Tampilkan postingan dengan label cerpen terbaik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen terbaik. Tampilkan semua postingan

Saat suami ku di penjara

Nama ku Hannah. Panggil aja begitu. Meski itu bukan namaku yang sebenarnya.

Aku seorang perempuan yang sudah menikah saat ini. Aku juga sudah punya seorang anak perempuan dari hasil pernikahan ku dengan mas Derry.

Mas Derry adalah suami ku, yang berusia hanya lebih tua satu tahun dari ku.

Kami menikah sekitar 15 tahun yang lalu. Atas dasar saling cinta tentunya.

Perjalanan hidupku amatlah rumit. Dan aku membenci itu semua kadang-kadang. Bukan karena aku tidak mensyukuri hidup ini. Namun hampir tidak ada satu pun hal yang terjadi dalam hidupku, yang bisa membuat aku merasa beruntung terlahir ke dunia ini.

Istilah 'perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik' sangatlah melekat dalam kisah ku ini. Tapi justru yang terjadi padaku justru sebaliknya. Karena aku bukanlah 'perempuan baik-baik', maka laki-laki yang datang padaku juga bukan 'laki-laki baik-baik'.

Aku seorang yatim piatu. Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia 5 tahun. Sedangkan ibu ku, meninggal saat aku sudah berusia 12 tahun. Masih cukup kecil sebenarnya, untuk mengerti arti sebuah kehilangan.

Namun yang pasti, sejak kedua orangtua ku meninggal, aku mulai hidup terlunta-lunta. Tanpa arah. AKu tumbuh tanpa kedua orangtua ku. Dan hal itu cukup membuat aku jadi anak yang hampir tidak punya aturan dalam hidup.

Aku punya seorang kakak cowok. Usianya lima tahun lebih tua dari ku. Tapi, kakak ku juga bukan laki-laki baik-baik. Kehilangan orangtua memang membuat kami berdua, juga kehilangan arah. Kehilangan pegangan, dan juga kehilangan semangat hidup.

Beruntunglah kedua orangtua kami masih meninggalkan sebuah rumah kecil untuk tempat kami tinggal, sehingga kami tidak perlu menjadi gelandangan. Meski pun untuk makan kami sehari-hari, terkadang kami harus mengemis.

Tumbuh tanpa orangtua yang lengkap, membuat kami menjadi salah jalan. Kakak ku hanya bisa sekolah sampai lulus SMP, sedangkan aku, hanya lulus SD. Sehingga, untuk mencari pekerjaan pun, bagi kami sangatlah sulit.

Tiga tahun setelah ibu ku meninggal, kakak harus masuk penjara, karena tertangkap maling di sebuah rumah orang kaya. Dan sejak saat itu pula, aku terpaksa menjani hidup ini sendirian.

Aku pernah mencoba bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan kaya. Namun aku hanya mampu bertahan beberapa bulan. Karena sang juragan, sering melecehkan ku. Dan akhirnya aku pun kabur dari rumah tersebut.

Bertahun-tahun aku hidup di jalanan, terlunta-lunta tak tentu arah. Mengemis, mengamen dan berbagai pekerjaan memalukan lainnya yang aku lakukan, demi untuk bisa bertahan hidup.

Sampai akhirnya aku bertemu mas Derry. Seorang laki-laki yang ternyata mampu membuat aku merasa nyaman. Kami saling jatuh cinta.

Mas Derry bukan orang kaya, dia sama jahatnya dengan ku. Orang-orangnya menyebutnya seorang preman. Tapi aku gak peduli waktu itu. Karena dari sekian banyak orang yang aku kenal, hanya mas Derry yang benar-benar perhatian padaku. Sebuah perhatian yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Kami memutuskan untuk menikah. Dan kami sama-sama berjanji untuk berubah. Meski pun pada waktu itu, usia ku masih 20 tahun, dan mas Derry sendiri juga masih 21 tahun. Tapi ia berjanji, akan membuat aku bahagia.

Aku tahu, mas Derry bukanlah laki-laki baik-baik. Dia suka mabuk-mabukan dan judi. Tapi aku yakin, jika sudah menikah, dia akan berubah. Dan lagi pula, aku juga bukan perempuan baik-baik. Jadi, setuju tidak setuju, kami adalah pasangan yang cocok waktu itu.

Setelah menikah, kami tinggal di rumah peninggalan orangtua ku, dan memulai hidup baru. Mas Derry sudah tidak mabuk-mabukan lagi, apa lagi judi. Ia benar-benar menepati janjinya untuk berubah. Aku juga mulai memperbaiki diri. Mencoba menjadi istri yang baik.

Dengan modal seadanya dan juga nekat, kami pun membuka usaha jualan ayam geprek di depan rumah. Meski pun awalnya hal itu tidak mudah, namun kami tidak pernah mau menyerah. Kehidupan keras yang pernah sama-sama kami lalui, membuat kami cukup kuat menghadapi itu semua.

Sampai akhirnya anak pertama kami lahir. Kami beri ia nama Amelia Putri. Kami berharap ia bisa menjadi keburuntungan dalam hidup kami kelak.

****

Lima tahun usia anak kami, Amel. Begitu kami memanggilnya. Sudah hampir enam tahun pula, usia pernikahan kami. Dan selama itu, semuanya baik-baik saja, meski secara ekonomi, hidup kami masih sering kekurangan.

Aku mencoba menikmati kebahagiaan sederhana tersebut. Mencoba menata hidup kami pelan-pelan. Hingga akhirnya, usaha ayam geprek kami pun mulai berkembang. Penghasilan kami pun mulai meningkat. Bahkan kami sudah mampu membayar seorang pekerja, untuk membantu kami berjualan.

Aku mulai bersyukur dengan keadaan tersebut. Aku mulai merasa makna hidup yang sebenarnya. Punya suami yang penyayang, punya anak yang lucu dan cantik, serta punya usaha cukup menghasilkan. Maka, nikmat mana lagi yang akan aku dustakan.

Namun hidup tidak semudah itu. Tidak. Hidup seperti itu terlalu gampang. Seperti sebuah kalimat populer mengatakan, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua pasti ada akhirnya.

Dan kebahagiaan singkat ku tersebut pun berakhir, saat aku mulai merasakan, ada perubahan besar yang terjadi dengan suami ku, mas Derry.

Dia berubah. Mungkin karena kehidupan kami sudah mulai membaik. Dan kebiasaan lamanya terulang kembali. Mas Derry jadi sering keluyuran malam. Ia jadi sering pulang dalam keadaan mabuk.

Aku berusaha menegurnya. Namun setiap kali aku menegurnya, setiap kali pula pertengkaran diantara kami mencuat. Rumah kami jadi tidak harmonis lagi. Aku jadi kehilangan kepercayaan pada mas Derry.

Dia berubah. Bahkan uang hasil penjualan ayam geprek kami, ia habiskan semuanya. Untuk minum-minum dan juga untuk berjudi.

Setiap kali aku berusaha mencegahnya, setiap kali pula, tangan kasarnya mendarat di pipi ku. Kami jadi semakin sering bertengkar. Rumah tangga kami kacau. Hatiku hancur. Aku masih tak percaya kalau mas Derry akan berubah sedrastis itu.

Aku jadi tidak tahan sendiri, melihat semua tingkah mas Derry. Dia bukan hanya menghabiskan uang hasil usaha kami. Dia juga sering memukul ku. Dan lebih parah lagi, sekarang mas Derry sudah berani terang-terangan mengajak teman-temannya ke rumah, untuk mabuk bersama.

Dia sudah tidak menghargai ku lagi. Dia tidak pernah memikirkan perasaan anaknya yang mulai tumbuh besar. Mas Derry sudah tidak bisa di beri toleransi lagi. Dan aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak tahan hidup bersama suami yang pemabuk dan suka bertindak semena-mena terhadapku.

Aku pun mulai mengambil tindakan. Aku melaporkan semua perbuatannya pada pihak berwajib. Mulai dari ia yang sering memukuli ku, sering mabuk-mabukan di rumah dan juga sering menghabiskan uang hasil usaha kami.

Laporan ku di terima, karena aku punya bukti yang kuat. Bekas-bekas tamparan mas Derry cukup membuat pihak berwajib, untuk segera bisa bertindak. Hingga akhirnya, mas Derry benar-benar ditangkap. Bukan hanya karena tindakan kasarnya padaku, tapi juga karena ia sering mabuk-mabukan dan berjudi.

Semua kesalahannya, mampu membuat ia bertahan di penjara selama bertahun-tahun. Dan, entah mengapa, aku merasa sedikit lega.

Meski jujur saja, ada rasa penyesalan akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, mas Derry adalah suami ku, ayah dari anak ku. Sebagai seorang wanita, aku masih merasa membutuhkannya. Mas Derry juga pernah menjadi laki-laki terbaik dalam hidupku.

Namun semua memang harus terjadi. Mas Derry mungkin butuh pengajaran yang lebih, agar ia bisa berubah kembali. Tapi, aku tidak lagi mengharapkan itu semua. Mau mas Derry akan berubah atau tidak, aku sudah tidak peduli. Aku merasa lebih aman, jika tidak lagi bersamanya.

****

Aku mencoba menjalani kehidupan ku sendiri, bersama anak ku satu-satunya. Meski pun aku dapat merasakan, bahwa betapa terpukulnya Amel, saat ia tahu, kalau sekarang ayahnya sudah di dalam penjara. Ia pun jadi di kucilkan oleh teman-temanya, karena hal tersebut.

Tapi aku yakin, Amel anak yang kuat. Ia pasti bisa melewati itu semua. Seperti halnya aku dulu, yang tumbuh tanpa seorang ayah.

Karena kasus suamiku, kini usaha ku pun jadi turut merosot. Orang-orang sudah tidak mau lagi berbelanja di tempat ku. Usaha ku pun jadi kembang kempis. Hal itu membuat aku jadi sedikit linglung. Sementara aku semakin butuh biaya banyak. Apa lagi Amel sekarang sudah mulai masuk sekolah.

Hidupku kembali terasa kacau. Semuanya kembali berantakan. Aku kembali menemukan diriku yang dulu. Hilang arah. Hilang pegangan. Dan aku hancur. Berantakan.

Aku mencoba bertahan, meski keadaan tak pernah benar-benar berpihak padaku. Tapi aku harus tetap berjuang, setidaknya demi anak ku, Amel. Hanya dia satu-satunya, yang membuat aku tetap kuat. Hanya dia yang membuat aku jadi merasa sedikit punya tujuan.

Aku terus berjuang, meraih kembali kepercayaan orang-orang. Mengharapkan belas kasihan mereka, karena aku adalah istri yang teraniaya. Dan aku butuh dukungan, untuk bisa pulih kembali.

Meski tak mudah, orang-orang mulai bersimpati lagi padaku. Apa lagi setelah melihat aku berusaha membesarkan anak ku sendirian. Usaha ayam geprek ku, mulai laris kembali. Penghasilan ku pun mulai bertambah. Hidup mulai membaik.

Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang yang utuh untuk Amel. Memberikannya sekolah yang layak. Mendidiknya sebaik mungkin. Meski pun aku tahu, terkadang Amel sangat merindukan ayahnya. Tapi tak pernah sekali pun, aku coba mengjenguk mas Derry di penjara. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, begitu pun aku tak ingin ia bertemu dengan Amel.

Aku bahagia dengan semua itu. Meski pun menjalani kehidupan tanpa suami, bukanlah hal yang mudah. Apa lagi di usia ku yang masih cukup muda saat itu. Tapi setidaknya, kehidupanku sudah cukup membaik. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia.

Namun, sekali lagi, hidup tak pernah sesimple itu. Hidup tak pernah semudah itu. Selalu saja ada kejadian, yang membuat aku jadi salah langkah.

Berawal dari perkenalan ku dengan seorang berondong manis di media sosial. Seorang laki-laki muda, namanya Angga. Usianya masih 22 tahun.

Saat itu, sudah sudah hampir sepuluh tahun, aku menjalani hidup sendiri tanpa suami. Mas Derry tak pernah lagi ku dengar kabar tentangnya. Terakhir yang aku tahu, ia kembali masuk penjara karena ulahnya ikut merampok di sebuah rumah mewah. Padahal waktu itu, ia baru keluar dari penjara.

Aku memang sudah tidak peduli lagi dengan mas Derry. Bagi ku ia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu ku. Apa lagi setelah aku tahu, kalau penjara ternyata pun tidak mampu mengubahnya.

Mas Derry pernah beberapa kali mencoba untuk menemui ku, saat ia sudah keluar penjara, sebelum akhirnya ia masuk lagi. Tapi aku selalu menolak kedatangannya, dan berusaha agar ia tidak bisa bertemu dengan Amel.

Setelah aku tahu, kalau mas Derry kembali masuk bui. Aku pun mulai merasa sedikit lega. Setidaknya ia tidak lagi punya kesempatan untuk bisa merebut Amel dari ku. Hanya itu yang ingin aku pertahankan.

Aku pun mulai berpikir untuk menikah lagi. Setidaknya untuk mencegah, agar mas Derry tidak akan lagi mengusik kehidupan ku, jika nanti suatu saat ia keluar dari penjara. Selain itu, aku juga masih 35 tahun saat ini. Masih cukup muda. Dan aku masih butuh belaian seorang laki-laki.

Karena itu, aku pun mulai bermain media sosial. Selain untuk mempromosikan dagangan ku, aku juga sekalian mencari kenalan. Siapa tahu, ada yang cocok untuk aku jadikan suami. Setidaknya begitulah harapan ku saat ini.

Dan dari situlah aku berkenalan dengan Angga. Laki-laki muda yang aku ceritakan tadi. Seorang berondong, yang masih berusia 22 tahun.

Angga yang memulai sebenarnya. Ia yang mengirim pesan padaku duluan, ia juga yang akhirnya mengajak aku berkenalan. Meski pun aku tahu, kalau Angga, masih sangat muda. Tapi aku tetap membuka peluang untuk sekedar berkenalan dengannya.

Sampai akhirnya kami pun ketemuan, itu pun Angga juga yang meminta.

Semakin lama, kami pun semakin akrab dan dekat. Angga bahkan dengan terang-terangan, memperlihatkan ketertarikannya padaku. Aku berusaha memberi pengertian pada Angga, tentang status ku dan juga tentang jarak usia kami yang cukup jauh.

Tapi sepertinya, Angga sudah tidak peduli akan hal tersebut. Ia terus berusaha untuk membuat aku bisa menerima kehadirannya. Sampai akhirnya, aku benar-benar luluh.

Jujur saja, meski pun masih cukup muda. Angga sudah cukup dewasa dalam berpikir. Ia juga sosok laki-laki yang baik, penuh perhatian dan yang pasti secara fisik ia sangat menarik. Selain berwajah tampan, Angga juga memiliki postur tubuh yang proporsional. Gagah dan kekar.

Sebagai seorang wanita yang sudah lama hidup sendiri, aku tidak bisa memungkiri rasa ketertarikan ku pada Angga. Aku merasa nyaman bersamanya. Aku mulai menemukan kembali, kebahagiaan yang sudah lama hilang dalam hidupku. Apa lagi, Angga juga memberikan aku peluang yang besar untuk bisa bersamanya.

Akhirnya kami pun pacaran. Meski dengan perasaan ku yang masih ragu. Mungkinkah Angga akan sudi hidup bersama ku selamanya? Sementara ia tahu, kalau aku tidak lagi berusia muda.

Namun apa pun itu, Angga benar-benar memperlihatkan keseriusannya. Ia benar-benar ingin hidup bersama ku selamanya. Bahkan ia bersedia, jika aku mengizinkannya untuk menikahi ku.

Aku tahu, Angga masih muda. Dan ia belum punya pekerjaan tetap. Tapi, jika kami memang akan menikah, setidaknya aku juga sudah punya usaha sendiri. Dan aku yakin, Angga pasti bisa menjadi partner yang baik bagiku, untuk mengembangkan usaha ku tersebut.

****

Dan pada akhirnya, aku pun menyerah. Aku terima lamaran Angga untuk menikahi ku. Meski begitu banyak ocehan dan makian orang akan keputusan ku tersebut. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku merasa bahagia.

Amel, anakku, sebenarnya tidak setuju. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Meski pun saat ini, Amel sudah berusia 15 tahun. Namun ia tidak pernah berani membantah apa yang sudah menjadi keputusan ku.

Aku dan Angga pun menikah. Kami saling mencintai. Setidaknya begitulah yang aku ketahui.

Seperti harapan ku, setelah menikah, Angga pun mulai membantu usaha ayam geprek ku. Kami bekerja sama. Meski pun usia Angga jauh lebih muda dariku, tapi aku berusaha memperlakukannya sebagai seorang suami, seorang pemimpin.

Kehidupan kami berjalan lancar akhirnya. Aku bahagia. Aku nikmati keindahan hidup tersebut, dengan perasaan suka dan damai. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Angga. Dan semoga pernikahan kami bisa bertahan selamanya.

Namun, sekali lagi, untuk kesekian kalinya, hidup tak pernah semudah itu, terutama bagi ku. Kebahagiaanku tak pernah utuh. Kebahagiaan ku tak pernah mampu bertahan lama dalam hidupku. Selalu saja ada hal yang membuat aku kembali terluka.

Yah... setahun pernikahan dengan Angga. Meski pun awalnya semuanya baik-baik saja. Namun pada akhirnya semua kembali menjadi berantakan.

Ketika pada akhirnya, aku tahu, kalau ternyata diam-diam, Angga dan Amel menjalin hubungan di belakang ku. Dan hal itu, membuat aku kembali hancur untuk yang kesekian kalinya.

Hubungan Angga dan Amel, aku ketahui, saat tak sengaja aku memergoki mereka berdua di dalam kamar, sedang melakukan hal yang tak semestinya mereka lakukan.

Aku marah. Kesal, kecewa, dan berbagai perasaan berkecamuk di pikiran ku saat itu. Sungguh itu semua di luar dugaan ku. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Angga akan tega berbuat seperti itu.

Mungkin luka ku tidak akan begitu parah, kalau seandainya Angga mengkhianati ku perempuan lain. Tapi kenyataannya, ia melakukan hal tersebut dengan Amel, anak ku sendiri. Sungguh aku tak percaya, kalau Angga adalah seorang laki-laki biadab, yang tidak punya perasaan sama sekali.

Pada akhirnya aku mengusir mereka berdua dari rumah. Meski aku tidak tahu, siapa sebenarnya yang bersalah diantara mereka. Mungkinkah ini semua salah Amel, yang masih lugu dan polos, yang ia sendiri tahu pasti, kalau Angga adalah suami ku, ayah tiri nya?

Ataukah ini sebenarnya salah Angga, yang mampu memanfaatkan keluguan Amel, yang ia sendiri tahu, kalau Amel adalah anak ku, anak tirinya?

Atau mungkin sebenarnya ini adalah salah ku, yang menikahi seorang laki-laki muda, yang lebih pantas menjadi menantu ku.

Namun apa pun itu, seperti yang aku katakan dari awal, bahwa aku bukanlah perempuan baik-baik, dan tentunya juga akan bertemu dengan laki-laki yang tidak baik. Dan bahkan kedua laki-laki yang datang dalam hidupku, tidak ada satu pun yang mencerminkan seorang laki-laki baik-baik.

Kini, aku hanya bisa menyesali semua itu.

Meski aku sendiri tidak tahu, bagian mana dalam perjalanan hidupku yang paling aku sesali.

Entah bagian karena aku pernah menikah dengan mas Derry, dan melahirkan seorang anak seperti Amel?

Entah bagian karena aku membiarkan seorang Angga masuk ke dalam hidupku?

Entah bagian karena aku yang tidak bisa mendidik anak ku dengan baik?

Atau aku menyesali semua bagian dari hidup ku. Semuanya. Dan aku membenci hidup ini, dengan cara ku.

Aku membenci setiap kejadian yang pernah terjadi dalam hidup ku.

Aku membenci, ketika ayah ku pergi di saat aku masih belum mengerti arti diri ku bagi ku.

Aku membenci, ketika ibu ku pergi di saat aku masih sangat membutuhkannya.

Aku membenci, kakak ku, yang memilih untuk hidup berantakan, tanpa memperhatikan aku sedikit pun.

Aku membenci diri ku, yang hanyut dalam semua kekecewaan tersebut.

Kini... semuanya sudah tidak ada arti lagi bagi ku. Aku juga tidak tahu, harus melakukan apa saat ini.

Aku telah kehilangan semuanya. Bahkan aku juga telah kehilangan anak ku sendiri. Anak yang aku besarkan dengan susah payah. Anak yang aku didik dengan sebaik-baiknya. Namun tetap saja, buah memang tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya.

Lalu siapa sebenarnya yang salah dalam hal ini? Siapa?

Dan aku hanya terpuruk disini. Sendiri.

Tanpa pernah bisa aku temukan jawabannya.

****

Mama Muda (part 1)

Nama ku Edo. Usia ku sudah 28 tahun. Dan saat ini aku sudah bekerja menjadi seorang karyawan di sebuah mini market. Aku seorang sarjana sebenarnya. Namun karena tidak satu pun lamaran kerja ku yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tempat aku melamar kerja, aku pun harus berpuas diri meski hanya menjadi karyawan di sebuah mini market.

Gaji yang aku terima memang tidak seberapa, tapi masih cukup untuk biaya hidup ku sehari-hari dan untuk membayar uang kost setiap bulannya.

Aku kost sendirian di sebuah tempat kost-kost-an yang kamar nya cukup kecil, dengan harga yang murah. Karena memang aku sudah mulai merantau sejak aku kuliah. Dan aku sudah terbiasa hidup sendirian di kota yang besar ini.

Orangtua dan semua keluarga ku tinggal di kampung, yang jaraknya sangat jauh dari kota tempat aku tinggal. Sejak tinggal di kota aku memang jarang pulang, terutama setelah aku lulus kuliah. Selain karena memang tidak ada ongkos pulang, aku juga merasa malu, jika pulang dalam keadaan belum sukses seperti saat ini.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku yang perempuan sudah menikah dan sudah punya dua orang anak di kampung. Adik perempuan ku juga sudah menikah. Aku laki-laki satu-satunya di keluarga kami dan belum menikah. Hal itu juga menjadi salah satu alasan bagi ku, kenapa aku jadi jarang pulang.

Aku sendiri sebenarnya pernah berpacaran beberapa kali. Tapi selalu saja hubungan ku harus berakhir dengan sangat menyakitkan, dengan berbagai alasan. Terutama karena memang aku seseorang yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan belum memiliki masa depan yang jelas.

Untuk saat ini pun, aku jadi kurang percaya untuk mendekati perempuan yang aku suka, karena kehidupan ku secara ekonomi masih jauh dari kata mapan. Karena itu lah, aku memilih untuk tidak berpacaran lagi, setidaknya sampai aku punya pekerjaan yang lebih baik.

****


 

Sebagai seorang karyawan di mini market, aku memang hampir setiap hari bertemu orang-orang. Baik itu orang-orang baru, mau pun orang yang sama. Dan Aku mencoba  menikmati hal tersebut, meski pun sebenarnya itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan.

Aku punya cita-cita, aku punya keinginan. Namun untuk saat ini, yang bisa aku lakukan, hanyalah mencoba menjalani ini semua dengan berlapang dada. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa.

Di samping itu, aku masih terus mencoba untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan bidang dan keahlian ku. Terutama perusahaan-perusahaan yang menurutku memiliki prospek yang baik ke depannya.

Sebagai seorang laki-laki aku memang punya cita-cita yang cukup tinggi. Aku ingin punya pekerjaan dengan gaji yang fantastik, agar aku bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk nantinya aku jadikan modal, untuk membuka usaha ku sendiri. Lalu kemudian, aku akan bisa melamar gadis yang aku inginkan.

Setidaknya begitulah cita-cita ku untuk saat ini. Meski pun aku sadar, hal itu tidak akan mudah untuk aku wujudkan. Tapi setidaknya aku akan selalu berusaha untuk mewujudkannya.

****

Ada seorang pelanggan perempuan yang sering datang berbelanja ke mini market tempat aku bekerja saat ini. Perempuan itu sebenarnya masih cukup muda, mungkin berkisar 30 tahun usianya. Dan dia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Hal itu aku ketahui, karena dia sering datang bersama suami dan dua orang anaknya, untuk berbelanja.

Perempuan itu berwajah manis, dengan hidung sedikit mancung. Tubuhnya cukup berisi, namun tidak terbilang gendut. Cukup montok sih, kalau menurut saya. Intinya secara fisik perempuan itu masih cukuup menarik. Tipe mama muda jaman sekarang.

Kami sudah pernah mengobrol beberapa kali, terutama saat ia datang sendirian ke mini market. Ia sering bertanya pada ku tentang letak barang-barang yang ia cari. Aku selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik, sebagai seorang karyawan di mini market tersebut.

Aku bekerja secara shift, kadang aku masuk pagi sampai sore, kadang juga masuk sore sampai malam. Mini market tempat bekerja, memang cukup ramai, dan biasanya kami tutup sampai jam dua belas malam.

Ada beberapa orang karyawan yang bekerja di mini market tersebut. Dan semuanya sudah punya tugasnya masing-masing. Ada yang jadi kasir, ada yang bertugas menyusun barang-barang di rak-rak yang sudah ada. Dan ada juga yang bertugas mengangkut barang-barang yang datang.

Hingga pada suatu malam, saat itu hampir jam dua belas malam. Mini market sudah mau kami tutup. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, di iringi suara gemuruh petir dari kejauhan. Saat itu, kebetulan perempuan yang aku ceritakan tadi, juga sedang berada di sana.

Aku dan perempuan itu pun duduk di kursi yang ada di teras mini market tersebut, sambil sedikit mengobrol. Sementara karyawan-karyawan lain, ada yang sudah pulang, ada yang masih berada di dalam mini market, dan ada juga yang duduk-duduk di sisi lain teras mini market itu.

Saat itulah, tanpa sengaja aku pun berkenalan dengan perempuan tersebut. Ternyata perempuan itu bernama Aida. Setidaknya begitulah pengakuannya padaku, saat kami berkenalan. Ia juga mengaku, kalau ia sudah hampir delapan tahun menikah, dengan suaminya yang sekarang.

Suaminya adalah seorang kontraktor alat berat, yang tentu saja jarang berada di rumah. Karena suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Terutama saat suaminya harus bekerja di luar kota, karena ada proyek di sana.

Kedua anaknya juga masih kecil-kecil. Yang satu sudah berusia tujuh tahun, dan yang bungsu baru berusia, dua tahun. Mereka tinggal di sebuah perumahan elit, tak jauh dari mini market tersebut. Di rumahnya yang cukup besar itu, Aida sering tinggal hanya bertiga bersama anak-anaknya, karena suaminya jarang pulang.

Setidaknya begitulah cerita Aida padaku, malam itu. Entah mengapa ia begitu gamblangnya menceritakan hal tersebut padaku. Padahal kami baru saja saling berkenalan, meski pun selama ini kami sudah sering bertemu di mini market tersebut.

Aku juga berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi Aida malam itu. Mungkin ia memang butuh seseorang untuk bisa mendengarkan ia bercerita. Apa lagi, saat itu, hujan belum juga reda.

****

"jadi sekarang anak-anak mbak Aida tinggal berdua di rumah, dong?" tanya ku, ketika Aida berhenti bercerita sesaat.

