Tampilkan postingan dengan label cerpen cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen cinta. Tampilkan semua postingan

Gadis desa

Namaku Kamal. Setidaknya begitulah orang-orang memanggil ku. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah ku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena itu, aku hanya bisa bersekolah hingga tamat SMA.

Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara. Kami tiga bersaudara semuanya laki-laki. Kedua kakak ku, yang juga hanya lulusan SMA, sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri. Kakak pertama ku bekerja menjadi seorang security di sebuah perusahaan. Sedangkan kakak kedua ku, punya usaha dagang kecil-kecilan di rumahnya.

Hanya aku satu-satunya yang mengikuti jejak ayah ku, dengan menjadi kuli bangunan. Aku juga sudah menikah, dan juga sudah punya dua orang anak. Saat ini, usiaku sudah 32 tahun.

Sejak lulus SMA, aku memang sudah mulai aktif ikut bersama ayahku bekerja menjadi kuli bangunan. Dan pada saat usia ku baru 24 tahun, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis, yang juga berasal dari keluarga kuli.

Pernikahan kami berjalan dengan baik. Meski pun secara ekonomi, kami masih sering kekurangan. Namun hal itu, tidak mengurangi kebahagiaan rumah tangga kami. Apa lagi sejak anak-anak kami lahir.

Karena sudah bertahun-tahun menjadi kuli, tentu saja aku sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Aku juga sudah sering bekerja menjadi kuli bangunan di luar daerah. Aku sering bepergian, untuk beberapa bulan, mengerjakan proyek-proyek yang ditawarkan padaku.

Aku juga  punya banyak kenalan, rekan-rekan kuli lainnya, yang berasal dari daerah yang berbeda. Setiap kali aku mengerjakan sebuah proyek bangunan, maka akan berbeda pula rekan kerja ku.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini. Kalau ditanya bahagia, aku memang merasa bahagia. Setidaknya aku masih punya penghasilan. Dan aku juga punya seorang istri yang pengertian, dan juga dua orang anak yang mulai tumbuh besar.

Tapi kadang-kadang, aku juga sering merasa sedih dan kesepian, terutama jika aku harus bekerja jauh di luar daerah ku. Karena tentu saja, hal itu membuat aku harus berpisah sementara dari istri dan anak-anak ku. Aku harus menahan rindu untuk bisa bertemu mereka, sampai proyek bangunan yang aku kerjakan itu selesai.

Dan itu kadang-kadang, bisa sampai berbulan-bulan.

****


Sampai pada suatu ketika...

Aku dan tiga orang rekan kerja ku sesama kuli, mendapatkan sebuah proyek bangunan sekolah. Proyek bangunan sekolah tersebut, terletak di sebuah desa yang sangat jauh dari perkotaan. Bahkan sangat jauh, dari daerah tempat aku tinggal.

Jalan untuk menuju desa itu bahkan masih merupakan jalan tanah, yang sangat becek, apa lagi jika di musim hujan. Jarak desa tersebut, sekitar 25 km lebih dari ibu kota kecamatan. Dan sepanjang jalan menuju desa tersebut, terdapat hutan belantara.

Di desa tersebut, masih belum ada listrik masuk. Tidak ada jaringan untuk telpon, apa lagi jaringan internet. Penduduk desa tersebut, masih sangat primitif. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan pada malam hari, mereka masih menggunakan lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas.

Di desa itu, memang belum ada sekolah sama sekali. Gedung sekolah yang akan kami bangun, adalah gedung sekolah dasar pertama di desa tersebut. Tentu saja pembangunan gedung sekolah itu, disambut dengan baik oleh semua warga desa.

Kami sampai ke desa tersebut, sekitar jam 3 sore. Kepala desa yang kami temui, langsung mengajak kami untuk menuju rumah tempat kami tinggal sementara, selama pengerjaan proyek gedung sekolah tersebut.

Sebuah rumah kosong, yang terlihat masih cukup terawat. Di samping rumah kosong tersebut, terdapat sebuah rumah lain, yang di huni oleh sebuah keluarga yang merupakan penduduk asli desa tersebut.

Selain kami berempat, kami juga akan dibantu oleh beberapa orang tukang yang berasal dari desa tersebut. Salah seorang tukang tersebut, adalah seorang laki-laki yang tinggal di samping rumah kosong yang akan kami tempati tersebut.

Lelaki yang sudah berusia di atas 50 tahun tersebut, merupakan salah seorang tukang bangunan senior di desa tersebut. Namanya pak Dadang. Dia tinggal bersama istri dan anaknya.

"Annisa.." lembut suara gadis itu menyebut namanya, saat kami saling berkenalan.

"Kamal.." jawab ku tegas.

Annisa adalah anak gadis satu-satunya dari pak Dadang, yang ia perkenalkan kepada kami sore itu. Sebelum kami menuju rumah kosong, tempat kami akan tinggal tersebut.

Pak Dadang juga memperkenalkan istrinya kepada kami. Beliau juga sempat cerita, kalau kedua anak laki-lakinya, sudah lama pergi merantau. Sehingga hanya mereka bertiga yang tinggal di rumah tersebut.

"jadi selama mereka berempat bekerja di sini, mereka akan tinggal di rumah kosong itu.." pak Dadang mencoba menjelaskan hal tersebut kepada istri dan anaknya.

"selain itu, selama mereka bekerja disini, ibuk sama Annisa lah yang akan memasak untuk mereka.." pak Dadang melanjutkan penjelasannya.

Karena memang, seperti yang kami sepakati dari awal, kami memang meminta jasa tukang masak dari warga desa setempat. Dan karena kebetulan pak Dadang juga ikut bekerja bersama kami, kami sekalian menawarkan untuk meminta istri nya memasak untuk kami.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas pak Dadang lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap Banu, salah seorang teman ku, sambil mengarahkan telunjuknya kepada ku yang berdiri tepat di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." aku memperjelas ucapan Banu tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." aku melanjutkan kalimat ku. Entah mengapa aku merasa harus mengatakan hal tersebut.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba istri pak Dadang ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas bang Baron, teman ku yang paling tua diantara kami dan merupakan kepala tukang kami.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." bang Baron berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." pak Dadang yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba istri pak Dadang bertanya, sebelum kami berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." balas bang Baron.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" istri pak Dadang bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas bang Baron lagi.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap istri pak Dadang kemudian.

****

Begitulah perkenalan singkat ku dengan Annisa. Putri bungsu dari pak Dadang. Gadis desa yang berparas cukup cantik, dan masih terlihat sangat muda.

Entah mengapa, sejak berkenalan dengan Annisa, aku jadi sedikit memikirkannya. Aku hanya tidak menyangka akan bertemu seorang gadis cantik di desa yang masih tertinggal ini.

Apa lagi, setelah ini, kami akan semakin sering bertemu. Selain karena kami sekarang bertetangga, Annisa juga akan setiap hari ke rumah kami, untuk sekedar mengantarkan makanan buat kami berempat.

Malam itu, setelah mandi dan makan malam, kami berempat pun berkunjung ke rumah pak Dadang. Sekedar untuk mengobrol, dan juga membahas tentang harga yang harus kami bayar, untuk biaya makan selama kami berada disana.

Malam itu, aku tidak melihat Annisa. Dia sepertinya hanya mengurung diri di kamar. Di desa yang sunyi dan gelap ini, keluar malam bukanlah hal biasa bagi para penduduk di sana. Kecuali memang ada hal yang penting, yang harus mereka lakukan di malam hari.

Dari cerita pak Dadang, kami pun tahu, kalau sebagian besar penduduk di desa ini, bekerja sebagai petani karet. Namun kebun karet yang mereka kelola, bukanlah milik mereka sendiri. Sebagian besar kebun karet tersebut, adalah milik para juragan kaya di desa tersebut, dan juga dari desa tetangga.

Dari cerita pak Dadang juga, kami jadi tahu, kalau selama ini, anak-anak usia sekolah dasar, itu hanya bisa bersekolah di desa tetangga, yang jarak lebih kurang 5 km dari desa tersebut. Dan sebagian besar dari mereka, hanya bersekolah sampai lulus SD. Terutama untuk anak-anak perempuan.

Karena kalau untuk melanjutkan ke tingkat SMP, mereka harus bersekolah ke ibu kota kecamatan, yang jaraknya lebih dari 25 km tersebut. Jadi, hanya bagi mereka yang mampulah, yang bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMP maupun SMA.

Sementara itu, bagi anak laki-laki, yang berasal dari keluarga kurang mampu, setelah lulus SD, banyak yang memilih untuk pergi merantau ke daerah lain. Karena tidak banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan jika tetap berada di desa tersebut.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, Annisa pun mengantarkan sarapan ke rumah kami para kuli bangunan.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa Annisa ramah, ketika dia sudah berada di rumah kami tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutnya lagi.

Aku hanya mendengar pembicaraan tersebut dari belakang, karena saat itu aku sedang mandi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." ku dengar Banu membalas.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kurang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucap Annisa kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk Tegar, salah seorang temanku yang lain, yang baru keluar dari kamar.

"kalian cuma bertiga?" ku dengar lagi Annisa bertanya.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas Tegar lagi.

"oh, begitu.." suara Annisa terdengar sangat pelan.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" kali ini bang baron yang bertanya.

"saya aja yang ambil nanti.." Annisa membalas dengan pelan.

Saat itu aku sudah selesai mandi, dan segera berjalan dengan sedikit terburu ke ruang depan, dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang ku.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." aku segera membuka suara, saat aku sudah berada diantara mereka berempat.

Mataku bersirobok pandang dengan mata indah milik Annisa. Entah mengapa dada ku jadi tiba-tiba berdebar hebat saat itu. Tatapan Annisa yang tajam ke arah ku membuat ku jadi sedikit jengah. Apa lagi aku sedang berdiri tanpa baju.

Aku dapat melihat, betapa pandangan Annisa pada ku, penuh arti. Mungkin ia belum pernah melihat laki-laki bertel4njang dada berdiri sedekat itu di depannya.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." aku mencoba menyambung ucapanku, sekedar menghilangkan grogi yang tiba-tiba aku rasakan, karena Annisa tak kunjung mengalihkan pandangannya dari ku.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balas Annisa, sambil akhirnya ia menundukan pandangannya.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." Annisa kembali berujar dengan cepat.

Aku merasa sedikit kecewa, karena Annisa harus pulang buru-buru. Padahal aku ingin ia lebih lama lagi disini.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Baron yang membalas ucapan Annisa.

Annisa segera berlalu dari kami. Sementara kami berempat jadi saling tatap. Entah apa yang ada dalam pikiran teman-teman ku. Aku yakin, mereka juga harus mengakui akan kecantikan Annisa. Apa lagi, saat ini, kami sama-sama jauh dari istri.

Kehadiran seorang gadis seperti Annisa, itu seperti air segar bagi kami. Untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dan juga sebagai pelepas rasa penat.

"ingat anak istri di rumah, Mal.." tiba-tiba bang Baron berucap, saat kami mulai menyantap sarapan tersebut.

"kenapa sih, bang?" tanya ku berlagak tidak paham.

"saya dapat melihat tatapan kamu sama Annisa, Mal. Dia memang gadis yang cantik, tapi... kamu harus ingat, kamu udah nikah..." bang Baron membalas pelan.

"alah... kayak kalian gak aja... tatapan kalian juga sama kok.." balas ku sedikit sengit.

 "iya... tapi cuma tatapan kamu yang dibalas sama Annisa..." kali ini Tegar yang berbicara.

"iya... kayaknya dari kemarin emang Annisa lebih sering memperhatikan kamu, Mal..." Banu ikut menimpali.

"ah.. kalian ada-ada aja..." balasku pelan, dengan perasaan yang tak karuan. Karena sebenarnya, aku juga dapat merasakan hal tersebut.

Bang Baron, Banu dan Tegar tidak lagi membalas ucapan ku. Kami sama-sama terdiam, menikmati sarapan pertama kami di desa tersebut.

****

Siang itu, aku pulang lebih awal, karena tiba-tiba perut ku sakit.

Saat itu, tiba-tiba Annisa datang, untuk mengantarkan makan siang kami.

"selamat siang, bang Kamal." sapa nya lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjutnya.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas ku, sambil aku mengambil alih makanan tersebut dari tangan Annisa

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya Annisa berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas ku pelan.

"abang sakit perut kenapa?" tanya Annisa terdengar merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas ku jujur.

"oh.." gumam Annisa membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" Annisa bertanya lagi.

Terus terang aku merasa senang bertemu Annisa siang itu, apalagi ia mau mengobrol dengan ku, mumpung aku juga lagi sendirian.

"enak, kok." aku membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" aku melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balas Annisa pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya Annisa melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas ku apa adanya.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucap Annisa terdengar jujur.

Akun tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapku.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucap Annisa seperti berusaha meyakinkanku.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelasku lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya Annisa sedikit berani.

Terus terang aku merasa kaget Annisa bertanya demikian.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas ku berusaha untuk jujur.

"oh, gitu.." Annisa berguman dengan nada kecewa.

Entah itu hanya perasaan ku saja, atau memang Annisa merasa kecewa, karena mengetahui kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi terlihat jelas di raut wajahnya, yang memperlihatkan kekecewaan tersebut.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." aku berucap lagi, seakan berusaha untuk meyakinkan Annisa akan status ku saat ini.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" Annisa bertanya lagi, seperti mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." ceritaku.

"abang anak tunggal?" tanya Annisa kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami tiga bersaudara. Abang pertama ku, jadi security sekarang. Abang kedua ku punya usaha dagang di rumahnya. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Jadi kuli bangunan.." aku menjelaskan lagi.

Entah mengapa, aku jadi begitu terbuka pada Annisa.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" Annisa bertanya kembali, dia sepertinya benar-benar ingin mengenal ku lebih dekat lagi. Sekali pun aku sudah mengatakan kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah Annisa untuk tetap menjadi dekat denganku.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas ku panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya Annisa kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang penting ada kerjaan.." balas ku lagi.

Dan tak lama kemudian, ketiga temanku tadi pun datang. Annisa pun segera pamit pulang ke rumahnya kembali. Aku jadi merasa tak karuan. Aku dapat merasakan, betapa Annisa memang sengaja berlama-lama ngobrol dengan ku.

Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, kalau aku aku juga suka mengobrol berdua dengan Annisa.

****

Sejak saat itu, aku dan Annisa jadi sering ngobrol berdua. Annisa seperti sengaja mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu ku, saat aku sendirian di rumah. Aku termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Sementara, ketiga temanku sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi aku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, Annisa jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua denganku.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu sepertinya mampu membuat Annisa merasa bahagia. Semua itu dapat aku rasakan, dari raut wajah yang diperlihatkan dengan jelas oleh Annisa. Aku dan Annisa pun terasa semakin dekat. Annisa juga begitu terbuka padaku. Semua cerita tentang hidupnya, ia cerita kan pada ku. Dan aku dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan aku tinggal dan bekerja di desa tersebut. Aku dan Annisa juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya aku sendiri di rumah. Ketiga temanku sudah pulang kampung, karena sudah sebulan kami berada di desa tersebut.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya Annisa.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas ku.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" Annisa bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balasku singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucap Annisa seakan sengaja memberi tahu ku akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya ku.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelas Annisa terdengar apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" Annisa bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balasku.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanya Annisa cukup berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya ku.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas Annisa pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap ku.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya Annisa seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

Berada berdua bersama Annisa di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah salah satu hal yang aku inginkan selama ini sebenarnya. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Terus terang, sejak sering ngobrol bersama Annisa, aku jadi merasa nyaman.

Jujur saja, sebagai laki-laki normal, tidak bisa aku pungkiri, kalau Annisa adalah gadis yang menarik. Selain cantik, ia  juga ramah dan terlihat selalu ceria. Meski kadang, ia juga suka blak-blakan kalau lagi ngomong.

Kehadiran Annisa mengisi hari-hari ku, satu bulan ini, telah mampu membuat ku merasa terhibur. Segala kerinduan dan rasa sepi ku, seakan hilang saat bersama Annisa. Apa lagi, aku juga tidak bisa menghubungi istri dan anak ku, karena memang disini tidak ada jaringan apa pun sama sekali.

Kehadiran Annisa menghiasi hari-hari ku dengan indah. Meski pun aku sadar, tak semestinya aku merasakan hal tersebut. Mengingat aku sudah punya istri dan anak. Tapi, harus aku akui, kalau Annisa terlihat sangat berjuang untuk bisa dekat dengan ku. Dan aku harus menghargai hal tersebut.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas ku akhirnya, yang membuat Annisa tersenyum senang.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya Annisa tiba-tiba.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balasku, dengan nada canda.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." aku melanjutkan ucapanku, masih dengan nada canda.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balas Annisa spontan.

"ah, yang benar?" ucapku.

"benar, bang.." balas Annisa terdengar yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." Annisa melanjutkan ucapannya, tanpa rasa ragu lagi. Ia seperti sengaja ingin memberitahu ku, akan perasaannya padaku. Mungkin karena memang ada kesempatan. Mungkin karena hanya ada kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balasku, berusaha menyadarkan Annisa akan kenyataan tersebut.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap Annisa lagi dengan gaya ceplas-ceplosnya.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" aku bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawab Annisa terdengar jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanyaku lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucap Annisa lagi, sepertinya ia sudah tidak mampu lagi menahan diri. Suasananya benar-benar mendukung.

Aku juga mulai merasa terbawa suasana tersebut. Malam, gelap, sepi dan dingin.

Ah, laki-laki mana yang mampu mengendalikan dirinya, di saat seperti ini.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" aku bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." Annisa berucap, dengan nada penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balasku pelan, masih berusaha manyadarkan Annisa akan hal tersebut.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucap Annisa, masih berusaha meyakinkan ku.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" aku bertanya kembali, saat keraguan masih menyelimuti hati ku.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucap Annisa lagi, masih dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucapku akhirnya.

"tapi sebelumnya, abang mau tanya satu hal sama dek Annisa." ucapku melanjutkan.

"bang Kamal mau tanya apa?" suara Annisa lembut.

"apa yang membuat dek Annisa suka sama abang?" tanyaku, sebenarnya hanya sekedar ingin tahu.

"abang itu lelaki yang sangat tampan, bang. Selain itu abang juga gagah dan kekar. Aku belum pernah bertemu laki-laki seperti abang sebelumnya. Apa lagi, selama ini, aku jarang sekali dekat dengan laki-laki. Tapi sejak mengenal abang, aku jadi ingin sekali merasakan hal tersebut, bersama abang.." balas Annisa terdengar apa adanya.

Terus terang, aku merasa bangga mendengar hal tersebut. Sudah sangat lama aku tidak mendengar kalimat pujian seperti itu. Setidaknya sejak aku menikah. Istri ku jarang sekali memuji ku. Dan kalimat yang dilontarkan Annisa barusan, benar-benar membuat ku tersanjung.

Dan begitulah, malam itu, Annisa berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada ku, lelaki cinta pertamanya. Annisa terlihat tulus memberikannya. Ia terlihat sangat menginginkan hal tersebut. Dan aku, tak ingin membuang kesempatan tersebut begitu saja. Aku ingin membuat Annisa merasa bahagia.

Aku melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku berusaha membuat Annisa merasa terkesan. Kesan pertama yang tidak akan pernah ia lupakan. Aku ingin, Annisa tidak akan pernah menyesali semua ini. Aku ingin, ia merasa, telah memberikan hal tersebut kepada orang yang tepat.

Annisa juga berusaha untuk membuat merasa terkesan. Ia berusaha untuk memberikan yang terbaik padaku. Ia persembahkan semua itu dengan sepenuh hati. Tanpa rasa ragu. Tanpa rasa takut. Sepertinya ia sudah sangat siap akan hal tersebut. Raut bahagia, terpancar dari wajahnya yang cantik.

Terus terang, aku juga merasa bahagia. Entah mengapa semua itu terasa indah bagiku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari apa yang aku harapkan.

Sebulan aku terpisah dari istri ku. Sebulan aku menahan rasa dahaga ku, akan hal tersebut. Kini aku menemukan setetes air di tengah gurun gersang. Rasa dahaga ku pun terlepaskan sudah. Aku merasa lega. Aku merasa bahagia.

Namun jujur saja, aku juga sedikit merasa bersalah.

Aku merasa bersalah pada istri ku. Ini pertama kalinya, aku melakukan hal tersebut, dengan orang lain. Selama ini, aku selalu mampu menahan berbagai godaan. Tapi kali ini, aku kalah.

Aku juga merasa bersalah pada Annisa. Biar bagaimana pun, tak seharusnya aku melakukan hal tersebut padanya. Bukan saja karena ia masih suc!, tapi juga karena aku ini seorang lak-laki yang sudah beristri.

Tapi semua sudah terjadi. Annisa tak terlihat menyesal sama sekali. Ia terlihat sangat bahagia. Ia bahkan terkesan bangga telah mempersembahkan keindahan tersebut padaku.

"terima kasih ya, bang Kamal..." bisiknya, di sela napasnya yang masih belum teratur.

"yah... sama-sama dek Annisa.." balasku pelan.

****

Sejak malam itu, aku dan Annisa pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa bahagia. Meski rasa bersalah terus menghantui ku. Namun kebahagiaan yang diperlihatkan Annisa, mampu menghapus rasa bersalah tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Annisa selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu ku.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah Annisa, terutama saat ayah dan ibu nya sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun kami sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Aku hanya bisa singgah di dalam hidup Annisa. Aku tidak bisa menetap selamanya. Tapi sepertinya Annisa tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Cinta Annisa memang terasa begitu besar bagiku. Begitu banyak pengorbanan yang telah ia lakukan untuk ku. Dan harus aku akui, kalau hal itu mampu membuat ku terasa berat untuk meninggalkannya.

Hingga tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang kami bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, kami semua akan segera pergi dari desa ini. Itu artinya, aku dan Annisa akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanya Annisa, ketika malam terakhir kami bertemu.

"iya, dek.." balasku pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanya Annisa, sepertinya ia berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri, karena ia pasti sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balasku hati-hati.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucap Annisa dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." aku berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal Annisa akhirnya.

Terlihat sekali ia berusaha untuk menahan air matanya sendiri. Dan aku merasa tersentuh akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, aku juga merasa berat harus berpisah dengan Annisa. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, tak mungkin bisa aku lupakan begitu saja.

****

Dan keesokan harinya, aku dan rekan-rekan kuli yang lain, pun akhirnya benar-benar pergi dari desa tersebut. Rasanya hal itu terasa berat bagiku. Berpisah dengan orang yang sudah memberikan sesuatu yang paling berharga untuk ku, telah mampu memberikan sebuah luka tersendiri di hati ku.

Tapi aku memang harus pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang harus memilih. Dan setiap pilihan memang selalu punya resiko. Aku harus menanggung resiko tersebut. Meski itu terasa sakit bagiku.

Annisa adalah gadis yang baik. Ia hanya telah salah tempat untuk jatuh cinta. Dan sebagai laki-laki, aku telah memanfaatkan hal tersebut. Aku telah memanfaatkannya, untuk kesenangan diri ku sendiri. Walau pun aku tahu, kalau Annisa tulus memberikannya padaku. Ia tulus mencintai ku.

Seandainya saja, aku belum menikah, tentu saja aku akan memperjuangkan Annisa untuk ku. Aku akan berusaha bertahan untuknya, meski hubungan kami akan ditentang oleh kedua orangtuanya.

Tapi... kenyataannya, saat ini aku sudah punya istri dan anak. Memperjuangkan Annisa adalah sesuatu yang sangat rumit. Selain karena akan menyakiti hati istri ku, tapi juga akan menyakiti hati kedua orangtua Annisa.

Kini kami telah berpisah. Namun segala kenangan indah bersama Annisa, akan aku ingat selamanya. Akan aku simpan kenangan itu, di suatu sudut hatiku yang terdalam. Hingga tiada siapa pun yang akan tahu. Terutama istri ku.

Kenangan ku bersama Annisa, hanya akan menjadi rahasia seumur hidupku. Sebuah rahasia yang tidak akan pernah aku ungkap kepada siapa pun. Karena biar bagaimana pun, hal itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan terindah dalam perjalanan hidup ku.

Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Aku juga tidak akan mungkin berusaha untuk menemuinya. Bagiku semua itu telah berlalu.

Aku hanya berharap, semoga Annisa bisa menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari ku. Laki-laki yang tidak lari dari tanggungjawabnya. Laki-laki yang belum punya ikatan apa pun.

Aku selalu berharap, semoga Annisa menemukan kebahagiaannya yang lain. Kebahagiaan akan cinta yang tak terhalang oleh apa pun. Kebahagiaan yang utuh.

Semoga kejadian ini, mampu memberikan pelajaran tersendiri bagiku. Semoga tidak ada lagi Annisa Annisa lain yang akan mampu menggoyahkan kesetiaan ku.

Yah... semoga saja..

****

Bersama abang kuli bangunan

Nama ku Annisa. Aku tinggal di sebuah desa yang masih terisolir. Sebuah desa tertinggal yang berada jauh dari perkotaan. Di desa kami ini belum ada listrik masuk. Bahkan jalan menuju desa kami ini masih berupa jalan tanah yang becek, apa lagi jika musim hujan.

Di desa kami ini juga belum ada sekolah sama sekali. Sekolah terdekat itu berada di desa tetangga yang jaraknya lebih kurang 5 km dari desa kami, itu pun hanya sekolah dasar.

Jadi biasanya, anak-anak usia sekolah dasar akan bersekolah di sekolah dasar desa tetangga tersebut, dengan hanya berjalan kaki, atau menggunakan sepeda. Dan bagi keluarga yang mampu, ada yang menggunakan motor.

Bagi orangtua di desa kami ini, sekolah bukanlah hal yang utama. Bagi mereka pendidikan itu tidaklah terlalu penting, karena mengingat jarak sekolah yang jauh dan juga karena biaya yang cukup mahal.

Karena itu, kebanyakan dari kami hanya bersekolah sampai tamat SD, terutama bagi anak perempuan. Dan kalau anak laki-laki biasanya, setamat SD banyak yang pergi merantau ke luar daerah.

Kehidupan masyarakat di desa kami masih sangat primitif. Kami masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan di malam hari, kami masih menggunakan jenis lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas di beri sumbu dengan masih memakai minyak tanah.

Memang ada beberapa keluarga yang mampu, yang sudah punya mesin diesel sendiri untuk penerangan rumah mereka, tapi hanya beberapa keluarga saja. Selebihnya masih sangat ketinggalan.

Kami juga tidak punya ponsel, selain karena memang tidak ada jaringan sama sekali di desa kami, tapi juga karena ponsel merupakan barang mewah bagi kami. Tentu saja kami tidak akan mampu membelinya.

Mata pencaharians sebagian besar masyarakat desa kami adalah petani karet. Kebun karet yang kami kelola, bukanlah milik kami. Tapi milik para juragan kaya di desa kami dan desa tetangga. Kami hanya mendapatkan upah yang tak seberapa dari hasil kerja kami di kebun karet tersebut.

Setidaknya begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini di desa kami ini. Aku tumbuh dari keluarga yang kurang mampu. Aku hanya sekolah sampai kelas 5 SD, kemudian harus berhenti, karena kedua orangtua ku menganggap sekolah bagi anak perempuan itu tidak penting dan hanya buang-buang biaya.

Aku punya dua orang abang laki-laki, dan mereka juga hanya sekolah sampai tamat SD. Setelah itu, mereka ikut merantau ke luar daerah bersama teman-teman sebaya nya yang lain. Seperti pada umumnya yang di lakukan oleh para pemuda di desa kami.

Sejak kedua abang-abang ku pergi merantau, aku hanya tinggal bertiga bersama ibu dan ayah ku di rumah. Ibu dan ayah ku bekerja di sebuah kebuh karet milik seorang juragan kaya di desa kami. Aku lah yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci pakaian dan juga membersihkan rumah setiap harinya.

Sekarang aku sudah berusia 19 tahun. Aku tumbuh sebagai gadis yang ceria dan suka ceplas-ceplos kalau kalau lagi ngomong. Kegiatan ku sehari-hari hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah. Dan sekali-kali aku juga ikut ibu dan ayah untuk bekerja di kebun karet. Aku juga suka berkumpul-kumpul bersama para gadis-gadis lain yang ada di desa kami.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini.

Sampai pada suatu saat.

Sebuah kabar gembira tersebar di desa kami. Yah.. bagi kami itu merupakan sebuah kabar yang gembira. Kabar jika di desa kami akan didirikan sebuah gedung sekolah dasar. Sebuah kabar yang sudah sangat lama kami nantikan.

Karena biar bagaimana pun, anak-anak usia sekolah yang harus menempuh perjalanan sejauh 5 km untuk bisa bersekolah, sudah sangat banyak di desa kami. Memang sudah seharusnya sekolah dasar tersebut di buka di desa kami ini.

Mendengar kabar tersebut, kami tentu saja menyambutnya dengan senang hati. Setidaknya jika sekolah tersebut jadi dibangun, tentu saja anak-anak usia sekolah, tidak lagi harus ke desa tetangga untuk bersekolah. Dan hal itu cukup meringankan beban para orangtua di desa kami.

*****

"Kamal.." tegas lelaki itu menyebut namanya, ketika kami berjabat tangan.

"Annisa.." balasku pelan.

"mereka berempat ini adalah para tukang bangunan yang akan mengerjakan proyek pembangunan sekolah dasar di desa kita ini.." begitu suara ayah ku menjelaskannya pada aku dan ibu.

Kami berdiri tepat di halaman rumah kami. Memang ada empat orang laki-laki yang ayah perkenalkan kepada aku dan ibu. Tapi jujur saja, dari keempat laki-laki tersebut, hanya laki-laki terakhir yang ayah perkenalkan itu yang membuat aku merasa cukup terkesan. Laki-laki yang mengaku bernama Kamal tersebut.

Sebenarnya keempat laki-laki yang merupakan tukang bangunan tersebut, rata-rata sudah berusia diatas 35 tahun, kecuali laki-laki yang bernama Kamal itu, mungkin masih dibawah 30 tahun usianya.

Namun yang membuat aku merasa terkesan dengan Kamal, ialah bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan gagah serta di dukung oleh wajahnya yang tampan. Aku benar-benar terpesona pada pandangan pertama.

"selama mereka mengerjakan proyek tersebut, mereka akan tinggal di rumah kosong yang berada di samping rumah kita itu.." ayah kembali menjelaskan, sambil mengarahkan pandangannya ke rumah kosang yang memang berada tepat di samping rumah kami.

Rumah itu memang sudah lama tidak di huni, karena pemiliknya sudah pindah ke kota. Tapi rumahnya masih cukup bagus dan masih layak untuk ditempati. Biasanya pemilik rumah tersebut, masih sering berkunjung, untuk merawat dan membersihkannya.

"selain itu, selama mereka tinggal disini, mereka juga minta tolong untuk dimasakin sama ibu dan Annisa.." ayah melanjutkan penjelasannya.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas ayah lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap salah seorang tukang tersebut, sambil mengarahkan telunjuknya kepada lelaki gagah di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." Kamal memperjelas ucapan temannya tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." si Kamal ini melanjutkan kalimatnya.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba ibu ku ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas salah seorang tukang yang paling tua, mungkin lelaki itu adalah kepala tukangnya.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." lelaki itu berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." ayah ku yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba ibu ku bertanya, sebelum mereka berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." jelas lelaki si kepala tukang tadi.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" ibu ku bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas laki-laki tersebut.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap ibu kemudian.

****

Sejak perkenalan ku dengan bang Kamal, si lelaki gagah tersebut, entah mengapa aku selalu membayangkan wajahnya yang tampan itu. Aku selalu memikirkannya. Aku mungkin memang telah jatuh hati padanya.

Meski pun aku baru mengenalnya. Meski pun aku belum tahu siapa dia sebenarnya. Mungkin juga ia sudah menikah. Atau setidaknya ia sudah punya pacar di tempat asalnya. Tapi aku gak peduli. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

Apa lagi aku punya banyak kesempatan untuk itu. Selain ia tinggal di samping rumah ku, aku juga akan setiap hari ke rumahnya untuk mengantarkan makanan mereka berempat.

Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur dibuatnya. Wajah tampan bang Kamal dan juga tubuhnya yang gagah selalu menghantui fantasi ku, setiap kali aku coba memejamkan mata.

Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, rasanya wajar kalau aku mulai menyukai sosok seorang laki-laki dalam hidupku. Mengingat selama ini, belum ada seorang laki-laki pun yang coba mendekati ku.

Bukan karena aku tidak cantik, tapi memang di desa kami, tidak banyak laki-laki yang masih lajang. Para pemuda di usia ku ini, kebanyakan sudah lama pergi merantau. Dan lagi pula, selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah ku, sehingga aku tidak terlalu memikirkan tentang laki-laki.

Tapi entah mengapa, sejak bertemu bang Kamal sore tadi, aku jadi suka memikirkannya. Mungkin karena selama ini, aku memang jarang bertemu laki-laki. Apa lagi laki-laki setampan dan segagah bang Kamal. Dia benar-benar telah mampu membuat aku terpesona dengan segala kelebihannya tersebut.

Ah, sebegitu kesepiannya kah hidup ku selama ini? Sebegitu membosankannya kah hidup ku selama ini?

Sehingga aku dengan begitu mudahnya jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru aku kenal.

Tapi begitulah yang aku alami saat ini. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu baru pertama kali juga aku alami. Rasa cinta itu tumbuh begitu saja di hati ku. Tanpa bisa aku cegah. Dan tak mungkin juga aku pungkiri.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, aku pun mengantarkan sarapan ke rumah para tukang tersebut.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa ku ramah, ketika aku sudah berada di rumah tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutku lagi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." balas salah seorang dari mereka.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kruang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucapku kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk seorang lelaki yang baru keluar dari kamarnya.

"kalian cuma bertiga?" tanya ku melihat hanya mereka bertiga yang ada disana, tanpa bang Kamal.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas lelaki tadi lagi.

"oh, begitu.." gumam ku sedikit kecewa. Padahal aku berharap bisa bertemu bang Kamal pagi itu.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" tanya lelaki yang paling tua.

"saya aja yang ambil nanti.." balas ku pelan, aku hanya berharap, nanti bisa bertemu bang Kamal.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." tiba-tiba bang Kamal muncul dari belakang, ia kelihatn habis mandi dan hanya memakai handuk yang terlilit dipinggangnya.

Deg! Dadaku berdegup kencang melihat pemandangan tersebut. Aku menelan ludah beberapa kali. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Seumur hidup baru kali ini, aku melihat laki-laki tanpa baju berdiri di depan ku.

Apa lagi bang Kamal terlihat sangat kekar. Otot-otot dadanya sangat atletis dan maskulin. Itu adalah pemandangan yang luar biasa. Aku jadi sedikit tertegun.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." bang Kamal menyambung ucapannya.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balasku, sambil menahan debaran di dada ku yang kian menjadi.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." aku kembali berujar dengan cepat. Walau pun sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di situ. Aku ingin sekali berlama-lama menatap keindahan tersebut. Tapi aku merasa gak enak hati. Karena itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Kamal yang kembali membalas ucapan ku.

Aku segera berlalu dari sana. Sambil menahan gejolak di hati ku. Bang Kamal memang benar-benar mengagumkan. Di mata ku ia begitu sempurna. Benar-benar sosok laki-laki yang aku idamkan selama ini.

Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar ku, berusaha menenangkan pikiran dan gemuruh di dada ku, yang terus saja berdebar hebat membayangkan hal tersebut.

Oh, bang Kama... Betapa kamu begitu gagah dan tampan. Aku ingin sekali bisa memiliki mu. Bathin ku penuh harap.

****

Siang itu, aku mengantarkan makan siang ke rumah para tukang tersebut. Dan kebetulan saat itu, hanya ada bang Kamal di rumah.

"selamat siang, bang Kamal." sapa ku lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjut ku.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas bang Kamal, sambil ia mengambil alih makanan tersebut dari tangan ku.

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya ku mencoba berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas bang Kamal.

"abang sakit perut kenapa?" tanyaku merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas bang Kamal.

"oh.." gumam ku membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" aku bertanya lagi, aku benar-benar tidak ingin segera pergi dari situ, mumpung bang Kamal lagi sendirian.

"enak, kok." bang Kamal membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" bang Kamal melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balasku pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya ku melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas bang Kamal.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucapku apa adanya.

Bang Kamal tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapnya.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucapku meyakinkan.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelas bang Kamal lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya ku memberanikan diri.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas bang Kamal.

"oh, gitu.." aku berguman dengan rasa kecewa.

Padahal aku berharap, kalau bang Kamal belum menikah. Jadi peluang ku untuk bisa mendapatkannya jauh lebih besar. Tapi kalau ia sudah menikah, peluang aku untuk bisa memilikinya, jadi semakin sulit.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." bang Kamal berucap lagi, seakan merasa bangga dengan semua itu.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" aku bertanya lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." jelas bang Kamal.

"abang anak tunggal?" tanyaku kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami empat bersaudara. Abang pertama ku, jadi satpam sekarang. Abang kedua ku jadi buruh pabrik. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Sedangkan adik bungsu ku yang perempuan satu-satunya, sekarang sedang kuliah.." bang Kamal menjelaskan lagi.

Aku cukup merasa senang, karena bang Kamal begitu terbuka padaku, tentang keluarganya.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" aku bertanya kembali, aku benar-benar ingin mengenal bang Kamal lebih dekat lagi. Sekali pun ia sudah mengatakan kalau ia sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah ku untuk tetap menjadi dekat dengannya.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas bang Kamal panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya ku kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang ada kerjaan.." balas bang Kamal.

Dan tak lama kemudian, ketiga teman bang Kamal tadi pun datang. Aku pun segera pamit pulang ke rumah kembali, dengan perasaan yang begitu bahagia. Aku merasa bahagia, bisa bercerita berdua bersama bang Kamal. Rasanya begitu indah, bisa mengenal bang Kamal lebih dekat lagi.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Kamal jadi sering ngobrol berdua. Aku selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu bang Kamal saat ia sendirian di rumahnya. Bang Kamal termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Terbukti, ketiga temannya sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi bang Kamal lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, aku jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua dengannya.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu mampu membuat aku benar-benar merasa bahagia. Aku dan bang Kamal terasa semakin dekat. Aku juga begitu terbuka padanya. Semua cerita tentang hidupku, aku cerita kan pada bang Kamal. Dan dia dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan bang Kamal tinggal dan bekerja di desa kami. Kami juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya bang Kamal sendirian di rumah. Ketiga temannya sudah pulang kampung, karena sudah sebulan mereka di desa kami.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya ku.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas bang Kamal.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" aku bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balas bang Kamal singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucapku seakan sengaja memberi tahu bang Kamal akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya bang Kamal.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelasku apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" aku bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balas bang Kamal.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanyaku sedikit berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya bang Kamal.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas ku pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap bang Kamal.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya ku sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau aku tidak sedang bermimpi.

Berada berdua bersama bang Kamal di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah hal yang aku inginkan selama ini. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas bang Kamal, yang membuat ku merasa melambung.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya ku.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balas bang Kamal dengan nada candanya.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." bang Kamal melanjutkan ucapannya, masih dengan nada candanya.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balasku spontan.

"ah, yang benar?" ucap bang Kamal.

"benar, bang.." balasku yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." aku melanjutkan ucapan ku, tanpa rasa ragu lagi. Bang Kamal harus tahu perasaan ku padanya. Mumpung ada kesempatan. Mumpung hanya kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balas bang Kamal.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap ku lagi ceplas-ceplos.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" bang Kamal bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawabku jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanya bang Kamal lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucapku lagi, hampir tak mampu menahan diriku sendiri. Suasananya benar-benar mendukung.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" bang Kamal bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." aku berucap dengan penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balas bang Kamal pelan.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucapku berusaha meyakinkan bang Kamal.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" bang Kamal bertanya kembali, sepertinya ia masih ragu.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucapku dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucap bang Kamal akhirnya.

Ucapan yang membuat aku merasa lega. Ucapan yang membuat aku merasa bahagia.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada bang Kamal, lelaki cinta pertama ku tersebut. Lelaki tampan dengan tubuhnya yang gagah. Lelaki yang aku impikan selama ini.

Bang Kamal melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku dibuatnya terbuai, dalam ayunan cinta yang indah. Ku persembahkan semuanya, untuk bang Kamal. Ku persembahkan dengan penuh perasaan, seluruh jiwa raga ku ini untuknya.

Betapa hal itu terasa sangat indah bagi ku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari semua khayal ku selama ini, tentang bang Kamal.

Dia benar-benar lelaki yang luar biasa dan perkasa. Dan aku jadi semakin rela untuk memberikan semuanya. Ku biarkan lelaki gagah itu, mengambil hal tersebut. Aku berikan semuanya dengan sepenuh jiwaku. Dan aku merasa sangat bahagia dan lega. Benar-benar terasa lega. Seakan aku mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Rasa dahaga yang selama ini aku tahan, kini terlepaskan sudah. Dan hal itu benar-benar memberikan kesan yang sangat indah bagi ku. Begitu indah. Dan begitu sempurna.

****

Sejak malam itu, aku dan Kamal pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa memiliki lelaki aku cintai sepenuh hati tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Aku selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu bang Kamal.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah ku, terutama saat ayah dan ibu ku sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun aku sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Bang Kamal hanya singgah di dalam hidupku, bukan untuk tinggal selamanya. Tapi aku tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Dan tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang mereka bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, mereka semua akan segera pergi dari desa kami. Itu artinya, aku dan bang Kamal akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanyaku, ketika malam terakhir bang Kamal berada di desa ku.

"iya, dek.." balas bang Kamal pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanyaku sekedar menguatkan diri ku sendiri, karena aku sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balas bang Kamal.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucapku dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." bang Kamal berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal ku akhirnya, sambil berusaha menahan air mata ku sendiri.

****

Dan keesokan harinya, bang Kamal dan rekan-rekannya pun akhirnya benar-benar pergi dari desa kami. Rasanya hal itu begitu menyakitkan bagiku. Berpisah dengan orang yang paling aku cintai, telah menumbuhkan sebuah luka yang teramat dalam di hati ku.

Semalam, setelah bertemu bang Kamal, aku hanya mengurung diri di kamar. Padahal orang-orang begitu ramai di rumah tempat bang Kamal tinggal. Para warga yang sudah merasa dekat dengan para tukang tersebut, sengaja membuat sedikit acara perpisahan.

Tapi enggan ikut bersama mereka. Hatiku begitu pilu. Aku merasa sangat sedih. Pertama kali aku jatuh cinta pada seorang laki-laki, dan pertama kali juga aku merasakan keindahan bersama lelaki yang aku cintai tersebut, justru semuanya kini harus berakhir, dengan begitu menyakitkan bagi ku.

Tapi aku tidak pernah menyesalinya. Aku justru merasa bangga melakukan semua itu. Aku bangga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk bang Kamal. Aku bahagia bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya, walau hanya sementara saja.

Cinta ku kepada bang Kamal begitu besar. Tapi takdir mempertemukan kami, bukan untuk bersama selamanya, hanya untuk memberi sedikit kebahagiaan dalam perjalanan hidupku yang sepi.

Kini bang Kamal telah pergi, hari-hari ku kembali terasa sunyi. Rasa sakit dan luka yang aku rasakan begitu dalam dan pedih. Namun segala keindahan yang aku rasakan selama beberapa bulan tersebut, mampu menyembuhkan semua luka itu.

Kebahagiaan yang aku rasakan bersama bang Kamal, memang tidak sebanding dengan kekecewaan yang aku rasakan karena kepergiannya dari hidupku.

Tapi setidaknya, semua keindahan itu telah mampu memberi ku sejuta kenangan untuk aku ingat, sebagai bagian terindah dalam perjalanan hidupku.

Semoga saja, aku mampu melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Kamal lagi.

Semoga saja, di suatu saat nanti, aku bisa bertemu laki-laki yang mungkin jauh lebih indah dari pada bang Kamal...

Yah.... Semoga saja..

*****

Air Mata Dara

Lelaki itu menatap mata gadis yang duduk dihadapannya. Ia menatap mata itu, seakan mencari setitik kejujuran dari kalimat yang baru saja dilontarkan oleh gadis tersebut.

"aku ingin kita putus, Jo..." gadis itu mengulang kalimatnya.

Kali ini lebih tegas. Gadis itu mengulang kalimatnya, seakan berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya tersebut.

Gadis itu tahu, kalau kalimat tersebut sudah melukai hati lelaki yang masih menatapnya itu. Bahkan ia juga tahu, kalau kalimat tersebut juga melukai hatinya sendiri.

"kenapa?" lelaki itu mengeluarkan suara juga akhirnya.

"aku lelah, Jo. Sangat lelah...." balas gadis tersebut.

"lelah?" lelaki yang dipanggil Jo tersebut, sedikit mengerutkan dahinya, pertanda ia belum mengerti sepenuhnya.

"iya, Jo. Aku lelah mengejar bayang-bayang mu... Aku lelah berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Aku lelah untuk selalu berusaha, untuk tetap terlihat sepadan dengan mu..."

"maksud kamu apa sih, Dar?" lelaki itu, Jo, semakin mengerutkan dahinya.

Wanita itu, Dara, berusaha membalas tatapan penuh tanya milik Jo.

"kamu pasti ngerti maksud ku apa, Jo." ucapnya.

"karena kamu dari keluarga miskin? yatim piatu?" Jo berucap, sambil mengalihkan pandangannya menatapi jalanan yang mulai sepi.

"bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi membahas hal tersebut? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi mempermasalahkannya?" Jo menyambung kalimatnya.

"iya... aku tahu, tapi.... aku sudah tidak sanggup lagi, Jo. Kita terlalu jauh berbeda. Kamu adalah keturunan ningrat yang punya segalanya, sedangkan aku ...." Dara sengaja menggantung kalimatnya. Karena ia tahu, kalimat selanjutnya hanya akan membuat ia semakin sakit.

"aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, Dar. Bahkan sejak awal. Tapi kamu yang selalu mengungkitnya..."

"aku percaya hal itu, Jo. Tapi bagaimana dengan keluarga kamu?"

"mereka bisa menerima kamu apa adanya, kok. Buktinya, beberapa kali kamu aku ajak ke rumah, mereka semua menyambut kamu dengan baik.."

"iya... tapi dengan kalimat-kalimat sindiran yang mereka lontarkan, setiap kali aku berkumpul bersama keluarga mu, benar-benar membuat aku terluka, Jo. Belum lagi, kalau mereka semua, terutama kakak-kakak ipar mu, selalu membahas tentang kehidupan mereka yang mewah. Dan aku merasa bukan siapa-siapa diantara mereka.."

Kali ini, Dara menghempaskan napas berat.

Ingatannya kembali memutar semua memory yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun belakangan ini.

Jo, lelaki tampan yang ia kenal di kampus, yang mampu merebut hatinya, adalah seorang lelaki kaya, dari keluarga terpandang.

Jo, memiliki dua orang kakak laki-laki yang sudah menikah. Jo merupakan anak bungsu, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki.

Sementara Dara hanyalah seorang gadis miskin dan yatim piatu. Selama ini, Dara dibesarkan oleh pamannya yang hanya seorang pedagang keliling. Karena tidak memiliki anak, paman Dara cukup mampu untuk membiayai kuliah Dara. Meski kehidupan mereka sangat pas-pasan.

Setelah sama-sama salin jatuh cinta, Jo dan Dara, memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius.

Dara sangat mencintai Jo, begitu juga sebaliknya.

Bahkan bagi Jo, Dara sangatlah istimewa.

Setahun pacaran, Jo mulai berani memeperkenalkan Dara kepada keluarganya. Meski pun ia tahu, tidak akan mudah bagi keluarganya untuk menerima kehadiran Dara yang hanya gadis biasa.

Tapi Jo tetap bertekad untuk meyakinkan keluarganya, terutama orangtuanya, bahwa Dara adalah gadis yang terbaik untuknya.

Tapi bagi Dara, apa yang dilakukan Jo tersebut, justru membuatnya merasa terluka.

Dara merasa, ia tidak bisa berbaur dengan keluarga Jo yang mewah.

Namun selama tiga tahun Dara berusaha untuk tetap bertahan.

Dara berusaha untuk menjaga perasaan Jo dan juga perasaannya sendiri.

Selama tiga tahun, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Meskipun ia sadar, keluarga Jo tidak benar-benar menerimanya. Bahkan mereka sering dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat sindiran atas kemiskinannya.

Awalnya Dara mencoba untuk tidak peduli. Dia coba mengabaikannya. Demi Jo. Demi cinta mereka..

Tapi....

"kamu seharusnya sadar diri, Dara. Jo itu gak sebanding sama kamu. Apalagi Jo adalah anak bungsu kami. Kedua kakaknya sudah menikah dengan gadis yang tepat. Dan kami berharap, Jo juga akan mendapatkan gadis yang sepadan dengannya, terutama dari taraf kehidupanya secara ekonomi. Jadi tante harap kamu bisa mengerti, dan bisa meninggalkan Jo secepatnya..."

Begitu kalimat pahit yang diucapkan mama Jo kepada Dara, saat dengan sedikit memaksa, mama Jo meminta Dara untuk menemuinya di sebuah kafe mewah.

Sejak saat itu, Dara selalu berusaha untuk mencari cara agar bisa melepaskan Jo tanpa harus melukainya.

****

"kamu jangan mendramatisir keadaan ini dong, Dar..." kalimat Jo membuat Dara tersentak dari lamunannya.

"aku tidak mendramatisir, Jo. Aku berbicara fakta. Dan fakta itu tidak bisa kita pungkiri..."

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dara..."

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi kita berdua juga tahu, kalau persoalannya bukan disitu. Bukan di cinta kita..."

"lalu apa?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Jo.

"haruskah aku mengulanginya lagi?" Dara balas bertanya.

Kali ini Jo terdiam. Ia sangat mengerti apa yang Dara maksud.

Tapi mengapa Dara harus menyerah?

Mengapa ia harus memilih untuk putus?

"aku pamit, Jo. Mulai hari ini kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan aku harap, kamu jangan lagi menemui ku..."

Setelah berucap demikian, Dara bangkit dari duduknya. Lalu melangkah pergi. Meninggalkan Jo yang masih berusaha mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dibenaknya saat itu.

****

Dara meraih ponselnya, yang sudah berdering sejak tadi. Ia menatap layar ponsel tersebut, dan melihat sebuah nomor baru sedang melakukan panggilan padanya.

Dengan malas Dara mengangkatnya...

"hallo.." sapa Dara lembut.

"Dara... ini tante, mama Jo, tante harap kami bisa datang sekarang ke rumah sakit, Jo mengalami kecelakaan..." suara itu terdengar serak.

Dara terdiam sejenak. Ia benar-benar shock mendengar kabar tersebut. Hatinya merintih.

"rumah... rumah sakit.... mana...?" ucapnya akhirnya.

"nanti tante serlok, ya..." balas mama Jo pelan.

"iya... tante..." suara Dara sendiri mulai parau.

Dan setengah jam kemudian, Dara tiba di sebuah rumah sakit mewah. Ia disambut mama Jo dengan isak tangis.

"tadi malam Jo mengalami kecelakaan, sempat koma selama beberapa jam, dan pagi tadi ia sadar, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah nama kamu, Dara. Karena itu tante menghubungi mu. Tante berharap, kamu mau membantu Jo untuk sembuh. Setidaknya begitulah yang disarankan oleh dokter..." jelas mama Jo dalam isak tangisnya.

Dara masih tercenung. Terngiang kembali ucapan-ucapan pahit mama Jo yang dilontarkannya pada Dara. Jika mengingat semua itu, enggan rasanya Dara untuk menemui Jo. Karena Dara sudah bertekad untuk pergi selama-lamanya dari hidup Jo.

Tapi mengingat kondisi Jo saat ini, Dara harus menekan kuat-kuat ego-nya sendiri. Biar bagaimana pun, Jo adalah laki-laki baik. Jo adalah lakia-laki yang ia cintai.

Setidaknya, Dara akan berusaha untuk membantu Jo sembuh. Setelah itu, ia akan kembali pada keputusannya dari awal, yaitu pergi meninggalkan Jo untuk selamanya.

****

Seminggu di rumah sakit, keadaan Jo sudah membaik. Tentu saja, Dara selalu hadir disitu, menemani Jo melewati masa kritisnya.

Namun keadaan Jo yang membaik, tidak berlangsung lama. Benturan keras di kepala Jo akibat kecelakaan tersebut, ternyata belum sembuh sepenuhnya.

Di hari ke tujuh Jo dirawat, terjadi pendarahan di otaknya, yang membuat Jo kembali tidak sadarkan diri.

Dokter dan perawat berusaha memberikan pertolongan yang terbaik. Tapi takdir berkata lain, Jo justru menghembuskan napas terakhirnya saat itu.

Isak tangis nan histeris, bergema di ruang rumah sakit tersebut. Semua keluarga berduka. Semuanya. Tak terkecuali Dara.

"aku mohon padamu, Dar. Kamu jangan pergi dari hidupku. Aku sangat membutuhkan mu, aku.... aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dara..."

Terngiang kembali ucapan Jo di ingatan Dara.

Beberapa hari menemani Jo di rumah sakit, mereka memang punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua.

Dara selalu berusaha untuk menghibur Jo, agar ia bisa lekas sembuh.

Tapi kenyataannya, Jo justru pergi untuk selama-lamanya.

Dan kali ini Dara benar-benar terluka.

Meski pun Dara sudah ikhlas, untuk berpisah dengan Jo, dan tidak berharap untuk bisa memilikinya lagi.

Tapi tidak dengan cara seperti itu. Dara tidak bisa menerimanya. Dara belum siap kehilangan Jo dengan cara seperti itu. Tidak dengan cara seperti itu.

Cara yang membuat Dara terluka jauh lebih dalam, dari cara apa pun, yang ingin ia coba selama ini.

Lalu air mata Dara pun, tak kunjung berhenti menetes, meratapi kepergian Jo.

Ia merasa tidak sanggup lagi menjalani hari-hari selanjutnya, tanpa Jo...

****

Sekian...

Mama Muda (Part 2)

Sejak kejadian malam itu, aku dan Aida pun semakin dekat dan akrab. Kami juga sudah saling bertukar nomor WA, dan juga sudah saling follow aku media sosial masing-masing.

Semenjak sudah punya nomor WA ku, Aida pun jadi sering menghubungiku. Sekedar menanyakan kabar, dan juga menanyakan kegiatan ku, hampir setiap harinya.

Dan bahkan Aida pernah beberapa kali mengajak aku makan malam berdua, saat aku libur kerja. Aida juga sangat terbuka padaku, terutama tentang masalah rumah tangga nya.

Aku pun sejujurnya, juga merasa senang akan hal tersebut. Aku merasa bahagia bisa menjadi dekat dengan Aida. Aku senang bisa menjadi pendengar yang baik baginya.

Hingga tanpa aku sadari, ternyata rasa kagum mulai tumbuh di hati ku untuk Aida. Aku jadi sayang padanya. Dan bahkan mungkin aku juga telah jatuh cinta padanya. Hampir setiap malam, aku selalu membayangkan senyum Aida yang manis, atau suaranya yang lembut.

Aku jadi sering rindu padanya, bila sehari saja tak jumpa dengannya, atau sekedar mendapat chat darinya. Sekarang, aku yang jadi sering berkirim pesan padanya. Sekedar bertanya kabar tentangnya, atau hanya sekedar basa-basi, untuk pelepas rindu ku padanya.

Aku tahu, kalau perasaan yang tumbuh di hati ku untuk Aida, adalah sebuah kesalahan. Biar bagaimana pun, Aida sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi aku tidak bisa memungkiri itu semua. Perasaan telah berperan dalam kisah ku ini. Kisah yang aku sendiri tidak tahu, entah seperti apa akhirnya.

Namun yang pasti saat ini, aku merasa sangat bahagia, bisa menghabiskan hari-hari ku bersama Aida. Aku ingin selalu bersamanya. Meski pun kadang, aku jadi sering menelan ludah pahit, setiap kali aku mengingat asa ku tentang Aida. Asa untuk bisa memilikinya.

Cinta itu rumit. Dan saat ini, aku sedang terjebak dalam kerumitan cinta tersebut. Aku jadi dilema. Antara terus berjuang, atau mundur teratur, sebelum semuanya menjadi semakin dalam dan kacau.

Jika aku terus bertahan dengan tetap dekat dan menjalin pertemanan dengan Aida, itu artinya aku harus siap menanggung kekecewaan. Karena biar bagaimana pun, Aida jelas tidak akan mungkin bisa aku miliki.

Namun jika aku mundur, dan mulai menjaga jarak. Itu artinya, aku harus siap terluka, karena harus memendam perasaan ku dan belajar untuk melupakan orang yang telah membuat aku jatuh cinta.

Ah, cinta...

Mengapa harus menjadi serumit ini?

****

Dan sang waktu pun masih terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Aku masih dengan perasaan cinta ku terhadap Aida. Kami juga masih terus bersama, walau pun hubungan kami hanya sebatas teman biasa.

Hingga pada suatu saat, Aida sengaja mengajak aku malam malam berdua lagi, untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini, terasa ada yang berbeda bagiku. Aida terlihat sedikit agak murung. Tidak seperti biasanya, wajahnya selalu di hiasi dengan senyum manisnya.

"ada apa, mbak Aida? Mbak Aida lagi ada masalah?" aku bertanya demikian akhirnya, setelah beberapa saat tadi pesanan kami datang.

"sebenarnya... ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, Do. Tapi..."

"mbak cerita aja, gak usah merasa sungkan seperti itu. Saya siap mendengarkannya.."

"entah mengapa.. akhir-akhir ini, aku merasa kalau suami ku jadi semakin jarang berada di rumah. Setiap kali aku bertanya, ia selalu beralasan kalau ia lagi banyak kerjaan di luar kota. Padahal, menurut teman ku yang juga bekerja di kantornya, suami malah sebenarnya jarang ada kerjaan di luar kota."

"aku jadi curiga. Tapi.. aku tidak berani mengutarakan hal tersebut pada suami ku. Aku takut ia marah dan tersinggung..."

Begitu cerita Aida akhirnya.

"aku sangat menyayangi suami ku, meski pun ia sangat jarang berada di rumah. Dulu sebelum menikah, kami sempat pacaran selama dua tahun. Dulu, aku juga bekerja di kantor tempat suami ku bekerja saat ini. Dari situlah kami pun saling kenal."

"setelah beberapa bulan saling kenal, kami pun memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius. Kami pacaran selama dua tahun, kemudian memutuskan untuk menikah. Namun suami ku tidak ingin aku bekerja lagi. Ia hanya ingin, agar aku menjadi ibu rumah tangga biasa saja."

"aku mencoba untuk mengikuti keinginan suami ku tersebut. Aku pun berhenti bekerja, setelah kami menikah. Pernikahan kami pun berjalan dengan sangat bahagia. Hingga kami sudah punya dua orang anak."

"namun entah mengapa, akhir-akhir ini, aku merasakan kalau suami mulai berubah. Sebagai seorang istri, aku dapat dengan jelas merasakan perubahan tersebut. Bahkan, suami ku sudah hampir dua bulan belakangan ini, tidak lagi pernah menyentuh ku."

"aku pernah coba untuk memintanya, tapi ia selalu beralasan, kalau ia sangat capek, dan tak ingin di ganggu. Aku mencoba untuk bersabar, menghadapi perubahan suami ku. Tapi... sebagai seorang wanita, dan juga sebagai seorang istri, tentu saja aku punya batas kesabaran, terutama untuk kebutuhan biologis ku."

Aida melanjutkan ceritanya dengan cukup panjang lebar.

"mbak Aida yang sabar, ya... Pasti ada alasan di balik perubahan suami mbak Aida.." hanya kalimat tersebut, yang dapat aku ucapkan, sabagai tanggapan atas cerita Aida barusan.

"iya, Do.. Terima kasih ya, udah mau mendengarkan aku bercerita.."

"santai aja, mbak. Kita kan teman. Jadi sudah sewajarnya, kalau saya bisa menjadi tempat curhat buat mbak Aida."

Kali ini Aida hanya membalas dengan senyum manisnya.

****

Setelah hari itu, tiba-tiba Aida menghilang. Pesan ku tak pernah lagi ia balas. Setiap kali aku telpon, selalu ditolaknya. Ia juga tidak pernah lagi datang ke mini market untuk berbelanja seperti biasanya.

Aku jadi bingung, kenapa Aida tiba-tiba berubah dan menghilang? Ia seakan sengaja untuk menghindari ku. Entah kenapa dan entah apa salah ku?

Dalam kebingungan ku, aku mencoba untuk bersabar dan berusaha untuk mengerti. Mungkin Aida sudah tidak ingin berteman lagi dengan ku. Mungkin ia dapat merasakan kalau aku sudah jatuh cinta padanya.

Aku merasa kecewa. Hari-hari ku jadi muram tanpa warna. Tak lagi ku baca pesan-pesan singkat darinya. Tak lagi ku dengar tawa renyahnya yang menghibur hati. Tak lagi bisa kulihat senyumnya yang manis dan menawan. Aku kehilangan semua itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Aku benar-benar tidak tahu apa maksud Aida dengan semua ini. Kenapa ia datang dalam kehidupan ku, dan membuat aku jatuh cinta padanya. Namun kemudian ia pun menghilang tanpa kabar, di saat aku benar-benar telah jatuh hati padanya. Di saat aku mulai menyayangi dan membutuhkannya.

Mimpi yang mulai aku bangun secara pelan-pelan tersebut, kini hancur berantakan. Khayalan ku tentang Aida, tidak lagi seindah dulu. Aku di himpit perasaan ku sendiri. Aku dipaksa untuk menelan kekecewaan. Aku di paksa untuk berhenti, bahkan ketika semuanya belum di mulai. Kisahku dan Aida seakan usai tanpa ada permulaan.

Kini, aku hanya bisa merajut hati ku kembali, yang menyadarkan ku, bahwa cinta ku pada Aida memang adalah sebuah kesalahan. Cinta ku pada Aida adalah mimpi yang tidak mungkin terwujud.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku tidak lagi mendapat kabar apa pun dari Aida. Aku mencoba menjalani hari-hari ku, meski kadang itu terasa sangat berat. Aku belajar untuk melupakan Aida, meski selalu saja senyum manisnya melintas di pikiran ku.

Hingga pada suatu kesempatan, tiba-tiba Aida menghubungi ku. Ia mengajak aku ketemuan, di tempat biasa kami bertemu. Awalnya aku ingin menolak, namun aku juga merasa penasaran, kenapa Aida tiba-tiba mengajak aku bertemu, setelah berbulan-bulan ia menghilang.

"aku minta maaf..." itu kalimat pertama yang di ucapkan Aida, saat akhirnya kami bertemu di kafe tersebut.

"aku minta maaf, karena sudah berbulan-bulan aku tidak memberi mu kabar. Aku minta maaf, karena selama ini aku selalu mengabaikan pesan-pesan dari mu. Aku juga minta maaf, karena tidak bisa mengangkat telepon dari mu..."

"beberapa bulan belakangan ini, aku sibuk mengurusi persoalan rumah tangga ku. Aku sibuk mengurusi perceraian ku dengan suami ku. Aku jadi tidak punya waktu, untuk melakukan hal lain.."

Aida berucap dengan nada penuh keseriusan.

"setelah pertemuan terakhir kita hari itu, aku mencoba menyelidiki suami ku. Mencari tahu, apa yang menyebabkannya berubah. Sampai akhirnya aku tahu, kalau ternyata suami ku, telah menikah lagi. Dan itu ia lakukan, sudah hampir setahun. Bahkan istri barunya juga sedang hamil.."

"aku tentu saja merasa sangat kecewa dengan semua itu. Aku marah. Dan aku meminta cerai dari suami ku. Aku tidak sudi lagi, hidup bersama laki-laki yang telah mengkhianati ku."

"aku menuntut cerai dari suami ku. Aku meminta hak asuh anak-anak ku sepenuhnya. Tapi suami ku menolak, karena ia juga ingin memiliki hak asuh terhadap anak-anak kami. Karena itulah, proses perceraian kami berjalan sangat lama."

"walau pun akhirnya, hak asuh anak-anak jatuh padaku. Tapi suami ku tidak memberi sepersen pun harta gono gini padaku, kecuali rumah yang kami tempati selama ini. Dan rumah itu pun terpaksa aku jual, untuk biaya hidup kami."

"saat ini, untuk sementara aku dan anak-anak tinggal bersama adik ku. Untunglah aku juga sudah dapat pekerjaan. Jadi mungkin ke depannya, kami akan mencari rumah kontrakan, untuk bisa kami tempati. Karena tidak mungkin selamanya kami tinggal di rumah adik ku tersebut.."

"sekarang.. aku sudah bebas dari suami ku. Hanya saja, aku harus menata hidup ku kembali, menata hati ku juga. Mungkin akan butuh waktu yang cukup lama, tapi aku pasti bisa melewati semua ini.."

begitulah cerita Aida panjang lebar pada ku malam itu. Aku jadi merasa tersentuh mendengar ceritanya. Hati ku yang tadinya merasa marah dan kesal, kini luluh, berganti rasa iba dan bangga. Aku bangga melihat betapa tegarnya Aida menghadapi semua itu. Hal itu juga membuat aku semakin kagum padanya.

Ternyata selama ini, aku telah salah sangka pada Aida. Aku pikir, Aida sengaja menghindari dan menjauh dari ku. Tapi ternyata, ia hanya tidak ingin aku terlibat dalam persoalan rumah tangganya. Ia tidak ingin membuat aku merasa ikut terbebani dengan persoalan yang sedang ia hadapi.

****

Bersambung...

Mama Muda (part 1)

Nama ku Edo. Usia ku sudah 28 tahun. Dan saat ini aku sudah bekerja menjadi seorang karyawan di sebuah mini market. Aku seorang sarjana sebenarnya. Namun karena tidak satu pun lamaran kerja ku yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tempat aku melamar kerja, aku pun harus berpuas diri meski hanya menjadi karyawan di sebuah mini market.

Gaji yang aku terima memang tidak seberapa, tapi masih cukup untuk biaya hidup ku sehari-hari dan untuk membayar uang kost setiap bulannya.

Aku kost sendirian di sebuah tempat kost-kost-an yang kamar nya cukup kecil, dengan harga yang murah. Karena memang aku sudah mulai merantau sejak aku kuliah. Dan aku sudah terbiasa hidup sendirian di kota yang besar ini.

Orangtua dan semua keluarga ku tinggal di kampung, yang jaraknya sangat jauh dari kota tempat aku tinggal. Sejak tinggal di kota aku memang jarang pulang, terutama setelah aku lulus kuliah. Selain karena memang tidak ada ongkos pulang, aku juga merasa malu, jika pulang dalam keadaan belum sukses seperti saat ini.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku yang perempuan sudah menikah dan sudah punya dua orang anak di kampung. Adik perempuan ku juga sudah menikah. Aku laki-laki satu-satunya di keluarga kami dan belum menikah. Hal itu juga menjadi salah satu alasan bagi ku, kenapa aku jadi jarang pulang.

Aku sendiri sebenarnya pernah berpacaran beberapa kali. Tapi selalu saja hubungan ku harus berakhir dengan sangat menyakitkan, dengan berbagai alasan. Terutama karena memang aku seseorang yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan belum memiliki masa depan yang jelas.

Untuk saat ini pun, aku jadi kurang percaya untuk mendekati perempuan yang aku suka, karena kehidupan ku secara ekonomi masih jauh dari kata mapan. Karena itu lah, aku memilih untuk tidak berpacaran lagi, setidaknya sampai aku punya pekerjaan yang lebih baik.

****


 

Sebagai seorang karyawan di mini market, aku memang hampir setiap hari bertemu orang-orang. Baik itu orang-orang baru, mau pun orang yang sama. Dan Aku mencoba  menikmati hal tersebut, meski pun sebenarnya itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan.

Aku punya cita-cita, aku punya keinginan. Namun untuk saat ini, yang bisa aku lakukan, hanyalah mencoba menjalani ini semua dengan berlapang dada. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa.

Di samping itu, aku masih terus mencoba untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan bidang dan keahlian ku. Terutama perusahaan-perusahaan yang menurutku memiliki prospek yang baik ke depannya.

Sebagai seorang laki-laki aku memang punya cita-cita yang cukup tinggi. Aku ingin punya pekerjaan dengan gaji yang fantastik, agar aku bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk nantinya aku jadikan modal, untuk membuka usaha ku sendiri. Lalu kemudian, aku akan bisa melamar gadis yang aku inginkan.

Setidaknya begitulah cita-cita ku untuk saat ini. Meski pun aku sadar, hal itu tidak akan mudah untuk aku wujudkan. Tapi setidaknya aku akan selalu berusaha untuk mewujudkannya.

****

Ada seorang pelanggan perempuan yang sering datang berbelanja ke mini market tempat aku bekerja saat ini. Perempuan itu sebenarnya masih cukup muda, mungkin berkisar 30 tahun usianya. Dan dia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Hal itu aku ketahui, karena dia sering datang bersama suami dan dua orang anaknya, untuk berbelanja.

Perempuan itu berwajah manis, dengan hidung sedikit mancung. Tubuhnya cukup berisi, namun tidak terbilang gendut. Cukup montok sih, kalau menurut saya. Intinya secara fisik perempuan itu masih cukuup menarik. Tipe mama muda jaman sekarang.

Kami sudah pernah mengobrol beberapa kali, terutama saat ia datang sendirian ke mini market. Ia sering bertanya pada ku tentang letak barang-barang yang ia cari. Aku selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik, sebagai seorang karyawan di mini market tersebut.

Aku bekerja secara shift, kadang aku masuk pagi sampai sore, kadang juga masuk sore sampai malam. Mini market tempat bekerja, memang cukup ramai, dan biasanya kami tutup sampai jam dua belas malam.

Ada beberapa orang karyawan yang bekerja di mini market tersebut. Dan semuanya sudah punya tugasnya masing-masing. Ada yang jadi kasir, ada yang bertugas menyusun barang-barang di rak-rak yang sudah ada. Dan ada juga yang bertugas mengangkut barang-barang yang datang.

Hingga pada suatu malam, saat itu hampir jam dua belas malam. Mini market sudah mau kami tutup. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, di iringi suara gemuruh petir dari kejauhan. Saat itu, kebetulan perempuan yang aku ceritakan tadi, juga sedang berada di sana.

Aku dan perempuan itu pun duduk di kursi yang ada di teras mini market tersebut, sambil sedikit mengobrol. Sementara karyawan-karyawan lain, ada yang sudah pulang, ada yang masih berada di dalam mini market, dan ada juga yang duduk-duduk di sisi lain teras mini market itu.

Saat itulah, tanpa sengaja aku pun berkenalan dengan perempuan tersebut. Ternyata perempuan itu bernama Aida. Setidaknya begitulah pengakuannya padaku, saat kami berkenalan. Ia juga mengaku, kalau ia sudah hampir delapan tahun menikah, dengan suaminya yang sekarang.

Suaminya adalah seorang kontraktor alat berat, yang tentu saja jarang berada di rumah. Karena suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Terutama saat suaminya harus bekerja di luar kota, karena ada proyek di sana.

Kedua anaknya juga masih kecil-kecil. Yang satu sudah berusia tujuh tahun, dan yang bungsu baru berusia, dua tahun. Mereka tinggal di sebuah perumahan elit, tak jauh dari mini market tersebut. Di rumahnya yang cukup besar itu, Aida sering tinggal hanya bertiga bersama anak-anaknya, karena suaminya jarang pulang.

Setidaknya begitulah cerita Aida padaku, malam itu. Entah mengapa ia begitu gamblangnya menceritakan hal tersebut padaku. Padahal kami baru saja saling berkenalan, meski pun selama ini kami sudah sering bertemu di mini market tersebut.

Aku juga berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi Aida malam itu. Mungkin ia memang butuh seseorang untuk bisa mendengarkan ia bercerita. Apa lagi, saat itu, hujan belum juga reda.

****

"jadi sekarang anak-anak mbak Aida tinggal berdua di rumah, dong?" tanya ku, ketika Aida berhenti bercerita sesaat.

"kalau malam ini, suami ku ada di rumah. Tapi karena tadi, anak ku kehabisan susu, mau tidak mau aku harus keluar sendirian untuk membeli susu ke mini market ini.." balas Aida santai.

"oh gitu.." ucapku kemudian, "kalau mbak Aida mau pulang cepat, saya ada bawa baju hujan di motor, mbak Aida bisa pakai. Siapa tahu, anak mbak Aida sudah menangis karena ingin minum susu..." lanjutku menawarkan.

"tapi.. kamu sendiri gimana? Kamu juga butuh baju hujan itu untuk pulang kan?"

"iya sih, tapi gak apa-apa, karena mbak Aida lebih butuh. Saya sudah biasa pulang dalam keadaan hujan-hujan. Lagi pula, tempat kost saya gak jauh kok dari sini.."

"oh.. jadi kamu kost?"

"iya, mbak..."

"saya kira kamu asli orang sini..."

"gak kok, mbak. Saya perantau dan hanya tinggal sendiri di kota ini.."

Untuk beberapa saat suasana hening.

"emangnya kamu kost dimana?" tanya Aida tiba-tiba.

Aku pun menyebutkan nama daerah tempat aku kost, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari mini market tersebut.

"ya udah, kalau kamu memang bersikeras untuk meminjamkan aku baju hujan, saya mau pulang sekarang aja. Karena hujan sepertinya masih lama turunnya.." ucap Aida lagi.

"iya, mbak. Gak apa-apa. Pakai aja. Saya ambilkan baju hujannya sebentar ya..." balasku sambil mulai berdiri dan melangkah menuju motor ku yang terparkir tak jauh dari situ.

Setelah mendapatkan baju hujan tersebut, aku pun menyerahkannya kepada Aida. Ia pun segera memakai baju hujan tersebut, lalu kemudian ia pun pamit untuk segera pulang.

****

Keesokan malamnya, tanpa aku duga sama sekali, tiba-tiba saja Aida datang ke tempat kost ku. Aku cukup kaget menyambut kedatangannya.

"ada apa mbak Aida kesini?" tanya ku dalam kekagetan ku.

"saya mau antar baju hujan yang malam kemarin saya pinjam.."

"ah, mbak. Gak usah repot-repot loh sebenarnya, mbak. Gak diantar juga gak apa-apa, kok. Lagi pula mbak Aida kan bisa antar ke mini market aja, kalau pun saya gak ada di sana bisa titip aja sama yang lain.."

"iya sih.. aku juga sebenarnya sekalian pengen tahu tempat kost kamu. Tadi kebetulan juga aku lewat sini, jadi ingat kalau kamu kost di sini, sekalian mau mampir..." balas Aida, sambil memamerkan senyum manisnya.

Lalu kemudian, tanpa menunggu basa-basi dari ku, dan tanpa rasa canggung, Aida pun masuk ke kamar kost ku yang kecil tersebut. Untuk masih jam tujuh, jadi masih boleh bertamu.

"yah.. beginilah keadaan kost saya, mbak. Kecil." ucapku dengan perasaan sungkan.

"gak apa-apa kecil, Do. Yang penting nyaman, dan tahan lama..."

"ah, mbak Aida bisa aja.. Emangnya seperti apa kamar kost yang tahan lama, mbak?"

"yah.. seperti kamar kost kamu ini, kecil, tapi temboknya terlihat kokoh. Jadi bisa tahan lama bangunannya. Kamu juga bisa bertahan lama untuk tetap nge-kost di sini.." jelas Aida entah untuk tujuan apa.

"iya, mbak. Saya memang sudah bertahun-tahun nge-kost di sini, sudah sejak aku masih kuliah.." balasku sekedar memberitahunya.

"tapi... mbak Aida datang kesini dak takut suaminya marah?" tanyaku tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat suasana hening tercipta diantara kami.

"dia kan gak tahu, kalau aku kesini. Lagi pula malam ini, suami ku tidak sedang di rumah, ia dapat tugas lagi ke luar kota.."

"loh.. jadi anak mbak Aida sekarang dimana?" tanyaku dengan nada sedikit heran.

"tadi anak-anak saya titip di rumah adik saya. Rumahnya gak jauh kok, dari rumah saya. Saya juga sudah sering menitipkan anak-anak di sana.." Aida menjelaskan dengan suara yang terdengar sangat pelan.

Kami duduk di tepian ranjang kecil yang ada di dalam kamar tersebut. Meski pun masih merasa canggung, tapi mencoba untuk tetap rileks dan berusaha sesantai mungkin.

Terus terang selama aku kost disini, baru kali ini ada perempuan masuk ke kamar kost ku, apa lagi ini malam hari. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Mengingat Aida sudah punya suami dan anak. Rasanya ada yang terasa aneh akan hal tersebut.

Tapi aku coba mengabaikannya, karena mungkin saja Aida memang lagi butuh teman untuk bercerita. Dan aku harus siap akan hal tersebut, setidaknya untuk menghargai usahanya mengantarkan baju hujan yang ia pinjam, malam-malam seperti ini.

"kamu sudah punya pacar?" tiba-tiba Aida bertanya demikian.

"belum.." balasku jujur dan terdengar sangat polos.

"baguslah..." suara Aida terdengar sedikit berbisik.

"maksudnya, mbak?"

"yah.. bagus.. itu artinya gak bakal ada yang cemburu, kalau saya berlama-lama disini.."

Berlama-lama di sini? Bathin ku jadi tak karuan tiba-tiba mendengar kalimat Aida barusan.

Tiba-tiba Aida menatapku lama, sambil ia tersenyum manis padaku.

****

Bersambung...

Mandor cantik pencuri hati

 

Namaku Keken.

Sekarang usiaku sudah hampir 28 tahun.

Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan seorang gadis yang usia dua tahun lebih tua dari ku.

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 22 tahun.

Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang.

Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun.

Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku.

Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP.

Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.

Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan.

Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja.

Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Hal itulah salah satu penyebab mengapa aku belum pernah pacaran sampai saat itu. Selain karena kehidupan ekonomi ku yang kurang mapan.

Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung.

Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

****

Waktu terus bergulir, aku masih sangat betah menjadi seorang kuli bangunan. Karena sebenarnya memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.

Hingga suatu saat, mang Rohim mendapat sebuah proyek yang cukup besar. Sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit.

Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar. Aku dan mang Rohim beserta beberapa orang kuli bangunan lainnya, tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.

Disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita cantik. Namanya Citra, usianya dua tahun lebih tua dariku, dan aku biasa memanggilnya mbak Citra.

Dia adalah mandor kami, selama pengerjaan proyek perumahan tersebut.

Selain cantik, Citra juga memiliki tubuh yang ramping. Ia juga  ramah, dan sangat baik. Dan tentu saja pintar.

Mulanya semuanya berjalan biasa saja. Kami melakukan tugas kami sebagai kuli bangunan, dan begitu juga Citra, ia juga melakukan tugasnya sebagai seorang mandor.

Sebulan saya bekerja disana. Hingga suatu malam, tiba-tiba Citra, si mandor cantik itu, mengajak aku mengobrol. Kami ngobrol berdua di bangku depan rumah tempat kami, para kuli tinggal.

Waktu itu malam minggu. Seperti biasa, hari minggunya kami libur kerja. Untuk itu teman-teman kuli yang lain, tidak berada di rumah. Mereka ada yang pulang kampung, seperti mang Rohim. Ada juga yang keluyuran keluar, menikmati malam minggu mereka sendiri.

Aku sendiri sebenarnya, memutuskan untuk tidak kemana-mana malam itu, aku hanya ingin beristirahat di rumah.

Namun tiba-tiba Citra datang, sendirian. Rumah Citra memang tidak begitu jauh dari situ. Tapi Citra datang memakai mobilnya.

Awalnya aku cukup kaget, karena tak biasanya Citra datang malam-malam.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelas Citra padaku waktu itu, ketika aku mempertanyakan kedatangannya.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, Citra bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Citra bertanya banyak hal padaku, terutama tentang kehidupanku. Demikian juga sebaliknya, Citra juga secara blak-blakan bercerita tentang dirinya padaku malam itu.

Aku sebenarnya cukup sungkan, namun karena Citra yang bersifat ramah, aku pun mencoba untuk bersikap rileks.

Dari Citra aku tahu, kalau ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya perempuan. Kedua kakaknya sudah berkeluarga dan sudah mempunyai rumah masing-masing.

Jadi dirumahnya, hanya ada Citra dan kedua orangtuanya. Dan tentu saja ada beberapa orang pembantu di rumahnya.

Citra memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dan dari Citra juga aku jadi tahu, jika perumahan elit yang sedang kami bangun tersebut adalah milik ayahnya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran..." ujar Citra di sela-sela obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Tak berniat juga untuk terlalu meyakinkan Citra.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjut Citra lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini Citra melanjutkan, dengan tersenyum manis menatapku.

Entah mengapa, mendengar pujian Citra barusan, aku merasa tersanjung. Aku tersenyum tipis dan segera menunduk, tak sanggup lebih lama menentang tatapan Citra.

Harus aku akui, bahwa seumur hidup, aku belum pernah dipuji seperti itu oleh siapa pun. Apalagi aku memang tidak pernah dekat dengang seorang cewek.

"mbak Citra sendiri gimana?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanya Citra dengan kening berkerut.

"maksud saya, mbak Citra sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanyaku lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawab Citra dengan nada datar. Ia seperti tak begitu berminat membicarakan kisah cintanya.

****

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Citra pun menjadi dekat dan akrab. Citra semakin sering mengajakku ngobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, Citra lebih sering datang ke tempat tinggal kami. Ia bahkan tidak segan-segan mengajakku jalan-jalan berdua pakai mobilnya.

Ia sering mentraktir aku makan dan berjalan-jalan keliling kota. Dan bahkan kami pernah nonton di bioskop berdua. Citra juga sering mengajakku main ke rumahnya, tentu saja tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Hingga suatu hari, aku mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepalaku. Cukup parah. Aku hampir kehabisan darah, kalau saja Citra tidak segera membawaku ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawaku masih terselamatkan.

Dan dari keterangan dokter, aku tahu, bahwa Citra ikut menyumbangkan darahnya, agar aku bisa diselamatkan.

Citra juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu aku dirawat. Citra selalu setia menemaniku. Ia juga mengeluarkan banyak uang, untuk biaya aku berobat.

"makasih ya, mbak Citra." ucapku, ketika Citra mengantarku pulang dari rumah sakit, "mbak Citra sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjutku lagi.

Citra hanya tesenyum, ia terlihat tulus.

Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas semua kebaikan Citra padaku. Rasanya apapun akan aku lakukan, untuk bisa membalas jasanya.

"kamu yakin, gak mau pulang kampung saja, Ken?" tanya mang Rohim, setelah aku beberapa hari pulang dari rumah sakit.

Luka ku memang sudah mulai sembuh, namun aku belum diperbolehkan bekerja, terutama oleh mang Rohim dan Citra.

"iya, gak apa-apa, Mang. Lagian saya juga gak punya ongkos untuk pulang, uang yang kemarin udah saya kirim ke kampung..." balasku kepada mang Rohim, yang masih saja menatapku.

Aku memang tak berniat untuk pulang, selain karena tidak punya uang, aku juga tak ingin membuat cemas kedua orangtuaku. Aku sudah berpesan kepada mang Rohim agar tidak memberitahukan mereka, tentang kejadian yang menimpaku. Mereka tidak perlu tahu.

Lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi.

********

Pagi itu, aku termenung sendirian di dalam rumah. Mang Rohim dan rekan kuli lainnya, sudah berangkat kerja.

Tiba-tiba di balik pintu yang memang tidak tertutup itu, muncul sesosok tubuh seorang wanita.

Aku cukup kaget, namun segera aku tersenyum, karena aku lihat Citra sudah berdiri disana. Ia tersenyum manis, ditangan kanannya ia menenteng sebuah kantong plastik putih transparan.

"aku bawakan sarapan buat kamu..." ucap Citra, sambil ia melangkah masuk dan duduk di dekatku.

Ia menyerahkan kantong plastik itu, dengan masih tersenyum.

Sebenarnya aku merasa cukup berat menerimanya. Namun sudah beberapa hari ini, sejak aku pulang dari rumah sakit, Citra memang rutin membawakan aku sarapan.

Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara menolak semua kebaikan Citra padaku. Rasanya kebaikan Citra sudah tidak bisa dibalas dengan apapun.

Namun aku selalu tak bisa menolaknya, aku takut Citra tersinggung. Citra selalu terlihat tulus padaku, sehingga aku menjadi tak kuasa untuk menolaknya.

Pagi itu, entah mengapa aku merasa Citra berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia memakai blues hijau lengan panjang. Bajunya dimasukkan ke dalam rok mininya, yang terlilit ikat pinggang hitam. Rok mini yang ia pakai berwarna hitam. Rok itu terlihat cukup pendek. Sehingga tubuh Citra yang memang seksi itu, terlihat semakin menarik.

"mbak Citra sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucapku akhirnya memberanikan diri. Saya baru saja menghabiskan sarapan yang dibawa Citra tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tanpa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Citra duduk di samping ku.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucap Citra perlahan.

Aku menatap Citra sekilas.

"mbak Citra mau jujur tentang apa?" tanyaku penasaran.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin saya, apa lagi sampai marah sama saya...." balas Citra, kali ini ia menatapku kembali, dengan wajah sedikit memohon.

Aku justru semakin penasaran.

"saya mana berani marah sama mbak Citra.." ucapku, "mbak Citra sudah terlalu baik sama saya.." aku melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." Citra berujar lagi, suaranya sedikit mengecil.

"iya. Mbak Citra ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balasku meyakinkan.

Aku benar-benar penasaran dengan semua yang ingin diomongkan Citra padaku. Pikiranku menerawang, mencoba menebak-nebak.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya Citra pun berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suara Citra tergagap. Namun cukup mampu membuatku sangat kaget.

"maksud mbak Citra?" tanyaku akhirnya, keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku jatuh cinta sama kamu..." Citra berujar lagi, suaranya masih terbata.

"tapi saya, kan...." aku sengaja menggantung kalimat ku.

"iya, saya tahu. Kamu hanya seorang kuli." Citra memotong ucapanku cepat. "tapi aku sudah terlanjur suka sama kamu, Ken. Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli, sekali pun kamu hanya seorang kuli. Kamu mau kan pacaran sama saya?" Citra melanjutkan lagi. Ia terdengar semakin berani.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa.

Seharusnya aku memang sudah bisa menduga hal itu dari awal. Kebaika Citra selama ini padaku, sudah cukup membuktikan hal tersebut. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka, kalau Citra akan seberani itu, untuk mengungkapkan perasaannya pada ku.

Aku juga tidak menyangka, kalau Citra bisa jatuh cinta padaku. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ia adalah putri seorang pengusaha kaya. Citra juga seorang wanita berpendidikan dan berwawasan tinggi. Rasanya, sangat tidak mungkin ia akan tertarik padaku, yang hanya seorang kuli proyek.

Tapi Citra sudah berterus terang padaku. Ia dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaannya. Dan aku salut atas kejujurannya itu.

Aku memang belum pernah pacaran. Aku belum pernah mengungkapkan perasaanku pada siapapun. Aku tak tahu rasanya. Meski aku sering mengkhayalkannnya.

Namun tak pernah aku sangka, jika aku harus mendengarkan ungkapan perasaan dari seorang wanita secantik dan sekaya Citra.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suara Citra mengagetkanku lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." Citra melanjutkan kalimatnya, melihat saya hanya terdiam.

Tak lama kemudian, Citra pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." Citra mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pelan keluar.

Aku masih dalam keterdiamanku. Semuanya terasa aneh bagiku. Pikiranku tiba-tiba kacau tak menentu. Hatiku dibalut dilema. Aku masygul.

****

Seminggu kemudian, aku sudah mulai bekerja lagi seperti sedia kala.

Seminggu ini, pikiranku terasa berat. Pernyataan Citra minggu lalu, masih terus menghantui ku setiap saat.

Citra memang tidak pernah lagi datang kerumah, sejak seminggu itu. Kami bahkan tidak pernah bertemu dari jarak dekat, kami hanya saling pandang dari kejauhan.

Perasaanku semakin tak karuan.

Jika aku menolak pernyataan cinta Citra untuk menjadi pacarnya, jelas ia akan kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin hal itu terjadi, biar bagaimanapun Citra sudah teramat sangat baik padaku selama ini. Ia rela mengorbankan apa saja untukku. Ia bahkan telah menyumbangkan darahnya, demi menyelamatkan nyawaku. Dan lagi pula Citra adalah mandor, tempat aku bekerja sebagai kuli bangunan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan, orang sebaik Citra?

Sebegitu tidak tahu terima kasihkah aku?!

Sebegitu jahatkah aku?

Yang tega membuat kecewa, orang yang sudah sangat baik padaku.

Namun jika aku menerima cinta Citra, entah mengapa aku merasa tidak pantas.

Bagaimana nantinya kami bisa menjalin hubungan?

Bagaimana rasanya punya pacar yang lebih tua dari ku? dan juga jauh lebih kaya dari ku?

Aku benar-benar merasa tidak pantas.

Aku pernah membayangkan, suatu saat akan punya pacar. Tapi tentu saja, yang aku bayangkan adalah punya pacar seorang cewek yang kehidupannya sepadan dengan ku.

Tapi sekarang?? Akh... aku benar-benar bingung.

Aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Citra. Jujur, aku memang mengagumi sosok seorang Citra. Terlepas dia seorang wanita yang cantik dan seksi, Citra juga seorang wanita yang sangat baik dan ramah. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat dia marah.

Namun aku tidak bisa begitu saja jatuh cinta padanya. Biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Dan lagi pula, aku juga tidak ingin punya pacar yang usianya lebih tua dariku, meski pun hanya dua tahun.

Aku memang merasa nyaman, saat bersama Citra. Karena segala kebaikannnya padaku selama ini.

Tapi bukan berarti, aku telah jatuh hati padanya.

Aku juga memang belum pernah pacaran. Hatiku memang selalu kosong. Tapi bukan berarti juga, aku harus membiarkan Citra masuk ke dalamnya dengan begitu mudah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Haruskah aku mencobanya?

Setidaknya untuk membuat Citra merasa senang.

Setidaknya untuk membalas semua kebaikan Citra selama ini. Meski sebenarnya, itu semua tidak akan pernah cukup. Citra terlalu baik padaku.

********

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanya Citra akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, Citra datang sekitar setengah jam yang lalu. Aku memang sedang sendirian di rumah. Seperti biasa, teman-teman kuli yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." Citra berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.

Mudah bagi Citra untuk berkata demikian. Aku bisa saja menolak, tapi pasti hubungan kami ke depannya akan merenggang. Dan pasti juga, Citra akan sangat kecewa.

"saya bingung, mbak. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada mbak Citra, selain perasaan sebagai teman.." aku berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin mbak Citra kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama mbak Citra. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." aku berkata cukup panjang, suaraku semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanya Citra sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Saya tidak menjawab, namun repleks saya pun mengangguk. Meski hati saya sendiri tidak begitu yakin.

Kulihat Citra tersenyum sangat lebar. Gigi putihnya yang rapi terlihat. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan yang terpancar dari hatinya. Aku merasa turut senang, melihat semua itu.

Setidaknya aku hanya ingin membuat Citra merasa bahagia, meski harus mengorbankan perasaanku.

Tiba-tiba Citra menyentuh lembut tanganku. Aku kaget. Namun aku membiarkannya, aku tak ingin Citra tersinggung.

Entah mengapa tangan Citra terasa lembut menyentuh kulitku, meski ada rasa kaku menggelitik hatiku.

Sekali lagi, aku benar-benar merasa tidak pantas.

*****

Dengan segala perasaan tidak pantas ku itu, aku mencoba menjalani hubungan asmara ku bersama Citra.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamar Citra, atau pun di hotel-hotel yang sengaja Citra sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

"kamu yakin dengan semua ini, Cit?" tanya ku pada suatu malam, ketika pertama kalinya ia mengajak ku ke kamarnya.

"iya, aku yakin.. Kebetulan orangtua ku sedang ada acara ke luar negeri.." balas Citra.

"tapi....." kalimat ku terputus, karena tiba-tiba Citra menarik tangan ku untuk masuk.

"udah kamu masuk aja.. Kita aman kok, disini.." ucap Citra, sambil terus menarik tangan ku.

Aku pun akhirnya, hanya bisa menuruti semua itu. Tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmara ku dengan Citra terjalin.

Entah mengapa, lama kelamaan, aku mulai merasa menyukai Citra.

Aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dihatiku untuk Citra. Aku semakin sering memikirkan Citra. Aku sering menatapnya dari kejauhan, saat kami bekerja. Aku kadang juga merasa rindu, bila sehari tak bertemu dengan Citra.

Sejak pacaran, Citra memang semakin baik padaku. Ia tidak pernah sekalipun membuat aku kecewa. Ia selalu berusaha, untuk membuatku selalu tersenyum. Ia juga sering memberi aku kejutan, dengan memberiku beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat aku semakin menyayangi Citra. Dan aku pun akhirnya jatuh cinta padanya. Rasanya begitu nyaman, saat berada di samping Citra.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan tidak pantas yang aku rasakan dari awal hubungan kami, kini telah sirna. Berganti dengan rasa bahagia yang tak terkira.

***

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Citra harus berpisah untuk sementara, karena aku harus kembali ke kampung halamanku.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Citra. Begitu juga yang dirasakan Citra.

Tapi aku harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama aku tidak pulang. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi di kota itu.

Meski Citra berusaha menahanku, dan meminta ku untuk tetap tinggal di kota. Ia  bersedia menyewakan sebuah apartemen untukku. Namun aku terpaksa menolak. Aku merasa tidak enak hati, harus tetap tinggal di kota, sementara aku tidak punya pekerjaan. Citra pun mencoba untuk memahaminya.

***

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan aku berada di kampung. Selama itu, aku dan Citra, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Citra pernah sekali datang ke kampungku, sekedar melepas rindu katanya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama, karena ia harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampungku dengan kota tempat Citra tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk Citra bisa sampai ke kampungku.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, Citra pun mengabarkan padaku, bahwa ia akan menikah dengan seorang pria pilihan orangtuanya.

Citra sebenarnya sudah berusaha menolak. Namun keinginan orangtuanya sudah sangat kuat, mengingat usia Citra yang sudah cukup dewasa. Dan lagi pula, Citra juga tidak pernah berani untuk menceritakan tentang hubungan kami kepada keluarganya. Untuk itu orangtuanya, bersikeras menjodohkan Citra dengan anak salah seorang rekan bisnis ayahnya.

Entah mengapa, aku merasa begitu sakit mendengar kabar itu. Hatiku tak rela Citra-ku, menikah dengan orang lain.

Namun aku dan Citra tidak bisa berbuat banyak.

Biar bagaimana pun, hubungan kami pasti tidak akan pernah direstui oleh orangtua Citra. Mengingat betapa banyaknya perbedaan yang ada diantara kami berdua.

Citra pernah mengajak ku untuk kawin lari dengannya. Tapi aku dengan tegas menolak. Rasanya itu bukanlah jalan keluar terbaik untuk hubungan kami berdua.

Kami harus bisa menerima kenyataan, bahwa hubungan kami memang harus berakhir. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankannya. Apa lagi sekarang, jarak antara kami berdua kian jauh terbentang.

Tapi rasanya sangat berat menerima itu semua.

Sebenarnya Citra berharap, agar kami tetap berhubungan, sekali pun ia sudah menikah. Tapi aku tak menginginkan hal itu. Aku tak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan Citra dan suaminya.

Aku berusaha untuk mengikhlaskannya.

Mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup dengan orang lain.

Aku hanya ingin Citra bahagia dan menjalani hidupnya dengan baik. Menjalani hidupnya bersama orang yang sepadan dengannya. Bukan seorang kuli seperti diriku.

Aku sendiri akan berusaha untuk melupakan Citra, dan berusaha untuk menemukan jodohku sendiri. Dari golongan orang yang sederajat pula kehidupannya dengan ku.

Meski akhirnya harus terpisah, setidaknya aku pernah merasakan bahagia dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku.

Setidaknya aku pernah merasakan, indahnya hubungan cinta dengan wanita yang usianya lebih tua dariku.

Kini semua itu, hanyalah tinggal kenangan bagiku.

Aku akan memulai hidupku yang baru. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan mampu melupakan segala kenanganku dengan Citra seutuhnya.

Tapi setidaknya aku akan mencoba.

Semoga saja aku mampu...

Yah.. semoga saja..

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate