagi dengan segala perhatiannya padaku selama ini. Mbak Yuni juga masih terlihat cantik dan seksi, meski sudah berusia kepala empat. Dan jujur saja, aku memang sering menjadikan mbak Yuni sebagai salah satu bahan fantasi ku selama ini.

Tapi untuk menikah dengannya, hal itu masih belum pernah terlintas di benak ku. Aku hanya tidak menduga, kalau mbak Yuni akan menawarkan hal tersebut. Aku benar-benar belum siap.

"kamu gak harus jawab sekarang kok, Shapta. Saya tahu, kamu pasti belum siap dengan semua ini..." ucap mbak Yuni kemudian, setelah melihat aku hanya terdiam.

"iya, mbak... Saya... saya masih butuh waktu untuk memikirkannya..." balasku akhirnya, dengan suara sedikit tergagap.

****

Sejak saat itu, aku pun mulai mempertimbangkan hal tersebut. Aku mulai mempertimbangkan semuanya.

Mbak Yuni adalah sosok wanita yang baik dan penuh perhatian. Dan yang paling penting dari semua itu, ia adalah wanita sukses yang kaya raya.

Bukankah sejak dulu, aku memang ingin sekali menjadi orang kaya?

Dan mungkin inilah kesempatan ku.

Karena itulah, akhirnya aku pun memutuskan untuk menerima tawaran mbak Yuni untuk menikah dengannya.

"tapi... apa anak mbak Yuni sudah mengizinkannya?" tanya ku, setelah menyatakan persetujuan ku pada mbak Yuni, saat seminggu kemudian kami bertemu lagi.

"iya... Gladis sudah mengizinkannya. Meski pun awalnya ia merasa keberatan, karena mengingat jarak usia kita yang sangat jauh. Tapi saya berhasil meyakinkannya..." balas mbak Yuni dengan raut bahagianya.

Gladis, anak tunggal mbak Yuni, yang saat itu sudah berusia 17 tahun tersebut, pernah beberapa kali bertemu dengan ku. Sepertinya ia gadis yang baik dan sopan.

"baiklah, mbak. Kalau begitu saya sudah siap untuk menikah dengan mbak Yuni. Mengenai waktu, tempat dan semuanya, saya serahkan sepenuhnya kepada mbak Yuni, karena saya tidak punya keluarga di kota ini.." ucapku kemudian.

"kalau untuk itu, kamu tenang aja, Shapta. Saya sudah mengatur semuanya." balas mbak Yuni tegas.

****

Aku dan mbak Yuni pun akhirnya menikah. Dan setelah menikah aku pun tinggal serumah dengan mereka. Mbak Yuni dan juga anaknya, Gladis.

Setelah menikah, mbak Yuni juga mempercayakan salah satu cabang kafe nya untuk aku kelola. Setidaknya untuk menutupi, kalau aku ini bukan seorang pengangguran.

Kalau ditanya apa aku bahagia? Yah.. aku bahagia.

Hidup di rumah mewah, dengan perabotan mewah. Semuanya sudah di siapkan oleh pembantu. Punya mobil mewah, dan istri yang baik. Bukankah hal itu sudah aku impikan sejak lama?

Meski pun sebagai laki-laki, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena semua kemewahan ini bukan milik ku. Aku hanya hidup dalam kemewahan orang lain. Tapi aku coba untuk tidak peduli. Selama aku bisa melakukan apa pun yang aku suka, gak salahnya untuk menjalani semua ini.

Yang penting aku merasa bahagia, dan aku tidak perlu lagi harus bekerja keras hanya untuk bisa bertahan hidup. Aku mendapatkan semua yang aku inginkan. Meski pun di mata orang-orang agak terlihat sedikit aneh, saat aku harus pergi berdua dengan istri ku.

Biar bagaimana pun perbedaan usia kami sangatlah jauh. Tapi sekali lagi, aku pun mengabaikannya.

****

Setahun pernikahan berjalan. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Hubungan ku dengan mbak Yuni, istri ku, terjalin dengan baik. Tidak pernah ada masalah yang berarti diantara kami. Mbak Yuni juga masih mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri. Aku juga berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.

Sekarang Gladis, anak tiriku, sudah berusia 18 tahun. Ia juga sudah mulai kuliah. Dan ia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik.

Sebagai seorang laki-laki muda, yang masih berusia 25 tahun, aku masih punya jiwa muda yang penuh gejolak. Aku masih punya rasa ketertarikan pada gadis yang lebih muda dari ku. Dan terkadang aku tidak bisa menutupi hal tersebut.

Gladis, yang hampir setiap hari bertemu dengan ku, salah satu gadis yang berhasil menyentuh jiwa muda ku. Aku mulai merasa kagum dengannya. Aku mulai sering memikirkannya. Dan tanpa aku sadari, aku telah jatuh cinta padanya.

Yah... perasaan itu tumbuh begitu saja, tanpa aku rencanakan dan tanpa bisa aku cegah. Aku jatuh cinta pada Gladis, anak tiri ku.

Sekuat mungkin aku berusaha memendam semua perasaan itu. Aku tidak ingin terlarut di dalamnya. Biar bagaimana pun, Gladis adalah anak tiri ku. Aku tidak mungkin bisa memilikinya.

Tapi... takdir ternyata berkata lain.

Gladis, yang sejak remaja sudah kehilangan sosok seorang ayah, sudah kehilangan kasih sayang seorang ayah, dan sudah kehilangan sosok laki-laki panutan dalam hidupnya. Membuat ia cukup membuka diri kepada ku.

Kami menjadi cepat dekat dan akrab. Dan sebagai seorang ayah, aku juga berusaha untuk memberi perhatian dan kasih sayang kepada Gladis.

Semua perhatian dan kasih sayang yang aku berikan kepada Gladis, ternyata menjadi bumerang dalam hubungan kami berdua. Gladis jadi salah paham akan semua itu. Ia mulai merasa nyaman menghabiskan waktu bersama ku. Ia selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian dari ku.

Karena sering menghabiskan waktu bersama, dan sama-sama merasa tertarik. Hal yang paling aku takutkan itu pun akhirnya terjadi. Aku dan Gladis saling jatuh cinta. Kami juga sudah saling terbuka akan perasaan kami masing-masing.

Sampai akhirnya, kami pun sepakat untuk menjalin hubungan diam-diam. Bahkan lebih parahnya lagi, aku pun berhasil merenggut sesuatu yang paling berharga milik Gladis. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Dan hubungan kami sudah sangat melampaui batas.

****

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Kami masih mampu menyimpan semua rahasia itu. Kami masih mampu bertemu secara diam-diam, tanpa sepengetahun siapa pun, terutama mbak Yuni.

Apa lagi mbak Yuni, orang yang sangat sibuk, membuat ia hampir tidak punya waktu, untuk mencurigai hubungan ku dan Gladis. Hal itu membuat kami jadi semakin merasa leluasa, untuk melakukannya.

Tapi... sepandai apa pun tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh juga.

Begitulah yang terjadi diantara kami. Sepandai apa pun aku dan Gladis menyembunyikan hubungan kami, pada akhirnya ketahuan juga.

Yah... mbak Yuni, istri ku, akhirnya menyadari akan kedekatan kami yang sudah di batas kewajaran. Karena merasa sudah mulai curiga, mbak Yuni pun diam-diam mulai meminta salah seorang orang kepercayaannya, untuk mengawasi kami. Sampai akhirnya kami benar-benar ketahuan, dengan segala bukti yang tidak bisa kami pungkiri lagi.

Mbak Yuni tentu saja sangat marah. Ia mengusirku dari rumahnya.

Aku dengan sangat terpaksa, harus pergi dari rumah tersebut. Aku tidak bisa membela diri lagi. Aku memang bersalah. Meski pun aku melakukan semua itu, karena Gladis juga memberikan kesempatan padaku.

Namun biar bagaimana pun, apa yang aku lakukan tersebut, bukanlah sesuatu yang bisa di maklumi. Apa yang kami lakukan, jelas adalah sebuah kesalahan besar, yang tidak bisa lagi di maafkan.

Kini aku harus menerima akibat dari semua perbuatan ku tersebut. Aku harus kehilangan Gladis, aku harus kehilangan istriku, dan aku juga harus kehilangan kehidupan mewah yang beberapa tahun ini telah aku nikmati.

Kini aku harus memulai hidupku yang baru. Meski aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku kembali kehilangan semangat. Aku kembali kehilangan tujuan. Aku benar-benar tidak tahu lagi, harus melakukan apa.

Aku hanya berharap, semoga ke depannya aku bisa jadi lebih baik. Semoga aku tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.

Yah... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama sopir truck gagah

Bersama sopir truck gagah

Aku seorang janda, yang sudah punya dua orang anak. Usia ku sekarang masih 32 tahun. Dan aku baru saja bercerai dengan suami ku. Padahal pernikahan kami sudah berjalan selama kurang lebih 10 tahun.

Aku memang menikah di usia yang masih cukup muda, masih 22 tahun usia ku saat itu. Tapi aku dan mas Radit, mantan suami ku tersebut, sudah pacaran lebih dari tiga tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Karena mas Radit sendiri, saat itu, sudah berusaia 27 tahun, dan ia juga sudah punya pekerjaan tetap.

Kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan pernikahan kami juga berjalan dengan sangat baik, awalnya. Semua terasa begitu indah bagi ku. Rumah tangga kami terkesan cukup bahagia. Meski pun secara ekonomi, kehidupan kami boleh dibilang cukup mapan.

Mas Radit yang memang sudah punya pekerjaan tetap sejak lama, memang punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Bahkan setelah bertahun-tahun menikah, kami juga sudah mampu membangun rumah sendiri.

Kami memang tinggal di kampung selama ini. Namun kami tetap merasa bahagia. Hari-hari yang kami lalui, terasa begitu indah dan penuh warna. Apa lagi semenjak keluarga kecil kami dilengkapi dengan kehadiran dua orang buah hati kami.

Tapi ternyata semua keindahan itu hanya mampu bertahan selama 10 tahun, karena pada akhirnya, aku pun mengetahui kalau suami ku sudah menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda dari ku.

Tentu saja, aku merasa patah hati menyadari hal tersebut. Mas Radit yang aku sangka adalah laki-laki setia selama ini, ternyata diam-diam sudah punya wanita idaman lain dalam hidupnya. Dan hal itu baru aku ketahui, setelah lebih dari dua tahun mereka menjalin hubungan dibelakang ku.

Aku kecewa, marah, depresi dan hampir gila karenanya. Aku tak sanggup menerima kenyataan tersebut. Semua itu sungguh sangat berat bagi ku. Apa lagi, kedua anak-anak ku masih cukup kecil. Anak pertama kami masih berusia 9 tahun, sedangkan si bungsu masih 4 tahun usianya.

Namun karena anak-anak ku juga, aku terpaksa harus kuat menghadapi itu semua. Suami ku lebih memilih wanita simpanannya, dari pada harus mempertahankan rumah tangga kami. Ia memilih untuk pergi bersama perempuan tersebut, serta meninggalkan aku dan anak-anak.

Kekecewaan ku begitu dalam. Aku merasa semuanya begitu menyakitkan. Apa lagi selama ini, aku memang tidak bekerja sama sekali, selain menjalankan tugas ku sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena itu, aku menjadi sedikit linglung, ketika akhirnya mas Radit pergi.

Tapi, sekali lagi, demi anak-anak, aku memang harus tegar. Aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan ku. Aku harus bisa bangkit kembali. Aku harus bisa menerima kenyataan tersebut. Kenyataan bahwa suami ku tidak lagi bersama ku.

Tidak mudah bagi ku untuk bisa pulih kembali. Aku masih sering menangis, bila mengingat semua itu. Namun kebersamaan ku dengan kedua buah hati ku, cukup membuat aku selalu merasa terhibur. Meski pun mereka berdua, juga merasa sangat kehilangan ayahnya.

Dengan perlahan, aku pun mencoba untuk bangkit kembali. Membasuh luka-luka ku sendiri. Melupakan semua yang pernah terjadi. Aku harus bisa pulih, setidaknya demi anak-anak ku.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk menjual rumah kami, tanpa harus meminta persetujuan mas Radit, mantan suami ku tersebut. Aku ingin melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di rumah tersebut. Aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Setelah rumah itu berhasil terjual, aku pun memutuskan untuk pindah dari desa ku. Aku membeli sebidang tanah yang berada tepat di pinggir jalan lintas antar provinsi. Aku berencana untuk membuka usaha warung makan di sana. Karena hanya itu satu-satunya keahlian yang aku punya.

Beruntunglah uang hasil penjualan rumah cukup untuk aku jadikan modal untuk membuka usaha tersebut. Meski pu kedua orangtua ku dan beberapa orang keluarga ku, tidak setuju keputusan ku tersebut. Tapi aku berhasil meyakinkan mereka, kalau itu adalah jalan yang terbaik untuk aku dan anak-anak.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku akhirnya berhasil membuka sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan lintas antar provinsi tersebut. Semenjak aku memutuskan untuk pindah dari desa ku.

Meski pun awalnya hal itu tidak mudah bagi ku. Apa lagi kedua anak-anak ku juga harus beradaptasi lagi dengan lingkungannya yang baru. Beruntunglah di tempat tinggal kami yang baru tersebut, terdapat sebuah sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Hal itu cukup membantu aku dalam menjalankan usaha warung makan ku. Karena aku tidak harus repot-repot mengantar dan menjemput anak-anak ku ke sekolah. Sehingga aku bisa membuka warung ku dari pagi sampai malam.

Aku juga membangun sebuah rumah kecil di belakang warung kami, untuk tempat kami tinggal. Rumah itu terhubung langsung dengan warung di depannya. Sehingga lebih mempermudah segala pekerjaan ku. Baik pekerjaan rumah dan juga usaha warung makan ku.

Awalnya memang hampir tidak ada orang yang mampir di warung kami. Karena mungkin mereka belum menyadari akan keberadaan warung tersebut. Namun setelah beberapa bulan berjalan, warung makan ku pun mulai sedikit ramai. Banyak para sopir bus dan juga para sopir truck yang akhirnya sering singgah di warung ku, untuk beristirahat dan juga untuk makan-makan.

Bukan hanya para sopir bus atau pun sopir truck yang sering singgah untuk makan di warung ku, tapi juga beberapa kendaraan pribadi. Bahkan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, juga banyak berbelanja di warung makan ku itu.

Dengan perlahan, warung ku pun mulai berkembang. Aku juga sudah sanggup mempekerjakan dua orang pelayan, untuk membantu ku menjalankan usaha warung makan ku tersebut. Warung makan ku itu pun sudah mulai dikenal, terutama dikalangan para sopir truck.

Aku menyadari, sebagian besar dari mereka yang suka makan di warung makan ku itu, adalah karena mereka tahu, kalau aku ini merupakan seorang janda. Hal itu cukup menjadi salah satu alasan, mengapa para sopir truck jadi rajin singgah di warung ku.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut. Aku berusaha tetap bersikap biasa saja akan hal itu. Meski pun tak jarang dari beberapa orang sopir truck itu, sering menggoda ku. Sering melemparkan pujian-pujian yang kadang aku sendiri sedikit geli mendengarnya.

"hei dek Mar yang cantik.. abang pesan seperti biasa yaa..." celetuk mereka. Atau..

"aduh... dek Mar ini semakin hari semakin cantik aja ya..." ucap mereka.

Kalimat-kalimat seperti memang hampir setiap hari aku dengar dari para sopir truck tersebut.

Aku tahu, kalau sebagian besar dari para sopir truck yang sering mampir di warung makan ku tersebut, mereka sudah menikah dan sudah punya anak. Karena rata-rata mereka semua sudah berusia diatas 40 tahun. Bahkan ada yang usianya sudah lebih dari 50 tahun.

Aku juga tahu, mereka semua hanya sekedar menggoda ku, karena mereka tahu kalau aku ini seorang janda. Mungkin hal itu seperti sebuah hiburan tersendiri bagi mereka. Apa lagi para sopir truck tersebut, memang sangat jarang pulang ke rumah. Mereka sangat jarang bertemu istri dan anak-anak mereka.

Aku mencoba menganggap hal tersebut, sebagai sesuatu yang biasa. Selama mereka tetap bisa menjaga sikap mereka dengan baik, tidak berusaha untuk bertindak macam-macam padaku, yah ... menurut ku apa salahnya. Toh mereka semua itu adalah pelanggan ku. Jadi aku harus tetap bersikap baik dan ramah kepada mereka semua.

****

Hari-hari berlalu, bulan pun berganti bulan, hingga hampir dua tahun, aku menjalani kehidupan seperti itu. Entahlah... entah aku bahagia dengan semua itu atau tidak. Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mencoba untuk bertahan hidup, dan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan anak-anak ku.

Kedua anak-anak ku adalah prioritas bagi ku saat ini. Aku harus bisa membuat mereka hidup yang layak. Aku tidak ingin mereka merasa kekurangan apa pun, baik itu kekurang kasih sayang maupun kekurang materi. Karena hingga saat ini, mas Radit, mantan suami ku tersebut, ayah dari anak-anakku itu, tidak pernah sama sekali mengirimkan uang kepada mereka apa lagi menjenguk mereka, anak-anaknya.

Terakhir aku dengar kabar, kalau mas Radit sudah punya anak lagi bersama istri barunya. Hal itu tentu saja, membuat ia tidak lagi memikirkan kedua anak-anak ku. Meski pun sejujurnya, aku juga merasa senang akan hal tersebut. Karena dengan begitu, kedua anak-anak ku akan sepenuhnya menjadi milik ku.

Aku juga mulai merasa nyaman dengan semua ini. Aku mulai terbiasa hidup dengan kesendirian ku, tanpa seorang suami di samping ku. Hidup ku terasa lebih bebas dan tanpa beban. Aku merasa lebih baik dari kehidupan ku sebelumnya. Apa lagi sekarang kedua anak-anak ku juga sudah mulai tumbuh besar. Mereka juga terlihat sangat bahagia.

Sampai akhirnya, aku bertemu dan berkenalan dengan mas Jaka. Ia seorang sopir truck, yang baru-baru ini sering mampir di warung makan ku. Sebelumnya aku belum pernah melihat mas Jaka mampir di warung ku ini.

Ada beberapa hal yang membuat aku jadi merasa sedikit tertarik dengan kehadiran mas Jaka akhir-akhir ini di warung ku. Bukan saja karena ia memang memiliki wajah yang diatas rata-rata, apa lagi jika hanya dibandingkan dengan para sopir truck lain yang sering singgah di warung ku.

Mas Jaka memiliki raut wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang cukup kekar serta berotot. Berbeda dengan sopir truck lainnya, yang kebanyakan berperut buncit, mas Jaka justru memiliki perut yang terlihat sixpack.

Dan bukan hanya itu, jika para sopir lain sering menggoda ku, tapi mas Jaka justru terlihat sangat pendiam. Namun ia tetap ramah dan penuh senyum. Dan senyumnya juga manis. Entah mengapa semua itu, benar-benar telah mampu menarik perhatian ku.

Meski pun aku yakin, kalau mas Jaka pasti sudah menikah, karena kalau dilihat dari tampangnya, ia mungkin sudah berusia 35 atau 37 tahun. Dan dengan semua pesonanya itu, tidak mungkin ia belum menikah, karena pasti sangat banyak perempuan yang mau dengannya.

Setidaknya begitulah penilaian ku terhadap mas Jaka, lelaki tampan si sopir truck yang baru aku kenal itu.

****

Berbulan-bulan aku mengenal mas Jaka, kami juga sudah sering ngobrol. Meski pun terlihat pendiam, mas Jaka orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Ia sangat ramah dan penuh perhatian.

Hal itu justru membuat rasa tertarikku kini berubah menjadi rasa kagum. Aku jadi merasa sedikit penasaran dengan mas Jaka. Aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

"jadi.. mas Jaka memang sudah menikah ya?" tanya ku pada suatu malam, dalam usaha ku untuk lebih mengenal mas Jaka.

"hmmm... lebih tepatnya sih pernah menikah..." balas mas Jaka.

"maksudnya, mas?" tanya ku lagi.

"yah... sama seperti kamu, aku memang pernah menikah, tapi sekarang sudah tidak lagi..." balas mas Jaka, terdengar santai.

"jadi mas Jaka ini duda toh?" ucapku menegaskan.

"begitulah kira-kira... " balas mas Jaka.

"sudah berapa lama?" tanya ku sekedar ingin tahu.

"belum lama sih.. baru beberapa bulan... dan aku juga sudah punya satu orang anak..." jelas mas Jaka, seakan memberi aku peringatan akan statusnya saat ini.

"oh.." aku hanya bisa membulatkan bibir mendengar hal tersebut.

Dan entah mengapa, aku merasa senang mendengar hal tersebut. Setidaknya, kalau mas Jaka seorang duda, itu artinya aku tidak perlu harus merasa bersalah, jika aku ingin lebih dekat dengan mas Jaka. Karena kami sama-sama sudah tidak punya pasangan lagi.

Dan sejak itu pula, aku dan mas Jaka pun semakin akrab dan dekat. Mas Jaka juga semakin sering mampir di warung ku. Kami juga jadi semakin sering ngobrol. Dan entah mengapa juga, aku merasa bahagia akan hal tersebut.

Dari yang tadinya hanya rasa tertarik, kemudian berubah menjadi rasa kagum, dan kini rasa itu kembali berkembang menjadi rasa suka. Bahkan mungkin sudah menjadi rasa cinta, dan juga rasa sayang.

Yah.. suka tidak suka, sadar tidak sadar, aku memang telah jatuh cinta kepada mas Jaka. Segala perhatiannya, sikapnya yang ramah dan lembut, benar-benar telah membuat aku merasa terlena. Aku terbuai dalam gelora asmara. Aku dilanda kasmaran. Untuk yang kedua kalinya dalam hidup ku.

Meski pun aku belum tahu pasti, apa yang dirasakan oleh mas Jaka terhadap ku saat ini. Ia memang selalu baik padaku, bahkan juga kepada anak-anak ku. Ia selalu perhatian padaku. Ia juga sering membantu aku berjualan. Meski hal itu, membuat para sopir lain terlihat cemburu. Tapi mereka juga cukup sadar diri, mas Jaka bukan saingan yang sebanding bagi mereka.

***

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Mar..." ucap mas Jaka pada suatu malam. Saat itu warung memang sudah tutup, dan kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak juga sudah pada tidur.

"mau ngomong apa sih, mas? Serius amat..." balas ku dengan nada sedikit menggoda.

"sebenarnya... aku suka sama kamu, Mar... Aku jatuh cinta sama kamu, sudah sejak lama... Maukah kamu menjadi pacarku?" ucap mas Jaka terkesan sangat blak-blakan.

Aku yang memang juga telah jatuh cinta pada mas Jaka, tentu saja merasa sangat bahagia mendengar hal tersebut. Karena itu, aku pun tersenyum sambil menatap wajah tampan milik mas Jaka.

"kok senyum gitu sih? Jawab dong..." mas Jaka berucap lagi.

"iya.. aku mau, mas. Karena aku juga cinta sama mas Jaka..." ucapku akhirnya.

Dan mas Jaka pun ikut tersenyum mendengar hal tersebut.

"kamu serius?" tanyanya, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

"iya, aku serius.." balasku pelan.

"jadi mulai malam ini, kita pacaran?" tanya mas Jaka lagi.

"iya, mas.. kan sudah cukup jelas, kalau kita memang saling cinta... gak perlu jadi seperti anak ABG lagi dong..." balasku lembut.

"kalau gitu, aku boleh... cyum kamu?" mas Jaka berucap kembali.

"hmmm... gimana ya? Boleh gak ya..." aku sengaja menjawab dengan suara sedikit manja.

"ayolah... kita kita sudah resmi pacaran..." ucap mas Jaka kemudian.

"iya boleh..." balasku lagi, masih dengan suara manja.

Dan tanpa menunggu lama, mas Jaka pun mulai mendekatkan wajahnya. Pelan namun pasti, semua itu pun akhirnya terjadi.

Mungkin karena kami sama-sama sudah lama tidak merasakan hal tersebut, sehingga kami lebih mudah terbawa suasana. Dan dengan perlahan, kami mulai terhanyut dalam buaian keindahan sebuah cinta.

Hingga akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya, setelah dua tahun aku bercerai dari mantan suami ku, aku pun bisa merasakan hal itu lagi. Aku bisa merasakan keindahan itu kembali, setelah sekian lama.

Aku merasa bahagia. Mas Jaka sangat berpengalaman. Dan aku juga ingin membuat mas Jaka tahu, kalau aku juga sudah berpengalaman dalam hal tersebut. Hingga kami sama-sama berusaha, untuk saling memberi dan menerima.

Sampai akhirnya setelah pendakian yang cukup panjang, kami pun sama-sama terhempas dalam lautan penuh cinta. Lalu kami sama-sama tersenyum penuh arti.

****

Sejak malam itu, aku dan mas Jaka memang telah resmi berpacaran. Kami jadi semakin dekat. Mas Jaka juga jadi semakin sering mampir di warung ku. Bahkan ia juga ikut membantu ku berjualan.

Mas Jaka juga cukup pandai mengambil hati anak-anak ku. Ia bisa menjadi akrab bersama anak-anak ku dengan mudah. Kedua anak ku juga terlihat sangat menyukai mas Jaka. Aku semakin merasa bahagia dengan semua itu.

Aku juga semakin merasa yakin, kalau mas Jaka adalah laki-laki yang tepat untuk ku saat ini.

Hingga berbulan-bulan berlalu. Hubungan kami juga terjalin dengan indah. Cinta ku kepada mas Jaka juga tumbuh semakin besar, dari hari ke hari. Rasanya aku tidak ingin melepaskan laki-laki itu lagi.

"jadi kapan mas Jaka akan melamar ku?" tanyaku pada suatu malam, seperti biasa.

"kamu sabar ya... aku masih butuh waktu... kita juga belum lama pacaran kan... jadi yah... kita tunggu aja beberapa bulan lagi..." balas mas Jaka.

"emangnya mau menunggu apa lagi sih, mas? Kan kita sudah sama-sama single. Kita juga bukan anak remaja lagi. Jadi...  aku rasa kita memang harus cepat-cepat nikah, mas. Sebelum orang-orang semakin curiga dengan hubungan kita..." ucapku kemudian.

"iya.. kita pasti akan nikah, kok. Tapi... gak harus sekarang... kamu sabar aja dulu..." balas mas Jaka, sedikit kurang yakin dengan ucapannya sendiri.

"oke... aku akan sabar.... tapi... aku juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Aku butuh kepastian, mas." ucapku akhirnya.

****

Dan sang waktu pun terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Sudah lebih dari setahun aku dan mas Jaka berpacaran. Tapi mas Jaka belum juga berencana untuk melamar ku. Meski sudah berkali-kali aku mempertanyakan hal tersebut. Tapi jawabannya selalu sama. Dia selalu meminta aku untuk sabar.

Awalnya aku mencoba untuk sabar. Aku mencoba untuk terus mengerti. Walau pun aku tidak tahu pasti alasan apa sebenarnya, yang membuat mas Jaka belum mau menikah dengan ku.

Sampai pada suatu saat, aku akhirnya tahu, kalau mas Jaka ternyata sudah kembali lagi bersama mantan istrinya. Hal itu aku ketahui, dari cerita seorang teman sopir mas Jaka, yang cukup kenal dan dekat dengan mas Jaka.

Mulanya aku tidak percaya, tapi lelaki itu mampu meyakinkan ku, kalau apa yang ia ceritakan adalah benar adanya. Ia juga tidak mungkin berbohong.

Karena itu, aku pun memberanikan diri untuk mempertanyakan hal tersebut kepada mas Jaka.

"apa benar, kalau mas Jaka sudah rujuk lagi sama istri mas Jaka?" tanyaku ketus.

"kamu tahu hal itu dari mana?" mas Jaka justru balik bertanya.

"tidak penting aku tahu nya dari mana. Yang penting mas jawab aja pertanyaan ku, benar atau tidak.." ucapku lagi, masih terdengar ketus.

"oke... sejujurnya, iya.... aku memang sudah kembali lagi bersama istri ku, karena orangtuaku dan juga demi anak ku..." balas mas Jaka akhirnya.

Untuk sesaat aku terdiam. Meski pun aku sudah tahu pasti hal tersebut, namun tetap saja hal itu terasa menyakitkan, ketika aku harus mendengarnya langsung dari mulut mas Jaka.

"Tapi... aku sudah tidak mencintai istri ku lagi.. Aku hanya mencintai kamu, Mar.." tiba-tiba mas Jaka berucap kembali.

"gak penting kamu masih mencintainya atau tidak, mas. Tapi yang pasti saat ini, status kamu adalah suami orang. Dan aku tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan suami orang. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian, mas.." ucapku membalas.

"jadi lebih baik sekarang.. kita akhiri saja semua ini. Mulai sekarang, lebih baik mas Jaka jangan pernah menemui ku lagi.." aku melanjutkan.

"kamu tidak mencintai ku, Mar?" mas Jaka bertanya demikian, entah untuk tujuan apa.

"aku sangat mencintai kamu, mas. Tapi aku tidak ingin berpacaran dengan orang yang sudah menikah. Aku tidak ingin menyakiti hati istri kamu, mas. Biar bagaimana pun, aku pernah berada di posisi tersebut. Aku pernah merasakan betapa sakitnya, ketika aku tahu, kalau suami ku punya wanita lain di luar sana.." balas ku tajam.

"aku sangat mencintai kamu, Mar. Aku tak ingin kita pisah. Tapi .. aku juga tidak mungkin menceraikan istri ku lagi... Jadi.. aku mohon, Mar. jangan minta aku pergi dari hidup mu..." suara mas Jaka sedikit menghiba.

"yah... gak bisa gitu dong, mas. Itu egois namanya. Mas harus tetap memilih. Dan selama mas belum bisa menentukan pilihan, lebih baik kita jangan pernah bertemu lagi..." balasku berusaha tegas.

****

Dan sejak malam itu, mas Jaka tidak pernah lagi singgah di warung ku. Ia benar-benar pergi. Dan entah mengapa, aku merasa kecewa. Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku harus dikecewakan oleh orang yang aku cintai. Dan hal itu terasa sangat menyakitkan.

Padahal aku sudah terlanjur mencintai mas Jaka. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Aku terlanjur sudah menyerahkan segalanya untuknya. Tapi... pada akhirnya, mas Jaka lebih memilih untuk kembali bersama istrinya lagi.

Aku kecewa, aku merasa terluka. Aku merasa, mas Jaka hanya sekedar memanfaatkan ku selama ini. Aku hanya dijadikannya sebagai pelarian, untuk mengisi kekosongannya. Dan saat ia sudah tidak membutuhkan ku lagi, aku pun dicampakkannya.

Kini, aku kembali dengan kesendirian ku. Aku kembali dengan semua rasa sepi ku.

Namun, mungkin memang lebih baik seperti ini. Mungkin memang lebih baik, aku hidup sendiri. Tanpa ada seorang laki-laki pun dalam hidupku. Karena kehadiran mereka, hanya akan membuat luka di dalam hatiku. Aku tidak ingin lagi mengenal laki-laki mana pun.

Semoga saja, aku mampu menjalani semua ini. Semoga saja, tidak ada laki-laki yang berusaha untuk mendekati dan memanfaatkan kesendirian ku.

Yah... semoga saja...

******

Ternyata suami ku punya pria idaman lain

Ini adalah kisah ku. Kisah nyata yang aku alami dalam perjalanan hidup ku. Sebuah kisah hidup yang sebenarnya enggan untuk aku ceritakan kepada siapa pun. Tapi, aku juga butuh tempat untuk mencurahkan ini semua. Dan disinilah tempat aku menceritakannya.

Nama ku Ayu. Sebut aja begitu.

Aku berasal dari kampung. Aku anak sulung dari lima bersaudara. Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Hidup kami secara ekonomi memang cukup pas-pasan. Karena itu, aku hanya bisa sekolah sampai lulus SMA.

Setelah lulus SMA, aku pun meminta izin kepada orangtua ku, pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dan dengan berat hati, orangtua ku pun memberi aku izin. Karena biar bagaimana pun, mereka tidak punya alasan, membiarkan aku tetap berada di kampung.

Singkat cerita, aku pun akhirnya pergi merantau ke kota, saat usia ku masih 19 tahun waktu itu. Aku memang punya kenalan di kota, namanya tante Dewi. Dia masih ada hubungan keluarga dengan ibu ku.

Tante Dewi sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Suaminya seorang karyawan di sebuah bank swasta. Hidup mereka cukup mapan. Karena itu tante Dewi mengizinkan aku untuk tinggal sementara di rumahnya, setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan.

Hingga dua bulan kemudian, aku pun diterima bekerja di sebuah mini market. Aku bekerja sebagai kasir di mini market tersebut, dengan sistem kerja di bagi secara shift. Kadang aku masuk kerja pagi, pulang sore, atau masuk kerja sore pulang malam.

Dan karena sudah bekerja, aku pun memutuskan untuk pindah dari rumah tante Dewi. Aku tinggal di sebuah kost yang berada tidak terlalu jauh dari mini market tempat aku bekerja. Setidaknya bisa aku tempuh dengan hanya berjalan kaki.

****

Bertahun-tahun aku bekerja di mini market tersebut. Semua berjalan dengan sangat baik. Aku bisa mengirimkan sebagian gaji ku kepada orangtua ku di kampung, untuk membantu biaya sekolah adik-adik ku, dan juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari.

Kehidupan ku berjalan dengan rutinitas yang sama hampir setiap harinya. Aku mencoba menikmati itu semua. Aku berusaha bekerja sebaik-baiknya, agar aku bisa bertahan hidup di kota besar ini.

Sampai pada suatu kesempatan, aku bertemu dan berkenalan dengan seorang laki-laki. Namanya mas Danang. Kami bertemu dan berkenalan, karena mas Danang sering berbelanja di minimarket tempat aku bekerja.

Mas Danang seorang laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh dari ku. Saat itu aku masih berusia 23 tahun, sedangkan mas Danang sudah berusia 30 tahun lebih.

Awalnya, aku mengenal mas Danang hanya sebagai pelanggan biasa. Namun lama kelamaan, kami menjadi akrab dan dekat. Mas Danang sangat baik padaku. Ia penuh perhatian.

Semakin lama mengenal mas Danang, aku semakin merasa suka padanya. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Apa lagi secara fisik, mas Danang memang cukup menarik. Wajahnya lumayan tampan, dengan postur tubuh yang gagah dan terlihat kekar.

Sampai akhirnya, mas Danang pun mengungkapkan perasaannya padaku. Ia mengaku kalau ia telah jatuh cinta padaku, dan ingin menjalin hubungan yang serius dengan ku.

Dengan perasaan bahagia, aku pun menerima cinta mas Danang waktu itu. Aku menerimanya, karena aku juga mencintainya. Dan kami pun akhirnya berpacaran.

Tak sampai tiga bulan pacaran, mas Danang pun memutuskan untuk segera melamarku. Meski pun sebenarnya, aku belum begitu siap akan hal tersebut, namun mengingat mas usia mas Danang sendiri sudah lebih dari 30 tahun waktu itu, dan karena aku juga sangat mencintai mas Danang, aku pun menyetujui permintaannya tersebut.

Aku mengajak mas Danang untuk menemui orangtua ku di kampung, dan menyampaikan keinginan kami kepada mereka. Tentu saja orangtua ku sangat setuju akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, selama ini, mereka cukup khawatir, melepaskan aku hidup sendirian di kota.

Dengan menerima lamaran mas Danang, dan menikah dengannya, akan membuat kekhawatiran orangtua ku jadi sedikit berkurang, karena aku sudah suami yang akan selalu menjaga ku. Setidaknya begitulah alasan orangtua ku, untuk menerima lamaran mas Danang.

Dan dengan acara yang cukup sederhana, aku dan mas Danang akhirnya menikah. Aku menikah di kampung halaman ku, seperti yang diingingkan orangtua ku.

Mas Danang sendiri adalah seorang yatim piatu, kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Satu-satunya keluarga yang ia punya ialah kakak perempuannya, yang juga sudah menikah dan punya dua orang anak.

Mas Danang bekerja sebagai seorang asisten manger di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi kehidupan mas Danang memang sudah sangat mapan. Itu juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa mas Danang ingin segera menikah.

Setelah menikah, aku dan mas Danang pun tinggal serumah. Sebuah rumah yang mas Danang beli sendiri, dari hasil kerja kerasnya selama ini. Sebuah rumah yang cukup megah, dengan perabot yang lengkap dan mewah.

Meski pun sudah menikah, mas Danang tetap memperbolehkan aku untuk bekerja, seperti biasa. Ia ingin aku tetap punya kesibukan, dari pada hanya berdiam diri di rumah. Karena mas Danang sendiri, juga sibuk bekerja, dan jarang berada di rumah, terutama saat siang hari.

Hingga setahun kami menikah, kami pun di karuniai seorang anak laki-laki. Kebahagiaan kami kian terasa lengkap. Hari-hari kami menjadi lebih bermakna dan penuh warna.

Karena masih tetap bekerja, kami pun memperkerjakan seorang babysitter, untuk menjaga anak kami, saat kami sedang bekerja.

Dan begitulah kehidupan yang kami jalani, selama bertahun-tahun. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku juga masih bisa terus mengirimkan uang kepada orangtua ku di kampung, dan mas Danang sangat mendukung hal tersebut.

****

Lima tahun berlalu, lima tahun usia pernikahan kami. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Anak kami sekarang pun sudah mulai tumbuh besar, sudah empat tahun usianya saat ini.

Namun akhir-akhir ini, aku merasakan ada yang tiba-tiba berubah. Mas Danang yang aku kenal, tidak lagi seperti dulu. Ia jadi jarang pulang. Kalau pun pulang, ia hanya sekedar menengok anaknya, tapi selalu mengabaikan ku.

Akhir-akhir ini, mas Danang jadi sering pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali. Hal tersebut membuat aku mulai merasa curiga dengannya. Ia tiba-tiba saja berubah, tanpa alasan yang jelas. Padahal selama ini, kami bahkan hampir tidak pernah bertengkar sama sekali. Tapi entah mengapa, mas Danang tiba-tiba saja berubah. 

Bukan saja jadi jarang pulang, mas Danang bahkan sudah lebih dari lima bulan belakangan ini tidak pernah lagi menyentuh ku. Ia tidak lagi memberikan aku kebutuhan bathin. Ia tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai seorang suami.

Aku pernah mempertanyakan hal tersebut, tapi mas Danang hanya menjawab, kalau ia lagi banyak pekerjaan dan selalu merasa capek, hingga butuh waktu untuk istirahat.

Aku mencoba mengerti akan hal tersebut. Aku mencoba untuk memahaminya. Namun hal itu tetap terus terjadi. Mas Danang semakin tidak peduli dengan ku. Ia seperti sengaja mengabaikan ku. Dan aku merasa tidak dianggap sama sekali.

Aku semakin curiga dengan mas Danang. Ia jadi jarang pulang, tidak pernah lagi memenuhi kebutuhan bathin ku, sebagai seorang istri. Aku mulai berpikir macam-macam tentangnya.

Jangan-jangan mas Danang memang sudah punya perempuan lain di luar sana. Jangan-jangan mas Danang sudah punya simpanan. Karena itu ia jadi jarang pulang.

Sebagai seorang istri, aku pun kembali mempertanyakan hal tersebut kepada mas Danang. Tapi sekali lagi, mas Danang seperti enggan untuk membahas hal tersebut. Ia selalu menghindar, setiap kali aku membicarakan tentang perubahannya itu.

Aku jadi semakin penasaran. Aku benar-benar ingin tahu, apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang membuat mas Danang tiba-tiba berubah?

*****

Karena merasa penasaran dan selalu dihantui perasaan curiga, aku pun memutuskan untuk mulai mencari tahu akan hal tersebut.

Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu. seperti biasa mas Danang pergi dari rumah tanpa berpamitan padaku. Karena itu, aku coba menguntitnya malam itu. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan mas Danang di luar rumah, terutama saat malam minggu seperti ini.

Dengan menaiki sebuah taksi, aku mengikuti mobil mas Danang. Aku mengikutinya, dengan tetap menjaga jarak. Karena aku tidak ingin mas Danang tahu. Dan itu pasti akan membuatnya marah.

Aku melihat mas Danang berhenti di depan sebuah gedung apartemen, tapi ia tidak keluar dari mobilnya. Sampai seorang laki-laki mudah menghampiri mobilnya, dan langusng masuk ke dalam mobil mas Danang.

Oh, ternyata aku yang terlalu berprasangka. Itu hanya seorang laki-laki, dan mungkin saja hanya teman kerjanya.

Tak lama kemudian, mobil mas Danang kembali meluncur di jalanan. Aku kembali meminta sopir taksi untuk mengikuti mobil tersebut.

Setelah beberapa saat, mobil mas Danang kembali menepi. Kali ini ia parkir di depan sebuah restoran mewah. Mas Danang turun hampir bersamaan dengan laki-laki temannya tadi. Kemudian mereka pun melangkah masuk ke dalam restoran.

Mungkin mereka sedang membicarakan tentang pekerjaan mereka di restoran ini. Pikir ku membathin.

Aku mencoba menunggu di dalam taksi. Aku masih penasaran, mengapa mereka hanya makan malam berdua? Apa gak ada teman kerjanya yang lain, yang ikut makan bersama mereka?

Aku memperhatikan dari kejauhan. Aku dapat melihat dengan sayup-sayup, mereka berdua duduk saling berhadapan, sambil menikmati makanan mereka. Dan aku juga bisa melihat, kalau mereka mengobrol terlihat sangat akrab.

Setelah lebih dari satu jam menunggu, akhirnya mereka berdua keluar juga dari restoran tersebut. Mereka langsung menuju mobil, dan masuk ke dalamnya. Mobil itu kembali berjalan menuju arah yang berlawanan dari arah mereka datang tadi.

Aku kembali meminta pak sopir untuk mengikutinya lagi. Hingga tak lama berselang, mobil mas Danang kembali berhenti. Kali ini justru di depan gedung sebuah hotel mewah. Yang membuat ku semakin merasa curiga.

Tapi bukankah mas Danang hanya bersama seorang laki-laki? Mungkin saja mereka masih melanjutkan pembicaraan mereka tentang pekerjaan mereka, yang mungkin belum selesai saat di restoran tadi.

Tapi mengapa harus di hotel? Dan ini malam minggu. Sedikit aneh sih, menurut ku.

Mas Danang dan teman lelakinya itu, terlihat turun dengan santai dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju lobi hotel. Aku mencoba turun dari taksi, dan mulai mengikuti mereka dengan pelan. Sambil tetap menjaga jarak, agar tidak terlihat.

Setelah berbicara beberapa saat dengan resepsionis hotel, mereka berdua segera menuju lift hotel tersebut, dan langung masuk ke dalamnya.

Aku pun segera menuju resepsionis tadi. Mencoba mencari tahu, di kamar mana mereka menuju. Meski pun awalnya resepsionis tersebut, enggan memberikan informasi apa pun padaku, tapi setelah aku beri ia sedikit uang, ia pun mengatakan nomor kamar tempat mas Danang dan lelaki itu berada.

Aku menaiki lift dan menuju lantai tempat kamar yang disebutkan resepsionis tadi. Aku segera berada di depan kamar tersebut, yang pintunya sudah tertutup rapi.

Sampai disitu aku ragu, antara ingin mengetuk pintu kamar tersebut atau tidak. Kalau aku mengetuk, pasti mas Danang akan marah padaku, karena sudah menguntitnya sampai kesini. Tapi kalau tidak, aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa.

Akhirnya aku nekat.

Aku ketuk pintu kamar itu dengan pelan. Cukup lama.

Hingga pintu itu pun terbuka sedikit. Seraut wajah muncul di pintu yang terbuka. Seraut wajah laki-laki muda, yang terlihat tampan dan manis.

"iya.. ada apa, mbak?" tanya laki-laki itu ramah.

"hmmm... saya... saya.. mau bertemu mas Danang..." suara ku sedikit tercekat, apa lagi aku lihat laki-laki itu hanya memakai handuk, tanpa baju.

"mas Danang?" raut wajah laki-laki itu sedikit bingung, "maaf.. mbak ini siapa?" tanyanya ragu.

"saya istrinya.." aku berusaha berkata dengan tegas.

Wajah lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya berubah pucat pasi. Ia terlihat sangat kaget.

"oh... tunggu sebentar..." ucapnya akhirnya, sambil kembali menutup pintu.

Aku mendengar suara berbisik samar-sama dari dalam. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Mas Danang muncul dari dalam, dengan masih atau telah kembali berpakaian rapi.

"kamu ngapain kesini?" tanya mas Danang kasar, terlihat sekali kalau ia merasa terganggu dengan kehadiran ku di situ.

"kamu menguntit saya?" tanya mas Danang lagi, masih kasar, sambil ia melangkah keluar dan menutup pintu.

"saya... saya..." aku terbata, tak tahu harus mengatakan apa.

"kamu bikin malu saya aja... ayok pulang.." ucap mas Danang kemudian, mengabaikan keterbataan ku.

Mas Danang sedikit menarik tangan ku untuk segera berlalu dari depan kamar tersebut.

"kamu ... kamu ngapain disini malam-malam begini, mas?" tanya ku akhirnya, sambil mencoba mengikuti langkah kaki mas Danang menuju lift.

"sudah aku katakan, aku lagi banyak pekerjaan, dan itu tadi teman kerja ku. Kami sedang membicarakan bisnis. Kamu datang-datang bikin ribut aja..." balas mas Danang, suaranya masih terdengar sangat kesal.

"kalau memang tentang pekerjaan, mengapa harus di hotel? Malam-malam lagi.. Dan kenapa kamu gak lanjut aja? Kenapa harus pulang?" aku meluahkan semua pertanyaan yang ada di pikiran ku saat itu.

"udahlah, kamu gak bakal ngerti.." balas mas Danang tajam, "lagi pula, bagaimana kami melanjutkan urusan kami, kalau kamu tiba-tiba datang mengganggu. Perasaan teman saya jadi tidak enak.. Jadi lebih baik kita pulang sekarang..." lanjut mas Danang masih kasar.

Kami sampai ke luar hotel, lalu kemudian mas Danang terus melangkah menuju tempat parkir.

"saya pulang naik taksi aja.." kali ini suara ku sedikit ketus, karena merasa kecewa dengan sikap mas Danang barusan. Lagi pula, aku jadi malas satu mobil sama mas Danang saat ini. Sikapnya benar-benar aneh. Semua alasannya tidak masuk akal sama sekali.

****

Sejak kejadian malam itu, hubungan ku dengan mas Danang kian berantakan. Kami bahkan sudah tidak lagi saling tegur sapa. Mas Danang juga semakin jarang berada di rumah. Ia semakin mengabaikan ku.

Hingga pada suatu saat, aku terpaksa harus pulang kampung, karena aku mendapat kabar, kalau ibu ku sedang di rawat di rumah sakit. Aku terpaksa pergi malam-malam, karena kondisi ibu yang kian parah.

Aku sempat mengajak mas Danang untuk ikut, tapi ia beralasan kalau ia sedang banyak kerjaan. Aku terpaksa pergi sendiri bersama anak ku. Aku berpamitan kepada mas Danang, karena ia harus tinggal sendiri di rumah.

Di tengah perjalanan aku baru sadar, mungkin karena aku perginya buru-buru, hingga tas ku ketinggalan di dalam kamar. Padahal semua uang dan kartu-kartu ku ada di dalamnya. Aku memang pergi dengan membawa mobil sendiri, sehingga aku terpaksa harus putar arah untuk kembali lagi ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung masuk menuju kamar ku. Aku memang sengaja tak mengetuk pintu, karena aku yakin mas Danang pasti udah tertidur.

Dan sungguh di luar dugaan ku, kalau akan melihat sebuah pemandangan yang membuat hati ku terasa hancur.

Di dalam kamar itu, aku menyaksikan dengan mata kepala ku sendiri, kalau mas Danang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki. Laki-laki muda yang aku temui di hotel waktu itu.

Aku benar-benar bagai melihat hantu di siang bolong, rasanya aku hampir tak percaya. Rasanya aku mau pingsan saat itu juga. Aku benar-benar shock melihat itu semua.

Kalau saja, aku melihat mas Danang bersama perempuan lain, mungkin rasa sakit yang aku rasakan tidak akan sepedih ini. Tapi... ini dengan seorang laki-laki... Sungguh tak pernah aku sangka sama sekali. Rasanya begitu sakit dan pedih. Dan aku pun hanya bisa menangis.

Mas Danang tentu saja kaget melihat kedatangan ku yang tiba-tiba. Ia segera berusaha untuk mendekati ku, tapi aku dengan spontan langsung menutup dan menghempaskan pintu kamar itu dengan kasar. Aku segera berlari kembali ke mobil.

Aku masih mendengar suara mas Danang berteriak memanggil nama ku berkali-kali. Tapi aku mengabaikannya. Aku segera masuk ke mobil dan langsung tancap gas, karena memang mesin mobil sengaja tidak aku matikan tadi.

Aku masih bisa melihat lewat kaca spion, kalau mas Danang masih berusaha mengejar ku sampai ke pintu pagar rumah kami. Tapi aku terus saja menancap gas mobil sekencang-kencangnya, meninggalkan mas Danang yang pasti sedang merasa bersalah tersebut. Beruntunglah anak ku sudah tertidur sejak tadi di jok belakang.

****

Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa jijik. Perbuatan suami ku benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi. Aku sangat membencinya saat ini.

Aku meminta adik-adik ku untuk mengambil semua barang-barang ku yang berada di rumah tersebut, dan juga semua barang-barang anak ku. Aku tak sudi kembali ke rumah itu. Walau dengan alasan apa pun.

Bertahun-tahun aku hidup bersama mas Danang, bertahun-tahun aku menjadi istrinya. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau ia adalah seorang homo.

Kalau saja, ia melakukan semua itu dengan seorang perempuan, mungkin aku masih bisa memakluminya. Dan aku akan dengan rela hati, untuk bersaing dengan perempuan tersebut, untuk mendapatkan kembali cinta mas Danang.

Tapi.. jika aku harus bersaing dengan seorang laki-laki, rasanya hal itu sangat tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak ingin punya suami yang punya pria idaman lain. Aku jijik membayangkan hal tersebut. Aku benci mereka berdua.

Aku akan meminta cerai dari mas Danang, dan aku akan pindah ke kampung halaman ku bersama anak ku. Tidak akan aku izinkan sedetik pun mas Danang untuk menemui anak ku. Aku tidak sudi anak ku punya seorang ayah seperti mas Danang. Tidak akan!

Cukup kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi ku. Aku tidak akan menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Aku juga tidak akan membongkar rahasia mas Danang. Aku hanya ingin bercerai darinya, dan tidak ingin lagi melanjutkan hidup bersamanya.

Semoga aku kuat menjalani semua ini. Semoga aku menemukan jalan yang terbaik dalam hidupku. Dan semoga aku mampu membesarkan anak ku, meski tanpa seorang suami.

Yah.. semoga saja...

****

Sopir pribadi ku

Nama ku Elsa. Usia ku sudah 35 tahun saat ini, dan aku sudah menikah. Aku juga sudah punya dua orang anak saat ini.

Suami ku namanya mas Ryan, usianya sudah hampir 40 tahun sekarang. Mas Ryan adalah seorang pengusaha yang sangat sukses.

Aku menikah dengan mas Ryan, pada saat usia ku masih 24 tahun, dan mas Ryan sudah berusia 29 tahun saat itu. Kami menikah atas dasar saling cinta dan suka sama suka. Kami bahkan sempat pacaran selama kurang lebih 2 tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah.

Mas Ryan memang sudah kaya sejak dulunya. Ia anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Saat ini pun mas Ryan sebenarnya, sedang melanjutkan usaha keluarganya tersebut.

Sedangkan aku saat itu, hanyalah seorang gadis desa yang merantau ke kota, dan berusaha berjuang untuk bisa mendapatkan hidup yang layak.

Aku memang sempat kuliah dan berhasil lulus dengan hasil yang terbaik. Hingga aku bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang masih pas-pasan.

Sampai akhirnya aku bertemu mas Ryan. Kami saling tertarik dan akhirnya saling jatuh cinta.

Hubungan kami awalnya, tentu saja ditentang oleh kedua orangtua mas Ryan. Tapi pada akhirnya mas Ryan berhasil meyakinkan mereka, kalau aku adalah wanita yang cocok untuk mendampingi hidupnya.

Kami pun akhirnya menikah, dengan sebuah pesta yang sangat meriah. Di hadiri oleh para tamu dari kalangan atas. Tapi tidak ada satu pun dari keluarga ku di kampung yang diperbolehkan hadir, kecuali kedua orangtua ku.

Dengan semua drama 'si miskin dan si kaya' tersebut, aku mencoba untuk bisa menerima semua perlakuan tidak adil itu. Apa lagi, mas Ryan selalu berhasil untuk membuat ku tetap bertahan.

Setelah menikah, kami pun pindah ke rumah kami sendiri, yang mas Ryan beli sebagai hadiah pernikahan kami. Walau sebenarnya aku yang meminta mas Ryan agar segera pindah rumah setelah kami menikah. Karena aku pasti sangat tidak tahan, hidup bersama mertua yang tidak terlalu menyukai ku.

Namun apa pun itu, aku bahagia bisa menikah dengan mas Ryan. Bukan karena ia punya kehidupan yang mewah, tapi karena memang aku sangat mencintainya, dan aku juga tahu kalau mas Ryan juga mencintai ku.

Aku dan mas Ryan memulai hidup baru, di sebuah rumah mewah dengan segala perlengkapannya yang mewah pula. Bahkan kami punya beberapa orang pembantu di rumah tersebut, beserta seorang sopir pribadi keluarga kami.

Mas Ryan memang tak pernah memberi aku kepercayaan penuh untuk membawa mobil sendiri, jika aku harus keluar rumah. Karena itu, ia memberi ku seorang sopir pribadi, untuk bisa mengantarkan aku kemana pun aku ingin pergi.

****

Bertahun-tahun pernikahan ku dengan mas Ryan berjalan dengan sangat lancar. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Hidup yang aku jalani saat itu, adalah impian bagi hampir setiap wanita di dunia ini.

Punya suami tajir dan tampan, memiliki dua orang anak yang lucu dan pintar. Apa pun yang aku inginkan selalu tersedia. Aku bahkan tidak diperbolehkan untuk bekerja. Semua urusan dapur dan beres-beres rumah, sudah ada pembantu yang menyelesaikannya.

Untuk urusan anak-anak ku, sudah ada babysitter yang mengurusnya. Aku merasa hidup bagai seorang ratu, yang hampir sudah punya segalanya.

Namun setelah hampir delapan tahun menikah, dan anak pertama ku sudah berusia 7 tahun sedangkan anak bungsu ku sudah berusia 4 tahun, aku mulai merasa ada yang kurang dalam hidup ku.

Sesuatu yang sebenarnya sudah aku rasakan sejak lama, bahkan sejak di tahun awal-awal kami menikah. Sesuatu yang aku sebut 'kesepian'.

Yah... meski pun hidup ku bergelimang harta, tapi aku sering merasa kesepian. Aku sering merasa sendiri dan hampa. Karena jujur saja, sejak awal menikah, suami ku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Di tempat kerjanya.

Mas Ryan, memang lebih sering tidak berada di rumah, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan ia juga sering, tidak pulang selama beberapa hari, karena harus bekerja di luar kota dan juga luar negeri.

Awalnya aku coba mengerti, karena semua yang mas Ryan lakukan adalah untuk ku dan anak-anak. Namun bukan hanya materi yang aku butuhkan dari mas Ryan. Sebagai seorang istri, aku juga butuh perhatian dan kasih sayangnya.

Aku tahu, kalau mas Ryan sebenarnya sangat mencintai ku. Namun caranya mencintai ku, tidak seperti yang aku harapkan. Aku ingin mas Ryan lebih punya banyak waktu untuk ku dan anak-anak. Aku ingin mas Ryan, lebih sering berada di rumah.

Kadang aku iri melihat pasangan suami istri yang sering jalan-jalan berdua. Sering liburan bersama keluarga.

Namun mas Ryan berbeda, ia bahkan hampir tidak pernah mengajak aku dan anak-anak liburan. Kalau pun harus liburan, biasanya aku hanya bersama anak-anak dan pembantu. Mas Ryan lebih menunjukan rasa cintanya, dengan memberi aku materi yang berlimpah.

Aku jadi sering merasa kesepian, terutama di malam hari. Aku sering menangis sendiri, mengingat itu semua. Aku merasa istri yang terabaikan.

Aku pernah menyampaikan hal tersebut kepada mas Ryan, namun ia justru memarahi ku, dan menganggap aku tidak mendukung atas semua usahanya tersebut. Hingga pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mencoba menjalani semuanya dengan lapang dada.

Aku nikmati sepi ini, dengan tetap berusaha berpikir positif. Aku coba menguatkan diri ku sendiri. Setidaknya aku masih punya anak-anak, dan kehidupan yang mewah.

Tapi biar bagaimana pun, aku ini hanyalah seorang wanita biasa. Aku juga butuh kasih sayang dan perhatian, terutama dari seorang laki-laki. Setidaknya dari suami ku sendiri. Meski hal itu sangat sulit untuk aku dapatkan.

****

Kesepian ku semakin lama semakin terasa menyiksa bagi ku. Apa lagi akhir-akhir ini mas Ryan semakin jarang pulang ke rumah. Sekali pun ia pulang, itu pun hanya untuk beristirahat sejenak, lalu pergi lagi. Aku baginya hanyalah sebuah hiasan, yang hanya ia pandang, tanpa ada keinginannya untuk menyentuh.

Aku mulai merasa terabaikan. Kesepian ku kian memuncak dan kelam.

Hingga akhirnya semua itu terjadi....

Yah... entah dari mana semua itu berawal. Namun yang pasti, aku akhirnya sebuah kesalahan. Kesalahan yang sangat besar dan fatal.

Namanya David. Dia sopir baru keluarga kami. Usianya baru sekitar 28 tahun. David sudah bekerja selama kurang lebih setahun bersama kami, semenjak sopir lama kami mengundurkan diri, karena sudah cukup tua.

David seorang pemuda yang berwajah lumayan tampan, dengan postur tubuhnya yang kekar dan terlihat sangat proporsional. Seorang laki-laki ramah dan murah senyum.

Awalnya, aku tidak begitu memperhatikan David. Bagiku ia hanyalah seorang sopir. Dan kebetulan juga, mas Ryan lah yang memperkerjakan David bersama kami, karena masih ada hubungan keluarga katanya.

Namun semakin sering menghabiskan waktu bersama David, diam-diam aku mulai memperhatikannya. Entah mengapa, aku merasa tertarik, untuk mengenal David lebih jauh lagi. Apa lagi selama ini, aku memang jarang dekat dengan seorang laki-laki.

Mas Ryan adalah pacar pertama ku, setelah menikah dengannya, aku tak pernah lagi mengenal dekat seorang laki-laki dalam hidup ku. Dan kehadiran David mampu membuatku merasa tergugah, untuk lebih dekat dengannya.

Aku menyadari, semua itu terjadi, karena mas Ryan yang sangat jarang berada di rumah. Apa lagi mas Ryan juga sangat jarang memuji ku apa lagi memanjakan ku, seperti awal-awal pernikahan kami dulu.

Aku tahu, itu bukan alasan, tapi rasa sepi ku benar-benar sudah tidak bisa aku bendung lagi. Dan kehadiran David yang masih muda, penuh perhatian dan ramah, membuat aku tak bisa menolak kehadirannya dalam pikiran ku yang sepi.

Apa lagi, aku juga sering menghabiskan waktu bersama David. Saat ia mengantarku berbelanja, saat ia mengantarku pergi arisan, atau pun saat ia mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah bersama ku.

David juga tinggal serumah dengan kami. Hal itu semakin membuat aku punya banyak kesempatan, untuk sekedar mengobrol dengannya.

David mampu menghiburku. Ia mampu mengusir rasa sepi ku. Tawa ku yang sempat hilang, karena selalu merasa kosong, tiba-tiba terdengar renyah kembali, dengan segala keluguan dan kelucuan yang David ciptakan untuk sekedar menghibur ku.

Aku terlena dengan semua itu. Aku mulai terhanyut dengan perasaan ku terhadap David. Pelan-pelan aku mulai mengaguminya. Ada perasaan suka menyelinap masuk ke relung hati ku yang sepi.

Rasa itu, kian lama kian berkembang. Aku tak bisa lagi membendungnya. Aku tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan David, terutama saat malam menjelang tidur.

Wajah tampan dan tubuhnya yang gagah, selalu menghiasi fantasi liar ku. Aku terjebak dalam rasa suka yang tidak bisa aku kendalikan. Aku merasa nyaman saat bersama David. Hidupku jadi lebih berwarna karena kehadirannya.

Lalu salahkah aku, bila aku katakan aku telah jatuh cinta padanya? Salahkah aku jika pada akhirnya, ada rasa ingin memilikinya tumbuh begitu besar di hati ku? Salahkah aku jika aku ingin selalu bersamanya?

Karena hanya bersamanya aku merasa tenang dan damai. Hanya bersama aku bisa menjadi diri ku sendiri. Hanya bersamanya, aku bisa merasakan keindahan hidup.

****

Pada akhirnya, aku tidak bisa lagi memendam semua itu. Aku tidak ingin menutupinya lagi. Aku ingin David tahu, kalau aku mencintainya. Aku ingin David tahu, kalau aku menginginkannya.

Hingga akhirnya, aku pun memberanikan diri, untuk mengungkapkan semuanya kepada David secara blak-blakan. Aku ungkapkan semuanya kepada David. Dan dengan sedikit memohon, aku berharap David bisa menerima ku.

Dan sungguh di luar dugaan ku, tidak penolakan sedikit pun dari David. Dia menyambutkan dengan penuh kehangatan. Dia memberikan semua yang aku butuhkan darinya. Kasih sayang, perhatian dan cinta.

Aku yang selama ini, seperti bunga yang layu, karena tak pernah disirami, kini seakan mekar kembali. Aku yang selama ini, ibarat sumur yang kering, kini telah kembali basah, dengan air yang melimpah.

Aku tumpahkan semua kesepian ku kepada David. Aku berikan semuanya. Aku buka hatiku lebar-lebar, untuk menyambut kehadiran David yang begitu indah. Dan aku merasa sangat lega.

Segala kesepian seakan sirna seketika. Segala kehampaan ku seakan lebur menjadi satu dalam sebuah keindahan cinta yang aku persembahkan hanya untuk David.

Aku biarkan David membawa ku berlayar dalam kidung cinta yang indah. Aku menjadi sedikit liar bersama David. Mengingat sudah sangat lama, aku tak pernah lagi merasakan hal tersebut.

Dan aku terlena, terpukau dan sangat terkesan. Karena apa yang David berikan, jauh lebih indah dari apa yang pernah aku rasakan bersama mas Ryan. David benar-benar memanjakan ku dengan cara yang sangat indah.

****

Aku dan David menjalin hubungan secara diam-diam. Kami pacaran, dan sama-sama dilanda asmara. Cinta kami menyatu. Hati kami saling mengikat. Dan aku menemukan kebahagiaan lain bersama David.

Berbulan-bulan hubungan ku bersama David terjalin dengan indah. Berbulan-bulan aku merasakan semua keindahan tersebut. Dan aku merasa sangat terlena dengan semua itu.

Hingga aku merasa, seolah-olah aku bukan lagi istri dari seorang suami. Cinta ku kepada David benar-benar membuat aku lupa, akan status ku saat ini. Aku tak peduli lagi, sekali pun mas Ryan hanya pulang sekali sebulan. Aku tak peduli.

Semakin mas Ryan tidak ada di rumah, aku semakin merasa aman. Aku semakin punya banyak kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua bersama David.

Namun, tidak ada kesalahan yang akan lepas dari yang namanya hukuman. Tidak ada kesalahan yang tidak akan mendapatkan imbalannya. Semua pasti ada resikonya. Sepandai apa pun aku menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga.

Ketika pada suatu malam, mas Ryan pulang ke rumah tanpa mengabari ku. Ia akhirnya memergoki ku bersama David di dalam kamar, yang pintunya hampir selalu lupa aku kunci. Mas Ryan dapat melihat dengan jelas apa yang sedang kami lakukan.

Aku kaget, David juga. Kami sama-sama panik dan segera saling menjauh. Namun mas Ryan sudah terlanjur melihat perbuatan kami. Ia terlihat sangat marah.

Dengan spontan mas Ryan berlari mengejar David. Sebuah pukulan mendarat di wajah David yang sudah pucat pasi tersebut. Tak berhenti hanya sampai disitu, belum sempat David memutar kepala kembali, pukulan kedua pun mengenai dagu nya, dilanjutkan dengan pukulan selanjutnya.

Saat David akhirnya terjerembab ke bawah, mas Ryan mulai menggunakan kakinya, untuk memberikan tendangan keras ke bagian perut David. David terjerit beberapa kali. Aku juga. Aku turut histeris melihat itu semua.

Tapi mas Ryan tak berniat untuk berhenti. Setelah merasa puas melampiaskan kemarahannya kepada David, ia berpindah mendekati ku. Sebuah tamparan tajam mengenani pipi ku yang sudah basah oleh air mata sejak tadi.

Aku terjerit lagi. Tapi mas Ryan tak peduli, ia kembali melayangkan tangannya padaku. Beberapa kali. Sambil terus mengucapkan segala sumpah serapahnya kepada kami berdua. Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya saling menjerit.

Hingga akhirnya, seorang pembantu masuk dan mencoba menenangkan mas Ryan. Meski tak mudah, pembantu itu pun berhasil membawa mas Ryan untuk keluar dari kamar tersebut, yang memberi kami kesempatan untuk segara keluar dari sana.

Kejadian malam itu, begitu cepat dan begitu menyakitkan. Aku tidak pernah menduganya sama sekali. Mas Ryan memang layak untuk marah. Dan kami juga sangat layak untuk di perlakukan demikian. Bahkan lebih dari itu.

****

Akhirnya, mas Ryan mengusir aku dan David dari rumah tersebut. Ia tak pedulikan permohonan maaf kami berdua. Dan aku menyadari, kalau kami memang tidak pantas untuk mendapatkan maafnya.

Dengan sangat terpaksa aku dan David pun harus pergi dari rumah tersebut, sebelum mas Ryan berubah pikiran dan memperpanjang persoalan itu. Kami memang harus pergi.

Aku menyadari kalau kesalahan ku sangatlah fatal. Dan aku harus menerima semua hukumannya. Aku harus meninggalkan semua kehidupan mewah yang telah aku jalani selama bertahun-tahun. Dan lebih parah lagi, aku juga harus kehilangan anak-anak ku.

Mas Ryan tidak memperpanjang persoalan tersebut, dia hanya ingin kami pergi untuk selamanya, dan tidak pernah kembali lagi. Dan dia juga tidak akan mengizinkan aku untuk bertemu anak-anak ku lagi.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah orangtua ku di kampung, tanpa berani menceritakan apa yang telah terjadi. Aku hanya terdiam seribu bahasa, saat ibu dan ayahku mencoba mewancarai ku. Aku belum siap untuk bercerita kepada mereka, atas kesalahan ku tersebut.

Sementara, aku tak tahu lagi, bagaimana kabar David saat ini. Aku memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengan David. Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Kini aku hanya hidup dalam penyesalan yang tak berujung. Aku telah kehilangan semuanya. Kehidupan ku dan juga anak-anak ku. Hanya karena aku tidak bisa menahan diri, dari pahitnya rasa sepi.

Mungkin aku memang salah, karena lebih memilih mencari cara lain untuk menghilangkan kesepian ku selama ini. Seharusnya aku tidak melakukan hal tersebut. Seharusnya, aku lebih memilih, untuk membicarakannya lebih dalam bersama mas Ryan.

Tapi semua sudah terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa pasrah. Ini adalah hukuman yang pantas aku terima atas semua kesalahan ku.

Apa lagi tak lama kemudian, mas Ryan pun melayangkan surat cerai padaku. Dan dengan kekuasaannya, ia berhasil membuat hak asuh kedua anak-anak kami, jatuh sepenuhnya ke tangannya. Yang berarti aku tidak bisa lagi bertemu dengan anak-anak ku, apa pun caranya.

Aku tak bisa melawan hal tersebut. Aku tak punya kuasa akan hal itu. Aku hanya seorang wanita desa, yang mencoba mencari kebahagiaan dengan cara yang salah. Dan apa pun cerita ku, di mata orang-orang aku sudah pasti menjadi orang yang paling bersalah.

Aku juga tidak berniat untuk membenarkan diri. Mengingat hal itu memang sudah tidak penting lagi sekarang. Seperti apa pun aku berusaha untuk membenarkan tindakan ku, aku tetap berada di posisi yang dipersalahkan dalam hal ini.

Aku hanya berharap, semoga aku bisa melupakan semuanya. Aku hanya berharap, semoga aku bisa memperbaiki diri, dan menjadi orang yang lebih baik lagi. Semoga semua kejadian ini, mampu memberi pelajaran yang berharga dalam hidup ku.

Yah... semoga saja...

****

Simak kisah menarik lainnya :

Saat suami di penjara 

Bersama mama teman ku

Mama Muda (part 2)

Mama Muda (part 1)

Akibat kawin kontrak

Cari Blog Ini

Layanan

Translate