Nama ku Hannah. Panggil aja begitu. Meski itu bukan namaku yang sebenarnya.
Aku seorang perempuan yang sudah menikah saat ini. Aku juga sudah punya seorang anak perempuan dari hasil pernikahan ku dengan mas Derry.
Mas Derry adalah suami ku, yang berusia hanya lebih tua satu tahun dari ku.
Kami menikah sekitar 15 tahun yang lalu. Atas dasar saling cinta tentunya.
Perjalanan hidupku amatlah rumit. Dan aku membenci itu semua kadang-kadang. Bukan karena aku tidak mensyukuri hidup ini. Namun hampir tidak ada satu pun hal yang terjadi dalam hidupku, yang bisa membuat aku merasa beruntung terlahir ke dunia ini.
Istilah 'perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik' sangatlah melekat dalam kisah ku ini. Tapi justru yang terjadi padaku justru sebaliknya. Karena aku bukanlah 'perempuan baik-baik', maka laki-laki yang datang padaku juga bukan 'laki-laki baik-baik'.
Aku seorang yatim piatu. Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia 5 tahun. Sedangkan ibu ku, meninggal saat aku sudah berusia 12 tahun. Masih cukup kecil sebenarnya, untuk mengerti arti sebuah kehilangan.
Namun yang pasti, sejak kedua orangtua ku meninggal, aku mulai hidup terlunta-lunta. Tanpa arah. AKu tumbuh tanpa kedua orangtua ku. Dan hal itu cukup membuat aku jadi anak yang hampir tidak punya aturan dalam hidup.
Aku punya seorang kakak cowok. Usianya lima tahun lebih tua dari ku. Tapi, kakak ku juga bukan laki-laki baik-baik. Kehilangan orangtua memang membuat kami berdua, juga kehilangan arah. Kehilangan pegangan, dan juga kehilangan semangat hidup.
Beruntunglah kedua orangtua kami masih meninggalkan sebuah rumah kecil untuk tempat kami tinggal, sehingga kami tidak perlu menjadi gelandangan. Meski pun untuk makan kami sehari-hari, terkadang kami harus mengemis.
Tumbuh tanpa orangtua yang lengkap, membuat kami menjadi salah jalan. Kakak ku hanya bisa sekolah sampai lulus SMP, sedangkan aku, hanya lulus SD. Sehingga, untuk mencari pekerjaan pun, bagi kami sangatlah sulit.
Tiga tahun setelah ibu ku meninggal, kakak harus masuk penjara, karena tertangkap maling di sebuah rumah orang kaya. Dan sejak saat itu pula, aku terpaksa menjani hidup ini sendirian.
Aku pernah mencoba bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan kaya. Namun aku hanya mampu bertahan beberapa bulan. Karena sang juragan, sering melecehkan ku. Dan akhirnya aku pun kabur dari rumah tersebut.
Bertahun-tahun aku hidup di jalanan, terlunta-lunta tak tentu arah. Mengemis, mengamen dan berbagai pekerjaan memalukan lainnya yang aku lakukan, demi untuk bisa bertahan hidup.
Sampai akhirnya aku bertemu mas Derry. Seorang laki-laki yang ternyata mampu membuat aku merasa nyaman. Kami saling jatuh cinta.
Mas Derry bukan orang kaya, dia sama jahatnya dengan ku. Orang-orangnya menyebutnya seorang preman. Tapi aku gak peduli waktu itu. Karena dari sekian banyak orang yang aku kenal, hanya mas Derry yang benar-benar perhatian padaku. Sebuah perhatian yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.
Kami memutuskan untuk menikah. Dan kami sama-sama berjanji untuk berubah. Meski pun pada waktu itu, usia ku masih 20 tahun, dan mas Derry sendiri juga masih 21 tahun. Tapi ia berjanji, akan membuat aku bahagia.
Aku tahu, mas Derry bukanlah laki-laki baik-baik. Dia suka mabuk-mabukan dan judi. Tapi aku yakin, jika sudah menikah, dia akan berubah. Dan lagi pula, aku juga bukan perempuan baik-baik. Jadi, setuju tidak setuju, kami adalah pasangan yang cocok waktu itu.
Setelah menikah, kami tinggal di rumah peninggalan orangtua ku, dan memulai hidup baru. Mas Derry sudah tidak mabuk-mabukan lagi, apa lagi judi. Ia benar-benar menepati janjinya untuk berubah. Aku juga mulai memperbaiki diri. Mencoba menjadi istri yang baik.
Dengan modal seadanya dan juga nekat, kami pun membuka usaha jualan ayam geprek di depan rumah. Meski pun awalnya hal itu tidak mudah, namun kami tidak pernah mau menyerah. Kehidupan keras yang pernah sama-sama kami lalui, membuat kami cukup kuat menghadapi itu semua.
Sampai akhirnya anak pertama kami lahir. Kami beri ia nama Amelia Putri. Kami berharap ia bisa menjadi keburuntungan dalam hidup kami kelak.
****
Lima tahun usia anak kami, Amel. Begitu kami memanggilnya. Sudah hampir enam tahun pula, usia pernikahan kami. Dan selama itu, semuanya baik-baik saja, meski secara ekonomi, hidup kami masih sering kekurangan.
Aku mencoba menikmati kebahagiaan sederhana tersebut. Mencoba menata hidup kami pelan-pelan. Hingga akhirnya, usaha ayam geprek kami pun mulai berkembang. Penghasilan kami pun mulai meningkat. Bahkan kami sudah mampu membayar seorang pekerja, untuk membantu kami berjualan.
Aku mulai bersyukur dengan keadaan tersebut. Aku mulai merasa makna hidup yang sebenarnya. Punya suami yang penyayang, punya anak yang lucu dan cantik, serta punya usaha cukup menghasilkan. Maka, nikmat mana lagi yang akan aku dustakan.
Namun hidup tidak semudah itu. Tidak. Hidup seperti itu terlalu gampang. Seperti sebuah kalimat populer mengatakan, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua pasti ada akhirnya.
Dan kebahagiaan singkat ku tersebut pun berakhir, saat aku mulai merasakan, ada perubahan besar yang terjadi dengan suami ku, mas Derry.
Dia berubah. Mungkin karena kehidupan kami sudah mulai membaik. Dan kebiasaan lamanya terulang kembali. Mas Derry jadi sering keluyuran malam. Ia jadi sering pulang dalam keadaan mabuk.
Aku berusaha menegurnya. Namun setiap kali aku menegurnya, setiap kali pula pertengkaran diantara kami mencuat. Rumah kami jadi tidak harmonis lagi. Aku jadi kehilangan kepercayaan pada mas Derry.
Dia berubah. Bahkan uang hasil penjualan ayam geprek kami, ia habiskan semuanya. Untuk minum-minum dan juga untuk berjudi.
Setiap kali aku berusaha mencegahnya, setiap kali pula, tangan kasarnya mendarat di pipi ku. Kami jadi semakin sering bertengkar. Rumah tangga kami kacau. Hatiku hancur. Aku masih tak percaya kalau mas Derry akan berubah sedrastis itu.
Aku jadi tidak tahan sendiri, melihat semua tingkah mas Derry. Dia bukan hanya menghabiskan uang hasil usaha kami. Dia juga sering memukul ku. Dan lebih parah lagi, sekarang mas Derry sudah berani terang-terangan mengajak teman-temannya ke rumah, untuk mabuk bersama.
Dia sudah tidak menghargai ku lagi. Dia tidak pernah memikirkan perasaan anaknya yang mulai tumbuh besar. Mas Derry sudah tidak bisa di beri toleransi lagi. Dan aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak tahan hidup bersama suami yang pemabuk dan suka bertindak semena-mena terhadapku.
Aku pun mulai mengambil tindakan. Aku melaporkan semua perbuatannya pada pihak berwajib. Mulai dari ia yang sering memukuli ku, sering mabuk-mabukan di rumah dan juga sering menghabiskan uang hasil usaha kami.
Laporan ku di terima, karena aku punya bukti yang kuat. Bekas-bekas tamparan mas Derry cukup membuat pihak berwajib, untuk segera bisa bertindak. Hingga akhirnya, mas Derry benar-benar ditangkap. Bukan hanya karena tindakan kasarnya padaku, tapi juga karena ia sering mabuk-mabukan dan berjudi.
Semua kesalahannya, mampu membuat ia bertahan di penjara selama bertahun-tahun. Dan, entah mengapa, aku merasa sedikit lega.
Meski jujur saja, ada rasa penyesalan akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, mas Derry adalah suami ku, ayah dari anak ku. Sebagai seorang wanita, aku masih merasa membutuhkannya. Mas Derry juga pernah menjadi laki-laki terbaik dalam hidupku.
Namun semua memang harus terjadi. Mas Derry mungkin butuh pengajaran yang lebih, agar ia bisa berubah kembali. Tapi, aku tidak lagi mengharapkan itu semua. Mau mas Derry akan berubah atau tidak, aku sudah tidak peduli. Aku merasa lebih aman, jika tidak lagi bersamanya.
****
Aku mencoba menjalani kehidupan ku sendiri, bersama anak ku satu-satunya. Meski pun aku dapat merasakan, bahwa betapa terpukulnya Amel, saat ia tahu, kalau sekarang ayahnya sudah di dalam penjara. Ia pun jadi di kucilkan oleh teman-temanya, karena hal tersebut.
Tapi aku yakin, Amel anak yang kuat. Ia pasti bisa melewati itu semua. Seperti halnya aku dulu, yang tumbuh tanpa seorang ayah.
Karena kasus suamiku, kini usaha ku pun jadi turut merosot. Orang-orang sudah tidak mau lagi berbelanja di tempat ku. Usaha ku pun jadi kembang kempis. Hal itu membuat aku jadi sedikit linglung. Sementara aku semakin butuh biaya banyak. Apa lagi Amel sekarang sudah mulai masuk sekolah.
Hidupku kembali terasa kacau. Semuanya kembali berantakan. Aku kembali menemukan diriku yang dulu. Hilang arah. Hilang pegangan. Dan aku hancur. Berantakan.
Aku mencoba bertahan, meski keadaan tak pernah benar-benar berpihak padaku. Tapi aku harus tetap berjuang, setidaknya demi anak ku, Amel. Hanya dia satu-satunya, yang membuat aku tetap kuat. Hanya dia yang membuat aku jadi merasa sedikit punya tujuan.
Aku terus berjuang, meraih kembali kepercayaan orang-orang. Mengharapkan belas kasihan mereka, karena aku adalah istri yang teraniaya. Dan aku butuh dukungan, untuk bisa pulih kembali.
Meski tak mudah, orang-orang mulai bersimpati lagi padaku. Apa lagi setelah melihat aku berusaha membesarkan anak ku sendirian. Usaha ayam geprek ku, mulai laris kembali. Penghasilan ku pun mulai bertambah. Hidup mulai membaik.
Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang yang utuh untuk Amel. Memberikannya sekolah yang layak. Mendidiknya sebaik mungkin. Meski pun aku tahu, terkadang Amel sangat merindukan ayahnya. Tapi tak pernah sekali pun, aku coba mengjenguk mas Derry di penjara. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, begitu pun aku tak ingin ia bertemu dengan Amel.
Aku bahagia dengan semua itu. Meski pun menjalani kehidupan tanpa suami, bukanlah hal yang mudah. Apa lagi di usia ku yang masih cukup muda saat itu. Tapi setidaknya, kehidupanku sudah cukup membaik. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia.
Namun, sekali lagi, hidup tak pernah sesimple itu. Hidup tak pernah semudah itu. Selalu saja ada kejadian, yang membuat aku jadi salah langkah.
Berawal dari perkenalan ku dengan seorang berondong manis di media sosial. Seorang laki-laki muda, namanya Angga. Usianya masih 22 tahun.
Saat itu, sudah sudah hampir sepuluh tahun, aku menjalani hidup sendiri tanpa suami. Mas Derry tak pernah lagi ku dengar kabar tentangnya. Terakhir yang aku tahu, ia kembali masuk penjara karena ulahnya ikut merampok di sebuah rumah mewah. Padahal waktu itu, ia baru keluar dari penjara.
Aku memang sudah tidak peduli lagi dengan mas Derry. Bagi ku ia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu ku. Apa lagi setelah aku tahu, kalau penjara ternyata pun tidak mampu mengubahnya.
Mas Derry pernah beberapa kali mencoba untuk menemui ku, saat ia sudah keluar penjara, sebelum akhirnya ia masuk lagi. Tapi aku selalu menolak kedatangannya, dan berusaha agar ia tidak bisa bertemu dengan Amel.
Setelah aku tahu, kalau mas Derry kembali masuk bui. Aku pun mulai merasa sedikit lega. Setidaknya ia tidak lagi punya kesempatan untuk bisa merebut Amel dari ku. Hanya itu yang ingin aku pertahankan.
Aku pun mulai berpikir untuk menikah lagi. Setidaknya untuk mencegah, agar mas Derry tidak akan lagi mengusik kehidupan ku, jika nanti suatu saat ia keluar dari penjara. Selain itu, aku juga masih 35 tahun saat ini. Masih cukup muda. Dan aku masih butuh belaian seorang laki-laki.
Karena itu, aku pun mulai bermain media sosial. Selain untuk mempromosikan dagangan ku, aku juga sekalian mencari kenalan. Siapa tahu, ada yang cocok untuk aku jadikan suami. Setidaknya begitulah harapan ku saat ini.
Dan dari situlah aku berkenalan dengan Angga. Laki-laki muda yang aku ceritakan tadi. Seorang berondong, yang masih berusia 22 tahun.
Angga yang memulai sebenarnya. Ia yang mengirim pesan padaku duluan, ia juga yang akhirnya mengajak aku berkenalan. Meski pun aku tahu, kalau Angga, masih sangat muda. Tapi aku tetap membuka peluang untuk sekedar berkenalan dengannya.
Sampai akhirnya kami pun ketemuan, itu pun Angga juga yang meminta.
Semakin lama, kami pun semakin akrab dan dekat. Angga bahkan dengan terang-terangan, memperlihatkan ketertarikannya padaku. Aku berusaha memberi pengertian pada Angga, tentang status ku dan juga tentang jarak usia kami yang cukup jauh.
Tapi sepertinya, Angga sudah tidak peduli akan hal tersebut. Ia terus berusaha untuk membuat aku bisa menerima kehadirannya. Sampai akhirnya, aku benar-benar luluh.
Jujur saja, meski pun masih cukup muda. Angga sudah cukup dewasa dalam berpikir. Ia juga sosok laki-laki yang baik, penuh perhatian dan yang pasti secara fisik ia sangat menarik. Selain berwajah tampan, Angga juga memiliki postur tubuh yang proporsional. Gagah dan kekar.
Sebagai seorang wanita yang sudah lama hidup sendiri, aku tidak bisa memungkiri rasa ketertarikan ku pada Angga. Aku merasa nyaman bersamanya. Aku mulai menemukan kembali, kebahagiaan yang sudah lama hilang dalam hidupku. Apa lagi, Angga juga memberikan aku peluang yang besar untuk bisa bersamanya.
Akhirnya kami pun pacaran. Meski dengan perasaan ku yang masih ragu. Mungkinkah Angga akan sudi hidup bersama ku selamanya? Sementara ia tahu, kalau aku tidak lagi berusia muda.
Namun apa pun itu, Angga benar-benar memperlihatkan keseriusannya. Ia benar-benar ingin hidup bersama ku selamanya. Bahkan ia bersedia, jika aku mengizinkannya untuk menikahi ku.
Aku tahu, Angga masih muda. Dan ia belum punya pekerjaan tetap. Tapi, jika kami memang akan menikah, setidaknya aku juga sudah punya usaha sendiri. Dan aku yakin, Angga pasti bisa menjadi partner yang baik bagiku, untuk mengembangkan usaha ku tersebut.
****
Dan pada akhirnya, aku pun menyerah. Aku terima lamaran Angga untuk menikahi ku. Meski begitu banyak ocehan dan makian orang akan keputusan ku tersebut. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku merasa bahagia.
Amel, anakku, sebenarnya tidak setuju. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Meski pun saat ini, Amel sudah berusia 15 tahun. Namun ia tidak pernah berani membantah apa yang sudah menjadi keputusan ku.
Aku dan Angga pun menikah. Kami saling mencintai. Setidaknya begitulah yang aku ketahui.
Seperti harapan ku, setelah menikah, Angga pun mulai membantu usaha ayam geprek ku. Kami bekerja sama. Meski pun usia Angga jauh lebih muda dariku, tapi aku berusaha memperlakukannya sebagai seorang suami, seorang pemimpin.
Kehidupan kami berjalan lancar akhirnya. Aku bahagia. Aku nikmati keindahan hidup tersebut, dengan perasaan suka dan damai. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Angga. Dan semoga pernikahan kami bisa bertahan selamanya.
Namun, sekali lagi, untuk kesekian kalinya, hidup tak pernah semudah itu, terutama bagi ku. Kebahagiaanku tak pernah utuh. Kebahagiaan ku tak pernah mampu bertahan lama dalam hidupku. Selalu saja ada hal yang membuat aku kembali terluka.
Yah... setahun pernikahan dengan Angga. Meski pun awalnya semuanya baik-baik saja. Namun pada akhirnya semua kembali menjadi berantakan.
Ketika pada akhirnya, aku tahu, kalau ternyata diam-diam, Angga dan Amel menjalin hubungan di belakang ku. Dan hal itu, membuat aku kembali hancur untuk yang kesekian kalinya.
Hubungan Angga dan Amel, aku ketahui, saat tak sengaja aku memergoki mereka berdua di dalam kamar, sedang melakukan hal yang tak semestinya mereka lakukan.
Aku marah. Kesal, kecewa, dan berbagai perasaan berkecamuk di pikiran ku saat itu. Sungguh itu semua di luar dugaan ku. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Angga akan tega berbuat seperti itu.
Mungkin luka ku tidak akan begitu parah, kalau seandainya Angga mengkhianati ku perempuan lain. Tapi kenyataannya, ia melakukan hal tersebut dengan Amel, anak ku sendiri. Sungguh aku tak percaya, kalau Angga adalah seorang laki-laki biadab, yang tidak punya perasaan sama sekali.
Pada akhirnya aku mengusir mereka berdua dari rumah. Meski aku tidak tahu, siapa sebenarnya yang bersalah diantara mereka. Mungkinkah ini semua salah Amel, yang masih lugu dan polos, yang ia sendiri tahu pasti, kalau Angga adalah suami ku, ayah tiri nya?
Ataukah ini sebenarnya salah Angga, yang mampu memanfaatkan keluguan Amel, yang ia sendiri tahu, kalau Amel adalah anak ku, anak tirinya?
Atau mungkin sebenarnya ini adalah salah ku, yang menikahi seorang laki-laki muda, yang lebih pantas menjadi menantu ku.
Namun apa pun itu, seperti yang aku katakan dari awal, bahwa aku bukanlah perempuan baik-baik, dan tentunya juga akan bertemu dengan laki-laki yang tidak baik. Dan bahkan kedua laki-laki yang datang dalam hidupku, tidak ada satu pun yang mencerminkan seorang laki-laki baik-baik.
Kini, aku hanya bisa menyesali semua itu.
Meski aku sendiri tidak tahu, bagian mana dalam perjalanan hidupku yang paling aku sesali.
Entah bagian karena aku pernah menikah dengan mas Derry, dan melahirkan seorang anak seperti Amel?
Entah bagian karena aku membiarkan seorang Angga masuk ke dalam hidupku?
Entah bagian karena aku yang tidak bisa mendidik anak ku dengan baik?
Atau aku menyesali semua bagian dari hidup ku. Semuanya. Dan aku membenci hidup ini, dengan cara ku.
Aku membenci setiap kejadian yang pernah terjadi dalam hidup ku.
Aku membenci, ketika ayah ku pergi di saat aku masih belum mengerti arti diri ku bagi ku.
Aku membenci, ketika ibu ku pergi di saat aku masih sangat membutuhkannya.
Aku membenci, kakak ku, yang memilih untuk hidup berantakan, tanpa memperhatikan aku sedikit pun.
Aku membenci diri ku, yang hanyut dalam semua kekecewaan tersebut.
Kini... semuanya sudah tidak ada arti lagi bagi ku. Aku juga tidak tahu, harus melakukan apa saat ini.
Aku telah kehilangan semuanya. Bahkan aku juga telah kehilangan anak ku sendiri. Anak yang aku besarkan dengan susah payah. Anak yang aku didik dengan sebaik-baiknya. Namun tetap saja, buah memang tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya.
Lalu siapa sebenarnya yang salah dalam hal ini? Siapa?
Dan aku hanya terpuruk disini. Sendiri.
Tanpa pernah bisa aku temukan jawabannya.
****