"kalau malam ini, suami ku ada di rumah. Tapi karena tadi, anak ku kehabisan susu, mau tidak mau aku harus keluar sendirian untuk membeli susu ke mini market ini.." balas Aida santai.

"oh gitu.." ucapku kemudian, "kalau mbak Aida mau pulang cepat, saya ada bawa baju hujan di motor, mbak Aida bisa pakai. Siapa tahu, anak mbak Aida sudah menangis karena ingin minum susu..." lanjutku menawarkan.

"tapi.. kamu sendiri gimana? Kamu juga butuh baju hujan itu untuk pulang kan?"

"iya sih, tapi gak apa-apa, karena mbak Aida lebih butuh. Saya sudah biasa pulang dalam keadaan hujan-hujan. Lagi pula, tempat kost saya gak jauh kok dari sini.."

"oh.. jadi kamu kost?"

"iya, mbak..."

"saya kira kamu asli orang sini..."

"gak kok, mbak. Saya perantau dan hanya tinggal sendiri di kota ini.."

Untuk beberapa saat suasana hening.

"emangnya kamu kost dimana?" tanya Aida tiba-tiba.

Aku pun menyebutkan nama daerah tempat aku kost, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari mini market tersebut.

"ya udah, kalau kamu memang bersikeras untuk meminjamkan aku baju hujan, saya mau pulang sekarang aja. Karena hujan sepertinya masih lama turunnya.." ucap Aida lagi.

"iya, mbak. Gak apa-apa. Pakai aja. Saya ambilkan baju hujannya sebentar ya..." balasku sambil mulai berdiri dan melangkah menuju motor ku yang terparkir tak jauh dari situ.

Setelah mendapatkan baju hujan tersebut, aku pun menyerahkannya kepada Aida. Ia pun segera memakai baju hujan tersebut, lalu kemudian ia pun pamit untuk segera pulang.

****

Keesokan malamnya, tanpa aku duga sama sekali, tiba-tiba saja Aida datang ke tempat kost ku. Aku cukup kaget menyambut kedatangannya.

"ada apa mbak Aida kesini?" tanya ku dalam kekagetan ku.

"saya mau antar baju hujan yang malam kemarin saya pinjam.."

"ah, mbak. Gak usah repot-repot loh sebenarnya, mbak. Gak diantar juga gak apa-apa, kok. Lagi pula mbak Aida kan bisa antar ke mini market aja, kalau pun saya gak ada di sana bisa titip aja sama yang lain.."

"iya sih.. aku juga sebenarnya sekalian pengen tahu tempat kost kamu. Tadi kebetulan juga aku lewat sini, jadi ingat kalau kamu kost di sini, sekalian mau mampir..." balas Aida, sambil memamerkan senyum manisnya.

Lalu kemudian, tanpa menunggu basa-basi dari ku, dan tanpa rasa canggung, Aida pun masuk ke kamar kost ku yang kecil tersebut. Untuk masih jam tujuh, jadi masih boleh bertamu.

"yah.. beginilah keadaan kost saya, mbak. Kecil." ucapku dengan perasaan sungkan.

"gak apa-apa kecil, Do. Yang penting nyaman, dan tahan lama..."

"ah, mbak Aida bisa aja.. Emangnya seperti apa kamar kost yang tahan lama, mbak?"

"yah.. seperti kamar kost kamu ini, kecil, tapi temboknya terlihat kokoh. Jadi bisa tahan lama bangunannya. Kamu juga bisa bertahan lama untuk tetap nge-kost di sini.." jelas Aida entah untuk tujuan apa.

"iya, mbak. Saya memang sudah bertahun-tahun nge-kost di sini, sudah sejak aku masih kuliah.." balasku sekedar memberitahunya.

"tapi... mbak Aida datang kesini dak takut suaminya marah?" tanyaku tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat suasana hening tercipta diantara kami.

"dia kan gak tahu, kalau aku kesini. Lagi pula malam ini, suami ku tidak sedang di rumah, ia dapat tugas lagi ke luar kota.."

"loh.. jadi anak mbak Aida sekarang dimana?" tanyaku dengan nada sedikit heran.

"tadi anak-anak saya titip di rumah adik saya. Rumahnya gak jauh kok, dari rumah saya. Saya juga sudah sering menitipkan anak-anak di sana.." Aida menjelaskan dengan suara yang terdengar sangat pelan.

Kami duduk di tepian ranjang kecil yang ada di dalam kamar tersebut. Meski pun masih merasa canggung, tapi mencoba untuk tetap rileks dan berusaha sesantai mungkin.

Terus terang selama aku kost disini, baru kali ini ada perempuan masuk ke kamar kost ku, apa lagi ini malam hari. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Mengingat Aida sudah punya suami dan anak. Rasanya ada yang terasa aneh akan hal tersebut.

Tapi aku coba mengabaikannya, karena mungkin saja Aida memang lagi butuh teman untuk bercerita. Dan aku harus siap akan hal tersebut, setidaknya untuk menghargai usahanya mengantarkan baju hujan yang ia pinjam, malam-malam seperti ini.

"kamu sudah punya pacar?" tiba-tiba Aida bertanya demikian.

"belum.." balasku jujur dan terdengar sangat polos.

"baguslah..." suara Aida terdengar sedikit berbisik.

"maksudnya, mbak?"

"yah.. bagus.. itu artinya gak bakal ada yang cemburu, kalau saya berlama-lama disini.."

Berlama-lama di sini? Bathin ku jadi tak karuan tiba-tiba mendengar kalimat Aida barusan.

Tiba-tiba Aida menatapku lama, sambil ia tersenyum manis padaku.

****

Bersambung...

Istri teman ku

Ini adalah sebuah kisah nyata yang aku alami sendiri. Sebuah kisah rahasia yang selama ini hanya aku simpan sendiri. Namun karena aku orannya tidak suka memendam sesuatu terlalu lama, jadi pada kesempatan kali ini aku ingin menceritakan kisah ini di sini.

Jadi ceritanya begini...

Aku punya seorang teman, teman yang cukup dekat dan akrab. Boleh dibilang kami ini adalah dua orang sahabat. Kami berteman sudah sejak masih sama-sama SMA. Hingga kami kuliah di kampus yang sama dan fakultas yang sama juga.

Bahkan ketika sudah lulus kuliah, kami juga akhirnya bekerja di perusahaan yang sama.

Teman ku ini sebut saja namanya Alvin. Dia tipe orang yang sedikit introvert. Alvin memang jarang keluar rumah, kecuali jika bersama ku. Dia juga hampir tidak pernah berpacaran selama ini.

Hingga akhirnya ia jatuh cinta pada seorang gadis, junior kami di kampus. Sebut saja nama gadis itu, Bela. Seorang gadis cantik yang berasal dari kampung. Gadis itu lah yang berhasil memikat hati Alvin. Setelah sekian tahun Alvin menjomblo.

Singkat cerita, Alvin dan Bela pun berpacaran. Hingga mereka sama-sama lulus kuliah. Dan saat Alvin sudah mulai bekerja, ia pun melamar Bela. Mereka pun akhirnya menikah, meski di usia yang masih cukup muda.

Setahun menikah mereka pun di karuniai seorang anak laki-laki. Pernikahan mereka juga terkesan cukup bahagia. Apa lagi secara ekonomi kehidupan mereka juga cukup mapan.Meski pun Bela memilih untuk tidak bekerja, dan hanya menjadi ibu rumah tanggan biasa.

Lima tahun usia pernikahan Alvin dan Bela, mereka sekarang sudah mempunyai dua orang anak. Kedua anaknya laki-laki. Meski pun Alvin sendiri pernah bercerita padaku, ingin sekali memiliki anak perempuan. Karena itu ia masih berharap, kalau Bela masih mau hamil lagi ketiga kalinya. Agar mereka bisa memiliki anak perempuan.

****

Aku sendiri sampai saat ini belum menikah. Berbeda dengan Alvin, aku termasuk tipe orang yang cukup bebas. Aku tidak suka menghabiskan waktu di rumah, bahkan sejak dulu. Aku lebih suka nongkrong di luar, atau sekedar jalan-jalan keliling kota.

Aku juga terkenal sebagai laki-laki play boy, karena sering gonta-ganti pacar. Aku memang termasuk tipe orang yang cepat bosan akan sesuatu. Karena itu juga, hubungan percintaan ku tidak pernah bertahan lama. Paling lama yah.. satu tahunan lah..

Kalau untuk urusan cinta, aku memang cukup beruntung. Mencari pacar bagi ku hal yang mudah. Siapa pun gadis yang aku inginkan untuk aku jadikan pacar, pasti akan bisa aku dapatkan. Namun masalahnya, aku terlalu gampang jatuh cinta, namun juga terlalu gampang bosan.

Hal itulah yang mungkin salah satu penyebab, mengapa aku belum menikah hingga saat ini. Meski pun usia ku sudah kepala tiga. Aku masih sangat menikmati masa lajangku.

Secara ekonomi, kehidupan ku juga sudah sangat mapan. Karena, sama seperti Alvin, aku juga sudah punya pekerjaan tetap dengan gaji yang fantastis. Tapi, aku memang belum ingin menikah saat ini.

****


 

Persahabatan ku dan Alvin memang cukup erat. Mengingat selama ini, kami selalu bersama-sama. Meski pun sejak menikah dan punya anak, Alvin jadi semakin jarang keluar rumah. Tapi saat di kantor kami sering menghabiskan waktu bersama.

Aku dan Bela juga cukup dekat. Karena sejak mereka pacaran, aku lah yang selalu menjadi perantara diantara mereka berdua, ketika mereka ada masalah dalam hubungan mereka. Dan sejak mereka menikah, aku juga jadi sering main ke rumah mereka. Apa lagi sejak anak-anak mereka lahir.

"kata mas Alvin, mas Dewa sekarang sudah naik jabatan ya..?" Bela bertanya padaku, ketika pada suatu sore aku bermain lagi ke rumah mereka. Kebetulan saat itu, Alvin tidak sedang berada di rumah.

"iya, Bel.." jawabku singkat.

"jadi sekarang gaji mas Dewa pasti lebih besar dari gaji mas Alvin ya..?" Bela bertanya kembali.

"yah.. begitulah kira-kira, Bel." balasku apa adanya, "emang kenapa, Bel? Kamu lagi ada masalah keuangan?" tanya ku melanjutkan.

"ya.. gak sih, mas. Saya cuma pengen mastiin aja, kalau ternyata gaji mas Dewa memag lebih besar dari mas Alvin.."

"udah... kamu tenang aja, Bel. Saya yakin, sebentar lagi, Alvin juga bakal naik jabatan, kok. Alvin kan, juga berprestasi di kantor, dan dia juga sangat disiplin. Hanya saja, mungkin saat ini, peluangnya belum ada..." balasku berusaha sedikit menghibur Bela.

Selama ini, Bela memang terkesan selalu membanding-bandingkan antara aku dan Alvin.

"tapi.. ngomong-ngomong... dengan gaji yang udah sebesar itu, mas Dewa bakalan segera menikah kan?" tiba-tiba Bela bertanya seperti itu.

"nah itu dia masalahnya, Bel. Kalau untuk urusan pekerjaan, aku selalu beruntung. Tapi untuk urusan cari jodoh, aku kurang beruntung kayaknya.." balasku sedikit dramatis.

"bukankah sejak dulu mas Dewa itu terkenal dengan status playboy nya? Kenapa nyari jodoh aja, jadi sulit, buat orang seperti mas Dewa? Pasti karena mas Dewa suka pilih-pilih kan, orangnya?"

"ah gak juga sih, Bel. Saya gak terlalu pemilih orangnya, kok. Yang penting cocok aja.."

"emangnya tipe perempuan yang ingin mas Dewa nikahi itu seperti apa sih?"

"saya gak punya kriteria khusus kok, Bel. Yang penting bisa jadi istri yang baik aja. Yah.. seperti kamu inilah, mungkin.."

"ah, mas Dewa bisa aja, tapi saya bukan tipe istri yang baik loh, mas.."

"tapi menurut saya, selama ini, kamu sudah menjadi istri dan ibu yang sempurna di rumah ini, buat suami dan anak-anak mu.."

Kali ini Bela tidak lagi membalas ucapan ku. Ia hanya tersenyum simpul. Wajahnya jadi sedikit memerah. Mungkin karena merasa malu dan tersanjung mendengar ucapan ku barusan.

****

Begitulah, aku dan Bela memang jadi kian akrab. Aku jadi suka bercerita sama Bela. Begitu juga sebaliknya. Bela jadi sering curhat padaku, terutama perihal rumah tangganya.

Hingga pada suatu malam, Bela meminta aku untuk datang ke rumahnya. Kebetulan saat itu, Alvin memang sedang ada tugas di luar kota selama beberapa hari.

Malam itu, Bela meminta aku menginap di rumahnya, karena ia merasa takut, katanya. Namun hal itu, tentu saja tidak diketahui oleh Alvin. Bela meminta ku secara diam-diam.

Aku dengan sedikit ragu, pun memenuhi permintaan Bela tersebut. Aku juga merasa penasaran sih sebenarnya, kenapa Bela tiba-tiba meminta aku menginap di rumahnya, saat Alvin tidak ada?

Namun diluar dugaan ku, ternyata Bela meminta aku untuk 'bercocok tanam' dengannya. Katanya, ia sudah lama tidak melakukan hal tersebut bersama suaminya. Alvin terlalu sibuk bekerja, akhir-akhir ini. Mungkin karena Alvin juga ingin segera naik jabatan, seperti aku.

Aku tidak berusaha menolak hal tersebut. Bagiku, tidaklah terlalu akan menjadi masalah, jika aku memenuhi keinginan Bela tersebut malam itu. Toh, jujur saja, sebagai laki-laki normal, di mata ku Bela juga cukup menarik.

Jadi ... malam itu, kami pun melakukan hal tersebut.

Dan terus terang, ada rasa bersalah menyelinap di dalam hati ku, saat semua itu akhirnya usai.

Namun semua sudah terlanjur terjadi. Terlepas dari siapa pun yang menginginkannya dan siapa pun yang memulainya, semua itu jelas sebuah kesalahan. Dan aku benar-benar menyesalinya.

Tapi begitulah kehidupan, kadang kita tidak bisa mengatur dengan baik, apa yang harus dan tidak harus kita lakukan. Apa lagi untuk orang seperti aku ini, yang terlalu terbiasa hidup dalam kebebasan.

Hanya saja, aku tidak menyangka sama sekali, kalau Bela akan melakukan hal tersebut. Terlepas dari apa pun alasannya.

Namun biar bagaimana pun, itu adalah kehidupannya. Itu sudah menjadi pilihan hidupnya.

****

Sejak kejadian malam itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak dari Bela. Aku tidak pernah lagi datang ke rumahnya. Meski pun beberapa kali, Bela coba menghubungi ku lagi. Namun aku harus bisa tegas untuk menolaknya.

Satu kali, mungkin itu adalah sebuah kekhilafan. Namun jika aku terus melakukannya lagi, itu adalah sebuah kebodohan. Jadi aku memutuskan untuk tidak lagi menanggapi, apapun usaha yang dilakukan Bela untuk bisa membujuk ku.

Bagi ku semuanya sudah berakhir. Kejadian malam itu, adalah sebuah kesalahan, yang tidak mungkin aku ulang kembali.

Kalau saja Bela bukan istri sahabat ku, mungkin hal itu tidaklah akan terlalu jadi masalah. Tapi kenyataannya, Bela adalah istri sahabatku sendiri. Dan aku tidak mau menjadi penghancur rumah tangga sahabat ku sendiri.

Dan karena aku tidak lagi mau menanggapinya, Bela akhirnya tidak pernah lagi berusaha untuk menghubungi ku. Ia sepertinya sudah menyerah dan mengerti, kalau aku tidak menginginkan hal tersebut.

Aku pun tidak mau tahu lagi, bagaimana kehidupan rumah tangga Alvin dan Bela selanjutnya. Aku hanya berharap, semoga Bela bisa berubah. Dan dia tidak lagi mencari laki-laki lain, selain suaminya sendiri.

Aku juga berharap, semoga Alvin menyadari kesalahannya, karena terlalu sibuk bekerja dan mengejar karir, hingga mengabaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Yang membuat istrinya mencari perhatian dari laki-laki lain.

Begitulah kisah singkat ku bersama istri teman ku. Sebuah kisah yang memberi banyak pelajaran berharga dalam perjalanan hidupku. Meski pun aku tidak tahu, karma apa yang akan aku terima nantinya, atas kesalahan yang aku lakukan tersebut.

Namun yang pasti, aku tidak ingin melakukan kesalaha yang sama lagi di kemudian hari.

****

Antara istri dan pacar ku

Nama ku Aryo, dan aku sudah menikah.

Aku menikah dengan seorang gadis cantik bernama Renata. Ia seorang model. Kami sudah menikah selama kurang lebih 3 tahun. Namun kami belum punya keturunan. Karena istriku masih ingin mengejar karir nya, dan belum mau hamil saat ini.

Aku sendiri adalah seorang pengusaha di bidang properti. Aku sudah punya perusahaan sendiri yang aku pimpin sendiri. Dan secara ekonomi, kehidupan kami sudah sangat mapan. Bahkan boleh di bilang sudah lebih dari mapan.

Aku sendiri sudah berusia 34 tahun saat ini, sementara istri ku masih 27 tahun. Jarak usia kami memang terpaut cukup jauh.

Kami menikah atas dasar saling cinta sebenarnya. Namun sejak awal kami sudah sepakat untuk menunda punya anak. Karena istri ku masih mau fokus mengejar karirnya sebagai seorang model.

Awalnya aku pikir hal itu tidaklah terlalu jadi masalah. Menunda untuk tidak segera punya anak, satu atau dua tahun, aku rasa tidaklah terlalu berat.

Namun saat usia perkawinan kami sudah mencapai 3 tahun, istri ku masih belum juga mau memberi aku keturunan. Dan hal itulah yang akhirnya memicu permasalahan dalam rumah tangga kami saat ini.

Beberapa kali aku coba membicarakan hal tersebut dengan istri ku, tapi ia tetap bersikeras untuk tidak hamil dulu sekarang. Karena ia sedang berada di puncak karirnya saat ini.

Namun sebagai seorang suami dan seorang laki-laki yang sudah berusia kepala tiga, aku sudah mulai tidak sabar untuk segera punya keturunan. Namun istri ku sepertinya tidak peduli akan hal itu. Ia lebih mementingkan karirnya, ketimbang perasaan ku.

Rumah tangga kami pun akhirnya menjadi kurang harmonis. Kami jadi jarang berkomunikasi. Bahkan istri ku sekarang pun jadi jarang di rumah. Ia pergi pagi, dan sering pulang larut malam. Karena harus melakukan banyak pemotretan, dan tampil di beberapa acara.

Hal itu cukup membuat aku jadi merasa kesepian. Aku jadi merasa kehilangan istri ku yang dulu. Aku merasa, kalau istri ku sudah tidak peduli lagi dengan ku.

****


 

Dalam kondisi rumah tangga ku yang sudah berada di ujung tanduk tersebut. Aku pun akhirnya jadi sering berselancar di dunia maya, untuk mengusir rasa kesepian dan kejenuhan ku.

Hingga kemudian aku pun bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis yang mengaku bernama Rika. Kami berkenalan melalu media sosial. Awalnya kami juga hanya ngobrol biasa. Sampai akhirnya aku nekat untuk mengajak Rika ketemuan.

Rika pun setuju, meski pun ia tahu kalau aku sudah menikah.

Dari pertemuan pertama kami tersebut, aku jadi merasa sedikit terkesan dengan Rika. Selain memiliki wajah yang cantik, tubuh yang seksi, Rika juga sangat supel dan terkesan cukup pintar.

Kami pun mulai mengobrol banyak hal. Aku jadi sedikit terbuka pada Rika. Aku juga dengan gamblang menceritakan tentang kondisi rumah tangga ku saat ini padanya.

Rika sangat penuh perhatian dan pengertian. Ia juga terkesan berpikiran sangat dewasa, meski pun ia mangaku baru berusia 25 tahun.

****

Pertemuan-pertemuan selanjutnya semakin sering terjadi. Aku dan Rika pun kian dekat dan akrab. Aku mulai merasa nyaman, saat bersama Rika. Aku juga jadi merasa punya semangat baru dalam hidupku.

Intinya, aku mulai jatuh cinta pada Rika.

Hingga pada akhirnya, aku pun nekat untuk menyatakan perasaan ku pada Rika. Dan gayung pun bersambut, Rika pun bersedia menjadi pacarku. Meski pun ia tahu, kalau aku masih terikat pada sebuah pernikahan.

Aku dan Rika pun akhirnya resmi berpacaran. Hubungan kami juga kian dalam, bahka sudah melampaui batas.

Kami jadi sering melakukan pertemuan di hotel, dan Rika tidak pernah keberatan akan hal itu. Ia juga terlihat sudah berpengalaman dalam hal tersebut. Meski pun ia mengaku baru beberapa kali pacaran.

****

"kamu sangat tampan dan gagah sekali, mas Aryo. Aku jadi semakin tergila-gila sama kamu.." bisik Rika pada suatu malam padaku. Saat untuk kesekian kalinya, aku kembali bertemu di sebuah hotel.

"kamu juga sangat cantik dan seksi sekali, Rika. Aku jadi pengen selalu bersama kamu.." balasku ikut berbisik.

"ah, mas Aryo bisa aja.." ucap Rika manja, "tapi malam ini, aku gak bisa lama-lama disini loh, mas.. Aku harus keluar lebih awal. " lanjutnya.

"kenapa?" tanyaku sedikit heran. Karena tak biasanya Rika buru-buru untuk pulang, jika sudah bersamaku.

"aku ada urusan di rumah teman, mas. Jadi kalau mas Aryo mau, harus cepat-cepat ya.. Karena aku sudah mau keluar, mas." balas Rika pelan.

"oh, ya udah. Gak apa-apa.. Tapi.. kamu gak apa-apa kan, pulang sendiri?" tanya ku membalas.

"yah.. gak apa-apa lah, mas. Biasanya juga aku sendirian, kok.." balas Rika lagi.

****

Dan sang waktu pun terus berlalu. Hubungan ku dan Rika sudah berjalan hampir empat bulan. Selama itu, semuanya baik-baik saja. Aku juga merasa bahagia dengan semua itu. Aku seakan menemukan makna baru dalam hidup ku.

Hingga pada suatu malam...

"jadi kapan mas Aryo akan menceraikan istri mas?" Rika bertanya sambil ia menatapku tajam.

"maksud kamu?" balasku bertanya. Selama ini, kami bahka tidak pernah membahas hal tersebut.

"maksud saya, yah... kapan mas akan menceraikan istri mas, dan menikahi saya?" Rika mengulang pertanyaannya dengan jelas.

"mas ada rencana untuk itu, kan? Atau mas hanya untuk sekedar mempermainkan saya aja..." lanjutnya.

"saya... saya belum ada rencana untuk itu, Rika..." balasku apa adanya.

"lalu .. mau di bawa kemana hubungan kita ini, mas? Saya juga butuh status, mas. Saya juga butuh diakui. Bukan sebagai selingkuhan, istri kedua apa lagi istri simpanan." ucap Rika sedikit kasar.

"tapi.. aku gak mungkin menceraikan istri ku sekarang, Rika.." balasku kehabisan kalimat.

"kenapa gak mungkin? Bukankah mas sendiri yang cerita, kalau mas sudah tidak bahagia dengan pernikahan mas itu. Dan lagi pula, bukankah mas juga ingin segera punya keturunan?!" ucap Rika lagi.

Kali ini aku tidak membalas ucapan Rika barusan. Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak menyangka, kalau Rika akan membahas hal tersebut malam itu. Aku juga tidak menyangka, kalau ia ingin aku segera bercerai dan menikahinya.

"pokoknya mas Aryo harus membuat keputusan secepatnya. Kalau mas Aryo benar-benar mencintai saya, mas Aryo harus menceraikan istri mas dan menikahi saya secepatnya. Dan sebelum hal itu terjadi, lebih baik kita tidak pernah bertemu lagi.."

Setelah berkata demikian, Rika segera bangkit dari tempat duduknya, dan ia pun segera keluar dari kamar hotel tersebut, tanpa berpamitan padaku.

Sementara aku hanya bisa terdiam melihat hal tersebut. Aku pun tak berniat untuk mencegah kepergiannya. Pikiran ku masih cukup kacau untuk menyadari semua itu.

Sekarang aku pun menjadi dilema.

Terus terang, aku belum bisa mendefinisikan perasaan ku terhadap Rika saat ini. Entah aku benar-benar telah jatuh cinta padanya, atau hanya sekedar sebagai pelarian semata.

Karena sejujurnya, aku tak berharap kalau hubungan dan Rika akan bertahan selamanya.

****

Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi bertemu Rika. Setiap kali aku coba menghubunginya, ia selalu tak pernah mengangkat telepon ku. Pesan ku juga tidak pernah ia balas lagi.

'kalau mas masih belum berani mengambil keputusan, jangan pernah hubungi aku lagi. Aku tak mau selama terjebak dalam hubungan tanpa status. Jadi sebelum semuanya terlanjur lebih dalam, lebih baik kita saling menjauh. Kecuali mas sudah berani untuk mengambil keputusan..'

Begitu pesan terakhir yang Rika kirimkan padaku, sebelum akhirnya ia memblokir nomor ku.

Akhirnya dengan cukup nekat, aku pun memberanikan diri, untuk mengajak istri ku mengobrol serius. Aku pun menyampaikan pada istri ku, kalau aku ingin menceraikannya. Karena ia tak pernah ada waktu untukku, dan juga karena ia masih belum mau memberi aku keturunan.

Istri ku tidak bisa terima hal tersebut. Ia menangis terisak-isak dan memohon-mohon padaku. Ia juga minta maaf, karena terlalu sibuk selama ini. Ia juga berjanji dan bersedia untuk berhenti jadi model, dan akan segera memberi aku keturunan.

Aku tentu saja setuju dengan semua itu, karena selama ini itu lah yang aku inginkan.

Aku dan istri ku akhirnya berdamai, dan berjanji untuk saling memaafkan. Kami memulai semuanya lagi dari awal. Dan tentu saja, istri ku sudah menetap di rumah, karena ia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan karir modelnya. Setidaknya sampai anak pertama kami lahir nantinya.

Aku juga tidak pernah lagi berusaha untuk menghubungi Rika. Aku bahkan sudah tidak memikirkannya lagi. Bagi ku, saat ini, Rika hanyalah selingan dalam hidup ku.

****

'aku ingin ketemu, mas. Di tempat biasa. Penting!' Sebuah pesan masuk ke ponsel ku. Itu dari Rika.

Aku jadi bimbang. Jika aku menemui Rika sekarang, aku takut istri ku akan mengetahuinya. Namun jika aku tidak menemuinya, aku takut, justru Rika akan nekat datang ke kantor atau pun ke rumah ku.

Akhirnya aku pun nekat untuk menjumpai Rika di tempat biasa kami bertemu, di sebuah hotel.

"ada apa?" tanya ku to the point, saat kami sudah berada dalam kamar hotel tersebut.

"kamu harus tanggungjawab, mas.." suara Rika sedikit serak.

"tanggungjawab apa?" tanyaku rada bingung.

"aku hamil anak kamu, mas. Dan kamu harus tanggungjawab.." suara itu kian serak.

"kamu.. kamu jangan ngarang ya, Rika.." balasku tegang.

"untuk apa aku ngarang, mas? Aku benar-benar hamil. Dan aku juga baru tahu tadi.." Rika menarik napasnya cukup berat.

"lalu.. aku harus bagaimana?" aku bertanya lebih kepada diri ku sendiri.

Kabar tentang kehamilan Rika adalah kabar yang akan membawa bencana dalam hidupku.

"yah.. kamu nikahin aku, mas.." Rika membalas masih dengan nada serak.

"tapi aku masih berstatus suami orang, Rika..." balasku cepat.

"ya udah... mas ceraikan aja istri, mas... gampang kan..."

"yah.. gak segampang itulah, Rika..."

"kenapa gak?"

"karena.... karena.. aku baru saja berdamai dengan istriku, dan dia bersedia untuk berhenti jadi model, dan bersedia juga untuk segera hamil. Aku gak mungkin menceraikannya sekarang..."

Suasana hening untuk beberapa saat. Aku lihat Rika mengusap pipi nya beberapa kali. Ia terlihat berusaha keras untuk tidak menangis.

"kalau begitu, lebih baik kamu gugurkan saja.." ucapku memecah keheningan.

"gak... aku gak mau..." suara Rika tegas kali ini.

"lalu mau kamu apa?" aku bertanya dalam bingung.

Suasana hening kembali. Rika terlihat sedang berpikir keras.

"aku mau kamu manikahi aku. Aku mau jadi istri kedua kamu, setidaknya sampai anak ini lahir. Nanti jika anak ini sudah lahir, kamu boleh ceraikan saya lagi. Tapi kamu harus tetap bertanggungjawab atas biaya hidup anak ini, sampai ia bisa mandiri nantinya.."

Begitu permintaan Rika akhirnya, setelah lama ia terdiam.

Aku tidak tahu, apa aku harus menerima tawaran Rika tersebut?

Yang aku pikirkan saat ini adalah, bagaimana aku bisa menutupi semua ini dari istri ku?

Aku tidak ingin istriku tahu tentang semua ini.

Tapi bagaimana kalau istri ku tahu?

Bagaimana kalau ada pihak keluarga ku yang tahu?

Akh.. aku benar-benar menjadi kacau saat ini...

****

Satu malam bersama penjual jamu gendong

Pernah pada suatu ketika, aku pergi berjalan-jalan ke kota sendirian, dengan mengendarai motor butut ku. Jarak kota dari kampung tempat aku tinggal, hanya sekitar satu jam perjalanan naik motor.

Aku teramat jarang datang ke kota, kecuali jika ada keperluan penting atau pun ada sesuatu yang harus aku beli di kota.

Dan kebetulan waktu itu, ada sesuatu yang harus aku beli ke kota, kebetulan juga waktu itu, aku baru saja gajian. Jadi aku juga sekalian jalan-jalan, untuk melepas penat, setelah bekerja sebulan penuh.

Singkat cerita, setelah perjalanan yang cukup panjang, dan menemukan apa yang aku cari, serta setelah lelah berkeliling-keliling gak jelas, akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang ke kampung. Saat itu sudah hampir jam 10 malam.

Namun rencana pulang ku harus berantakan, karena tiba-tiba saja hujan turun sangat deras malam itu. Mau tidak mau, aku harus singgah untuk sekedar berteduh. Aku singgah di sebuah halaman ruko yang tertutup. Beberapa orang pengendara lain juga ikut berteduh di sana.

Ruko itu berderet panjang sebanyak lima pintu. Semua pintu ruko itu sudah tertutup, kecuali ruko paling ujung. Kebetulan aku berteduh di ruko deretan nomor dua dari ujung, tepat di samping ruko yang masih terbuka tersebut.

Hujan turun sanga deras, di iringi suara petir yang bersautan di langit sana. Padahal waktu itu masih musim kemarau. Namun entah mengapa, setelah sekian lama, hujan akhirnya turun juga malam itu.

Aku berdiri dengan menyilangkan kedua tangan ku di dada, sambil aku bersandar di pintu ruko yang tertutup tersebut. Motor ku segaja aku parkir di depan. Sedikit terkena hujan, karena angin yang berhembus cukup kencang.

****

Hampir lima belas menit aku berdiri di situ, saat tiba-tiba pintu ruko yang aku sandari tersebut, terbuka dengan perlahan dari dalam. Seorang wanita menongolkan kepalanya, untuk melihat keadaan di luar.

Karena kaget, aku pun spontan menatap wanita tersebut. Wanita itu juga menatap ku. Kami saling tatap beberapa saat, lalu kemudian sama-sama tersenyum.

"kamu.. Jaya, kan?" ucap wanita itu setengah ragu.

Aku mencoba menatap wanita itu lebih lama. Mencoba mengenali wajahnya. Rasanya aku tidak punya kenalan yang tinggal di daerah ini, tapi mengapa wanita itu tahu nama ku? tanya ku membathin sejenak.

"iya, tante.." balasku akhirnya, "tante kok tahu saya?" tanya ku melanjutkan.

"saya tante Wina. Masih ingat?" wanita itu balas bertanya.

"tante Wina?" aku meragu.

"iya.. ibunya Arkan. Ingat toh?" ucap wanita yang hanya memakai baju tidur tersebut.

"oh, iya.. aku ingat, tante.." balasku akhirnya, setelah aku benar-benar yakin, kalau itu adalah tante Wia yang aku kenal.

"kamu ngapain di sini? Ayo masuk!" ucap tante Wina akhirnya menawarkan.

"iya, tante.." balasku, sambil mulai melangkah mengikuti langkah kaki tante Wina yang kembali masuk ke dalam ruko nya.

Tante Wina mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi yang tersusun rapi di dalam ruko tersebut. Kursi-kursi tersebut di susun layaknya sebuah warung makan, yang di sertai beberapa buah meja juga. Ternyata Ruko tersebut adalah sebuah toko yang menjual berbagai macam minuman jamu tradisional dan juga jamu modern.

Ada sebuah etalase panjang di tengah ruangan, yang berisi berbagai perlengkapan, dan juga berbagai rempah-rempah sebagai bahan untuk membuat jamu. Di dinding-dinding ruko, juga tersusun, jamu-jamu yang sudah di kemas dengan rapi.

"silahkan di minum.." ucap tante Wina, saat ia sudah kembali dari dalam. "ini jamu buatan tante sendiri loh.." lanjutnya.

"iya, tante.. makasih.." balasku masih merasa sedikit sungkan.

"kalau boleh tahu ini jamu apa, tante?" tanya ku berbasa-basi, saat aku sudah meneguk jamu tersebut beberapa kali.

"itu jamu sehat. Biar kamu gak masuk angin, dan juga bisa untuk meningkatkan daya tahan tubuh.." jelas tante Wina lembut.

****

Aku mengenal tante Wina, sekitar lima belas tahun yang lalu. Namun sudah hampir sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu lagi. Dulu tante Wina sempat tinggal di kampung ku, selama lebih kurang lima tahun lamanya.

Yang aku tahu, tante Wina adalah seorang single parent. Ia mempunyai seorang putra. Namanya Arkan. Arkan dulu, ketika masih di kampung, adalah teman sekelas ku saat SMP. Kami juga berteman cukup dekat waktu itu. Aku juga sering main ke rumah Arkan, begitu juga sebaliknya.

Tante Wina adalah penjual jamu gendong keliling waktu itu. Ia bekerja keras, untuk bisa membiayai hidup mereka berdua. Sampai Arkan lulus SMP, lalu kemudian mereka pun pindah. Dan setelah itu, kami tidak pernah bertemu lagi.

"tante kok masih ingat ya, sama saya? Padahal kita sudah hampir sepuluh tahun loh, gak pernah ketemu." ucapku mencoba memecah keheningan. Hujan di luar masih terdengar cukup deras.

"tante selalu ingat senyum kamu yang khas itu, Jay. Di tambah lagi tahi lalat yang ada di ujung hidung mu itu. Yang membuat kamu jadi semakin manis, dan sulit untuk di lupakan.." balas tante Wina.

"ah.. tante bisa aja.." ucapku sedikit tersipu. "tante juga tidak banyak berubah, masih kelihatan muda dan masih cantik..." lanjutku apa adanya.

Ku lihat tante Wina hanya tersenyum simpul mendengar kalimat ku barusan.

"oh, ya tante, Arkan ada dimana sekarang? Apa kabar dia?" aku bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Arkan sekarang udah kerja di luar kota. Jadi, tante hanya tinggal sendiri di kota ini." balas tante Wina. "kamu sendiri gimana, Jay? Kerja dimana sekarang?" lanjutnya bertanya.

"saya masih tinggal di kampung, tante. Sekarang saya udah kerja di kantor desa, jadi salah satu staff disana.." jawab ku sejujurnya.

"oh.. baguslah... orang tua mu apa kabar?" tanya tante Wina lagi.

"mereka baik, tante." balasku pelan.

Untuk sesaat suasana pun kembali hening. Sementara hujan masih juga belum reda.

****

"kamu udah married?" tiba-tiba tante Wina bertanya demikian, setelah lama kami saling terdiam.

"belum, tante.." balasku jujur.

"kenapa?" tanya tante Wina lagi.

"yah... kan saya masih 25 tahun, tante. Masih cukup muda. Saya masih ingin menikmati masa lajang saya, sambil saya mengumpulkan uang buat married.." balasku apa adanya.

"berarti calonnya udah ada ya?" tante Wina bertanya kembali.

"belum juga tante... Saya sudah lama jomblo. Sejak lulus kuliah, dan mulai bekerja di kantor desa, saya tidak pernah lagi pacaran." jelasku.

"oh.. gitu.." balas tante Wina singkat.

"iya, tante.. Tante sendiri gimana?" aku memberanikan diri untuk bertanya.

Tante Wina menatapku beberapa saat. Mungkin ia tak percaya aku akan bertanya demikian.

"tante... ya.. gini-gini aja sih, Jay. Masih seorang single parent. Dan berusaha untuk tetap bertahan menjalani kehidupan ini." ucapnya akhirnya.

"tapi. .sekarang tante Wina kan udah cukup sukses. Udah punya toko jamu sebesar ini.. Dan Arkan juga sudah lulus kuliah, bahkan juga sudah punya pekerjaan tetap. Artinya perjuangan tante selama ini tidak sia-sia.." aku berucap sok bijak.

"yah.. tante sangat bersyukur dengan semua ini, Jay. Tapi tetap saja, sebagai seorang wanita, tante juga sering merasa kesepian. Apa lagi sejak Arkan pindah ke luar kota, tante jadi semakin merasa kesepian.." balas tante Wina terdengar lemah.

"kenapa tante Wina gak menikah lagi?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"tante sih mau aja menikah lagi, tapi... tante masih merasa trauma.." suara tante Wina sedikit serak.

"kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan pernikahan tante dulu?" aku bertanya kembali.

"panjang ceritanya, Jay..." balas tante Wina pelan.

****

"dulu ... tante itu nikah muda, karena kebablasan. Waktu itu, usia tante baru 20 tahun. Beruntunglah pacar tante waktu itu, mau bertanggungjawab. Apa lagi ia juga sudah berusia 25 tahun waktu itu, dan juga sudah punya pekerjaan tetap."

"kami pun akhirnya menikah. Kedua belah pihak keluarga kami juga sangat mendukung pernikahan kami. Kami juga sebenarnya saling cinta. Dan kami pun merasa bahagia dengan pernikahan tersebut. Apa lagi sejak anak pertama kami lahir, Arkan."

"namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah Arkan berusia lima tahun, tante hamil anak kedua kami. Beberapa bulan kemudian, anak kedua kami pun lahir, seorang perempuan. Cantik."

"tapi sayang.. usianya tidak genap satu tahun. Karena akhirnya ia di serang penyakit diabetes, yang menyebabkan ia meninggal dunia. Suami tante tidak bisa terima hal tersebut. Ia marah sama tante. Ia menganggap tante sebagai penyebab kematian putri kami."

"sejak saat itu, rumah tangga kami mulai berantakan. Hampir setiap hari kami hanya saling bertengkar dan saling menyalahkan. Suami tante juga mulai berubah. Ia jadi jarang berada di rumah."

"hingga akhirnya, dengan terang-terangan, suami tante membawa perempuan lain ke rumah kami. Mereka melakukan hal tersebut di depan mata ku. Aku tidak bisa terima hal tersebut. Aku pun meminta cerai."

"suami tante bersedia menceraikan tante, dengan syarat tante tidak boleh membawa Arkan. Tapi tante tidak mau memenuhi syarat tersebut. Tante tetap membawa Arkan diam-diam. Tanpa sepengetahuan suami tante."

"suami tante tentu saja marah besar. Ia berusaha mencari dimana pun kami bersembunyi. Tante terus saja bersembunyi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tante tidak pernah menetap. Karena takut, ditemukan oleh mantan suami tante tersebut."

"hingga akhirnya tante sampai ke desa kamu, Jay. Di sana tante merasa sedikit aman. Karena mantan suami tante, tidak mungkin menemukan kami di sana. Itu lah kenapa, kami bisa bertahan selama lima tahun tinggal di sana. Sebelum akhirnya tante memutuskan untuk pindah ke kota ini."

"setelah pindah ke kota ini, tante tetap berjualan jamu gendong keliling, hasilnya jadi lebih lumayan, karena lebih banyak peminat, dari pada saat di desa dulu. Hingga tante berhasil mengumpulkan uang buat modal, dan tante memutuskan untuk membuka usaha toko jamu ini.."

