Bersama sopir truck gagah

Aku seorang janda, yang sudah punya dua orang anak. Usia ku sekarang masih 32 tahun. Dan aku baru saja bercerai dengan suami ku. Padahal pernikahan kami sudah berjalan selama kurang lebih 10 tahun.

Aku memang menikah di usia yang masih cukup muda, masih 22 tahun usia ku saat itu. Tapi aku dan mas Radit, mantan suami ku tersebut, sudah pacaran lebih dari tiga tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Karena mas Radit sendiri, saat itu, sudah berusaia 27 tahun, dan ia juga sudah punya pekerjaan tetap.

Kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan pernikahan kami juga berjalan dengan sangat baik, awalnya. Semua terasa begitu indah bagi ku. Rumah tangga kami terkesan cukup bahagia. Meski pun secara ekonomi, kehidupan kami boleh dibilang cukup mapan.

Mas Radit yang memang sudah punya pekerjaan tetap sejak lama, memang punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Bahkan setelah bertahun-tahun menikah, kami juga sudah mampu membangun rumah sendiri.

Kami memang tinggal di kampung selama ini. Namun kami tetap merasa bahagia. Hari-hari yang kami lalui, terasa begitu indah dan penuh warna. Apa lagi semenjak keluarga kecil kami dilengkapi dengan kehadiran dua orang buah hati kami.

Tapi ternyata semua keindahan itu hanya mampu bertahan selama 10 tahun, karena pada akhirnya, aku pun mengetahui kalau suami ku sudah menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda dari ku.

Tentu saja, aku merasa patah hati menyadari hal tersebut. Mas Radit yang aku sangka adalah laki-laki setia selama ini, ternyata diam-diam sudah punya wanita idaman lain dalam hidupnya. Dan hal itu baru aku ketahui, setelah lebih dari dua tahun mereka menjalin hubungan dibelakang ku.

Aku kecewa, marah, depresi dan hampir gila karenanya. Aku tak sanggup menerima kenyataan tersebut. Semua itu sungguh sangat berat bagi ku. Apa lagi, kedua anak-anak ku masih cukup kecil. Anak pertama kami masih berusia 9 tahun, sedangkan si bungsu masih 4 tahun usianya.

Namun karena anak-anak ku juga, aku terpaksa harus kuat menghadapi itu semua. Suami ku lebih memilih wanita simpanannya, dari pada harus mempertahankan rumah tangga kami. Ia memilih untuk pergi bersama perempuan tersebut, serta meninggalkan aku dan anak-anak.

Kekecewaan ku begitu dalam. Aku merasa semuanya begitu menyakitkan. Apa lagi selama ini, aku memang tidak bekerja sama sekali, selain menjalankan tugas ku sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena itu, aku menjadi sedikit linglung, ketika akhirnya mas Radit pergi.

Tapi, sekali lagi, demi anak-anak, aku memang harus tegar. Aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan ku. Aku harus bisa bangkit kembali. Aku harus bisa menerima kenyataan tersebut. Kenyataan bahwa suami ku tidak lagi bersama ku.

Tidak mudah bagi ku untuk bisa pulih kembali. Aku masih sering menangis, bila mengingat semua itu. Namun kebersamaan ku dengan kedua buah hati ku, cukup membuat aku selalu merasa terhibur. Meski pun mereka berdua, juga merasa sangat kehilangan ayahnya.

Dengan perlahan, aku pun mencoba untuk bangkit kembali. Membasuh luka-luka ku sendiri. Melupakan semua yang pernah terjadi. Aku harus bisa pulih, setidaknya demi anak-anak ku.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk menjual rumah kami, tanpa harus meminta persetujuan mas Radit, mantan suami ku tersebut. Aku ingin melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di rumah tersebut. Aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Setelah rumah itu berhasil terjual, aku pun memutuskan untuk pindah dari desa ku. Aku membeli sebidang tanah yang berada tepat di pinggir jalan lintas antar provinsi. Aku berencana untuk membuka usaha warung makan di sana. Karena hanya itu satu-satunya keahlian yang aku punya.

Beruntunglah uang hasil penjualan rumah cukup untuk aku jadikan modal untuk membuka usaha tersebut. Meski pu kedua orangtua ku dan beberapa orang keluarga ku, tidak setuju keputusan ku tersebut. Tapi aku berhasil meyakinkan mereka, kalau itu adalah jalan yang terbaik untuk aku dan anak-anak.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku akhirnya berhasil membuka sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan lintas antar provinsi tersebut. Semenjak aku memutuskan untuk pindah dari desa ku.

Meski pun awalnya hal itu tidak mudah bagi ku. Apa lagi kedua anak-anak ku juga harus beradaptasi lagi dengan lingkungannya yang baru. Beruntunglah di tempat tinggal kami yang baru tersebut, terdapat sebuah sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Hal itu cukup membantu aku dalam menjalankan usaha warung makan ku. Karena aku tidak harus repot-repot mengantar dan menjemput anak-anak ku ke sekolah. Sehingga aku bisa membuka warung ku dari pagi sampai malam.

Aku juga membangun sebuah rumah kecil di belakang warung kami, untuk tempat kami tinggal. Rumah itu terhubung langsung dengan warung di depannya. Sehingga lebih mempermudah segala pekerjaan ku. Baik pekerjaan rumah dan juga usaha warung makan ku.

Awalnya memang hampir tidak ada orang yang mampir di warung kami. Karena mungkin mereka belum menyadari akan keberadaan warung tersebut. Namun setelah beberapa bulan berjalan, warung makan ku pun mulai sedikit ramai. Banyak para sopir bus dan juga para sopir truck yang akhirnya sering singgah di warung ku, untuk beristirahat dan juga untuk makan-makan.

Bukan hanya para sopir bus atau pun sopir truck yang sering singgah untuk makan di warung ku, tapi juga beberapa kendaraan pribadi. Bahkan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, juga banyak berbelanja di warung makan ku itu.

Dengan perlahan, warung ku pun mulai berkembang. Aku juga sudah sanggup mempekerjakan dua orang pelayan, untuk membantu ku menjalankan usaha warung makan ku tersebut. Warung makan ku itu pun sudah mulai dikenal, terutama dikalangan para sopir truck.

Aku menyadari, sebagian besar dari mereka yang suka makan di warung makan ku itu, adalah karena mereka tahu, kalau aku ini merupakan seorang janda. Hal itu cukup menjadi salah satu alasan, mengapa para sopir truck jadi rajin singgah di warung ku.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut. Aku berusaha tetap bersikap biasa saja akan hal itu. Meski pun tak jarang dari beberapa orang sopir truck itu, sering menggoda ku. Sering melemparkan pujian-pujian yang kadang aku sendiri sedikit geli mendengarnya.

"hei dek Mar yang cantik.. abang pesan seperti biasa yaa..." celetuk mereka. Atau..

"aduh... dek Mar ini semakin hari semakin cantik aja ya..." ucap mereka.

Kalimat-kalimat seperti memang hampir setiap hari aku dengar dari para sopir truck tersebut.

Aku tahu, kalau sebagian besar dari para sopir truck yang sering mampir di warung makan ku tersebut, mereka sudah menikah dan sudah punya anak. Karena rata-rata mereka semua sudah berusia diatas 40 tahun. Bahkan ada yang usianya sudah lebih dari 50 tahun.

Aku juga tahu, mereka semua hanya sekedar menggoda ku, karena mereka tahu kalau aku ini seorang janda. Mungkin hal itu seperti sebuah hiburan tersendiri bagi mereka. Apa lagi para sopir truck tersebut, memang sangat jarang pulang ke rumah. Mereka sangat jarang bertemu istri dan anak-anak mereka.

Aku mencoba menganggap hal tersebut, sebagai sesuatu yang biasa. Selama mereka tetap bisa menjaga sikap mereka dengan baik, tidak berusaha untuk bertindak macam-macam padaku, yah ... menurut ku apa salahnya. Toh mereka semua itu adalah pelanggan ku. Jadi aku harus tetap bersikap baik dan ramah kepada mereka semua.

****

Hari-hari berlalu, bulan pun berganti bulan, hingga hampir dua tahun, aku menjalani kehidupan seperti itu. Entahlah... entah aku bahagia dengan semua itu atau tidak. Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mencoba untuk bertahan hidup, dan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan anak-anak ku.

Kedua anak-anak ku adalah prioritas bagi ku saat ini. Aku harus bisa membuat mereka hidup yang layak. Aku tidak ingin mereka merasa kekurangan apa pun, baik itu kekurang kasih sayang maupun kekurang materi. Karena hingga saat ini, mas Radit, mantan suami ku tersebut, ayah dari anak-anakku itu, tidak pernah sama sekali mengirimkan uang kepada mereka apa lagi menjenguk mereka, anak-anaknya.

Terakhir aku dengar kabar, kalau mas Radit sudah punya anak lagi bersama istri barunya. Hal itu tentu saja, membuat ia tidak lagi memikirkan kedua anak-anak ku. Meski pun sejujurnya, aku juga merasa senang akan hal tersebut. Karena dengan begitu, kedua anak-anak ku akan sepenuhnya menjadi milik ku.

Aku juga mulai merasa nyaman dengan semua ini. Aku mulai terbiasa hidup dengan kesendirian ku, tanpa seorang suami di samping ku. Hidup ku terasa lebih bebas dan tanpa beban. Aku merasa lebih baik dari kehidupan ku sebelumnya. Apa lagi sekarang kedua anak-anak ku juga sudah mulai tumbuh besar. Mereka juga terlihat sangat bahagia.

Sampai akhirnya, aku bertemu dan berkenalan dengan mas Jaka. Ia seorang sopir truck, yang baru-baru ini sering mampir di warung makan ku. Sebelumnya aku belum pernah melihat mas Jaka mampir di warung ku ini.

Ada beberapa hal yang membuat aku jadi merasa sedikit tertarik dengan kehadiran mas Jaka akhir-akhir ini di warung ku. Bukan saja karena ia memang memiliki wajah yang diatas rata-rata, apa lagi jika hanya dibandingkan dengan para sopir truck lain yang sering singgah di warung ku.

Mas Jaka memiliki raut wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang cukup kekar serta berotot. Berbeda dengan sopir truck lainnya, yang kebanyakan berperut buncit, mas Jaka justru memiliki perut yang terlihat sixpack.

Dan bukan hanya itu, jika para sopir lain sering menggoda ku, tapi mas Jaka justru terlihat sangat pendiam. Namun ia tetap ramah dan penuh senyum. Dan senyumnya juga manis. Entah mengapa semua itu, benar-benar telah mampu menarik perhatian ku.

Meski pun aku yakin, kalau mas Jaka pasti sudah menikah, karena kalau dilihat dari tampangnya, ia mungkin sudah berusia 35 atau 37 tahun. Dan dengan semua pesonanya itu, tidak mungkin ia belum menikah, karena pasti sangat banyak perempuan yang mau dengannya.

Setidaknya begitulah penilaian ku terhadap mas Jaka, lelaki tampan si sopir truck yang baru aku kenal itu.

****

Berbulan-bulan aku mengenal mas Jaka, kami juga sudah sering ngobrol. Meski pun terlihat pendiam, mas Jaka orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Ia sangat ramah dan penuh perhatian.

Hal itu justru membuat rasa tertarikku kini berubah menjadi rasa kagum. Aku jadi merasa sedikit penasaran dengan mas Jaka. Aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

"jadi.. mas Jaka memang sudah menikah ya?" tanya ku pada suatu malam, dalam usaha ku untuk lebih mengenal mas Jaka.

"hmmm... lebih tepatnya sih pernah menikah..." balas mas Jaka.

"maksudnya, mas?" tanya ku lagi.

"yah... sama seperti kamu, aku memang pernah menikah, tapi sekarang sudah tidak lagi..." balas mas Jaka, terdengar santai.

"jadi mas Jaka ini duda toh?" ucapku menegaskan.

"begitulah kira-kira... " balas mas Jaka.

"sudah berapa lama?" tanya ku sekedar ingin tahu.

"belum lama sih.. baru beberapa bulan... dan aku juga sudah punya satu orang anak..." jelas mas Jaka, seakan memberi aku peringatan akan statusnya saat ini.

"oh.." aku hanya bisa membulatkan bibir mendengar hal tersebut.

Dan entah mengapa, aku merasa senang mendengar hal tersebut. Setidaknya, kalau mas Jaka seorang duda, itu artinya aku tidak perlu harus merasa bersalah, jika aku ingin lebih dekat dengan mas Jaka. Karena kami sama-sama sudah tidak punya pasangan lagi.

Dan sejak itu pula, aku dan mas Jaka pun semakin akrab dan dekat. Mas Jaka juga semakin sering mampir di warung ku. Kami juga jadi semakin sering ngobrol. Dan entah mengapa juga, aku merasa bahagia akan hal tersebut.

Dari yang tadinya hanya rasa tertarik, kemudian berubah menjadi rasa kagum, dan kini rasa itu kembali berkembang menjadi rasa suka. Bahkan mungkin sudah menjadi rasa cinta, dan juga rasa sayang.

Yah.. suka tidak suka, sadar tidak sadar, aku memang telah jatuh cinta kepada mas Jaka. Segala perhatiannya, sikapnya yang ramah dan lembut, benar-benar telah membuat aku merasa terlena. Aku terbuai dalam gelora asmara. Aku dilanda kasmaran. Untuk yang kedua kalinya dalam hidup ku.

Meski pun aku belum tahu pasti, apa yang dirasakan oleh mas Jaka terhadap ku saat ini. Ia memang selalu baik padaku, bahkan juga kepada anak-anak ku. Ia selalu perhatian padaku. Ia juga sering membantu aku berjualan. Meski hal itu, membuat para sopir lain terlihat cemburu. Tapi mereka juga cukup sadar diri, mas Jaka bukan saingan yang sebanding bagi mereka.

***

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Mar..." ucap mas Jaka pada suatu malam. Saat itu warung memang sudah tutup, dan kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak juga sudah pada tidur.

"mau ngomong apa sih, mas? Serius amat..." balas ku dengan nada sedikit menggoda.

"sebenarnya... aku suka sama kamu, Mar... Aku jatuh cinta sama kamu, sudah sejak lama... Maukah kamu menjadi pacarku?" ucap mas Jaka terkesan sangat blak-blakan.

Aku yang memang juga telah jatuh cinta pada mas Jaka, tentu saja merasa sangat bahagia mendengar hal tersebut. Karena itu, aku pun tersenyum sambil menatap wajah tampan milik mas Jaka.

"kok senyum gitu sih? Jawab dong..." mas Jaka berucap lagi.

"iya.. aku mau, mas. Karena aku juga cinta sama mas Jaka..." ucapku akhirnya.

Dan mas Jaka pun ikut tersenyum mendengar hal tersebut.

"kamu serius?" tanyanya, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

"iya, aku serius.." balasku pelan.

"jadi mulai malam ini, kita pacaran?" tanya mas Jaka lagi.

"iya, mas.. kan sudah cukup jelas, kalau kita memang saling cinta... gak perlu jadi seperti anak ABG lagi dong..." balasku lembut.

"kalau gitu, aku boleh... cyum kamu?" mas Jaka berucap kembali.

"hmmm... gimana ya? Boleh gak ya..." aku sengaja menjawab dengan suara sedikit manja.

"ayolah... kita kita sudah resmi pacaran..." ucap mas Jaka kemudian.

"iya boleh..." balasku lagi, masih dengan suara manja.

Dan tanpa menunggu lama, mas Jaka pun mulai mendekatkan wajahnya. Pelan namun pasti, semua itu pun akhirnya terjadi.

Mungkin karena kami sama-sama sudah lama tidak merasakan hal tersebut, sehingga kami lebih mudah terbawa suasana. Dan dengan perlahan, kami mulai terhanyut dalam buaian keindahan sebuah cinta.

Hingga akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya, setelah dua tahun aku bercerai dari mantan suami ku, aku pun bisa merasakan hal itu lagi. Aku bisa merasakan keindahan itu kembali, setelah sekian lama.

Aku merasa bahagia. Mas Jaka sangat berpengalaman. Dan aku juga ingin membuat mas Jaka tahu, kalau aku juga sudah berpengalaman dalam hal tersebut. Hingga kami sama-sama berusaha, untuk saling memberi dan menerima.

Sampai akhirnya setelah pendakian yang cukup panjang, kami pun sama-sama terhempas dalam lautan penuh cinta. Lalu kami sama-sama tersenyum penuh arti.

****

Sejak malam itu, aku dan mas Jaka memang telah resmi berpacaran. Kami jadi semakin dekat. Mas Jaka juga jadi semakin sering mampir di warung ku. Bahkan ia juga ikut membantu ku berjualan.

Mas Jaka juga cukup pandai mengambil hati anak-anak ku. Ia bisa menjadi akrab bersama anak-anak ku dengan mudah. Kedua anak ku juga terlihat sangat menyukai mas Jaka. Aku semakin merasa bahagia dengan semua itu.

Aku juga semakin merasa yakin, kalau mas Jaka adalah laki-laki yang tepat untuk ku saat ini.

Hingga berbulan-bulan berlalu. Hubungan kami juga terjalin dengan indah. Cinta ku kepada mas Jaka juga tumbuh semakin besar, dari hari ke hari. Rasanya aku tidak ingin melepaskan laki-laki itu lagi.

"jadi kapan mas Jaka akan melamar ku?" tanyaku pada suatu malam, seperti biasa.

"kamu sabar ya... aku masih butuh waktu... kita juga belum lama pacaran kan... jadi yah... kita tunggu aja beberapa bulan lagi..." balas mas Jaka.

"emangnya mau menunggu apa lagi sih, mas? Kan kita sudah sama-sama single. Kita juga bukan anak remaja lagi. Jadi...  aku rasa kita memang harus cepat-cepat nikah, mas. Sebelum orang-orang semakin curiga dengan hubungan kita..." ucapku kemudian.

"iya.. kita pasti akan nikah, kok. Tapi... gak harus sekarang... kamu sabar aja dulu..." balas mas Jaka, sedikit kurang yakin dengan ucapannya sendiri.

"oke... aku akan sabar.... tapi... aku juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Aku butuh kepastian, mas." ucapku akhirnya.

****

Dan sang waktu pun terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Sudah lebih dari setahun aku dan mas Jaka berpacaran. Tapi mas Jaka belum juga berencana untuk melamar ku. Meski sudah berkali-kali aku mempertanyakan hal tersebut. Tapi jawabannya selalu sama. Dia selalu meminta aku untuk sabar.

Awalnya aku mencoba untuk sabar. Aku mencoba untuk terus mengerti. Walau pun aku tidak tahu pasti alasan apa sebenarnya, yang membuat mas Jaka belum mau menikah dengan ku.

Sampai pada suatu saat, aku akhirnya tahu, kalau mas Jaka ternyata sudah kembali lagi bersama mantan istrinya. Hal itu aku ketahui, dari cerita seorang teman sopir mas Jaka, yang cukup kenal dan dekat dengan mas Jaka.

Mulanya aku tidak percaya, tapi lelaki itu mampu meyakinkan ku, kalau apa yang ia ceritakan adalah benar adanya. Ia juga tidak mungkin berbohong.

Karena itu, aku pun memberanikan diri untuk mempertanyakan hal tersebut kepada mas Jaka.

"apa benar, kalau mas Jaka sudah rujuk lagi sama istri mas Jaka?" tanyaku ketus.

"kamu tahu hal itu dari mana?" mas Jaka justru balik bertanya.

"tidak penting aku tahu nya dari mana. Yang penting mas jawab aja pertanyaan ku, benar atau tidak.." ucapku lagi, masih terdengar ketus.

"oke... sejujurnya, iya.... aku memang sudah kembali lagi bersama istri ku, karena orangtuaku dan juga demi anak ku..." balas mas Jaka akhirnya.

Untuk sesaat aku terdiam. Meski pun aku sudah tahu pasti hal tersebut, namun tetap saja hal itu terasa menyakitkan, ketika aku harus mendengarnya langsung dari mulut mas Jaka.

"Tapi... aku sudah tidak mencintai istri ku lagi.. Aku hanya mencintai kamu, Mar.." tiba-tiba mas Jaka berucap kembali.

"gak penting kamu masih mencintainya atau tidak, mas. Tapi yang pasti saat ini, status kamu adalah suami orang. Dan aku tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan suami orang. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian, mas.." ucapku membalas.

"jadi lebih baik sekarang.. kita akhiri saja semua ini. Mulai sekarang, lebih baik mas Jaka jangan pernah menemui ku lagi.." aku melanjutkan.

"kamu tidak mencintai ku, Mar?" mas Jaka bertanya demikian, entah untuk tujuan apa.

"aku sangat mencintai kamu, mas. Tapi aku tidak ingin berpacaran dengan orang yang sudah menikah. Aku tidak ingin menyakiti hati istri kamu, mas. Biar bagaimana pun, aku pernah berada di posisi tersebut. Aku pernah merasakan betapa sakitnya, ketika aku tahu, kalau suami ku punya wanita lain di luar sana.." balas ku tajam.

"aku sangat mencintai kamu, Mar. Aku tak ingin kita pisah. Tapi .. aku juga tidak mungkin menceraikan istri ku lagi... Jadi.. aku mohon, Mar. jangan minta aku pergi dari hidup mu..." suara mas Jaka sedikit menghiba.

"yah... gak bisa gitu dong, mas. Itu egois namanya. Mas harus tetap memilih. Dan selama mas belum bisa menentukan pilihan, lebih baik kita jangan pernah bertemu lagi..." balasku berusaha tegas.

****

Dan sejak malam itu, mas Jaka tidak pernah lagi singgah di warung ku. Ia benar-benar pergi. Dan entah mengapa, aku merasa kecewa. Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku harus dikecewakan oleh orang yang aku cintai. Dan hal itu terasa sangat menyakitkan.

Padahal aku sudah terlanjur mencintai mas Jaka. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Aku terlanjur sudah menyerahkan segalanya untuknya. Tapi... pada akhirnya, mas Jaka lebih memilih untuk kembali bersama istrinya lagi.

Aku kecewa, aku merasa terluka. Aku merasa, mas Jaka hanya sekedar memanfaatkan ku selama ini. Aku hanya dijadikannya sebagai pelarian, untuk mengisi kekosongannya. Dan saat ia sudah tidak membutuhkan ku lagi, aku pun dicampakkannya.

Kini, aku kembali dengan kesendirian ku. Aku kembali dengan semua rasa sepi ku.

Namun, mungkin memang lebih baik seperti ini. Mungkin memang lebih baik, aku hidup sendiri. Tanpa ada seorang laki-laki pun dalam hidupku. Karena kehadiran mereka, hanya akan membuat luka di dalam hatiku. Aku tidak ingin lagi mengenal laki-laki mana pun.

Semoga saja, aku mampu menjalani semua ini. Semoga saja, tidak ada laki-laki yang berusaha untuk mendekati dan memanfaatkan kesendirian ku.

Yah... semoga saja...

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate