Tampilkan postingan dengan label contoh cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label contoh cerpen. Tampilkan semua postingan

Brondong tampan sopir pribadi ku

Namaku Andra, dan sering di panggil om Andra.

Orang-orang memanggilku om, karena memang usiaku sudah memasuki kepala empat.

Dan terus terang aku suka dipanggil om. Ada kesan eksotic pada kata tersebut, menurutku.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku sudah menikah, sudah punya dua orang anak.

Aku menikah bukan karena aku suka atau pun tertarik pada perempuan.

Aku menikah karena aku merasa begitulah kodrat ku. Sebagai seorang laki-laki aku memang harus menikah, tak peduli aku menginginkannya atau tidak.

Tak peduli aku bahagia akan pernikahan tersebut atau tidak.

Aku menikah, ya karena aku memang harus menikah. Karena aku sudah semakin tua dan juga sudah memiliki kehidupan ekonomi yang cukup mapan.

Aku menikah pada saat aku berusia 30 tahun, tepatnya sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Aku sengaja menikahi gadis desa, selain karena memang lugu, gadis desa juga tidak terlalu ingin ikut campur urusanku di luar rumah.

Tugasnya hanyalah melayaniku, dan membesarkan anak-anak.

Kehidupanku memang secara ekonomi sudah sangat mapan sejak lama.

Aku memulai bisnis ku dari nol. Aku memulainya dari jadi seorang sales, bahkan aku juga pernah menjadi seorang buruh bangunan.

Sebenarnya aku berasal dari desa, namun pada saat aku lulus SMA, karena orangtua ku yang tidak mampu membiayai aku untuk kuliah, aku pun memutuskan untuk merantau ke kota.

Orangtua ku memang hanya petani biasa di kampung, dan aku merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Karena itu juga, orangtua ku tidak mampu membiayai kuliahku.

Saat pertama kali aku datang ke kota, aku mulai bekerja di sebuah toko elektronik, menjadi sales.

Dari sana aku mulai belajar membangun bisnis ku sendiri. Namun perjuanganku tidak mudah. Aku harus melewati begitu banyak batu sandungan. Aku sering jatuh bangun dalam perjuanganku.

Bahkan aku pernah merasakan tidak makan selama satu hari, karena tidak punya uang sepeser pun.

Aku juga pernah jadi buruh angkut dan buruh bangunan hanya untuk bertahan hidup.

Namun karena perjuanganku yang tak kenal lelah dan tak pernah putus asa, setelah beberapa tahun, akhirnya aku bisa membangun bisnisku sendiri.

Dan setelah kehidupanku mulai membaik, aku pun semakin punya semangat untuk terus berkembang.

Hingga akhirnya, aku pun sukses dan meraih semua impianku.

Aku sudah bisa membeli rumah mewah, mobil mewah dan barang-barang mewah lainnya.

Intinya, hidupku sudah benar-benar mapan, dan karena itu juga aku akhirnya memutuskan untuk menikah.

Aku selalu mengirimkan uang ke kampung, untuk membantu ayah dan ibu ku dan juga membantu biaya sekolah adik-adikku.

Dan gadis yang aku nikahi tersebut, juga berasal dari kampung ku.

Setelah menikah kehidupanku semakin membaik dan terus berkembang.

Sungguh sebuah kehidupan yang di dambakan banyak orang.

Namun di balik segala kesuksesan ku tersebut, tersimpan sebuah rahasia dalam hidupku. Sebuah rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Seperti yang aku katakan dari awal, aku menikah bukan karena aku suka atau pun tertarik pada perempuan, tapi aku menikah karena memang begitulah kodratku.

Dan alasan ku tidak tertarik pada perempuan adalah karena aku seorang gay, seorang penyuka sesama jenis.

Aku telah menyadari hal tersebut, sejak aku masih remaja. Pada saat SMP aku pernah jatuh cinta pada seorang cowok teman sekelas ku, tapi tentu saja itu hanya cinta yang terpendam.

Ketika SMA, aku juga pernah jatuh cinta pada adik kelas ku. Tapi sekali lagi itu hanya cinta yang terpendam.

Aku tak pernah mengungkapkannya dan tak ingin mengungkapkannya, karena aku tahu itu sebuah kesalahan.

Setelah lulus SMA dan hijrah ke kota, aku mulai berani menunjukkan perasaanku. Berawal dari perkenalanku dengan salah seorang rekan kerja ku sesam sales.

Merasa sama-sama tertarik, kami pun berpacaran. Tapi hubungan itu tidak bertahan lama, karena pada akhirnya kami pun menemukan titik kejenuhan.

Sejak saat itu, aku tak berniat lagi untuk menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki, karena aku cukup sadar bahwa hubungan sesama jenis tidak akan pernah bertahan lama dan akan selalu menemukan jalan buntu.

Aku hanya melakukan hubungan dengan laki-laki yang aku temui atas suka sama suka, hanya cinta satu malam, tanpa ada ikatan apa pun.

Sejak aku mulai sukses, aku bahkan hanya menyewa laki-laki bayaran untuk sekedar melepaskan hasrat ku yang menyimpang tersebut.

Hingga akhirnya aku pun menikah. Dan meski pun aku sudah menikah, aku tetap terus mempertahankan perilaku menyimpang ku tersebut, namun sekali lagi, aku tidak pernah mau terikat dengan laki-laki mana pun.

Kalau akku tertarik dan orang tersebut juga tertarik, maka ayo lakukan, tapi tidak untuk di pakai lama.

Atau aku lebih rela menghabiskan uang ku hanya untuk menyewa laki-laki yang aku suka, hanya untuk satu malam.

****

Begitulah kehidupanku berjalan selama bertahun-tahun, hingga aku sudah mempunyai dua orang anak dari istri ku.

Sampai akhirnya aku bertemu Alexander. Alex, begitu aku menyebutnya.

Seorang pria muda berwajah tampan dengan tubuh yang atletis.

Dan beginilah kisah indahku bersama Alex.

Aku bertemu Alex, antara sengaja dan tak sengaja.

Sengaja karena aku menemukannya saat interview kerja.

Ya, karena usia ku yang mulai menua, aku berniat untuk memiliki seorang sopir pribadi. Selama ini aku selalu menyetir mobilku sendiri. Tapi sekarang, selain karena mulai merasa capek, penglihatanku juga mulai tak jelas.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk membuka lowongan kerja menjadi sopir pribadi ku.

Dan tak sengajanya, aku tak menyangka bahwa dari puluhan pelamar, ada sosok Alex yang sempurna di sana.

Ada puluhan pelamar sebenarnya, dari yang tua, yang muda, yang berpengalaman dan juga yang amatiran. Tapi dari semuanya hanya Alex yang mampu membuatku terkesan.

Sejak pertama bertemu Alex, aku langsung jatuh hati padanya, sebuah rasa yang sudah sangat lama tidak aku rasakan. Dan karena itulah aku memilih Alex.

Sebenarnya bukan hanya karena Alex menarik secara fisik, tapi juga karena Alex sudah punya pengalaman. Dari cerita Alex aku tahu, dulunya ia adalah seorang sopir angkot. Namun karena kemajuan teknologi saat ini, perlahan pekerjaan seorang sopir angkot tidak lagi menjanjikan.

Orang-orang saat ini lebih suka memesan ojek online atau pun taksi online, sehingga keberadaan angkot sudah mulai punah.

Setidaknya begitulah yang aku ketahui dari Alex.

"terima kasih ya pak Andra, sudah menerimaku bekerja. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini.." begitu ucap Alex, saat pertama kali ia mulai bekerja denganku.

Aku hanya mengangguk ringan sambil berkata, "mulai sekarang, kamu jangan panggil aku bapak, panggil om Andra aja.." ucapku diplomatis.

Seperti yang aku katakan dari awal, aku lebih suka di panggil om. Dan tentu saja salah satu tujuanku meminta Alex memanggilku om, agar kami lebih cepat akrab dan juga agar Alex tidak terlalu menjaga jarak dariku.

Dari awal aku memang berniat untuk mendekati Alex secara perlahan, aku berniat untuk lebih mengenalnya secara personal, bukan sekedar antara atasan dan bawahan.

Alex tidak mempertanyakan kenapa aku memintanya memanggilku om, mungkin ia tidak berani.

Tapi yang pasti ia meski dengan sedikit kaku, mulai memanggil om.

Oh, ya. Sebelumnya aku juga ingin memberitahu, bahwa selain memiliki rumah mewah di sebuah kawasan elit di pinggir kota, aku juga punya sebuah apartemen mewah di tengah kota.

Apartemen tersebut, berada tidak begitu jauh dari gedung kantor perusahaanku.

Istri dan anak-anakku tinggal di rumah mewah kami, sementara aku kadang sering menginap di apartemenku sendirian.

Aku beralasan kepada istriku, bahwa dengan menginap di apartemen, aku jadi lebih dekat ke kantorku.

Istriku juga tidak bisa membantah hal tersebut. Seperti yang pernah aku katakan, istriku tidak pernah ikut campur urusan pekerjaan dan juga semua urusan ku di luar rumah.

Meski pun aku hanya pulang ke rumah satu atau dua kali dalam seminggu. Istriku tidak pernah protes.

Di apartemen inilah, aku menjadi diriku sendiri. Aku sering mengajak laki-laki sewaan untuk menemani aku tidur di apartemenku.

Di apartemen ini, aku bebas melakukan apa pun yang aku suka.

Dan saat aku pulang ke rumah, aku akan kembali menjadi seorang suami dan juga seorang ayah.

Sejak Alex mulai bekerja denganku, aku sengaja mengajaknya tinggal bersamaku di apartemen, karena hal itu termasuk dalam perjanjian kerja kami.

Aku menyediakan sebuah kamar untuk Alex di apartemenku.

Dan saat aku pulang ke rumah, aku juga mengajak Alex dan juga menyediakan sebuah kamar di rumahku untuk Alex.

Sebagai orang yang memiliki kehidupan yang mapan, aku juga punya beberapa orang pembantu di rumah. Mulai dari asisten rumah tangga, pengasuh anak, penjaga kebun dan juga beberapa orang pembantu lainnya.

Aku memperkenalkan Alex sebagai sopir pribadi ku, kepada seluruh penghuni rumah, termasuk istriku.

Meski aku dan Alex lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen ku.

****

Aku yang memang dari awal sudah menyukai sosok Alex, mulai mencari cara agar aku bisa menarik perhatiannya.

Aku ingin Alex jatuh dalam pelukanku, tapi aku tidak mau buru-buru. Aku harus melakukannya perlahan-lahan. Aku ingin Alex terkesan padaku.

Karena itu, aku juga memperlakukan Alex dengan sangat baik. Aku bahkan sering membelikannya barang-barang mewah, mulai dari pakaian, jam tangan, handphone dan juga barang-barang mewah lainnya.

"anggap aja ini bonus.." ucapku saat Alex berusaha menolak pemberianku tersebut.

Selain itu, aku juga memberi gaji untuk Alex jauh lebih besar dari perjanjian awal kami. Pokoknya aku ingin Alex benar-benar terkesan, sehingga saat aku mengungkapkan perasaanku padanya, ia tidak akan berani menolak.

Dan ddari Alex aku tahu, kalau ia ternyata seorang anak yatim piatu. Kedua orangtuanya sudah meninggal sejak Alex masih kecil.

"selama ini saya tinggal bersama paman saya, paman Alim.." begitu cerita Alex, suatu malam.

"kebetulan paman Alim juga tidak punya anak. Jadi beliau lah yang membesarkan saya bersama istrinya." lanjutnya.

"meski kehidupan paman Alim sangat sederhana, beliau tetap mampu menyekolahkan saya hingga lulus SMA. Paman Alim adalah seorang sopir angkot, dan dulu saya sering ikut beliau. Tapi setelah saya tamat SMA, paman Alim sudah mulai sakit-sakitan, jadi saya yang kemudian menggantinya menjadi sopir angkot.." cerita Alex lagi.

"semakin lama penyakit paman Alim semakin parah. Dokter mengatakan kalau beliau mengalami gagal ginjal, dan harus melakukan cuci darah setidaknya dua kali seminggu. Sementara pendapatanku sebagai seorang sopir angkot, semakin lama semakin menurun."

"saya sudah tidak sanggup lagi mencari biaya untuk cuci darah paman Alim. Sementara istri paman Alim juga tidak bekerja, beliau juga sebenarnya sakit, meski tak separah paman Alim."

"intinya saat ini saya butuh uang yang banyak untuk biaya berobat paman Alim dan istrinya, orang yang telah berjasa selama ini padaku." Alex kemudian menarik napas berat.

"selama ini kami hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, dan itu pun kami masih sering menunggak." lanjut Alex.

Aku merasa terenyuh mendengar cerita Alex barusan. Aku jadi ingat perjuanganku dulu, meski tidak seberat Alex.

Aku merasa perihatin, karena itu keeskokan harinya, aku mengajak Alex untuk mengunjungi pamannya.

Aku juga membantu biaya perawatan paman Alex, dan juga memberinya sejumlah uang untuk biaya hidup dan berobat mereka.

Dan bahkan sesuai dengan saran dokter, paman Alim juga akhirnya di operasi, dan aku yang menanggung semua biayanya.

Hal itu aku lakukan bukan lagi sekedar untuk membuat Alex terkesan, tapi juga karena aku benar-benar merasa kasihan melihat keadaan keluarga tersebut.

Alex, pamannya dan sang istri tentu saja sangat berterima kasih padaku.

Selesai di operasi, keadaan paman Alim sudah semakin membaik dan istrinya juga mulai sehat kembali.

Alex pun merasa tidak terlalu berat lagi meninggalkan mereka berdua di kontrakan mereka dan Alex pun tinggal bersama ku di apartemenku.

Selain itu, aku juga memberi sedikit modal untuk paman Alim, untuk membuka usaha kecil-kecilan, sehingga mereka tidak lagi akan kesulitan uang.

"terima kasih banyak om Andra. Om sudah sangat banyak membantu aku dan keluarga paman Alim. Saya tidak tahu, bagaimana cara membalas semua itu." ucap Alex, saat kami kembali berada di apartemen.

"kamu tak perlu melakukan apa pun, Lex. Saya ikhlas, kok." balasku.

*****

Sejak saat itu aku dan Alex pun menjadi dekat dan akrab. Sesuai harapanku, hubunganku dengan Alex bukan hanya sebuah hubungan antara bawahan dan majikannya.

Kami sudah seperti teman dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Karena merasa sudah cukup akrab dan juga sudah melakukan banyak hal untuk hidup Alex, setahun kemudian aku pun berniat untuk mengungkapkan isi hatiku kepada Alex.

Yah, aku rasa pengorbananku selama ini sudah lebih dari cukup untuk membuat Alex terkesan.

"om ingin ngomong sesuatu sama kamu, Lex. Dan ini penting.." ucapku memulai pembicaraan. Malam itu aku sengaja masuk ke kamar Alex di apartemenku.

Aku sebenarnya sudah sering masuk ke kamar Alex, tapi selama ini pembicaraan hanyalah hal yang umum atau pun masalah pekerjaan.

"om Andra mau ngomong apa?" tanya Alex terdengar lugu.

"sebenarnya om suka sama kamu, Lex. Om sudah jatuh hati sama Alex, bahkan sejak pertama kali kita bertemu.." balasku dengan suara sedikit bergetar.

"maksudnya, Om?" tanya Alex lagi, masih dengan nada lugu.

"saya suka sama kamu, Lex. Dan saya ingin kita menjalin hubungan asmara.." jelasku semakin berani.

"tapi saya kan cowok, om. Dan lagi pula om Andra kan juga sudah punya istri dan anak.." balas Alex, keluguannya masih terlihat.

Alex memang masih berusia 20 tahun. Aku yakin perjalanan hidupnya yang sulit, membuat ia jadi tidak punya waktu untuk sekedar berpacaran. Tapi aku cukup yakin, Alex bisa mengerti maksudku.

"justru karena kamu seorang cowok, om jadi suka. Om sudah lama tidak merasakan perasaan tersebut, sejak om menikah.." ujarku sedikit berbohong.

"maksudnya om ini homo atau penyuka sesama jenis?" tanya Alex akhirnya mulai mengerti.

Aku hanya mengangguk ringan, merasa tidak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi.

"tapi mengapa om Andra justru menikah? Karena setahu saya kalau laki-laki homo itu tidak suka perempuan.." balas Alex sedikit bertanya.

"om menikah, karena om juga pengen punya keturunan. Dan terlepas dari itu semua, dengan menikah om bisa menyembunyikan siapa om sebenarnya." jelasku ringan.

Alex terdiam kemudian, ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, Alex sedang mempertimbangkan keinginanku padanya.

"jadi gimana, Lex. Kamu mau gak jadi kekasih om. Kamu tenang aja, semua kebutuhan kamu akan om tanggung.Dan kehidupan kamu pasti akan lebih baik.." ucapku akhirnya, setelah membiarkan Alex berpikir cukup lama.

Alex menatapku, menyunggingkan senyum tipis, lalu kemudian berujar.

"saya gak tahu mesti jawab apa, om. Selama ini om Andra sudah sangat baik padaku. Aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikan om. Tapi aku juga tidak bisa membayangkan akan menjadi kekasih simpanan om.. " suara Alex bergetar.

"kalau kamu memang belum siap, kamu gak usah jawab sekarang, Lex. Om akan beri waktu kamu untuk berpikir. Om tahu, ini sangat berat buat kamu. Tapi om sangat berharap, kalau kamu mau menjadi kekasih om. Karena om sangat mencintai kamu, Lex." ucapku kemudian.

Setelah berkata demikian, aku pun segara beranjak dari kamar Alex, membiarkan Alex berpikir sendiri.

****

Part 2

Cukup lama aku menatap Alex tanpa kedip. Wajah Alex memperlihatkan keseriusan.

Sejak kejadian malam itu, di mana aku dengan cukup berani mengungkapkan perasaanku pada Alex, hubungan kami memang menjadi sedikit renggang. Kami tak lagi banyak bicara.

Alex juga sepertinya mulai menjaga jarak dariku.

Namun beberapa hari kemudian, Alex tiba-tiba masuk ke kamarku.

"saya ingin bicara om.." begitu ucap Alex memulai pembicaraan.

"oh, ya. Masuk aja.." balasku, sambil mempersilahkan Alex untuk masuk dan duduk di tepian ranjang tidurku.

Selama ini Alex memang belum pernah masuk ke kamarku. Tapi kali ini aku membiarkannya.

"kamu mau ngomong apa?" tanyaku sedikit diplomatis.

"saya mau membicarakan soal yang kemarin om. Tentang tawaran om untuk menjadikan saya kekasih om.." jawab Alex, dengan suara sedikit bergetar.

"oh.." desahku dengan sedikit membulatkan bibir. "jadi gimana? kamu sudah membuat keputusan?" tanyaku ringan.

Aku memang sangat berharap Alex bisa menerimaku, karena aku memang mencintainya. Aku bahkan sudah berkorban banyak untuknya.

"tapi sebelumnya saya ingin memastikan dulu, om." balas Alex.

"kamu ingin memastikan apa lagi?" tanyaku mulai tak sabar.

"kalau... kalau seandainya saya tidak bersedia, apa om akan memecat saya?" suara Alex terbata.

Aku sedikit kecewa mendengar pertanyaan Alex barusan. Itu sama saja berarti bahwa Alex masih belum bisa menerimaku.

Aku tahu Alex cowok normal, dan tentu saja ia merasa berat untuk menjadi kekasihku. Tapi mengingat semua yang telah aku lakukan untuknya, masa' iya tak terketuk sedikit pun di hati Alex untuk mencobanya? Setidaknya untuk membalas semua kebaikanku padanya selama ini.

Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Karena jika aku memecat Alex, hanya karena ia menolakku, itu sangat tidak manusiawi, dan terlebih itu tidak ada dalam kontrak kerja kami.

Namun jika aku tetap mempekerjakan Alex, sementara ia sudah tahu perasaanku padanya, rasanya aku akan merasa sulit berada di posisi tersebut.

Aku tahu, aku bisa saja memecat Alex, sebagai sopir pribadi ku, dengan alasan yang berbeda. Tapi si satu sisi hatiku yang lain, aku benar-benar takur kehilangan Alex.

Meski aku tidak bisa memilikinya sebagai kekasih, tapi setidaknya aku masih bisa setiap hari berada di dekatnya dan menatap wajah tampan brondong manis itu dari jarak dekat.

"om tidak akan memecat kamu Lex, hanya karena alasan itu. Tapi .... om tidak bisa menjamin, akan berapa lama lagi om mempertahankan kamu untuk terus menjadi sopir pribadi om. Karena om tidak bisa hanya sekedar menatap kamu, Lex. Om juga ingin bisa memiliki kamu." ucapku akhirnya setelah berpikir cukup lama.

"Alex bingung, om. Di satu sisi, om sudah sangat baik padaku, dan juga telah berkorban banyak untukku. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa memaksa hatiku untuk bisa mencintai om. Karena aku memang tidak pernah tertarik pada laki-laki, aku hanya tertarik pada perempuan."

"dan jika aku memaksakan diri untuk menjadi kekasih om, rasanya itu sangat berat om. Dan om juga akan kecewa nantinya, karena aku tidak akan bisa memberikan apa-apa untuk om.." ucap Alex panjang lebar, yang membuatku jadi terdiam.

****

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang dengan perasaan berat. Penolakan Alex barusan, benar-benar membuat aku patah hati.

Aku merasa pengorbananku selama ini sia-sia. Ternyata perasaan memang tidak bisa di beli dengan apa pun.

Meski aku bisa saja memaksa Alex, tapi jika melihat ketegasan Alex akan perasaannya, itu jelas akan sangat sulit.

Karena meski pun aku sudah berkorban begitu banyak untuknya, Alex tetap tak bergeming.

Jika pun aku menawarkan sesuatu yang lebih besar kepada Alex, uang yang banyak misalnya, sepertinya Alex juga gak bakal tertarik.

Yang aku takutkan adalah, jika aku tetap memaksa, maka bisa saja Alex menyebarkan siapa aku sebenarnya kepada orang-orang. Dan aku tidak mau hidupku hancur, hanya karena terlalu mengikuti perasaanku.

Mungkin lebih baik aku biarkan saja semua ini terjadi. Mencintai Alex dalam diam, mengagumi dalam hening. Dan membiarkan semua rasa itu terus terpendam selamanya.

Oh, Alex.. mengapa aku harus jatuh cinta padamu, sementara aku tahu kalau kamu adalah laki-laki normal. Tapi aku juga bisa mengatur hatiku untuk jatuh cinta kepada siapa pun. Perasaan itu tumbuh begitu saja, dan aku tidak mampu mencegahnya. Rintih hatiku pilu.

****

Hari-hari selanjutnya, aku jadi kehilangan gairah. Aku kehilangan semangat.

Meski Alex masih tetap bekerja bersamaku dan masih tinggal di apartemen bersamaku, tapi tetap saja aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa memilikinya.

Hubungan kami kembali seperti hubungan antara atasan dan bawahan. Tidak ada lagi gurau canda, tidak ada lagi cerita atau curhatan dari Alex.

Alex juga lebih diam, ia seperti sengaja menjaga jarak dariku. Tapi aku tidak bisa membenci atau pun menyalahkannya, karena ini memang bukan salah Alex.

Ini murni salahku, karena sudah terlanjur jatuh cinta pada Alex.

Suatu saat, Alex meminta izin padaku untuk mengunjungi pamannya, saat ia sudah mengantarku ke kantor. Alex memang sudah cukup lama tidak mengunjungi pamannya tersebut.

Awalnya aku meminta Alex untuk menggunakan mobilku saja, tapi Alex menolak dan justru memakai jasa ojek online untuk ke rumah pamannya tersebut.

Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar jika Alex mengalami kecelakaan. Motor yang ditumpanginya tak sengaja bertabrakan dengan sebuah mobil bus, yang mengakibatkan Alex harus masuk rumah sakit.

Aku yang mendengar kabar tersebut, segera menuju rumah sakit tempat Alex di rawat.

Alex koma selama beberapa hari. Aku yang memang masih selalu mencintai Alex, tentu saja merasa sedikit cemas. Aku berusaha melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawanya.

Aku mencarikan dokter terbaik untuk Alex dan juga ikut mendonorkan darahku untuknya.

Hingga beberapa hari kemudian, Alex pun siuman dan mulai membaik.

Setelah hampir sebulan, Alex akhirnya bisa pulih kembali. Dan aku dengan suka rela, membayar semua biaya rumah sakit selama Alex di rawat.

Aku tak peduli berapa banyak uangku habis, demi untuk menyelamatkan Alex. Aku merasa senang, karena Alex bisa pulih kembali.

*****

"makasih ya, om." pelan suara Alex, ketika ia sudah mulai bekerja kembali. Saat itu kami sedang melakukan perjalanan pulang menuju rumahku.

Rumah dimana anak dan istriku sedang menungguku. Rutinitasku pulang ke rumah memang masih sama. Kalau aku tidak bisa pulang dua kali seminggu, minimalnya aku harus pulang sekali seminggu.

Aku hanya mendengus kecil mendengar ucapan Alex barusan, karena aku sudah cukup mengerti arah pembicaraan Alex.

"sekali lagi om sudah berkorban untukku. Om rela mengeluarkan uang yang begitu banyak hanya untuk biaya pengobatanku, dan yang paling membuat aku terkesan, om rela mendonorkan darah om hanya untuk orang sepertiku." Alex berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

"aku tidak tahu, bagaimana harus membalas semua itu, om. Aku punya hutang budi yang begitu banyak pada om Andra.." lanjut Alex lagi.

Aku menghempaskan napas berat, lalu kemudian berujar,

"kamu sebenarnya cukup tahu. Lex. Bagaimana cara membalas semuanya. Kamu nya aja yang tidak mau mengakuinya.." ucapku sedikit ketus dan tegas.

Kali ini Alex terdiam. Ucapan ku sepertinya cukup mengena.

Tapi Alex tidak bereaksi apa-apa, ia hanya diam hingga kami pun sampai ke tujuan.

Sesampai di rumah aku pun di sambut oleh istri dan anak-anakku.

Seharian aku menghabiskan waktu bermain dengan kedua anak-anakku.

Hingga malam pun tiba, dan aku kembali menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami untuk istriku.

****

"kehidupan om dan keluarga om sudah sangat bahagia.." ucap Alex, keesokan harinya saat kami sudah kembali ke apartemenku.

"kehidupan om sudah sangat mapan, punya istri yang cantik dan anak-anak yang pintar. Lalu mengapa om masih mau melakukan sesuatu yang menyimpang?" lanjut Alex dengan sedikit bertanya, kali ini kami ngobrol di ruang tamu apartemenku.

"di depan istri dan anak-anak om, om memang harus tetap terlihat bahagia, Lex. Om harus terlihat seperti sangat menikmati hidup ini. Padahal jauh di dalam hati om sendiri, om merasa kosong, Lex. Hampa. Dan kehadiran kamu lah yang mampu mengisi kekosongan tersebut.." balasku dengan nada sendu.

"bukan kehadiran ku yang akan mengisi kekosongan tersebut, om. Tapi keimanan. Om merasa kosong dan hampa, karena selama ini saya lihat om tidak pernah beribadah sama sekali. Om terlalu sibuk mengejar ambisi om sendiri. Om juga sibuk mengejar cinta yang tidak di halalkan untuk om.."

ucapan Alex tersebut benar-benar menampar mukaku. Aku merasa terhenyak dan terpojok.

Tak ku sangka Alex akan berkata demikian. Selama ini tidak ada seorang pun yang berani menasehatiku, terutama soal agama. Istri bahkan orangtua ku tidak pernah sekali pun mempertanyakan tentang ibadahku.

Karena setiap kali mereka membahas hal tersebut, aku akan menghardik mereka. Dan hal itu membuat mereka jadi sedikit takut berbicara tentang ibadah di depanku.

Dengan kehidupanku yang serba berkecukupan sekarang, tidak ada seorang pun yang berani mengaturku. Bahkan kedua orangtuaku.

Namun mendengat ucapan Alex barusan, aku benar-benar merasa terpukul, dan aku bahkan tak mampu berkata apa-apa.

Sebagai seorang manusia, harus aku akui, kalau hidup penuh dengan gelimangan dosa. Aku hampir menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisiku. Aku juga sering berzina dengan laki-laki.

Aku juga tidak memperlakukan orangtuaku dengan baik. Karena aku merasa punya segalanya, aku juga merasa punya kekuasaan untuk mengatur segalanya.

Selama mereka, orangtua dan istriku, aku beri uang, aku merasa mereka tidak lagi punya hak untuk sekedar menasehatiku.

Tapi Alex berbeda. Kalimat sederhananya mampu menyentuh bagian hatiku yang terdalam. Bagian hatiku yang selama ini aku sembunyikan.

Nurani ku bergetar tiba-tiba.

Selama ini, Alex memang tidak pernah meninggalkan sholatnya. Ia selalu menyempatkan diri untuk sholat, meski kehidupannya tidak terlalu baik.

Sementara aku, yang hampir punya segalanya, justru semakin menjauh dari Tuhan.

Oh, tidak. Mungkinkah Alex adalah malaikat yang di kirimkan Tuhan untukku, untuk menyadarkanku bahwa selama ini aku telah salah melangkah. Bahwa selama ini aku tidak pernah sekali pun bersyukur akan hidupku.

"maaf, om. Saya tidak bermaksud apa-apa." ucap Alex lagi, "tapi kehidupan yang om Andra jalani saat ini, adalah kehidupan yang di impikan semua orang. Dan om akan merusak semuanya, hanya karena memperturutkan secuil nafsu dalam diri om Andra.." Alex melanjutkan, yang membuatku kian terhenyak.

"saya bisa saja memenuhi keinginan om Andra. Setidaknya untuk membalas semua kebaikan dan pengorbanan om Andra padaku selama ini.  Tapi itu artinya, saya juga ikut berperan dalam menghancurkan kehidupan sempurna yang telah om Andra miliki." Alex melanjutkan kalimatnya.

"artinya juga, saya ikut berperan dalam mengundang murka Tuhan kepada om Andra. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu saya menolak om, meski saya merasa sangat bersalah akan hal tersebut."

"jika saya tetap nekat menerima tawaran om Andra, maka saya tidak akan sanggup menyaksikan kehancuran hidup om kelak.." Alex mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku masih terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa. Semua yang di utarakan Alex tidak bisa aku pungkiri.

Mungkin selama ini Tuhan masih memberikan aku kesempatan, meski pun aku sudah berulang kali melakukan kesalahan.

Dan kehadiran Alex di sini, adalah sebuah teguran untukku. Teguran Tuhan tidak selalu dengan memberi azab atau musibah, tapi juga melalui orang lain.

****

Sejak saat itu, aku justru jadi belajar banyak dari Alex. Aku mulai mendekatkan diri kepada Tuhan.

Aku belajar agama dari Alex.

Aku mulai memperbaiki beberapa kesalahanku. Mulai dari meminta maaf kepada kedua orangtuaku dan juga istriku.

Hubunganku dengan Alex bukan lagi hubungan antara majikan dan bawahan, tapi aku sudah menganggap Alex seperti adikku sendiri.

Aku juga menjadikan Alex sebagai mentor dalam hidupku.

Cintaku kepada Alex memang salah, dan aku mulai belajar untuk mengubah rasa cinta itu menjadi rasa sayang kepada seorang adik.

Dan begitulah kisahku. Aku akhirnya bertaubat, karena sosok yang aku cintai.

Semoga kisah sederhana ini, mampu memberi pelajaran bagi siapa pun yang mendngarkannya.

Terima kasih..

****

Selesai...

Sebuah cerpen : Kisah cinta seorang Operator sekolah...

"besok pagi ikut pelatihan ya.." suara sangar pak Lutfi cukup mengagetkanku pagi itu.
"dimana pak?" tanyaku ringan.
Pak Lutfi menyebutkan sebuah alamat. Aku hanya mengangguk.
Ini adalah hari pertama aku mulai bekerja disini. Di sebuah sekolah dasar, tak jauh dari rumahku.
Aku bekerja sebagai seorang Operator sekolah, dan pak Lutfi adalah kepala sekolah kami.
Sebagai seorang yang baru masuk dunia pendidikan, aku masih merasa cukup canggung. Apa lagi pekerjaan yang aku terima adalah merupaka hal baru saat itu.
Tapi aku harus bisa terbiasa dengan semua itu.
Selepas mendapatkan gelar sarjana komputer, aku langsung mengajukan lamaran ke beberapa tempat, dan kebetulan sekali aku di terima di sekolah ini.

Esok, pagi-pagi sekali aku sudah mengendarai motor bututku menuju alamat yang disebutkan pak Lutfi kemarin. Ini adalah kali pertamanya aku ikut pelatihan dan tidak ada satu pun orang yang aku kenal disana.
Sesampainya ditempat pelatihan, aku melihat beberapa orang sudah hadir. Menurut cerita pak Lutfi kemarin, pelatihan diikuti oleh lebih kurang tiga puluh sekolah, yang mana setiap sekolah mengutus satu orang operator.
Pelatihan dilaksanakan di sebuah gedung serba guna milik sebuah sekolah. Aku melangkah pelan dari tempat parkir menuju ruang pelatihan, sambil sedikit memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Aku masuk ke dalam dan duduk di salah satu bangku yang berada tidak terlalu jauh dari depan.
Beberapa orang juga sudah mulai memasuki ruangan. Karena sebentar lagi pelatihan akan segera di mulai.

Pelatihan dimulai dengan beberapa sambutan dari pihak yang berwenang. Aku memperhatikan beberapa orang yang duduk di deretan meja depan. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang pemuda.
Pemuda itu cukup menarik perhatianku, karena sepanjang acara pembukaan ia selalu menebar senyum. Dan senyumannya itu yang membuat aku terpukau, lesung pipi di kedua belah pipinya benar-benar mempesona.
Aku segera menunduk, saat mata kami saling beradu pandang. Jantungku berdegup kencang.
Pemuda dengan senyum manis itu sudah berdiri saat aku mencoba menolehnya lagi. Ternyata pemuda itu lah yang menjadi tutor kami hari itu.


operator sekolah


"nama saya Al-Hafis!" ucapnya setelah mengucapkan salam. Ia berdiri di depan sambil memegang sebuah pengeras suara. "biasa dipanggil Afis." lanjutnya.
"bagi teman-teman operator sekolah yang baru, silahkan save nomor handphone sekaligus nomor whatsapp saya, untuk bertanya seputar pekerjaan kita sebagai operator. Atau bisa juga bergabung dengan group facebook kita. Disana kita bisa saling sharing.."
Pak Afis berbicara sambil menulis di papan tulis yang ada di depan.
Aku segera mencatat di handphone dan menyimpan nomor tersebut, sekaligus mengakses group facebook yang disebutkan pak Afis.

Selanjutnya, pak Afis menjelaskan bagaimana dan apa yang harus kami kerjakan ke depannya.
Ternyata pak Afis orang yang sangat menyenangkan.
Pak Afis adalah Operator dari Dinas Pendidikan Kabupaten, yang artinya ia lah yang menghandle dan bertanggungjawab kepada semua operator sekolah yang ada di kabupaten kami.
Berkali-kali aku menatap senyum manis pak Afis, dadaku berdegup tak karuan. Pak Afis telah menyita perhatianku.
Oh, ya. Jangan salah paham dulu! Sebenarnya pak Afis itu masih sangat muda. Kami memanggilnya pak, karena secara jabatan ia satu tingkat diatas kami. Dan juga merupakan hal yang biasa, dalam dunia pendidikan, saling memanggil pak atau pun Ibuk. Itu juga berlaku buat kami sebagai sesama operator.
Karena sebagian operator juga ada yang sudah berumur diatas 30 tahun.

"baru ya?" sebuah suara mengagetkanku.
Aku melirik ke arah samping kiri ku, seorang laki-laki yang masih cukup muda tersenyum padaku.
Aku mengangguk pelan.
"sama.." ucap laki-laki itu lagi. "saya Fhandi.." lanjutnya, sambil menyebutkan tempat tugasnya.
"oh!" aku membulatkan bibir, "saya Ayu..." balasku.
Laki-laki itu, Fhandi, memang sudah sedari tadi duduk di sampingku. Dan sepertinya sudah dari tadi berusaha menegurku.
Aku dan Fhandi mulai mengobrol tentang pekerjaan baru kami, sambil terus memperhatikan ke depan.
Pak Afis masih berbicara di depan, menjelaskan banyak hal dan meminta kami membuka laptop yang memang sengaja kami bawa. Karena sebagai seorang operator sekolah kami memang diwajibkan mempunyai laptop, dan biasanya laptop memang diberikan oleh pihak sekolah. Bukan laptop pribadi.

"bagaimana? Bisa?" suara merdu pak Afis cukup mengagetkanku, karena aku sibuk mengerjakan tugas yang diberikannya di laptop.
Aku menoleh ke arah pak Afis yang sudah berdiri di sampingku. Gugupku tiba-tiba. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
"belum pak.." jawabku sedikit bergetar.
"gak apa-apa." ucap pak Afis sambil sedikit menunduk, membuat gugupku semakin menjadi. "masih baru, kan?" lanjutnya, kali ini ia tersenyum.
Sumpah! Senyum itu sangat manis. Aku gelagapan, salah tingkah.
"coba aja terus. Pasti bisa, kok.." ucapnya lagi.
"iya, pak.." balasku, masih dengan suara bergetar.
Pak Afis melangkah ke belakang, memperhatikan pekerjaan teman-teman operator lainnya.

Pada saat makan siang, tiba-tiba pak Afis mendekatiku. Aku duduk sendirian di ujung teras ruangan.
"sendirian aja?" tanya pak Afis padaku.
Aku hanya mengangguk. Seperti tadi, gugupku pun datang.
"sudah berapa lama jadi operator?" tanyanya lagi, sambil duduk di sampingku.
"baru dua hari, pak.." jawabku.
"oh. Pantas. Gak pernah kelihatan sebelumnya."
Selanjutnya pak Afis cerita tentang pekerjaannya dan juga memberikanku beberapa masukan agar bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Aku sangat senang bercerita dengan pak Afis. Aku jadi tahu, kalau ternyata pak Afis memang masih lajang, seperti dugaanku.
"jangan panggil pak lah. Udah tua kali kesannya.."
"tapi memang begitu panggilan resminya, pak.."
"gak juga ah. Siapa bilang? Kan kita bukan Bapak dan Ibu guru.."
"jadi panggil apa baiknya?"
"karena usia kita hanya beda dua tahun, cukup panggil Afis aja.."
"oke lah kalau begitu," jawabku mulai terasa akrab.
Dia mengangguk dan tersenyum.

***********

Begitulah awalnya. Awal aku mengenal sosok Afis dalam hidupku. sejak saat itu, hampir setiap malam, wajah Afis menghiasi hayalku. Senyum manisnya selalu melintas di pikiranku.
Kami sering berhubungan lewat media sosial, saling koment status dan juga sering telpon-telponan.
Meski kami jarang bertemu secara langsung, karena memang jarak tempat tinggal Afis dengan rumahku cukup jauh. Tapi itu tidak membuat kami menjadi jauh.
Hari-hari berlalu terasa indah bagiku, meski hubungan kami hanya sebatas teman. Tapi setidaknya aku merasa bahagia dengan semua itu.
Aku tak tahu apa yang Afis rasakan padaku, sampai saat itu.

Setahun pertemanan kami. Afis jadi sering datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan, walau hanya sekedar nonton di bioskop atau makan siang di kafe. Tapi aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Aku dan Afis kian dekat dan akrab. Rasanya dunia begitu indah.
Harus kuakui kalau aku telah jatuh cinta pada sosok Afis, walau aku tidak pernah tahu perasaannya padaku. Afis tak pernah membahas soal itu sekalipun. Aku pun tak cukup berani untuk mempertanyakannya.
Aku biarkan saja, persahabatan kami mengalir apa adanya.
Sampai suatu saat....

Tiba-tiba Afis menghilang! Tanpa kabar!
Tidak ada satu pun akun media sosialnya yang aktif, bahkan nomor handphone nya selalu tidak bisa dihubungi. Aku merasa cemas. Aku coba bertanya kepada beberapa orang yang ku kenal, tapi tidak ada satu pun yang tahu.
Sampai akhirnya aku tahu, kalau Afis sudah tidak bekerja lagi di Dinas Pendidikan. Pak Lutfi yang cerita. Tapi tidak ada satu pun yang tahu, kenapa Afis tiba-tiba memutuskan untuk berhenti.
Bahkan ketika pihak Dinas mendatangi rumahnya, Afis juga tidak berada di rumah. Pihak keluarganya juga bungkam, tak ingin bercerita.

Aku benar-benar kehilangan. Aku benar-benar bingung. Kemana Afis? Dimana dia sebenarnya? Apa yang terjadi dengannya, sehingga tiba-tiba ia menghilang? Bahkan saat terakhir kami bertemu pun, Afis baik-baik saja. Seperti biasa, ia selalu tersenyum. Tidak terlihat ada masalah, apa lagi pertanda kalau ia akan menghilang.
Tubuhku terasa lemas. Hatiku menangis pilu. Aku benar-benar terpukul. Sudah hampir sebulan tak ada kabar apa pun dari Afis. Air mataku sering menetes bila mengingat itu semua. Betapa aku merindukan sosok Afis dalam hidupku. Saat ini, aku merasa benar-benar rapuh dan tak berdaya.

*********

Enam bulan. Ya, enam bulan sudah Afis menghilang tanpa kabar. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kehadirannya, tanpa membaca statusnya. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kabar darinya. Meski harus kuakui, kalau terkadang ada saat aku begitu merindukannya. Rindu dengan candanya, ceritanya yang blak-blakan dan juga senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

"hei, melamun aja dari tadi..." suara Fhandi membuyarkan lamunanku.
Fhandi duduk di sampingku, dengan membawa dua buah es krim. Dia berikan satu es krim untukku.
Siang itu Fhandi memang sengaja mengajak ku jalan-jalan ke sebuah obyek wisata alam yang cukup terkenal di daerah kami.
Aku dan Fhandi akhir-akhir ini memang menjadi dekat. Bukan saja karena kami memiliki profesi yang sama. Tapi memang sejak awal kami kenalan waktu pertama kali aku ikut pelatihan dulu, Fhandi memang sering menghubungiku. Namun karena selama ini ada Afis, aku tidak terlalu menanggapinya.
Sejak Afis menghilang, Fhandi bahkan jadi sering datang ke rumah. Karena jarak tempat tinggal kami tidak begitu jauh.

Terus terang, aku merasa sedikit terhibur dengan kehadiran Fhandi di hidupku. Cowok tampan dan jangkung itu, mampu mengisi kekosongan hari-hariku setelah kepergian Afis.
Meski Fhandi tidak benar-benar mampu menggantikan sosok Afis dalam hidupku. Tapi setidaknya Fhandi lebih jelas dan tegas. Terutama soal perasaannya padaku.
"aku jatuh cinta padamu, Yu. Bahkan sejak pertama kita saling kenal.." ucapnya suatu hari.
Saat itu, aku hanya terdiam. Aku bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian besar hatiku masih tersimpan rapi sosok Afis dengan senyumnya yang begitu manis. Namun sosoknya telah menghilang seperti di telan bumi.
Dan Fhandi hadir, dengan cintanya yang tulus. Dengan segala kesederhanaannya. Ia mampu membuatku tersenyum kembali. Ia mampu membuatku bangkit dari kekecewaan yang mendalam. Meski itu bukan berarti aku telah membuka hatiku untuknya.
Tapi apa mungkin aku bisa menolak kehadirannya di hatiku? Mengabaikan cintanya yang begitu tulus dan jelas?

"kamu belum jawab pertanyaanku yang kemarin, Yu.." ucap Fhandi lagi, sambil membuka bungkusan es krim yang baru ia beli.
"pertanyaan yang mana?" tanyaku, lebih berlagak pura-pura tidak tahu.
Fhandi menolehku. Ia tersenyum. "kamu tahu, pertanyaan yang aku maksud, Yu. Gak usah berlagak pikun.." balasnya.
Aku tertunduk. Merasa jengah ditatap seperti itu. Jujur harus kuakui, kalau Fhandi memang memiliki mata yang indah. Tatapannya begitu teduh, namun mampu menusuk ke relung hatiku yang rapuh.
Aku menjilati es krim dan menelannya pelan. Terasa dingin melewati tenggorokanku. Kutarik napasku perlahan.
"aku... aku tidak tahu harus jawab apa, Fhan." ucapku sedikit terbata. "aku belum bisa jawab sekarang. Aku butuh waktu, Fhan." lanjutku.
"kenapa?" tanya Fhandi. Pandangannya dialihkan kearah kerumanan orang-orang yang ramai di depan kami. Mereka sibuk berpose.
Aku hanya menggeleng lemah. Aku benar-benar tidak bisa menjawabnya.

"aku gak bisa jelaskan sekarang, Fhan. Aku harap kamu mengerti.." ucapku lemah.
Kali ini Fhandi terdiam. Aku tahu ia penasaran dan bingung. Tapi saat ini aku memang belum bisa menjelaskannya. Aku takut, kalau perasaanku pada Fhandi hanyalah sebuah pelarian atas kekecewaanku terhadap Afis.

************

"hei! Tunggu!" sebuah suara memaku langkahku. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku pergi ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten, ada beberapa hal yang aku urus disana.
Seorang laki-laki paroh baya mendekatiku.
"kamu Ayu, kan?" ucap laki-laki itu sambil mengatur napas.
Aku mengangguk. Beberapa langkah lagi aku akan sampai ke pintu masuk. Orang-orang ramai berlalu lalang. Saat ini memang jam sibuk kerja.
"bisa bicara sebentar?" tanya laki-laki itu lagi.
Aku mengernyitkan kening. Aku tak mengenali lak-laki itu.
"maaf. Aku lagi ada urusan di dalam.." balasku ringan.
"ini tentang Afis.." ujar laki-laki itu pelan.
Keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya. "bapak siapa?" tanyaku.
"saya Sabda. Abang Afis. Ada yang harus kamu ketahui tentang Afis.." laki-laki itu menatapku lama.

"Afis sakit, Yu." bang Sabda memulai pembicaraan. Kami duduk di sebuah bangku taman yang ada di depan kantor dinas. Dulu Afis sering mengajakku duduk disini.
"Afis sakit sudah lama. Bahkan jauh sebelum ia mengenal kamu. sebuah kanker telah bersarang di otaknya sudah bertahun-tahun." bang Sabda menarik napas sejenak. Aku terdiam memperhatikannya, mencoba memahami ceritanya barusan.

"awalnya Afis mencoba mengabaikan penyakitnya, karena tidak mengganggu aktivitasnya. Namun setahun belakangan, penyakitnya makin parah. Kami sempat ke luar negeri enam bulan yang lalu, untuk menjalani operasi. Selesai operasi keadaannya mulai membaik. Kami pun pulang ke Indonesia. Namun berselang satu bulan, penyakitnya kambuh lagi." bang Sabda menarik napas lagi, "sebenarnya dokter sudah menjelaskan, kalau kanker itu akan tumbuh lagi. Tapi kami tidak menyangka akan secepat itu. Berbulan-bulan Afis terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan. Ia tidak ingin kamu tahu. Ia tidak ingin kamu merasa khawatir..."
"dengan ia menghilang tanpa kabar, itu justru membuatku lebih khawatir.." selaku bergetar. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu.
"iya. Aku tahu, karena itu aku mencari kamu. Tapi aku tidak tahu dimana alamatmu. Sampai tadi aku melihat kamu. Dan aku ingin menceritakan ini semua sama kamu.."
"atas permintaan Afis?" suaraku semakin bergetar.
"tidak. Ini atas inisiatifku sendiri. Aku tak tega melihat Afis. Ia sepertinya sudah menyerah melawan penyakitnya. Aku tahu, ia sangat dekat dengan kamu. Aku berharap kamu mau melihat keadaannya sekarang. Mungkin dengan kehadiran kamu di dekatnya, itu bisa memberinya semangat. Selama ini ia hanya menatapi photo kamu.." ucap bang Sabda lagi, suaranya terdengar parau.

Aku mencoba memahami setiap cerita bang Sabda. Awalnya aku ingin marah. Tapi rasa iba lebih menguasai hatiku. Membayangkan Afis yang terbaring sakit, aku menjadi tak tega.
"sekarang Afis dimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Bang Sabda menyebutkan rumah sakit tempat Afis dirawat. "keadaannya semakin parah, ia sering tak sadarkan diri.." ucapnya.

**************

Tubuh Afis terbaring lemah di sebuah dipan rumah sakit. Tubuh itu dipenuhi oleh infus. Aku semakin tak tega melihatnya. Senyum manis cowok itu telah hilang. Tubuhnya kurus kering tak berdaya. Tanpa sadar air mataku menetes menatapnya. Cowok itu membuka mata, saat aku mencoba menyentuh tangannya. Pihak keluarga memang sengaja membiarkan aku sendiri di dalam kamar rumah sakit itu.
Mata Afis terlihat kaget melihat aku berdiri di dekatnya. Aku menggenggam jemarinya yang lemah. Air mataku terus bercucuran. Namun aku mencoba tersenyum.
"hei.." suaraku pelan.
"ngapain kamu kesini?" tanya Afis suaranya terdengar lemah. "siapa yang kasih tahu aku disini?' lanjutnya.
"itu gak penting sekarang, Fis. Yang penting kamu harus lekas sembuh, ya. Aku kangen..." ucapku sambil meremas lembut tangannya. "aku kangen melihat senyum kamu lagi. Aku kangen nonton di bioskop bareng kamu lagi, Fis. Aku kangen baca status kamu..." suaraku semakin parau.

"kamu... kamu gak marah?" Afis berucap dengan terbata.
Aku menggeleng. Aku berusaha tersenyum. Aku mengusap pipiku sendiri, menghapus sisa air mataku. Berusaha untuk terlihat tegar.
"kamu harus sembuh, Fis. Kamu gak boleh menyerah. Mulai sekarang aku akan selalu mendampingi kamu..." ucapku, sambil mengelus rambutnya yang mulai memanjang.
"maafkan aku ya, Yu..." ucapnya, bibirnya berusaha menyunggingkan senyum.
Aku mengangguk dan menggenggam tangannya erat.

Hari-hari berikutnya, aku lebih sering menjenguk Afis. Menemaninya dan memberinya semangat. Jarak yang jauh tidak membuatku menyerah. Jauh dari dasar hatiku, aku masih mencintainya. Meski aku tak bisa mengungkapkannya. Bertemu dengannya kembali memberikanku sebuah harapan. Sebuah harapan yang sempat memudar. Kini hari-hari ku terasa lebih bermakna.
Aku semakin menyadari, kalau aku benar-benar mencintai Afis. Dan sosoknya tak pernah bisa tergantikan. Aku tahu, Afis juga mencintaiku. Walau pun dia tidak pernah mengucapkannya. Namun dari semua sikapnya padaku, aku tahu, dia sangat membutuhkanku.

"keadaannya sudah semakin membaik sekarang.." ucap bang Sabda suatu hari. "terima kasih ya, Yu. Sepertinya kehadiranmu benar-benar telah membuat ia bangkit."
"aku mencintai Afis, bang." balasku jujur, "aku ingin dia sembuh. Aku ingin melihat Afis yang dulu. Afis yang selalu tersenyum..."
"yah. Kita sama-sama berdo'a ya, Yu. Semoga Afis bisa sembuh kembali. Aku yakin, Afis juga sangat mencintai kamu." bang Sabda menatapku penuh keyakinan.
"minggu depan Afis akan operasi lagi. Semoga operasi kali ini, benar-benar bisa mengangkat penyakitnya dan tidak akan kambuh lagi." ucap bang Sabda lagi.
"aamiin, bang. Semoga!" jawabku tersenyum.

************

"maafkan aku, Fhan. Aku gak bisa.." aku menatap wajah Fhandi yang memperlihatkan raut kekecewaannya.
"kenapa?" tanya Fhandi lemah.
"karena sudah ada seseorang yang mengisi hatiku, Fhan. Bahkan jauh sebelum kita saling akrab."
"lalu apa arti kedekatan kita selama ini, Yu?"
"maafkan aku, Fhan. Aku tidak bermaksud mempermainkan kamu. Selama ini aku memang menyukai kamu. Tapi perasaanku tak kian berkembang, Fhan. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau sebenarnya aku mencintai orang lain. Meski aku sudah berusaha menerima kehadiranmu, namun tetap saja aku tidak menemukan cinta itu ada untukmu. Sekali lagi, aku minta maaf, Fhan.."
Fhandi menghempaskan napasnya berat. Kedua tangannya mengepal.
Aku tahu Fhandi terluka. Tapi akan lebih menyakitkan lagi, jika aku harus terus berpura-pura bahagia saat dengannya. Akan sangat menyakitkan, jika aku tidak berterus terang padanya.

Aku melangkah meninggalkan Fhandi yang masih duduk termangu di kafe itu. Sekelebat rasa bersalah menghantuiku. Tapi semua memang harus terjadi. Aku memang harus memilih. Dan hatiku begitu yakin, kalau aku sangat mencintai Afis, seperti apa pun kondisinya saat ini.
Hatiku telah memilih, meski harus ada hati yang tersakiti.
Fhandi sosok cowok yang baik dan sederhana. Aku yakin, banyak cewek-cewek lain di luar sana yang mengharapkannya dan bisa membuatnya bahagia.

Sekian...

Sebuah Cerpen Baru : Pengorbanan Cinta

Rara menatap lekat wajah cowok disampingnya, ia hampir tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"maaf, Ra.." cowok itu berujar lagi, suaranya lebih pelan.
"Kamu gak lagi becanda kan, Wan?" tanya Rara akhirnya.
Cowok itu, Iwan, menghembuskan nafas perlahan. Kemudian dengan cukup berani menatap mata jernih milik Rara. "aku serius, Ra..." ucapnya. "aku gak sanggup lagi melanjutkan hubungan kita..."
"kita baru aja mulai, Wan..?" Rara memalingkan muka. Ia benar-benar tak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Iwan.
"kamu gak bakal ngerti, Ra..."
"makanya aku butuh penjelasan,Wan. Kenapa?"
"nanti juga kamu bakal tahu..." suara Iwan terdengar serak.
"kamu jangan membuat aku jadi terlihat bodoh, Wan.." ucap Rara bergetar. Hatinya sakit. Bagaimana tidak, Iwan memutuskan hubungannya, yang baru saja mereka mulai, tanpa alasan yang jelas.
"andai saja aku bisa menjelaskan semuanya, Ra..." Iwan memejamkan matanya, ada yang terasa perih dihatinya.



"kamu tahu, Wan. Keputusanmu ini, telah mengubah semua penilaianku selama ini padamu. Aku pikir kamu beda...!" tegas suara Rara. Setelah mereka terdiam beberapa saat.
"ya, aku tahu. Kamu boleh mencaci dan membenciku, Ra. Tapi jangan minta aku untuk menjelaskannya sekarang. Terlalu rumit bagiku..." Iwan berujar, sambil mengusap keningnya sendiri. Sejujurnya ia juga sangat berat memutuskan hubungannya dengan Rara. Tapi...

Reno adalah sahabat Iwan sejak kecil. Bahkan bukan cuma itu, keluarga Reno lah yang merawat dan membesarkannya, ketika Ayah Iwan meninggal pada saat ia masih berusia enam tahun. Ibunya yang tak kuat hidup sendirian, memilih untuk menikah lagi dan meninggalkan Iwan sendirian di jalanan.
Sampai akhirnya ia ditemukan Reno.
Reno yang waktu itu sedang berjalan-jalan dengan papanya, melihat Iwan yang menangis sendirian di pinggir jalan. Reno datang menghampirinya dan merasa iba, lalu meminta papanya agar mengajak Iwan pulang bersama mereka.

Semenjak saat itu, Iwan tinggal bersama keluarga Reno dan menjadi sahabatnya. Iwan diperlakukan sangat baik dan bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. Apa yang menjadi milik Reno, sudah otomatis menjadi milik Iwan juga. Papa mama Reno, sangat baik padanya. Mereka tak pernah membedakan antar Reno atau Iwan.

Bahkan mereka di sekolahkan di tempat yang sama. Iwan dan Reno selalu bersaing untuk mendapatkan nilai terbaik. Meski tentu saja Iwan tetap menjadi juara kelas. Tapi Reno tak pernah iri padanya. Reno selalu mengakui kecerdasan Iwan.
Reno selalu terbuka padanya, Reno juga sering minta pendapat padanya.
Hingga mereka tumbuh dewasa dan kuliah di Universitas yang sama, meski pada Jurusan yang berbeda. Iwan mengambil kedokteran, sedangkan Reno lebih memilih Fakultas Tehnik.

******
Enam bulan berada di dunia kampus, Iwan mulai mengenal dan dekat dengan Rara.
Rara yang cantik. Rara yang baik dan ramah. Rara juga terkenal sangat supel, sehingga jarang orang yang tak mengenalnya di kampus.
Namun dari puluhan mahasiswa yang coba mendekatinya, Rara memilih untuk menerima cinta Iwan.
Cinta mereka pun terjalin sangat indah, meski hubungan mereka tak banyak diketahui oleh teman-temannya. Mereka lebih memilih untuk berpacaran secara diam-diam.

Setelah hampir tiga bulan pacaran, tiba-tiba...

Pada suatu malam, Iwan yang sedang asyik mengerjakan tugas, dikagetkan oleh kehadiran Reno yang masuk ke kamar nya tanpa permisi. Memang sudah kebiasaan. Pikir Iwan.
"Kamu kenal Rara gak, Wan..?" tanya Reno, sambil duduk di pinggiran ranjang.
"Rara?" Iwan mengernyitkan kening.
"Iya. Rara. Anak kedokteran juga. Masa' kamu gak kenal." balas Reno.
"oh.." Iwan menjawab sambil sedikit mengangguk. "kenapa?" tanya nya kemudian.
"kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia.."
"emang kamu kenal?" tanya Iwan, sambil terus berpura-pura mengerjakan tugasnya. Perasaannya mulai merasa tak enak.
"kenal lah. Siapa sih yang gak kenal Rara. Seisi kampus juga kenal sama dia..." balas Reno sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang.
"dia itu cantik. Baik. Ramah dan supel lagi. Pokoknya tipe saya banget.." lanjut Reno sambil meletakkan tangan kirinya di atas keningnya.

Iwan menjadi serba salah. hubungan nya dengan Rara baru berjalan dua bulan. Ia belum sempat cerita apa-apa sama Reno. Karena memang selama ini, Iwan jarang terbuka pada Reno. Terutama masalah hubungan asmaranya. Berbeda dengan Reno yang selalu terbuka padanya tentang apa saja.
Lagi pula hubungannya dengan Rara memang belum tersebar seantero kampus. Mereka masih malu-malu untuk mengakuinya di depan umum. Meski sebenarnya mereka saling mencintai.
Dan Iwan memang tidak suka hubungan asmara nya di umbar-umbar seperti kebanyakan yang orang-orang lakukan.

"kayaknya kali ini aku benar-benar jatuh cinta, Wan. Hampir setiap malam aku selalu memikirkan Rara." Reno terus saja berucap, meski ia tak mendengar reaksi Iwan. "Rara itu berbeda. Sangat jauh berbeda dibandingkan semua cewek-cewek yang pernah aku dekati.."lanjutnya.

"emang kamu sudah ngomong sama dia..?" tanya Iwan sedikit penasaran.
"belum sih. Tapi aku udah dapat nomor whatsapp-nya. Udah mulai chat juga. Pokoknya aku harus bisa mendapatkan Rara. Apa pun caranya. Akan ku kejar cintaku, Wan. Meski aku tahu, begitu banyak yang menginginkannya.." Reno berbicara sambil berdiri dan berlalu keluar dari kamar Iwan.

Iwan terlongo sendiri mendengarnya, ia berharap ia sedang bermimpi. Ia tampar pipinya ringan. Sakit. Tiba-tiba saja suasana hatinya menjadi kacau. Ia baru saja menemukan cinta dalam hidupnya, tapi sepertinya itu tak kan berlangsung lama. Ia baru saja meneguk manisnya cinta, namun semua seperti nya akan sirna.
Iwan masih tak percaya. Tapi hati kecil nya harus mengakui, bahwa itu memang nyata.
Dari sekian banyak cewek di kampus, mengapa mesti Rara sih, Ren. Rintih hati Iwan.

Iwan masih terus berpikir. Sepanjang malam ia tak tertidur. Mencari cara agar bisa menjelaskannya pada Reno. Ia mencintai Rara, dan ia tak ingin Rara-nya diambil orang. Tapi kalau orang itu adalah Reno, ia bisa apa.
Sudah terlalu banyak yang dikorban Reno dan keluarganya untuk Iwan. Mungkin ini saatnya ia harus mengorbankan cintanya untuk Reno.
Tapi hati kecilnya tetap tak rela. Ia harus berbicara dengan Reno. Pikir Iwan akhirnya.

*******************

Pagi itu hari minggu. Setelah dua hari ini Iwan mencoba menyusun kalimat yang tepat, untuk menyampaikan perihal hubungannya dengan Rara kepada Reno.
"eh, tahu gak. Tadi malam aku chatting sama Rara. Dia bilang kalau ia sebenarnya udah kenal sama aku.." ucapan Reno, mengurungkan niat Iwan yang ia pikir sudah bulat. Ia melihat senyum kebahagiaan di wajah Reno. Belum pernah ia melihat Reno sebahagia itu, bahkan dari sekian banyak cewek yang pernah ia ceritakan pada Iwan.
Itu baru chatting doang. Bagaimana kalau ia bisa dekat dan jadian dengan Rara, gak kebayang betapa bahagianya Reno.

Iwan melihat keseriusan Reno kali ini. Benar-benar serius.
"aku bakal lakuin apa aja, Wan. Agar aku bisa mendapatkan cinta Rara." Reno berujar lagi. Masih dengan senyum kebahagiaannya. "eh, nanti kamu bantu aku, ya. Kan kamu satu jurusan sama dia.." lanjut Reno, yang membuat Iwan terkesiap. Iwan berpura-pura melihat handphone-nya.
Tiba-tiba ia merasa gerah. Perutnya terasa mual.
Kenapa harus Rara sih, Ren. Kenapa gak Wati, Dewi , Sintia atau siapa kek. Pokoknya jangan Rara! titik! Iwan mengumpat dalam hatinya.

"karena Rara itu beda, Wan.." Iwan kaget mendengar ucapan Reno. Ia pikir Reno bisa mendengar ungkapan hatinya barusan. "dia tidak seperti cewek pada umumnya, lebih sopan dan gak gampangan.." lanjut Reno, tanpa pedulikan reaksi Iwan.
Emang! jawab Iwan dalam hatinya lagi.

Iwan tertunduk lesu. Gairah hidupnya tiba-tiba hilang. Hatinya patah. hatinya hancur, bahkan lebih dari berkeping-keping. Kisah cinta nya baru saja dimulai, sepertinya akan segera kandas.
Ya, Iwan harus segera mengakhiri hubungannya dengan Rara, sebelum seluruh kampus tahu. Sebelum Reno tahu.
Iwan tak bisa membayangkan betapa kecewa dan terlukanya Reno, jika ia tahu kalau cewek yang di incarnya sudah menjadi pacar orang yang selama ini ia tampung di rumahnya. Orang yang selama ini sudah menjadi sahabatnya, bahkan sudah menjadi saudaranya.
Kalau Reno rela melakukan apa saja untuk membuat Iwan bahagia, tak ada alasan bagi Iwan untuk tidak melakukan hal yang sama. Meski ia harus kehilangan cintanya.

****************
Dan itu lah yang terjadi! Meski Rara sangat marah dan kecewa akan keputusannya. Tapi itu jauh lebih baik, dari pada ia harus melihat orang yang selama ini sangat baik padanya, terluka.
Iwan berjalan gontai menuju kelasnya, tiba-tiba ia merasakan pundaknya di sentuh seseorang. Ia menoleh ke belakang, Reno tersenyum padanya, "bagaimana?" Reno berbicara tanpa pedulikan reaksi keterkejutan Iwan.
"bagaimana apanya..?" balas Iwan mengerutkan kening.
"Rara.." jawab Reno masih dengan tersenyum.
"udah putus...." Iwan kaget dengan jawabannya sendiri, buru-buru ia melanjutkan langkahnya.
"apa nya yang udah putus sih, Wan..?" Reno mengikuti langkah Iwan dengan sedikit keheranan.
"Maksud aku, emang kamu udah putuskan kalau kamu memang serius sama Rara.." jawab Iwan beralasan.
"oh.." Reno membulatkan bibir. "kan udah berkali-kali aku katakan, kalau benar-benar serius sama Rara.." lanjut Reno, "kamu bantu aku ya.."
"iya. nanti aku bantu.." balas Iwan, sedikit lega, untung ia bisa mencari alasan atas keceplosan nya tadi. "aku mau ke kelas dulu ya...." Iwan mempercepat langkahnya.
"oke pak dokter! jangan lupa, salam ya buat Rara.." balas Reno sambil berlalu pergi.

Iwan memasuki kelasnya, ia melihat Rara yang memalingkan muka darinya. Iwan coba mengabaikan hal itu. Ia tahu, ini bakal terjadi. Rara yang biasanya selalu menyambutnya dengan ramah, akan selalu sinis padanya. Rara bahkan menganggap ia gak pernah ada.
Iwan mencoba tegar dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia tidak tahu, entah mana yang lebih menyakitkan saat ini. Melihat sikap Rara yang sini padanya atau melihat senyum Reno setiap kali menyebut nama Rara di depannya.
Ia biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.

*************

Sebulan berlalu semenjak Iwan memutuskan hubungannya dengan Rara. Kini semua terasa berbeda bagi Iwan. Rara tak pernah lagi mau menegurnya. Reno yang selalu memperlihatkan kebahagiaannya, karena merasa sudah mulai dekat dengan Rara.
Hampir setiap malam Reno masuk ke kamarnya, dan selalu bercerita tentang Rara, yang membuat Iwan harus menelan ludah pahit.
Iwan sadar ini akan terjadi, tapi entah mengapa hati kecil nya tak bisa menerima semuanya. Rasanya terlalu sakit. Harusnya ia lega, karena apa yang menjadi tujuannya tercapai. Tapi Iwan tak bisa memungkiri kalau ia masih sangat mencintai Rara.

Hingga pada suatu malam, seperti biasa, Reno masuk ke kamar tanpa permisi. Reno langsung terbaring di ranjang dengan lesuh. Iwan yang sedang membaca buku cukup heran, karena tak biasanya Reno terlihat murung seperti itu. Tapi Iwan berpura-pura tak melihat dan terus memperhatikan buku yang ada di tangannya, meski ia tak berminat untuk membacanya. Ia duduk di kursi belajarnya.

"aku kira selama ini kamu memang pintar, Wan.." suara Reno pelan, "tapi ternyata kamu manusia paling bodoh yang pernah aku kenal..." lanjutnya masih terus berbaring.
Iwan tengadah menatap Reno yang terbaring, "maksud kamu?" tanya nya dengan nada sedikit tinggi.
"hanya lelaki bodoh yang mau melepaskan gadis cantik seperti Rara." jawab Reno sambil ia bangkit dan duduk di sisi ranjang, menatap Iwan yang kembali menatap buku di tangannya.
"aku gak ngerti.." timpal Iwan santai.
"kamu gak usah pura-pura gak ngerti, Rara udah cerita semuanya..."
Iwan cukup kaget mendengar ucapan Reno, tapi ia tetap berpura-pura sibuk dengan bukunya.
"dari sekian banyak laki-laki yang menginginkan Rara, ia memilih kamu untuk menjadi pacarnya. Dan kalian udah pacaran berbulan-bulan, kan?" Reno berujar lagi, kali ini lebih tegas. "dan kamu memilih untuk meninggalkan dia, hanya karena kamu tahu, kalau aku juga mencintai Rara. Begitu kan, Wan?"
Iwan meletakkan bukunya di meja, menarik nafas sejenak. Ia tak berani menatap mata Reno, yang sedari tadi menanti jawabannya. "iya.." jawabnya singkat.

"kenapa?" tanya Reno lagi tanpa melepaskan pandangannya.
"karena untuk pertama kalinya, aku bisa melihat raut kebahagiaan di wajah orang yang selama ini sudah teramat baik padaku..." Iwan akhirnya berbicara cukup keras, ia beranikan menatap ke arah Reno.
"oh.." dengus Reno, "jadi kamu pikir, dengan kamu memutuskan hubungan mu dengan Rara, akan mengubah keadaan? akan membuat aku bahagia? akan membuat Rara jatuh cinta padaku?" lanjutnya, "kebodohanmu sudah keterlaluan, Wan. Kamu sudah menyakiti hati seorang wanita yang begitu lembut..."
"tapi aku juga gak ingin membuat kamu merasa sakit, Ren.."
"kenapa? karena kamu tinggal di rumahku? karena selama ini keluarga ku yang merawat dan membesarkanmu?"
Iwan mengangguk.
"huh.." Reno mendengus lagi, ia berdiri dan menatap Iwan lebih lekat, "sampai kapan sih, Wan. kamu akan menganggap kami ini orang asing. Padahal papa mama sudah memperlakukan kamu bak anak sendiri. Aku bahkan iri melihat perlakuan itu. Tapi kamu masih menganggap kami ini bukan keluarga kamu?" ucap Reno.

"bukan itu maksudku, Ren.." Iwan berujar sambil ikut berdiri, "kamu sudah terlalu baik sama ku, Ren. Aku bahkan tidak pernah melakukan apa-apa untukmu. Aku pikir, dengan melepaskan Rara, kamu bisa merasakan bahagia seperti yang aku harapkan.."
"tapi nyata nya..?"
"ya, aku tahu. Aku salah..." pelan suara Iwan.

"aku memang mencintai Rara, Wan. Bahkan sangat mencintainya. Tapi untuk apa? jika Rara tidak punya perasaan apa-apa padaku." ujar Reno lagi, ia kembali duduk dengan lesu, "aku memang kecewa dan merasa sakit hati, karena Rara dengan terang-terangan menolak ku. Tapi saat aku tahu, alasan Rara menolak ku, hatiku terasa semakin sakit, dua kali jauh lebih sakit." Reno menghempaskan tubuhnya lagi ke ranjang.
Iwan hanya terdiam. Ia kembali duduk di kursi belajarnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"kalau saja cowok Rara itu orang lain, aku tak akan berhenti sampai disini, Wan. Aku akan terus mengejarnya." Reno akhirnya berujar, setelah lama mereka terdiam. "sekarang aku minta, kamu hubungi Rara dan minta maaf padanya. Sebelum Rara jatuh ke pelukan orang lain.." lanjutnya sedikit tenang.
Iwan hanya terlongo. Seperti tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"tapi kamu..?" suaranya parau.
"kamu tahu. ada ratusan wanita di kampus. aku bisa berpacaran dengan salah satu diantaranya." kali ini Reno bangkit lagi, ia berdiri dan memegang pundak Iwan. "Tapi aku tahu, kamu belum pernah jatuh cinta. Jadi jangan pernah kamu menyia-nyiakan gadis itu lagi.." lanjutnya.
Iwan tengadah menatap Reno yang berdiri di depannya, "kamu serius?"
Reno hanya tersenyum. "cepat, ya. Sebelum aku berubah pikiran.." lontar Reno sambil menepuk-nepuk pundak Iwan. Ia pun kemudian keluar dari kamar itu. "ingat! jangan sampai aku berubah pikiran.." lanjutnya setelah ia kelaur dari kamar itu.
Iwan tersenyum, "baik pak Insinyur.." teriaknya. Ia pun tersenyum lega.

Sekian..

Sebuah Cerpen Jadul ; BUKAN CINTA YANG SALAH

"Erik..!" begitu tegas ia menyebut nama nya padaku. Saat kami saling berjabat tangan, berkenalan.
"Wina..." balas ku sedikit pelan, sambil melepaskan tangan ku. Seorang teman mempertemukan dan memperkenalkan kami. Namanya Hesti, cewek manis itu yang berhasil membujuk ku, agar mau berkenalan dengan Erik.

Sebenar nya aku sudah tahu Erik, dari Hesti tentunya. Aku pun sudah pernah beberapa kali melihatnya, cuma memang kami belum saling berkenalan.
Mata sendu cowok itu, sudah beberapa kali berserobok pandang dengan ku. Dan aku selalu tertunduk, tak berani menatap tajamnya pandangan itu. Begitu juga saat ini, aku selalu menunduk menghindari tatapannya.

Jujur saja, sejak pertama kali melihat Erik, aku tahu aku mulai mengaguminya. Cowok tampan ini sudah menggugah hatiku. Tapi rasanya begitu sulit untuk membangun kepercayaan dalam hati ku.
"Nama yang bagus..." ucapan Erik selanjutnya, "cocok sama orangnya yang cantik..." kata-kata Erik berikutnya, yang membuat ku semakin tertunduk dan tersipu, sekaligus merasa tersanjung.

"ya, iyalah. Teman aku gitu loh..." Hesti yang sejak tadi memperhatikan kami angkat bicara.
Perlahan aku pun mengangkat wajah ku dan mencoba menatap cowok yang berdiri di hadapan ku, kulihat Erik tersenyum. Dan harus ku akui senyum itu terlalu indah untuk tidak di nikmati.

"aku boleh kan, menengenal kamu lebih jauh lagi, Wina..?" Tanya Erik kemudian.
Aku hanya terdiam. Aku gak tahu harus menjawab apa. Cowok seperti Erik, yang terkenal tampan dan kaya, mau berteman dengan gadis malang seperti aku? hatiku bimbang.
Erik hanya belum tahu saja, bagaimana kehidupan ku.

"aku ... pulang dulu.." kataku dalam kebimbangan, setelah suasana hening tercipta beberapa saat, "aku masih ada pekerjaan di rumah.." lanjut ku.
"boleh aku antar?" tanya Erik menawarkan jasa.
"tidak usah. Terima kasih.." balasku cepat. "aku pulang sendiri aja, mungkin lebih baik kamu mengantar Hesti saja." kataku lagi. Dan aku pun berlalu pergi dengan cepat, tanpa pedulikan Erik dan Hesti yang kelihatan bengong.
Aku tetap melangkah meninggalkan lapangan bola volly yang sudah kosong, karena orang-orang sudah pada pulang semua.

Seusai main volly sore tadi, Hesti memang sengaja menahanku, untuk tidak pulang duluan. Ternyata ia ingin memperkenalkan ku dengan Erik.
Erik dan Hesti memang sudah kenal sejak lama, mereka tetanggaan. Rumah mereka cukup jauh dari lapangan bola voli tempat biasa kami main. Sementara rumah ku sendiri, tidak begitu jauh dari situ, dengan arah yang berbeda.

Nama desa kami, desa Bangun Baru. Sesuai dengan namanya desa ini memang baru saja di bangun. Penduduknya adalah pindahan dari berbagai daerah. Desa Bangun Baru memang sengaja dibangun, sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kepadatan penduduk. Aku dan sekeluarga abang ku, ikut dalam perpindahan tersebut.

Abangku yang sulung, namanya Abas, sudah punya dua orang anak, cowok dan cewek. Dia dan istrinya hanya bercocok tanam di belakang rumahnya. Hasil kebun itulah yang membiayai hidup kami sekarang. Sebelum pindah ke desa ini, bang Abas hanya bekerja sebagai kuli di pasar.

Aku memang satu-satu nya anak perempuan, diatara kami empat bersaudara. Apa lagi aku anak bungsu. Abang-abang ku memang menyayangi ku.
Sejak kecil aku memang sudah tinggal bersama bang Abas. Karena kedua orang tua ku sudah tiada, semenjak aku lulus sekolah dasar. Sedangkan kedua abangku yang lain, tinggal di desa lain, mereka sudah berkeluarga dan bekerja di sana.

"kamu tamatan apa sih, Win...?" tanya Hesti suatu hari, padaku.
"sejak orang tua ku meninggal, aku hanya bergantung hidup sama bang Abas, ia hanya mampu membiayai sekolah ku sampai aku tamat SMP, setelah itu ia tak sanggup lagi.." jelasku.
"abang kamu yang lain...?"
"mereka sudah punya keluarga sendiri, penghasilan mereka pun pas-pasan. Lagi pula aku gak mau terlalu merepotkan mereka..." ucapku terus terang pada Hesti.

Sudah hampir enam tahun, aku tidak sekolah lagi. Aku hanya membantu isteri bang Abas memasak atau pun mencuci dan beres-beres rumah. Sampai kami ikut perpindahan penduduk ke desa ini, sekitar lima bulan yang lalu.
Di sini aku mulai berkenalan dengan teman-teman baru. Salah satunya adalah Hesti, yang paling dekat dengan ku. Mungkin karena kami punya hobi yang sama. Main voli...

*****************

Hari berikutnya, aku bertemu Erik lagi, setelah kami selesai main voli. Ketika aku hendak pulang, tiba-tiba ia mencegat ku.
"hei, Win. Mau pulang, ya..?!" tanya nya. Aku hanya mengangguk. Erik tersenyum, seperti biasa selalu terlihat manis. Dan aku tahu, aku takkan menyia-nyiakan senyuman itu.
"oh, iya" kataku kemudian. "kamu lihat Hesti gak hari ini?" tanyaku.
Sesaat kulihat Erik mengerutkan kening. Berpikir. Lalu menjawab, "tadi aku lihat Hesti ikut bersama orang tuanya, mungkin ke kebun."

"oh, pantas. Ia gak ikut main voli sore ini..." ujar ku pelan sambil sedikit manggut-manggut.
"mau ku antar pulang...?" tanya Erik, ketika aku hendak melangkahkan kaki pulang.
"gak usah, makasih.."
"Kenapa sih, Win. Kamu gak mau aku antar pulang. Kan biar kita bisa lebih saling kenal lagi.."
"gak apa-apa, kok. Aku lebih suka jalan kaki saja. Lebih santai..." jawabku beralasan.

Erik terdiam, mematung. Aku terus saja melangkah menuju rumah abang ku. Tapi hati ku sendiri sempat merasa bersalah terhadap Erik.


Esoknya Erik datang lagi. Tapi kali ini, ia tidak pakai motor gede nya lagi. Dia malah berjalan kaki, bareng Hesti. Usai main voli Hesti menahan ku dan kulihat Erik menghampiri kami.
Memang sejak aku pindah ke sini, setiap sorenya, aku dan beberapa teman-teman juga beberapa orang ibu rumah tangga yang hobi bermain voli, selalu bermain voli di sini. Dan tentu saja, banyak anak-anak cowok yang melihat kami main. Lapangan ini selalu ramai setiap sorenya.

"Hei, Wina. Hesti...!" sapa Erik, "masih belum pulang, nih.?" tanya nya melanjutkan..
"belum!" aku dan Hesti hampir berbarengan menjawab.
"bagaimana Wina? Boleh aku mengantarmu pulang sekarang?" Tanya Erik selanjutnya. Aku terdiam.

"ayolah, Win. sekali-kali gak apa-apa, kan..?" hasut Hesti pada ku. "hari ini, Erik sengaja gak pake sepeda motor nya, biar bisa mengantarkan mu pulang. Katanya kamu lebih suka jalan kaki. Makanya Erik mau mengantarmu pulang hanya berjalan kaki..." lanjut Hesti menjelaskan, bak seorang bintang iklan yang kebanyakan makan. Sehingga ngomongnya blepotan. hmm..

Dan karena di desak oleh Hesti dan juga Erik, aku akhirnya berjalan beriringan berdua dengan Erik. Setelah Hesti pulang duluan.

Aku pun menjadi tak karuan, dada ku berdebar lebih kencang dari biasanya. Perasaan ku tak menentu. Campur aduk.
Bayangkan, seorang kumbang desa yang tampan, anak seorang juragan kaya dan juga seorang sarjana pemuda, rela berjalan kaki hanya untuk mengantarkan aku pulang.
Sejujurnya ada rasa bangga di hatiku. Tapi juga takut. Takut berharap lebih. Karena aku dan Erik bak langit dan bumi, jelas sangat jauh berbeda.

"Kamu gak takut ada yang marah kita berjalan berdua seperti ini, Win..?" tanya Erik, sambil terus berjalan.
"Marah? siapa yang marah..?" tanya ku heran.
"ya... pacar kamu misalnya...?"
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Erik, "aku gak punya pacar..." timpal ku selanjutnya.

Sesaat Erik terdiam dan menatap ku lama. "masa' sih, cewek secantik kamu gak punya pacar.." ucapnya akhirnya.
"emang gak ada.." balas ku pelan, "lagian cowok mana sih, yang mau pacaran sama cewek seperti ku ini.." lanjutku lebih pelan lagi. Berharap Erik tak mendengarnya.

"lho, emangnya kenapa..?" Erik berkata, sambil mengalihkan pandangannya ke depan.
"aku hanya cewek miskin dan lagi pula yatim piatu.." ujarku sedikit sendu. Sambil sedikit menarik nafas pelan.
"tapi cinta tidak memandang hal seperti, Win.."
"yah... tapi tetap saja, aku harus realistis.."
"udahlah, Win!" suara Erik terdengar sedikit keras dari biasanya, "kamu gak harus ngomong seperti itu.." lanjutnya lebih lembut, "semua manusia itu di ciptakan sama. Tidak ada yang berbeda. Manusia di ciptakan sesuai dengan takdirnya. Miskin dan kaya bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan." Erik melanjutkan lagi, kata-katanya terdengar bijak. "Lagi pula, kamu itu cantik. Baik dan ramah. Pasti banyak cowok yang tertarik pada mu, Win.."

Untuk sesaat aku hanya terdiam, mencoba memahami semua ucapan Erik barusan. Di satu sisi, harus aku akui, apa yang di ucapkan Erik itu sepenuhnya benar. Tapi di sisi lain, aku tak bisa memungkiri, kalau aku memang hanya seorang gadis miskin dan yatim piatu. Di mata  Erik mungkin tidak ada perbedaannya. Tapi di mata orang-orang, realistis itu selalu ada.
Selalu ada perbedaan yang mendasar antara si miskin dan si kaya. Begitulah kenyataannya. Kenyataan yang tak bisa di pungkiri. Kenyataan yang kadang membuat ku sering menangis.

Aku memberanikan diri menatap ke arah Erik, yang berjalan cukup santai mengiringi langkah ku.
"tapi kenyataannya sampai saat ini aku memang belum punya pacar.." ucapku, seakan ingin menyakin Erik dengan status ku itu.
"ya, aku percaya kok. Hesti juga bilang begitu.." balas Erik, sambil tersenyum simpul.

Beberapa puluh meter lagi kami akan sampai ke depan rumah abangku, aku menahan langkah, Erik pun ikut berhenti.
Aku memberanikan diri untuk bertanya, "bagaimana dengan kamu. Apa gak ada yang cemburu kalau kamu dekat denganku..?"
Erik tersenyum lagi, kali ini lebih manis. "aku juga masih jomblo, kok. Jadi gak bakal ada yang akan cemburu.." ucapnya sambil menatap ke mata ku. Yang membuat aku tertunduk.
"tapi dulu ada, kan..?"
"ya. dulu aku memang pernah pacaran. Waktu aku masih kuliah. Tapi sekarang gadis itu sudah menikah dengan cowok lain." jawab Erik. "itu sudah cukup lama, tiga tahun lalu.." lanjutnya.
Aku melanjutkan langkah, Erik mengikuti. Dan akhirnya kami pun sampai di rumah abangku. Setelah aku mengucapkan terima kasih, Erik pun pamit. Senja pun datang, menjadi saksi kejadian sore itu.

************
Malam ini, bayangan Erik melintas lagi. Senyum manisnya menghiasi fantasi ku. Cowok tampan itu benar-benar telah membuat aku terlena. Bahkan mungkin sejak pertama kali aku melihatnya. Dan aku juga tahu, Erik diam-diam sering memperhatikanku, apa lagi saat aku lagi main voli.
Aku termangu ditepain tempat tidur ku, hatiku gelisah.

"dia itu cowok yang baik.." kata-kata Hesti terngiang kembali mempromosikan Erik padaku, beberapa hari yang lalu. "kayaknya, ia suka deh sama kamu.." lanjut Hesti.
"dari mana kamu tahu, kalau dia suka sama aku? kita kan baru saja saling kenal.."
"dia sering nanya-nanya tentang kamu.." jawab Hesti meyakinkan.
"dan kamu cerita apa aja, sama dia..?"
"ya, apa aja. Semua hal tentang kamu lah pokoknya.." jawab Hesti lagi sambil sedikit tersenyum.
"sialan kamu.." ucapku agak keras, dan menghadiahi cubitan kecil di lengan Hesti.
Hesti menjerit kecil dan menghindar beberapa langkah dariku. Lalu dengan suara sedikit di keraskan Hesti berujar, "tapi benar, kok! kalian itu pasangan yang serasi!"

Uuuhh, aku mendesah lagi. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Mencoba untuk menghapus bayangan itu. Tapi rasanya, aku sudah lelah, bayangan Erik sudah teramat lekat di anganku.

Aku memang menyukai Erik! ku akui hal itu. Tapi apakah aku ini pantas untuk mencintai dan di cintai oleh seseorang yang sempurna seperti Erik?
Erik terlalu sempurna untuk ku.
Tapi aku tidak bisa menghindar dari semua rasa kagum ku padanya.
Aku hanya berharap, semoga saja aku tidak bertepuk sebelah tangan, yang akan membuat aku kecewa pada akhirnya.

***************
Sudah dua bulan berlalu, sejak perkenalan ku dengan Erik. Dua bulan yang indah dalam perjalanan hidup ku.
Hari-hari ku lalui begitu penuh dengan semangat. Hampir setiap hari Erik selalu rutin mengantarkan aku pulang, sehabis main voli. Jalan kaki tentunya.
Kami menikmati kebersamaan kami, meski Erik sendiri belum benar-benar menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tahu, Erik juga suka padaku.
Semua itu terlihat dari cara dia memperlakukan ku. Aku bahagia bisa menjadi dekat dengan Erik.
Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamanya.

Namun itu semua ternyata tak berlangsung lama.

Suatu pagi, seperti biasa bang Abas dan isterinya pergi ke kebun, kedua ponakan ku sudah berangkat sekolah. Aku sedang membersihkan rumah.
"Assalamualaikum..." tiba-tiba ku dengar suara seseorang mengucapkan salam dari luar. Dari dapur aku bergegas ke pintu depan. Ketika pintu ku buka, seraut wajah tampan tersenyum pada ku.
Aku menjawab salam Erik dan segera ku palingkan wajah ku, menatap jalanan depan rumah, tanpa membalas senyuman Erik.

Tiba-tiba dadaku berdegup sangat kencang. Perasaan ku menjadi tak karuan. Sudah seminggu aku tak bertemu Erik. Sudah seminggu aku tak pernah lagi datang ke lapangan voli. Sudah seminggu aku hanya berdiam diri di rumah.
"boleh aku masuk..?" suara Erik mengagetkan ku.
Sesaat aku hanya terdiam. Berpikir.
Tapi aku tak mungkin menyuruh Erik pergi saat ini juga, untuk itu aku mempersilahkannya masuk. Meski dengan perasaan tidak enak.

"ada apa?" tanyaku akhirnya, setelah mempersilahkan Erik duduk di kursi reot ruang tamu kecil kami. Dan setelah aku ke dapur sebentar menenangkan diri, serta membawa kan segelas air minum putih untuk Erik. Aku duduk di hadapannya.

Erik meneguk air putih itu, lalu meletakkan gelas diatas meja. Kemudian ia menatap ku cukup lama.
"kata Hesti kamu sakit..." ucapnya. "sudah seminggu kamu gak lagi datang ke lapangan voli.." lanjutnya.
Hesti memang sempat datang beberapa hari yang lalu ke rumah, mengajak ku main voli seperti biasa. Tapi aku beralasan kalau aku sedang sakit.

"iya.." jawab ku singkat, "tapi sekarang udah baikan, kok.." lanjut ku, tak ingin membuat Erik merasa kuatir. Apa lagi sampai ia menawarkan ku untuk berobat.
"oh.." Erik membulatkan bibirnya, sambil manggut-manggut.
"aku mau ngomong, boleh..?" tanya Erik melanjutkan.

"iya, ada apa..?" tanyaku dengan nada datar.
"aku... aku sebenarnya suka sama kamu, Win. Bahkan sejak pertama aku melihat kamu di lapangan voli.." Erik berkata sambil menggenggam kedua tangannya. Aku mendongak menatapnya. "selama kita bersama, aku begitu merasa bahagia. Bunga-bunga cinta telah tumbuh di hatiku. Aku tak bisa memungkiri kalau aku sayang sama kamu, Win.." Erik melanjutkan, sambil terus menatapku.
Aku menundukkan kepala, tak berani lagi menatap mata tajam itu.
"aku cinta sama kamu, Win! Mau kah kamu untuk menjalin hubungan yang lebih serius denganku..?"
pertanyaan Erik membuatku menjadi sedikit gelisah. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja aku merasa belum siap mendengarnya. Apa lagi saat ini.

Lama aku terdiam. Mencoba mencari kalimat yang tepat, agar tidak membuat Erik terluka. Tapi..
"maaf, Rik... aku gak bisa.." suara ku terdengar lemah. Aku mencoba menatap kembali wajah itu. Aku melihat raut kecewa disana.
"kenapa?" tanya Erik akhirnya, karena aku tidak melanjutkan kalimat ku.
"karena kita berbeda, Rik.." jawab ku.
"berbeda maksudnya?" Erik mengerutkan kening.
"ya, kita berbeda.. bahkan dalam segala hal.."
"maksud kamu, karena kamu miskin dan yatim piatu..?"
"ya, itu salah satunya. Harusnya kamu lebih memahami nya.." potongku.
"aku mencintai kamu apa ada nya, Win. Terlepas dari semua perbedaan yang ada.."
"tapi kita harus realistis, Rik. Aku harus realistis. Aku harus sadar, kamu itu siapa dan aku ini siapa.."
"persetan dengan semua perbedaan itu, Win. Aku tak peduli!" suara Erik sedikit meninggi. "yang terpenting aku mencintai kamu, dan itu sudah jauh lebih dari cukup.."
"kamu mungkin bisa tak peduli. Tapi bagaimana dengan keluarga mu?"
"maksud kamu?" sekali lagi, Erik mengerutkan kening. Suaranya sudah mulai datar.
"ah, sudah lah, Rik.." ujarku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan, "aku jelaskan pun percuma, kamu gak bakal ngerti. Intinya aku gak bisa, Rik..." lanjutku dengan nada bergetar.

Aku melihat lagi raut kecewa itu. Aku sungguh tak tega melihatnya. Tapi aku benar-benar tidak bisa menerima cinta Erik, apa lagi untuk menjalin hubungan yang serius dengannya, meski aku begitu menginginkannya. Aku tak bisa, bukan karena aku tak mencintainya. Tapi...

Seminggu yang lalu, kedua orang tua Erik datang ke rumah. Mereka dengan memohon, meminta aku agar menjauhi Erik.
"Erik anak kami semata wayang. Kami ingin mendapatkan jodoh terbaik untuknya.." ucap Ayah Erik mengakhiri kalimatnya, setelah ratusan kalimat pahit lainnya mereka lontarkan. Mereka menyampaikan itu secara terbuka di depan abang dan kakak iparku.
Entah siapa yang mengabarkan tentang kedekatan kami, aku juga tak peduli. Tapi yang pasti aku masih punya harga diri. Untuk itu, aku setuju untuk memenuhi permintaan mereka.

"kamu harusnya bisa mengukur bayangmu sendiri, Win. Kamu harusnya menyadari kita ini siapa, mereka itu siapa. Kamu tak harus bergaul dengan orang-orang yang tak sederajat dengan kita. Abang tak ingin harga diri keluarga kita di injak-injak, hanya karena kamu bergaul dengan orang yang salah.." begitu ucapan bang Abas pada ku, setelah kedua orang tua Erik pulang.
Ucapan yang membuat aku menangis semalaman, ucapan yang membuat aku tidak pernah datang lagi ke lapangan voli selama seminggu ini. Ucapan yang membuat ku berbohong kepada Hesti, dengan mengatakan kalau aku sakit.

Ucapan yang membuat ku dengan sangat terpaksa harus menolak kehadiran Erik dalam hidupku, yang membuatku harus melukai orang yang aku sayang.

"mungkin kamu belum siap dengan semua ini, Win.." ucapan Erik menyadarkan lamunan ku. Aku tersentak. Cukup lama kami saling terdiam. "aku akan beri kamu waktu..."
"percuma, Rik!" kataku spontan, "sekarang atau sampai kapan pun, jawabanku tetap sama..."

Erik menarik nafas panjang. Kedua tangannya mengepal. Wajah nya menegang. Aku melihat gurat luka di matanya, "selama ini aku terlanjur berharap banyak pada mu, Win. Tapi ternyata.." Erik menghentikan kalimatnya, suara nya terdengar sedikit parau.
Aku tahu betapa kecewanya Erik padaku. Aku tahu Erik begitu terluka.
"maafkan aku, Rik.." bisik ku hampir tak terdengar siapa-siapa.

Erik sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Tangannya masih mengepal. Ia kemudian bangkit dan berdiri, lalu pergi tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

Aku termangu menatap kepergiannya, langkahnya gontai. Ingin rasa nya aku berlari mengejar dan memeluknya dari belakang, serta membisikan kalau aku juga mencintainya.
Tapi aku hanya terpaku. Tanpa sadar air mata ku jatuh menetes. Aku menangis lagi untuk yang kesekian kalinya.
Aku tahu Erik begitu terluka. Tapi seandainya ia tahu, kalau aku jauh lebih terluka, bila mengingat semua kalimat pahit yang di lontarkan orang tuanya kepada keluarga kami.

Bukan salahku, yang terlanjur jatuh cinta pada Erik, dan bukan salah Erik yang terlahir dari orang tua yang otoriter. Bukan salah siapa-siapa.
Mungkin memang sudah takdir perjalanan cinta kami yang harus kandas, bahkan jauh sebelum kami memulainya.
Ah, cinta. Dia yang begitu termasyhur begini menyakitkan kah?

Sekian,
Mentulik, 26 September 2005

Cari Blog Ini

Layanan

Translate