"yah.. meski pun ruko ini bukan milik kami, hanya sewa. Tapi... setidaknya, tante tidak perlu lagi repot-repot berkeliling untuk berjualan jamu. Ini semua juga atas ide nya Arkan. Ia juga yang berhasil mempromosikan toko kami, melalui media sosial."

"dan sekarang... disinilah tante. Sendirian. Sementara Arkan, memutuskan untuk bekerja di luar kota."

begitulah kira-kira cerita tante Wina, perihal perjalanan hidupnya padaku waktu itu.

"lalu sekarang? Mantan suami tante Wina gimana? Apa masih terus mencari tante?" tanya ku sedikit berempati.

"tante gak tahu pasti, Jay. Tapi sepertinya ia sudah menyerah. Kabar terakhir yang tante dapat, ia sudah menikah lagi, dan bahkan sudah punya dua orang anak. Tante yakin, ia pasti sudah melupakan semuanya. Apa lagi sekarang Arkan juga sudah cukup dewasa. Jadi tante gak perlu merasa khawatir lagi akan hal tersebut." jelas tante Wina.

****

"makasih ya, Jay. Sudah mau mendengarkan cerita tante. Sebelumnya tante belum pernah bercerita hal ini, kepada siapa pun. Sekarang tante jadi merasa sedikit lega.." ucap tante Wina kemudian, setelah untuk beberapa saat kami hanya terdiam.

"saya yang harusnya terima kasih sama tante. Karena sudah diperbolehkan untuk berteduh di sini. Dan juga sudah dijadikan orang yang di percaya untuk bercerita hal tersebut." balasku pelan.

"kamu gak perlu merasa sungkan, Jay. Kamu boleh mampir disini lagi, kapan pun kamu mau.." ucap tante Wina kemudian.

"iya, tante.. saya pasti akan sering-sering main ke sini. Dan jangan lupa, sampaikan juga salam saya buat Arkan ya, tante.." balasku kemudian.

Hujan di luar mulai reda. Namun malam sudah semakin larut, sudah hampir jam satu malam. Cuaca pun semakin terasa dingin.

"kalau begitu saya pamit dulu ya, tante.. hujan juga udah mulai reda kayaknya.." ucapku kemudian.

"loh.. ini kan sudah larut, Jay. Kamu yakin mau pulang? Gak nginap di sini aja?" balas tante Wina sedikit menawarkan.

"gak usah tante.. saya gak enak, takut merepotkan.." balasku ragu.

"ruko ini terlalu besar, untuk tante tempati sendiri, Jay. Kadang tante merasa gak kuat, harus tinggal sendirian. Jadi.. gak apa-apa loh, kalau malam ini kamu mau menginap di sini." tawar tante Wina lagi sedikit bersikeras.

"saya sih mau menginap di sini, tante. Tapi... besok saya harus kerja. Jadi mungkin lain waktu ya, tante.. Saya pasti akan kesini lagi, kok." balasku berusaha meyakinkan.

"baiklah, Jay. Tante akan tunggu kedatangan kamu berikutnya.." ucap tante Wina terdengar pasrah.

Dan aku pun segera keluar dari ruko tersebut. Keadaan di luar sudah mulai sepi. Orang-orang yang tadi ikut berteduh, sudah tidak ada lagi di teras ruko. Jalanan juga sudah mulai terlihat sunyi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang. Dan cuaca terasa begitu dingin.

Jika tidak mengingat besok harus kerja. Sudah pasti aku akan memutuskan, untuk menginap saja di tempat tante Wina. Tapi.. ya sudahlah... Mungkin next time kali ya...?!

****

Bersambung...

Misteri gadis yang hilang part 5

Detektif Akmal menahan napas, lalu kemudian melepaskannya dengan lega, saat akhirnya ketiga orang tersebut berlalu. Akmal belum berani untuk bertindak lebih. Dua orang pengawal tersebut juga memiliki pistol, jika Akmal mencegat mereka sekarang, pasti akan terjadi keributan, yang akan mengundang kedatangan para pengawal lainnya. Karena Akmal tetap memilih untuk bersembunyi.

Setelah merasa cukup aman, Akmal kembali menyelinap keluar dari gudang tersebut. Ia harus segera keluar dari gedung tersebut, sebelum kehadirannya diketahui oleh para pengawal yang bisa saja memergokinya. Setidaknya sekarang ia sudah tahu, kalau gadis yang ia cari memang berada di dalam gedung tersebut.

Akmal berhasil menyelinap keluar. Dia pun dengan sedikit berlari menuju tempat mobil terparkir. Di sana Piter dan Alena sedang menunggu dengan cemas.

"bagaimana?" tanya Piter ingin tahu, ia tak pedulikan Akmal yang masih berusaha mengatur napasnya.

Akmal tidak menghiraukan pertanyaan Piter barusan, ia langsung saja masuk ke dalam mobil.

"kita harus pergi dari sini sekarang, sebelum orang-orang itu mulai curiga." ucap Akmal setelah ia berada di dalam mobil.

"lalu bagaimana dengan Lila?" kali ini Alena yang bertanya.

"Lila ada di dalam, tapi kita tidak bisa menyelamatkannya sekarang, kita harus atur rencana dulu." balas Akmal, sambil mulai menjalankan mobilnya.

"apa rencananya?" tanya Piter tak sabar.

"nanti kita kembali lagi kesini, dan aku butuh teman untuk masuk ke dalam. Sekitar jam empat subuh kita masuk, karena pada jam itu biasanya keadaan akan aman." jelas Akmal.

"aku ikut.." ucap Alena, entah menawarkan diri atau bertanya.

"aku dan Piter yang akan masuk ke dalam, kamu tunggu di mobil dan bersiap-siap untuk menjalankan mobil saat kami sudah kembali nanti.." ucap Akmal kemudian.

Alena pun akhirnya hanya bisa diam. Ia sebenarnya tidak tahu, pilihan mana yang terbaik untuknya saat ini. Menunggu di mobil atau ikut masuk ke dalam, baginya sama-sama besar resikonya.

"lalu kita akan kemana menunggu jam empat?" Piter bertanya dari belakang.

"kita ke rumah ku, untuk beristirahat, dan juga mengambil beberapa perlengkapan ku di sana." balas Akmal.

Mobil itu pun melaju menuju rumah Akmal yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari situ.

****

Lila masih berusaha meronta, saat kedua pengawal tersebut membawanya ke lantai atas. Di depan sebuah kamar mereka berhenti. Salah seorang pengawal tersebut mengetuk pintu kamar tersebut. Sesaat kemudian, pintu itu pun terbuka. Seorang lelaki tua berperut buncit tersenyum menyambut mereka.

"ini pesanannya, tuan." ucap salah seorang pengawal, sambil mendorong tubuh Lila ke depan pria tua tersebut.

Pria tua tersebut semakin melebarkan senyum, "bawa masuk ke dalam.." ucapnya.

Kedua pengawal tadi, segera mendorong tubuh Lila, agar ikut masuk. Sementara Lila masih terus berusaha meronta, melepaskan diri.

Sesampai di dalam, kedua pengawal pun melepaskan pegangannya pada tubuh Lila. Lalu mereka berdua pun pamit keluar. Lila hanya berdiri menatap lelaki tua yang ada di depannya sekarang.

"anda siapa?" tanya Lila cukup berani, setelah kedua pengawal tadi meninggalkan mereka berdua. Lila sadar, kalau pun saat itu hanya ada lelaki tua tersebut, dia juga tidak bisa kabur. Pintu kamar itu sudah terkunci. Untuk itu Lila pun berusaha menjalin komunikasi dengan lelaku tua tersebut, agar ia punya banyak waktu untuk terus memikirkan cara untuk kabur.

"panggil saya om Hadi." ucap laki-laki tua itu akhirnya, "saya adalah orang yang telah membeli kamu malam ini. Dan saya membeli kamu sangat mahal, karena katanya kamu masih perawan." lanjut laki-laki itu dengan gaya angkuhnya.

Lila menelan ludah pahit mendengarkan hal tersebut. Meski ia sudah mendengarkan semua cerita tentang tempat ini dari Atika, teman satu kamarnya, ia tetap saja merasa mual mendengarkan hal tersebut.

"jadi malam ini kamu milik saya. Kamu harus mengikuti keinginan saya." laki-laki itu berucap lagi, sambil mulai melangkah mendekat.

"saya... saya.. tidak sudi melayani anda.." suara Lila bergetar.

"kamu tidak bisa menghindari ini, kamu sudah saya bayar.." balas laki-laki itu tajam.

Lila terdiam, karena om Hadi sudah memegang kedua pundaknya.

"kamu cantik sekali.." bisik om Hadi berusaha menggoda.

Lila berusaha menepis tangan om Hadi, tapi cengkeraman om Hadi justru semakin kuat. Tapi Lila tidak kehabisan akal, ia menangkat lututnya, lalu menendang bagian sensitif milik om Hadi.

"akhk.." om Hadi terjerit, tanganya pun terlepas. Lila segera memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia berlari menuju pintu, tapi sayangnya pintu itu sudah terkunci. Dan kunci ada di atas meja di samping ranjang. Lila hendak mengambil kunci tersebut, tapi om Hadi kembali mencegatnya.

"lepaskan saya.." teriak Lila, sambil terus berusaha melepaskan diri dari dekapan om Hadi.

"kamu tidak akan bisa kemana-mana.." ucap om Hadi kasar. Ia mendorong tubuh Lila ke atas ranjang.

Lila tetap meronta. Ia tak ingin menyerah. Tangannya meraih bantal, lalu melemparkannya ke arah om Hadi. Tentu saja hal itu tidak bisa menghentikan om Hadi. Tapi setidaknya Lila jadi punya kesempatan untuk kembali berdiri. Ia berlari kembali ke arah meja untuk meraih kunci.

Om Hadi sekali lagi berhasil meraih tubuhnya, Lila kembali meronta. Sampai ia melihat di atas meja ada sebuah telepon. Tangannya berusaha meraih telepon tersebut. Dan saat ia berhasil mendapatakan telepon itu, ia pun melayangkan telepon tersebut ke arah om Hadi.

Om Hadi coba menghindar, tapi terlambat, telepon itu telah mengenai kepalanya. Sekali lagi om Hadi mengerang kesakitan. Lila pun segera meraih kunci kamar, dan berlari ke arah pintu. Dengan tangan gemetar ia berusaha membuka pintu tersebut. Sementara om Hadi masih terus berusaha mendekatinya, sambil terus memegangi kepalanya yang sakit.

Dengan susah payah akhirnya Lila berhasil membuka pintu itu. Ia segera berlari ke bawah. Namun dua orang pengawal tadi melihatnya. Mereka berusaha mengejar Lila.

Saat menuruni tangga, Lila terpeleset. Ia pun jatuh bergulingan ke bawah. Kedua pengawal segera menangkapnya. Kepala Lila terbentur ubin tangga, keningnya berdarah. Tapi Lila masih sadarkan diri, ia terus berusaha melawan. Namun kedua pengawal itu berhasil membekuknya.

Om Hadi pun tiba di sana, ia terlihat sangat marah.

"bawa perempuan brengsek ini pergi dari sini. Saya tidak membutuhkannya lagi." ucap Om Hadi dengan nada tinggi. Setelah berkata demikian, om Hadi pun segera berlalu dari sana.

Kedua pengawal tersebut pun menyeret Lila untuk kembali kamarnya. Mereka tak pedulikan kening Lila yang berdarah. Bagi kedua pengawal tersebut, itu merupakan hal biasa. Bukan sekali dua kali, seseorang berusaha lari dari kamar tamu, apa lagi bagi para perempuan yang baru pertama kali menerima tamu.

Tubuh Lila mereka lempar dengan kasar untuk memasuki kamar tempat Lila di sekap. Lila terduduk. Tubuhnya terasa sakit. Tapi ia merasa sedikit lega. Setidaknya untuk sementara ia selamat dari cengkeraman laki-laki tua hidung belang yang mengaku bernama om Hadi tadi.

"kamu gak apa-apa?" Atika, teman sekamar Lila coba membantu Lila untuk berdiri.

"saya gak apa-apa. Ini jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani laki-laki bejat itu." balas Lila sambil berjalan menuju dipan kecilnya.

"kamu mungkin bisa bebas malam ini. Tapi kamu belum tentu bisa bebas untuk malam-malam selanjutnya." ujar Atika.

"dulu saya juga seperti itu. Tapi akhirnya saya menyerah. Karena bos tidak akan tinggal diam, jika kita terus melawan." lanjut Atika kemudian.

Lila menarik napas berat. Ia bertekad untuk bisa keluar dari tempat terkutuk tersebut. Tapi ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya.

"jangan berpikir untuk kabur.." suara Atika terdengar lagi, "sekali pun kamu berhasil kabur, bos tidak akan membiarkan kamu bebas begitu saja. Mereka akan mencari mu sampai ketemu, dan mereka akan membunuhmu di tempat. Sudah banyak para gadis yang mengalami hal tersebut." lanjut Atika.

"apa yang membuat kamu tetap bertahan?" tanya Lila ingin tahu.

"satu-satunya cara untuk tetap bertahan ialah dengan mengikuti keinginan mereka." balas Atika.

"tapi aku tidak ingin menghabiskan hidup ku di sini..." ucap Lila lemah.

"kita gak punya pilihan, Lila. Pilihan kita hanya satu, yakni mengikuti keinginan mereka." balas Atika.

"kita harus bisa kabur dari sini, Atika. Pasti ada caranya." ucap Lila lagi.

"saya sudah lebih empat bulan berada disini, Lila. Bangunan ini di jaga dengan ketat. Tidak ada yang bisa kabur dari sini. Sekali pun ada, seperti yang saya katakan tadi, mereka akhirnya pun di bunuh." balas Atika.

Sekali lagi Lila bergidik. Hatinya tiba-tiba ciut. Tapi ia juga tidak ingin pasrah begitu saja. Karena itu ia terus berpikir, untuk bisa kabur dari tempat itu.

*****

Jam empat menjelang subuh, sesuai rencana, Akmal, Piter dan Alena sudah berada di tempat yang mereka rencanakan. Mobil mereka parkir tak jauh dari gedung tempat Lila berada.

Segera Akmal dan Piter menyusup ke belakang gedung, mengikuti jalan yang pernah Akmal tempuh sebelumnya. Perjalanan mereka jadi lebih mudah, karena Akmal sudah pernah masuk ke dalamnya melalui jalan tersebut. Sementara Alena menunggu mereka di mobil dengan perasaan yang tak karuan.

Sesampai di dalam, Akmal dan Piter, dengan mengendap-endap menyelusuri koridor, yang di kiri kanannya tersusun kamar-kamar. Akmal sudah tahu persis kamar mana yang akan mereka tuju.

"anda yakin ini kamarnya?" tanya Piter sepelan mungkin.

Akmal mengangguk yakin, "kamu ketuk aja pelan-pelan, jangan sampai terdengar ke atas." ucapnya.

Akmal sengaja memegang pistolnya buat berjaga-jaga.

Piter mengetuk pintu itu dengan pelan, namun tidak ada reaksi apa pun dari dalam.

Piter mencobanya beberapa kali.

Sementara di dalam kamar, Lila yang belum bisa tertidur mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia kaget dan mulai merasa takut. Ia pikir itu adalah para pengawal yang akan memaksanya lagi.

Tapi kemudian ia sadar, jika itu adalah para pengawal, untuk apa mereka harus mengetuk pintu. Bukankah pintu kamar itu mereka kunci dari luar?

Menyadari hal tersebut, Lila segera bangkit dan berjalan menuju arah pintu dengan hati-hati.

Piter yang tidak mendengar reaksi apa pun dari dalam, mulai merasa putus asa.

"kita harus cepat, Piter. Waktu kita tidak banyak.." ucap Akmal berbisik.

"Lila....." ucap Piter berusaha memanggil orang yang berada di dalam kamar tersebut.

Saat itu Lila memang sedang berada di dekat pintu, ia pun mendengar suara panggilan tersebut.

"Piter..?" balas Lila setengah ragu. 

"iya, ini aku, Lila. Tolong buka pintunya, kami akan membawa kamu keluar dari sini.." ucap Piter sangat pelan.

Lila mencubit pipinya sendiri. Sakit! Ia merasa kalau ia sedang bermimpi atau sedang berhalusinasi.

"cepat Lila.." suara Piter terdengar lagi.

"pintu ini terkunci dari luar, Piter. Kami gak bisa membukanya dari dalam.." ucap Lila akhirnya, setelah cukup yakin, kalau hal itu nyata.

"kami?" tanya Piter ragu.

"iya, kami berdua di dalam kamar ini." jelas Lila.

"lalu bagaimana membuka pintu ini?" Piter pun bertanya pada Akmal, yang sedari tadi hanya terdiam, sambil terus memperhatikan sekeliling, untuk berjaga-jaga.

"aku juga tidak tahu, Ter.." Lila yang menjawab.

"aku gak lagi ngomong sama kamu, Lila." ucap Piter.

"lalu sama siapa?" tanya Lila penasaran.

Piter tidak menjawab, karena ia melihat Akmal mengeluarkan sebuah kunci dari dalam sakunya. Akmal terpaksa lagi menggunakan kunci serba gunanya untuk membuka pintu tersebut. Tapi ternyata kali ini lebih sulit dari yang ia pikirkan. Pintu itu tidak mudah terbuka.

Akmal akhirnya mengeluarkan sebuah obeng dari sakunya, untuk membantu agar pintu itu bisa cepat terbuka. Cukup lama Akmal berusah untuk membuka pintu tersebut, namun belum juga berhasil.

"kita dobrak aja.." tawar Piter tak sabar.

"jangan!" cegah Akmal, "suaranya akan bikin gaduh.." lanjut Akmal.

"lalu bagaimana?" tanya Piter lagi.

"kamu gak lihat saya sedang berusaha untuk membukanya, jadi kamu lebih baik diam. Omongan mu itu gak membantu sama sekali." balas Akmal terdengar kasar.

Piter pun tak berucap apa-apa lagi, ia terus memperhatikan Akmal yang terus berusaha membuka kunci pintu tersebut.

Sementara di dalam kamar, Lila menunggu dengan gelisah.

"ada apa?" tanya Atika, saat ia akhirnya terbangun melihat Lila yang berdiri di dekat pintu.

Lila tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat kepada Atika untuk tidak bersuara. Atika bangkit dari tidurnya, dan berjalan pelan mendekati Lila.

"kamu mau kabur?" tanya Atika.

Belum sempat Lila menjawab pertanyaan Atika barusan, pintu kamar itu pun terbuka. Dua orang laki-laki berdiri di ambang pintu.

"Piter.." teriak Lila tertahan. Ia segera menghambur dalam pelukan Piter. Piter balas mendekap tubuh ramping itu. "aku sangat ketakutan, Ter. Bawa aku pergi dari sini." ucap Lila lagi.

"sudah ... gak ada waktu untuk itu sekarang, kita harus cepat pergi dari sini, sebelum semua orang terbangun." ucap Akmal tegas.

Piter segera melepaskan dekapannya, lalu meraih tangan Lila untuk membawanya keluar dari kamar tersebut.

"tunggu.." cegah Lila.

Lila melihat ke belakang, Atika berdiri terpaku di sana.

"kamu harus ikut bersama kami, Tika." ucap Lila, sambil menarik tangan Atika.

"apa kalian yakin kita akan selamat?" ucap Atika, masih tetap menahan langkahnya.

"udah... kita harus pergi secepatnya dari sini sekarang.." kali ini Akmal yang berucap, sambil ia menarik tangan Atika dengan sedikit kasar. Atika pun akhirnya mengikuti langkah mereka.

"berapa lama lagi waktu kita?" tanya Akmal entah kepada siapa.

"sekarang jam lima lewat empat lima, berarti kita hanya punya waktu kurang lebih lima belas menit lagi." Atika yang menjawab pertanyaan tersebut.

Mereka berempat terus berjalan menuju pintu keluar belakang tempat Akmal dan Piter tadi masuk.

"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" Piter yang bertanya.

"karena setiap jam enam pagi, para pengawal akan memeriksa setiap kamar yang ada di sini. Jadi kalau mereka tahu, kamar kami kosong, mereka pasti akan mengejar kita." jelas Atika.

"kalau begitu kita harus bergegas.." ucap Akmal menimpali.

Mereka pun berlari menuju keluar gedung tersebut. Melewati tembok dan berlari di dalam semak-semak dalam kegelapan. Tanpa sadar, kaki Lila tersandung sebatang kayu yang melintang di jalan mereka. Lila terjerembab jatuh, Ia menjerit tertahan. Ia merasakan lututnya berdarah.

Piter berusaha membantunya berdiri. Tapi Lila merasa tubuhnya lemah.

"aku gak kuat lagi, Piter.." ucap Lila lemah.

Tanpa pikir panjang, Piter pun segera memopong tubuh Lila, dan Piter kembali berlari, sambil ia terus menggendong tubuh Lila.

Sementara itu, Alena yang sedang menunggu mereka di dalam mobil, mulai merasa gelisah. Sudah hampir dua jam Akmal dan Piter berada di dalam sana. Tapi mereka belum juga kembali.

Sesuai perjanjian, jika mereka tak kembali hingga jam enam pagi, Alena harus segera pergi dari sana.

Alena melirik arloji nya, kurang tiga menit dari jam enam. Itu artinya ia harus bersiap-siap untuk segera pergi dari sana. Saat Alena berusaha menghidupkan mobil, tiba-tiba dari kaca spion ia melihat bayangan orang-orang yang sedang berlari menuju mobilnya. Alena mulai merasa cemas. Ia merasa takut.

Namun saat orang-orang tersebut, sampai di dekat mobil, Alena merasa lega. Ternyata mereka adalah Akmal dan kawan-kawan yang sampai tepat pada waktunya. Mereka segera masuk ke mobil, dan Alena pun segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"apakah kita sudah aman?" tanya Alena, saat mobil mereka sudah cukup jauh.

"kita tidak akan pernah aman." Atika yang menjawab, "selama tempat itu masih ada, kita tidak akan pernah aman. Mereka pasti akan tetap mencari kami berdua." lanjut Atika dengan nada cemas.

"kamu tenang, Atika. Kita akan selesaikan ini secepatnya." ucap Akmal membalas.

Piter dan Alena saling bertatapan penuh tanya.

"kalian sudah saling kenal?" Piter bertanya juga akhirnya.

"Atika adalah informan saya di dalam." balas Akmal.

"maksudnya?" tanya Piter.

"kamu pikir saya bisa masuk ke sana dengan mudah itu karena apa? Karena saya beruntung?" balas Akmal. "Atika yang mengarahkan saya untuk melewati jalan tersebut. Atika juga yang memberitahu saya, kapan waktu yang tepat untuk saya bisa masuk ke dalam sana." lanjut Akmal.

"bagaimana kalian bisa saling kenal?" kali ini Alena ikut bertanya.

"kalian ingat kasus yang pernah saya ceritakan dulu? Kasus gadis yang di culik, tapi saat saya coba selamatkan dia, dia sudah kabur duluan, dan akhirnya ia pun di bunuh. Kalian ingat kan?" balas Akmal.

Piter dan Alena pun mengangguk serentak.

"untuk menyelidiki kasus tersebut, saya harus masuk ke dalam. Saya pun berpura-pura jadi tamu di sana, dan kebetulan saya melihat Atika, saya pun meminta Atika untuk menemani saya malam itu. Kami pun berkenalan, dan saya pun menceritakan tujuan saya disana kepada Atika semuanya. Atika juga menceritakan semua yang ia ketahui tentang tempat itu kepada saya. Sejak saat itu, Atika seringa memberitahu saya kabar-kabar terbaru mengenai tempat tersebut." jelas Akmal panjang lebar.

"itulah kenapa anda begitu yakin, kalau kamar yang kita ketuk tadi adalah kamar tempat Lila?" Piter masih bertanya.

"itu hanya kebetulan." balas Akmal, "sebenarnya saya tidak tahu, kalau Lila juga ada di dalam. Yang saya tahu itu adalah kamar tempat Atika selama ini, karena itu saya langusng menuju kamar tersebut, dan kebetulan ada Lila juga di sana." lanjutnya.

"jadi sebenarnya tujuan anda kesana bukan untuk menyelamatkan Lila, tapi justru ingin menyelamatkan Atika?" tanya Piter lagi.

"kamu jangan salah paham. Aku tidak tahu di mana Lila di kurung, satu-satunya orang yang aku kenal di sana ya cuma Atika, dan harusnya Atika juga tahu dimana Lila di kurung, karena itu aku ingin menemui Atika terlebih dahulu untuk bertanya dimana keberadaan Lila. Namun karena Lila sudah berada di sana, aku rasa hal itu tidak perlu di bahas lagi." jelas Akmal lagi.

"lalu apa rencana kita sekarang?" Alena memotong perdebatan itu cepat.

"kita ke rumah ku. Di sana kalian akan aman." balas Akmal.

"kita harus lapor polisi.." Lila berucap, saat mereka sudah berada di rumah Akmal.

"iya.. saya setuju..." balas Akmal yakin.

"anda setuju?" Piter bertanya heran, "bukankah dulu anda katakan bahwa tempat itu kebal hukum, percuma lapor polisi karena pasti tidak akan di tanggapi." lanjut Piter.

"iya, itu benar. Tapi sekarang kita punya dua orang saksi, kita punya korban." balas Akmal.

"ingat, tidak semua polisi dan pejabat yang terlibat di sana. Dan saya tahu, siapa polisi yang tepat untuk menangani kasus ini. Nanti siang kita akan menemuinya. Dengan adanya Atika dan Lila sebagai saksi, saya yakin, tempat itu akan segera di tutup. Dan pemiliknya akan segera di tangkap." Akmal berucap lagi.

*****

Siang itu, Akmal dan teman-temannya itu pun melaporkan hal tersebut. Dengan kesaksian langsung dari Atika dan Lila, kasus itu bisa terungkap dengan mudah. Pihak polisi pun segera bertindak. Mereka menggerebek tempat tersebut. Mengamankan para korban yang masih berada disana. Menangkap semua yang terlibat, termasuk pemilik tempat tersebut.

Lila, Atika dan beberapa orang gadis yang pernah jadi korban tempat tersebut, menjadi saksi utama dalam kasus tersebut. Si pengusaha pemilik tempat itu, akhirnya di penjara sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tempat prostitusi tersebut akhirnya tutup untuk selama-lamanya. Bangunannya menjadi sitaan negara.

Lila sangat lega mengetahui semua itu. Kini tidak ada lagi yang perlu ia takutkan. Ia bisa melanjutkan hidupnya kembali.

"terima kasih, ya, Ter..." ucap Lila suatua hari di kampus.

"aku senang kamu selamat.." balas Piter.

"kamu sudah melakukan banyak hal untuk ku..." ucap Lila.

"apa pun akan aku lakukan untuk bisa menyelamatkan kamu, Lila." balas Piter.

"kenapa?" tanya Lila pelan.

"karena aku telah jatuh cinta padamu.." balas Piter.

"kenapa kamu tidak pernah mengatakannya selama ini?" tanya Lila.

"karena aku belum punya keberanian untuk mengatakannya. Dan sekarang, aku tak ingin memendamnya lagi. Aku cinta kamu, Lila. Mau kah kamu menjadi pacarku?" ucap Piter penuh perasaan.

"iya..." balas Lila sangat pelan.

"apa? Aku gak dengar loh.." ucap Piter dengan nada menggoda.

"iya, Piter. Aku mau..." balas Lila akhirnya.

Piter tersenyum senang. Butuh perjuangan yang sangat penjang, untuk bisa memiliki gadis impiannya. Dan hal itu membuat Piter yakin, kalau Lila adalah gadis yang tepat untuknya.

Lila pun menyandarkan kepalanya di bahu kekar Piter. Ia merasa sangat bahagia. Piter adalah sosok laki-laki yang sangat bertanggungjawab. Dan Lila merasa nyaman berada di sampingnya.

****

Melisa suka duren

Namanya Melisa. Dia seorang gadis yang berparas cantik dengan tubuh yang seksi.

Melisa masih kuliah, usianya juga masih 22 tahun. Melisa kost sendiri, tak jauh dari kampus tempat ia kuliah.

Melisa tak punya banyak teman. Karena dia memang tak terlalu suka berkumpul dengan orang-orang. Dia lebih menyendiri, menikmati dunia nya sendiri.

Sebagai seorang gadis cantik, tentu saja banyak cowok yang berusaha mendekati Melisa. Namun tidak satu pun dari semua cowok itu, yang bisa menarik perhatian Melisa.

Melisa seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih berusia sepuluh tahun. Ibu nya berusaha membesarkannya dan dua orang adiknya, sendirian. Ibunya bekerja di sawah orang di kampung. Adiknya sekarang sudah ada yang SMA dan juga yang bungsu sudah SMP.

Melisa memang harus berusaha hidup hemat, demi untuk bisa kuliah. Uang yang dikirim ibunya setiap bulan, tidaklah pernah benar-benar cukup.

Tapi Melisa benar-benar kuliha, karena itu ia nyambi kerja menjadi pelayan kafe saat sore hingga malam hari. Penghasilannya juga lumayan, cukuplah untuk ia bertahan hidup di kota besar ini.

Karena itu juga sebenarnya, Melisa selalu menjaga jarak dengan teman-teman kampusnya. Biar bagaimana pun, sebagai gadis modern, Melisa masih merasa gengsi untuk mengakui, kalau ia bekerja sambil kuliah. Dan karena itu juga, Melisa belum mau berteman dekat dengan seorang laki-laki, apa lagi sampai berpacaran.

Meski pun demikian, sebagai gadis normal, Melisa juga punya rasa tertarik pada lawan jenisnya. Salah seorang pria yang selalu menjadi perhatian Melisa selama ini adalah om Arga. Seorang pria yang sudah berusia hampir 40 tahun.

Om Arga memang seorang duda, tapi ia hidup sendirian. Om Arga bercerai dari istrinya beberapa tahun yang lalu. Ia bercerai karena istrinya pergi bersama pria lain. Dari hasil pernikahannya tersebut, om Arga sebenarnya sudah punya seorang anak laki-laki. Dan anaknya itu ikut bersama ibunya, saat om Arga memutuskan untuk menceraikan istrinya.

Sudah hampir lima tahun om Arga tinggal sendirian. Dia tinggal di sebuah rumah bulatan yang berada tidak terlalu jauh dari tempat Melisa kost.

Melisa dan om Arga sebenarnya juga sudah sering bertemu, terutama saat pagi hari, ketika mereka sama-sama berbelanja sayur-sayura pada tukang sayur keliling yang lewat di gang tersebut.

Awalnya mereka hanya sekedar saling senyum dan hanya sekedar tegur sapa. Tapi lama kelamaan mereka pun mulai dekat dan akrab. Apa lagi semenjak om Arga dengan cukup berani meminta nomor handphone Melisa.

Kedekatan mereka cukup membuat Melisa merasa terkesan. Sosok om Arga yang sudah sangat dewasa, membuat Melisa seakan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Sejak ayahnya meninggal, Melisa memang selalu merindukan sosok seorang pria dewasa dalam hidupnya. Dan kehadiran om Arga cukup mengobati kesepian Melisa selama ini.

Om Arga adalah seorang karyawan di sebuah bank negara. Kehidupannya juga sangat mapan. Om Arga juga seorang pria yang cukup tampan, dengan postur tubuhnya yang masih terlihat gagah dan kekar. Apa lagi om Arga sangat suka berolahraga, terutama joging pada pagi hari.

Semakin lama, Melisa semakin mengagumi sosok om Arga. Demikian juga sebaliknya, om Arga sudah mulai jatuh cinta pada Melisa.

Hingga pada suatu kesempatan, om Arga pun mengungkapkan perasaan suka nya pada Melisa. Dan gayung pun bersambut, Melisa pun menerima cinta om Arga.

Sejak saat itulah mereka pun resmi berpacaran.

Melisa mau pun om Arga merasa sangat bahagia dengan semua itu. Mereka benar-benar menikmati indahnya cinta mereka berdua. Sampai akhirnya mereka pun kebablasan. Hubungan mereka sudah melewati batas. Dan hal itu membuat Melisa pun hamil.

Kehamilan Melisa justru menjadi awal bencana dari hubungan mereka.

Tak di sangka, sikap om Arga tiba-tiba saja berubah. Dia yang awalnya dikenal Melisa sebagai laki-laki baik, sopan, lembut dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba saja berubah beringas, pemarah dan sangat kasar.

Melisa tentu saja merasa syok dengan perubahan tersebut. Apa lagi saat ini ia sedang mengandung anak dari om Arga. Tapi Melisa harus siap menghadapi perubahan tersebut, karena ia butuh tanggungjawab dari om Arga. Hanya saja sayangnya om Arga tidak benar-benar ingin bertanggungjawab.

Om Arga sudah mulai menghindari Melisa. Ia jadi jarang berada di rumah. Dia juga tak pernah mengangkat telpon dari Melisa.

Melisa pun menjadi bingung dengan semua itu. Dia telah merasa di campakkan oleh om Arga. Tapi Melisa tak bisa menyalahkan om Arga sepenuhnya. Semua itu terjadi juga atas keinginannya sendiri. Hanya saja Melisa sangat tidak menyangka, kalau om Arga akan lari dari tanggungjawabnya.

Kini Melisa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Om Arga selalu menghindarinya. Meski Melisa sudah melakukan berbagai cara untuk bisa bertemu om Arga. Dan bahkan dengan terang-terangan om Arga tidak mau mengakui, kalau anak yang Melisa kandung adalah anaknya.

"itu jelas bukan anak ku. Aku tak mungkin bisa punya anak." ucap om Arga tegas namun dengan suara bergetar.

"kenapa om yakin kalau ini bukan anak om?" tanya Melisa marah.

"karena aku ini mandul, Melisa. Aku gak mungkin bisa punya anak. Anak dari istri pertama ku juga bukan anak ku, itu anak dari selingkuhahnya. Karena itu aku menceraikannya. Jadi kamu gak perlu mengaku-ngaku kalau itu adalah anak ku." balas om Arga tajam.

Hati Melisa sangat terluka mendengar semua itu. Hatinya yang tadi merasa marah pada om Arga, tiba-tiba luluh lantak oleh kenyataan tersebut.

Melisa menangis tersedu-sedu. Ia meratapi kepedihan hidup yang menimpanya saat ini. Dia tak bisa menyalahkan om Arga lagi.

Melisa pun mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat ia mendapat kabar dari kampung halamanya, kalau ibunya sakit parah dan harus segera di operasi. Melisa tak punya uang untuk biaya operasi ibunya. Karena itu ia menerima tawaran dari salah seorang temannya yang sama-sama bekerja di kafe.

Sebenarnya saat itu, Melisa ingin sekali meminta bantuan kepada om Arga. Tapi ia merasa enak hati. Ia takut, om Arga berpikir, kalau ia hanya memanfaatkan om Arga. Kalau ia berpacaran dengan om Arga hanya untuk uang. Karena itu Melisa memilih untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada om Arga.

Melisa lebih memilih menerima tawaran teman kerjanya, untuk menemani seorang lelaki tua tidur dengannya. Sebenarnya tawaran seperti itu sudah sejak lama di tawarkan kepada Melisa, namun selama ini Melisa selalu menolak. Tapi karena saat itu ia sangat butuh uang ia pun terpaksa menerimanya.

Melisa tidak berpikir, kalau tawaran untuk tidur dengan seorang laki-laki tua tersebut, bisa membuatnya hamil. Melisa memang sengaja tidak memakai pengaman, karena ia pikir, ia dan om Arga juga sudah sering melakukan hal tersebut. Jadi hal itu tidaklah akan menjadi masalah menurutnya.

Meski pun Melisa di bayar mahal waktu itu, dan semuanya juga berjalan lancar. Om Arga tak pernah mengetahui hal tersebut. Sampai Melisa menyadari kalau ia sedang hamil. Tentu saja yang ada dalam pikiran Melisa saat ia mengetahui kalau ia hamil, adalah bahwa anak yang ia kandung tersebut adalah anaknya om Arga.

Tapi ternyata semua itu di luar dugaan Melisa. Om Arga sudah mengetahui kalau itu bukan anaknya. Karena itu juga sikap om Arga pun jadi berubah. Ia merasa kalau Melisa telah mengkhianatinya. Ia merasa kalau Melisa sedang ada hubungan dengan pria lain. Dan karena itu juga, ia tak mau bertanggungjawab. Sebab om Arga yakin, itu memang bukan anaknya.

*****

Dengan terisak, akhirnya Melisa memberanikan diri untuk jujur pada om Arga tentang apa yang telah menimpanya beberapa bulan yang lalu. Dia menceritakan semuanya, tanpa ada lagi yang ia tutup-tutupi.

Om Arga tentu saja sangat marah dengan semua itu. Padahal ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Melisa, tapi Melisa justru tidak mau berbagi penderitaan hidupnya dengan om Arga.

"saya hanya tak ingin om menganggap saya cewek materialistis, jika saya menceritakan tentang ibu saya yang sakit dan butuh uang untuk operasi tersebut pada om Arga." jelas Melisa mengakhiri ceritanya pada om Arga.

"lalu apa kamu pikir dengan menjual diri, akan menjadikan kamu lebih baik dari seorang cewek materialistis?" tajam kalimat om Arga membalas.

"saya benar-benar minta maaf, om.." suara Melisa semakin menghiba, mengiringi rasa penyesalannya.

"permintaan maaf mu itu tidak akan mengubah apa pun yang telah terjadi, Mel. Jadi kamu gak perlu menghiba seperti itu.." balas om Arga masih terdengar tajam.

"iya... aku tahu, om. Tapi aku sangat berharap om Arga mau memaafkan aku.." ucap Melisa lirih.

"aku bisa saja memaafkan kamu, Mel. Tapi ... aku gak mungkin mau bertanggungjawab atas kehamilan kamu tersebut. Itu jelas gak mungkin, Mel. Bertahun-tahun aku hidup dengan istri ku, dan berusaha membesarkan anak orang lain. Hingga akhirnya aku tahu kalau itu bukan anak ku, hati ku sangat sakit, Mel. Dan sekarang kamu meminta aku untuk mengulangi hal itu lagi?"

"aku gak sanggup. Mel. Sekali pun aku sangat mencintai kamu. Jika saat kita belum menikah saja, kamu sudah berani untuk mengkhianati ku, bagaimana pula ke depannya?"

ucapan om Arga yang panjang lebar dan penuh makna itu semakin membuat Melisa merasa hancur. Ia merasa kehilangan pegangan. Saat ini, satu-satunya tempat ia berharap hanyalah kepada om Arga.

"kenapa kamu gak minta pertanggungjawaban dari laki-laki yang membayarmu itu saja?" om Arga berucap tajam.

"aku di bayar untuk melakukan hal tersebut, om. Jadi aku gak punya hak untuk minta pertanggungjawabnnya. Dan lagi pula ia pasti tidak akan mengakui hal tersebut." balas Melisa terdengar pilu.

"ya udah.. itu semua sekarang bukan urusan ku lagi. Dan aku harap, kamu gak usah menganggu kehidupan ku lagi. Bagi ku semuanya diantara kita sudah berakhir." tegas suara om Arga berucap.

"lalu apa hubungan kita selama ini gak ada artinya bagi om Arga?" tanya Melisa ringkih.

"tentu saja semua itu sangat berarti bagiku, Mel. Tapi apa artinya semua itu, jika kamu lebih memilih untuk mengkhianati ku?" balas om Arga.

"aku terpaksa melakukannya, om. Aku tak punya pilihan lain saat itu." isak Melisa lagi.

"selalu ada pilihan dalam hidup ini, Mel. Dan selalu ada resiko pada setiap pilihan. Kini saatnya kamu menanggung resiko dari pilihan mu sendiri..." suara om Arga terdengar berat.

Dan setelah berkata demikian, om Arga pun segera pergi dari sana. Meninggalkan Melisa yang masih terus terisak dalam penyesalannya.

Melisa tidak tahu siapa yang harus ia salahkan dalam hal ini. Hatinya kah yang terlanjur jatuh cinta pada om Arga? Atau om Arga kah yang datang pada saat ia membutuhkannya?

Atau haruskah Melisa menyalahkan orang yang telah membayarnya? Atau justru ia harus pada ibunya yang tiba-tiba sakit pada saat yang tidak tepat?

Atau mungkinkah ia menyalahkan bayi yang ada dalam kandungannya, yang hadir di saat ia belum siap?

Dan melisa memilih pilihan terakhirnya. Karena itu ia pun nekat mencari orang yang bisa mengakhiri semua penderitaannya tersebut.

Melisa tahu, resikonya terlalu besar jika ia memilih untuk menggugurkan kandungannya tersebut. Tapi saat ini, hanya itu satu-satunya pilihan yang ia punya. Dan Melisa telah siap dengan segala resiko yang harus ia terima nantinya.

****

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate