Namaku Andra, dan sering di panggil om Andra.
Orang-orang memanggilku om, karena memang usiaku sudah memasuki kepala empat.
Dan terus terang aku suka dipanggil om. Ada kesan eksotic pada kata tersebut, menurutku.
Aku sudah menikah, sudah punya dua orang anak.
Aku menikah bukan karena aku suka atau pun tertarik pada perempuan.
Aku menikah karena aku merasa begitulah kodrat ku. Sebagai seorang laki-laki aku memang harus menikah, tak peduli aku menginginkannya atau tidak.
Tak peduli aku bahagia akan pernikahan tersebut atau tidak.
Aku menikah, ya karena aku memang harus menikah. Karena aku sudah semakin tua dan juga sudah memiliki kehidupan ekonomi yang cukup mapan.
Aku menikah pada saat aku berusia 30 tahun, tepatnya sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Aku sengaja menikahi gadis desa, selain karena memang lugu, gadis desa juga tidak terlalu ingin ikut campur urusanku di luar rumah.
Tugasnya hanyalah melayaniku, dan membesarkan anak-anak.
Kehidupanku memang secara ekonomi sudah sangat mapan sejak lama.
Aku memulai bisnis ku dari nol. Aku memulainya dari jadi seorang sales, bahkan aku juga pernah menjadi seorang buruh bangunan.
Sebenarnya aku berasal dari desa, namun pada saat aku lulus SMA, karena orangtua ku yang tidak mampu membiayai aku untuk kuliah, aku pun memutuskan untuk merantau ke kota.
Orangtua ku memang hanya petani biasa di kampung, dan aku merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Karena itu juga, orangtua ku tidak mampu membiayai kuliahku.
Saat pertama kali aku datang ke kota, aku mulai bekerja di sebuah toko elektronik, menjadi sales.
Dari sana aku mulai belajar membangun bisnis ku sendiri. Namun perjuanganku tidak mudah. Aku harus melewati begitu banyak batu sandungan. Aku sering jatuh bangun dalam perjuanganku.
Bahkan aku pernah merasakan tidak makan selama satu hari, karena tidak punya uang sepeser pun.
Aku juga pernah jadi buruh angkut dan buruh bangunan hanya untuk bertahan hidup.
Namun karena perjuanganku yang tak kenal lelah dan tak pernah putus asa, setelah beberapa tahun, akhirnya aku bisa membangun bisnisku sendiri.
Dan setelah kehidupanku mulai membaik, aku pun semakin punya semangat untuk terus berkembang.
Hingga akhirnya, aku pun sukses dan meraih semua impianku.
Aku sudah bisa membeli rumah mewah, mobil mewah dan barang-barang mewah lainnya.
Intinya, hidupku sudah benar-benar mapan, dan karena itu juga aku akhirnya memutuskan untuk menikah.
Aku selalu mengirimkan uang ke kampung, untuk membantu ayah dan ibu ku dan juga membantu biaya sekolah adik-adikku.
Dan gadis yang aku nikahi tersebut, juga berasal dari kampung ku.
Setelah menikah kehidupanku semakin membaik dan terus berkembang.
Sungguh sebuah kehidupan yang di dambakan banyak orang.
Namun di balik segala kesuksesan ku tersebut, tersimpan sebuah rahasia dalam hidupku. Sebuah rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.
Seperti yang aku katakan dari awal, aku menikah bukan karena aku suka atau pun tertarik pada perempuan, tapi aku menikah karena memang begitulah kodratku.
Dan alasan ku tidak tertarik pada perempuan adalah karena aku seorang gay, seorang penyuka sesama jenis.
Aku telah menyadari hal tersebut, sejak aku masih remaja. Pada saat SMP aku pernah jatuh cinta pada seorang cowok teman sekelas ku, tapi tentu saja itu hanya cinta yang terpendam.
Ketika SMA, aku juga pernah jatuh cinta pada adik kelas ku. Tapi sekali lagi itu hanya cinta yang terpendam.
Aku tak pernah mengungkapkannya dan tak ingin mengungkapkannya, karena aku tahu itu sebuah kesalahan.
Setelah lulus SMA dan hijrah ke kota, aku mulai berani menunjukkan perasaanku. Berawal dari perkenalanku dengan salah seorang rekan kerja ku sesam sales.
Merasa sama-sama tertarik, kami pun berpacaran. Tapi hubungan itu tidak bertahan lama, karena pada akhirnya kami pun menemukan titik kejenuhan.
Sejak saat itu, aku tak berniat lagi untuk menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki, karena aku cukup sadar bahwa hubungan sesama jenis tidak akan pernah bertahan lama dan akan selalu menemukan jalan buntu.
Aku hanya melakukan hubungan dengan laki-laki yang aku temui atas suka sama suka, hanya cinta satu malam, tanpa ada ikatan apa pun.
Sejak aku mulai sukses, aku bahkan hanya menyewa laki-laki bayaran untuk sekedar melepaskan hasrat ku yang menyimpang tersebut.
Hingga akhirnya aku pun menikah. Dan meski pun aku sudah menikah, aku tetap terus mempertahankan perilaku menyimpang ku tersebut, namun sekali lagi, aku tidak pernah mau terikat dengan laki-laki mana pun.
Kalau akku tertarik dan orang tersebut juga tertarik, maka ayo lakukan, tapi tidak untuk di pakai lama.
Atau aku lebih rela menghabiskan uang ku hanya untuk menyewa laki-laki yang aku suka, hanya untuk satu malam.
****
Begitulah kehidupanku berjalan selama bertahun-tahun, hingga aku sudah mempunyai dua orang anak dari istri ku.
Sampai akhirnya aku bertemu Alexander. Alex, begitu aku menyebutnya.
Seorang pria muda berwajah tampan dengan tubuh yang atletis.
Dan beginilah kisah indahku bersama Alex.
Aku bertemu Alex, antara sengaja dan tak sengaja.
Sengaja karena aku menemukannya saat interview kerja.
Ya, karena usia ku yang mulai menua, aku berniat untuk memiliki seorang sopir pribadi. Selama ini aku selalu menyetir mobilku sendiri. Tapi sekarang, selain karena mulai merasa capek, penglihatanku juga mulai tak jelas.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk membuka lowongan kerja menjadi sopir pribadi ku.
Dan tak sengajanya, aku tak menyangka bahwa dari puluhan pelamar, ada sosok Alex yang sempurna di sana.
Ada puluhan pelamar sebenarnya, dari yang tua, yang muda, yang berpengalaman dan juga yang amatiran. Tapi dari semuanya hanya Alex yang mampu membuatku terkesan.
Sejak pertama bertemu Alex, aku langsung jatuh hati padanya, sebuah rasa yang sudah sangat lama tidak aku rasakan. Dan karena itulah aku memilih Alex.
Sebenarnya bukan hanya karena Alex menarik secara fisik, tapi juga karena Alex sudah punya pengalaman. Dari cerita Alex aku tahu, dulunya ia adalah seorang sopir angkot. Namun karena kemajuan teknologi saat ini, perlahan pekerjaan seorang sopir angkot tidak lagi menjanjikan.
Orang-orang saat ini lebih suka memesan ojek online atau pun taksi online, sehingga keberadaan angkot sudah mulai punah.
Setidaknya begitulah yang aku ketahui dari Alex.
"terima kasih ya pak Andra, sudah menerimaku bekerja. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini.." begitu ucap Alex, saat pertama kali ia mulai bekerja denganku.
Aku hanya mengangguk ringan sambil berkata, "mulai sekarang, kamu jangan panggil aku bapak, panggil om Andra aja.." ucapku diplomatis.
Seperti yang aku katakan dari awal, aku lebih suka di panggil om. Dan tentu saja salah satu tujuanku meminta Alex memanggilku om, agar kami lebih cepat akrab dan juga agar Alex tidak terlalu menjaga jarak dariku.
Dari awal aku memang berniat untuk mendekati Alex secara perlahan, aku berniat untuk lebih mengenalnya secara personal, bukan sekedar antara atasan dan bawahan.
Alex tidak mempertanyakan kenapa aku memintanya memanggilku om, mungkin ia tidak berani.
Tapi yang pasti ia meski dengan sedikit kaku, mulai memanggil om.
Oh, ya. Sebelumnya aku juga ingin memberitahu, bahwa selain memiliki rumah mewah di sebuah kawasan elit di pinggir kota, aku juga punya sebuah apartemen mewah di tengah kota.
Apartemen tersebut, berada tidak begitu jauh dari gedung kantor perusahaanku.
Istri dan anak-anakku tinggal di rumah mewah kami, sementara aku kadang sering menginap di apartemenku sendirian.
Aku beralasan kepada istriku, bahwa dengan menginap di apartemen, aku jadi lebih dekat ke kantorku.
Istriku juga tidak bisa membantah hal tersebut. Seperti yang pernah aku katakan, istriku tidak pernah ikut campur urusan pekerjaan dan juga semua urusan ku di luar rumah.
Meski pun aku hanya pulang ke rumah satu atau dua kali dalam seminggu. Istriku tidak pernah protes.
Di apartemen inilah, aku menjadi diriku sendiri. Aku sering mengajak laki-laki sewaan untuk menemani aku tidur di apartemenku.
Di apartemen ini, aku bebas melakukan apa pun yang aku suka.
Dan saat aku pulang ke rumah, aku akan kembali menjadi seorang suami dan juga seorang ayah.
Sejak Alex mulai bekerja denganku, aku sengaja mengajaknya tinggal bersamaku di apartemen, karena hal itu termasuk dalam perjanjian kerja kami.
Aku menyediakan sebuah kamar untuk Alex di apartemenku.
Dan saat aku pulang ke rumah, aku juga mengajak Alex dan juga menyediakan sebuah kamar di rumahku untuk Alex.
Sebagai orang yang memiliki kehidupan yang mapan, aku juga punya beberapa orang pembantu di rumah. Mulai dari asisten rumah tangga, pengasuh anak, penjaga kebun dan juga beberapa orang pembantu lainnya.
Aku memperkenalkan Alex sebagai sopir pribadi ku, kepada seluruh penghuni rumah, termasuk istriku.
Meski aku dan Alex lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen ku.
****
Aku yang memang dari awal sudah menyukai sosok Alex, mulai mencari cara agar aku bisa menarik perhatiannya.
Aku ingin Alex jatuh dalam pelukanku, tapi aku tidak mau buru-buru. Aku harus melakukannya perlahan-lahan. Aku ingin Alex terkesan padaku.
Karena itu, aku juga memperlakukan Alex dengan sangat baik. Aku bahkan sering membelikannya barang-barang mewah, mulai dari pakaian, jam tangan, handphone dan juga barang-barang mewah lainnya.
"anggap aja ini bonus.." ucapku saat Alex berusaha menolak pemberianku tersebut.
Selain itu, aku juga memberi gaji untuk Alex jauh lebih besar dari perjanjian awal kami. Pokoknya aku ingin Alex benar-benar terkesan, sehingga saat aku mengungkapkan perasaanku padanya, ia tidak akan berani menolak.
Dan ddari Alex aku tahu, kalau ia ternyata seorang anak yatim piatu. Kedua orangtuanya sudah meninggal sejak Alex masih kecil.
"selama ini saya tinggal bersama paman saya, paman Alim.." begitu cerita Alex, suatu malam.
"kebetulan paman Alim juga tidak punya anak. Jadi beliau lah yang membesarkan saya bersama istrinya." lanjutnya.
"meski kehidupan paman Alim sangat sederhana, beliau tetap mampu menyekolahkan saya hingga lulus SMA. Paman Alim adalah seorang sopir angkot, dan dulu saya sering ikut beliau. Tapi setelah saya tamat SMA, paman Alim sudah mulai sakit-sakitan, jadi saya yang kemudian menggantinya menjadi sopir angkot.." cerita Alex lagi.
"semakin lama penyakit paman Alim semakin parah. Dokter mengatakan kalau beliau mengalami gagal ginjal, dan harus melakukan cuci darah setidaknya dua kali seminggu. Sementara pendapatanku sebagai seorang sopir angkot, semakin lama semakin menurun."
"saya sudah tidak sanggup lagi mencari biaya untuk cuci darah paman Alim. Sementara istri paman Alim juga tidak bekerja, beliau juga sebenarnya sakit, meski tak separah paman Alim."
"intinya saat ini saya butuh uang yang banyak untuk biaya berobat paman Alim dan istrinya, orang yang telah berjasa selama ini padaku." Alex kemudian menarik napas berat.
"selama ini kami hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, dan itu pun kami masih sering menunggak." lanjut Alex.
Aku merasa terenyuh mendengar cerita Alex barusan. Aku jadi ingat perjuanganku dulu, meski tidak seberat Alex.
Aku merasa perihatin, karena itu keeskokan harinya, aku mengajak Alex untuk mengunjungi pamannya.
Aku juga membantu biaya perawatan paman Alex, dan juga memberinya sejumlah uang untuk biaya hidup dan berobat mereka.
Dan bahkan sesuai dengan saran dokter, paman Alim juga akhirnya di operasi, dan aku yang menanggung semua biayanya.
Hal itu aku lakukan bukan lagi sekedar untuk membuat Alex terkesan, tapi juga karena aku benar-benar merasa kasihan melihat keadaan keluarga tersebut.
Alex, pamannya dan sang istri tentu saja sangat berterima kasih padaku.
Selesai di operasi, keadaan paman Alim sudah semakin membaik dan istrinya juga mulai sehat kembali.
Alex pun merasa tidak terlalu berat lagi meninggalkan mereka berdua di kontrakan mereka dan Alex pun tinggal bersama ku di apartemenku.
Selain itu, aku juga memberi sedikit modal untuk paman Alim, untuk membuka usaha kecil-kecilan, sehingga mereka tidak lagi akan kesulitan uang.
"terima kasih banyak om Andra. Om sudah sangat banyak membantu aku dan keluarga paman Alim. Saya tidak tahu, bagaimana cara membalas semua itu." ucap Alex, saat kami kembali berada di apartemen.
"kamu tak perlu melakukan apa pun, Lex. Saya ikhlas, kok." balasku.
*****
Sejak saat itu aku dan Alex pun menjadi dekat dan akrab. Sesuai harapanku, hubunganku dengan Alex bukan hanya sebuah hubungan antara bawahan dan majikannya.
Kami sudah seperti teman dan aku merasa bahagia dengan semua itu.
Karena merasa sudah cukup akrab dan juga sudah melakukan banyak hal untuk hidup Alex, setahun kemudian aku pun berniat untuk mengungkapkan isi hatiku kepada Alex.
Yah, aku rasa pengorbananku selama ini sudah lebih dari cukup untuk membuat Alex terkesan.
"om ingin ngomong sesuatu sama kamu, Lex. Dan ini penting.." ucapku memulai pembicaraan. Malam itu aku sengaja masuk ke kamar Alex di apartemenku.
Aku sebenarnya sudah sering masuk ke kamar Alex, tapi selama ini pembicaraan hanyalah hal yang umum atau pun masalah pekerjaan.
"om Andra mau ngomong apa?" tanya Alex terdengar lugu.
"sebenarnya om suka sama kamu, Lex. Om sudah jatuh hati sama Alex, bahkan sejak pertama kali kita bertemu.." balasku dengan suara sedikit bergetar.
"maksudnya, Om?" tanya Alex lagi, masih dengan nada lugu.
"saya suka sama kamu, Lex. Dan saya ingin kita menjalin hubungan asmara.." jelasku semakin berani.
"tapi saya kan cowok, om. Dan lagi pula om Andra kan juga sudah punya istri dan anak.." balas Alex, keluguannya masih terlihat.
Alex memang masih berusia 20 tahun. Aku yakin perjalanan hidupnya yang sulit, membuat ia jadi tidak punya waktu untuk sekedar berpacaran. Tapi aku cukup yakin, Alex bisa mengerti maksudku.
"justru karena kamu seorang cowok, om jadi suka. Om sudah lama tidak merasakan perasaan tersebut, sejak om menikah.." ujarku sedikit berbohong.
"maksudnya om ini homo atau penyuka sesama jenis?" tanya Alex akhirnya mulai mengerti.
Aku hanya mengangguk ringan, merasa tidak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi.
"tapi mengapa om Andra justru menikah? Karena setahu saya kalau laki-laki homo itu tidak suka perempuan.." balas Alex sedikit bertanya.
"om menikah, karena om juga pengen punya keturunan. Dan terlepas dari itu semua, dengan menikah om bisa menyembunyikan siapa om sebenarnya." jelasku ringan.
Alex terdiam kemudian, ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, Alex sedang mempertimbangkan keinginanku padanya.
"jadi gimana, Lex. Kamu mau gak jadi kekasih om. Kamu tenang aja, semua kebutuhan kamu akan om tanggung.Dan kehidupan kamu pasti akan lebih baik.." ucapku akhirnya, setelah membiarkan Alex berpikir cukup lama.
Alex menatapku, menyunggingkan senyum tipis, lalu kemudian berujar.
"saya gak tahu mesti jawab apa, om. Selama ini om Andra sudah sangat baik padaku. Aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikan om. Tapi aku juga tidak bisa membayangkan akan menjadi kekasih simpanan om.. " suara Alex bergetar.
"kalau kamu memang belum siap, kamu gak usah jawab sekarang, Lex. Om akan beri waktu kamu untuk berpikir. Om tahu, ini sangat berat buat kamu. Tapi om sangat berharap, kalau kamu mau menjadi kekasih om. Karena om sangat mencintai kamu, Lex." ucapku kemudian.
Setelah berkata demikian, aku pun segara beranjak dari kamar Alex, membiarkan Alex berpikir sendiri.
****
Part 2
Cukup lama aku menatap Alex tanpa kedip. Wajah Alex memperlihatkan keseriusan.
Sejak kejadian malam itu, di mana aku dengan cukup berani mengungkapkan perasaanku pada Alex, hubungan kami memang menjadi sedikit renggang. Kami tak lagi banyak bicara.
Alex juga sepertinya mulai menjaga jarak dariku.
Namun beberapa hari kemudian, Alex tiba-tiba masuk ke kamarku.
"saya ingin bicara om.." begitu ucap Alex memulai pembicaraan.
"oh, ya. Masuk aja.." balasku, sambil mempersilahkan Alex untuk masuk dan duduk di tepian ranjang tidurku.
Selama ini Alex memang belum pernah masuk ke kamarku. Tapi kali ini aku membiarkannya.
"kamu mau ngomong apa?" tanyaku sedikit diplomatis.
"saya mau membicarakan soal yang kemarin om. Tentang tawaran om untuk menjadikan saya kekasih om.." jawab Alex, dengan suara sedikit bergetar.
"oh.." desahku dengan sedikit membulatkan bibir. "jadi gimana? kamu sudah membuat keputusan?" tanyaku ringan.
Aku memang sangat berharap Alex bisa menerimaku, karena aku memang mencintainya. Aku bahkan sudah berkorban banyak untuknya.
"tapi sebelumnya saya ingin memastikan dulu, om." balas Alex.
"kamu ingin memastikan apa lagi?" tanyaku mulai tak sabar.
"kalau... kalau seandainya saya tidak bersedia, apa om akan memecat saya?" suara Alex terbata.
Aku sedikit kecewa mendengar pertanyaan Alex barusan. Itu sama saja berarti bahwa Alex masih belum bisa menerimaku.
Aku tahu Alex cowok normal, dan tentu saja ia merasa berat untuk menjadi kekasihku. Tapi mengingat semua yang telah aku lakukan untuknya, masa' iya tak terketuk sedikit pun di hati Alex untuk mencobanya? Setidaknya untuk membalas semua kebaikanku padanya selama ini.
Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Karena jika aku memecat Alex, hanya karena ia menolakku, itu sangat tidak manusiawi, dan terlebih itu tidak ada dalam kontrak kerja kami.
Namun jika aku tetap mempekerjakan Alex, sementara ia sudah tahu perasaanku padanya, rasanya aku akan merasa sulit berada di posisi tersebut.
Aku tahu, aku bisa saja memecat Alex, sebagai sopir pribadi ku, dengan alasan yang berbeda. Tapi si satu sisi hatiku yang lain, aku benar-benar takur kehilangan Alex.
Meski aku tidak bisa memilikinya sebagai kekasih, tapi setidaknya aku masih bisa setiap hari berada di dekatnya dan menatap wajah tampan brondong manis itu dari jarak dekat.
"om tidak akan memecat kamu Lex, hanya karena alasan itu. Tapi .... om tidak bisa menjamin, akan berapa lama lagi om mempertahankan kamu untuk terus menjadi sopir pribadi om. Karena om tidak bisa hanya sekedar menatap kamu, Lex. Om juga ingin bisa memiliki kamu." ucapku akhirnya setelah berpikir cukup lama.
"Alex bingung, om. Di satu sisi, om sudah sangat baik padaku, dan juga telah berkorban banyak untukku. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa memaksa hatiku untuk bisa mencintai om. Karena aku memang tidak pernah tertarik pada laki-laki, aku hanya tertarik pada perempuan."
"dan jika aku memaksakan diri untuk menjadi kekasih om, rasanya itu sangat berat om. Dan om juga akan kecewa nantinya, karena aku tidak akan bisa memberikan apa-apa untuk om.." ucap Alex panjang lebar, yang membuatku jadi terdiam.
****
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang dengan perasaan berat. Penolakan Alex barusan, benar-benar membuat aku patah hati.
Aku merasa pengorbananku selama ini sia-sia. Ternyata perasaan memang tidak bisa di beli dengan apa pun.
Meski aku bisa saja memaksa Alex, tapi jika melihat ketegasan Alex akan perasaannya, itu jelas akan sangat sulit.
Karena meski pun aku sudah berkorban begitu banyak untuknya, Alex tetap tak bergeming.
Jika pun aku menawarkan sesuatu yang lebih besar kepada Alex, uang yang banyak misalnya, sepertinya Alex juga gak bakal tertarik.
Yang aku takutkan adalah, jika aku tetap memaksa, maka bisa saja Alex menyebarkan siapa aku sebenarnya kepada orang-orang. Dan aku tidak mau hidupku hancur, hanya karena terlalu mengikuti perasaanku.
Mungkin lebih baik aku biarkan saja semua ini terjadi. Mencintai Alex dalam diam, mengagumi dalam hening. Dan membiarkan semua rasa itu terus terpendam selamanya.
Oh, Alex.. mengapa aku harus jatuh cinta padamu, sementara aku tahu kalau kamu adalah laki-laki normal. Tapi aku juga bisa mengatur hatiku untuk jatuh cinta kepada siapa pun. Perasaan itu tumbuh begitu saja, dan aku tidak mampu mencegahnya. Rintih hatiku pilu.
****
Hari-hari selanjutnya, aku jadi kehilangan gairah. Aku kehilangan semangat.
Meski Alex masih tetap bekerja bersamaku dan masih tinggal di apartemen bersamaku, tapi tetap saja aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa memilikinya.
Hubungan kami kembali seperti hubungan antara atasan dan bawahan. Tidak ada lagi gurau canda, tidak ada lagi cerita atau curhatan dari Alex.
Alex juga lebih diam, ia seperti sengaja menjaga jarak dariku. Tapi aku tidak bisa membenci atau pun menyalahkannya, karena ini memang bukan salah Alex.
Ini murni salahku, karena sudah terlanjur jatuh cinta pada Alex.
Suatu saat, Alex meminta izin padaku untuk mengunjungi pamannya, saat ia sudah mengantarku ke kantor. Alex memang sudah cukup lama tidak mengunjungi pamannya tersebut.
Awalnya aku meminta Alex untuk menggunakan mobilku saja, tapi Alex menolak dan justru memakai jasa ojek online untuk ke rumah pamannya tersebut.
Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar jika Alex mengalami kecelakaan. Motor yang ditumpanginya tak sengaja bertabrakan dengan sebuah mobil bus, yang mengakibatkan Alex harus masuk rumah sakit.
Aku yang mendengar kabar tersebut, segera menuju rumah sakit tempat Alex di rawat.
Alex koma selama beberapa hari. Aku yang memang masih selalu mencintai Alex, tentu saja merasa sedikit cemas. Aku berusaha melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawanya.
Aku mencarikan dokter terbaik untuk Alex dan juga ikut mendonorkan darahku untuknya.
Hingga beberapa hari kemudian, Alex pun siuman dan mulai membaik.
Setelah hampir sebulan, Alex akhirnya bisa pulih kembali. Dan aku dengan suka rela, membayar semua biaya rumah sakit selama Alex di rawat.
Aku tak peduli berapa banyak uangku habis, demi untuk menyelamatkan Alex. Aku merasa senang, karena Alex bisa pulih kembali.
*****
"makasih ya, om." pelan suara Alex, ketika ia sudah mulai bekerja kembali. Saat itu kami sedang melakukan perjalanan pulang menuju rumahku.
Rumah dimana anak dan istriku sedang menungguku. Rutinitasku pulang ke rumah memang masih sama. Kalau aku tidak bisa pulang dua kali seminggu, minimalnya aku harus pulang sekali seminggu.
Aku hanya mendengus kecil mendengar ucapan Alex barusan, karena aku sudah cukup mengerti arah pembicaraan Alex.
"sekali lagi om sudah berkorban untukku. Om rela mengeluarkan uang yang begitu banyak hanya untuk biaya pengobatanku, dan yang paling membuat aku terkesan, om rela mendonorkan darah om hanya untuk orang sepertiku." Alex berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.
"aku tidak tahu, bagaimana harus membalas semua itu, om. Aku punya hutang budi yang begitu banyak pada om Andra.." lanjut Alex lagi.
Aku menghempaskan napas berat, lalu kemudian berujar,
"kamu sebenarnya cukup tahu. Lex. Bagaimana cara membalas semuanya. Kamu nya aja yang tidak mau mengakuinya.." ucapku sedikit ketus dan tegas.
Kali ini Alex terdiam. Ucapan ku sepertinya cukup mengena.
Tapi Alex tidak bereaksi apa-apa, ia hanya diam hingga kami pun sampai ke tujuan.
Sesampai di rumah aku pun di sambut oleh istri dan anak-anakku.
Seharian aku menghabiskan waktu bermain dengan kedua anak-anakku.
Hingga malam pun tiba, dan aku kembali menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami untuk istriku.
****
"kehidupan om dan keluarga om sudah sangat bahagia.." ucap Alex, keesokan harinya saat kami sudah kembali ke apartemenku.
"kehidupan om sudah sangat mapan, punya istri yang cantik dan anak-anak yang pintar. Lalu mengapa om masih mau melakukan sesuatu yang menyimpang?" lanjut Alex dengan sedikit bertanya, kali ini kami ngobrol di ruang tamu apartemenku.
"di depan istri dan anak-anak om, om memang harus tetap terlihat bahagia, Lex. Om harus terlihat seperti sangat menikmati hidup ini. Padahal jauh di dalam hati om sendiri, om merasa kosong, Lex. Hampa. Dan kehadiran kamu lah yang mampu mengisi kekosongan tersebut.." balasku dengan nada sendu.
"bukan kehadiran ku yang akan mengisi kekosongan tersebut, om. Tapi keimanan. Om merasa kosong dan hampa, karena selama ini saya lihat om tidak pernah beribadah sama sekali. Om terlalu sibuk mengejar ambisi om sendiri. Om juga sibuk mengejar cinta yang tidak di halalkan untuk om.."
ucapan Alex tersebut benar-benar menampar mukaku. Aku merasa terhenyak dan terpojok.
Tak ku sangka Alex akan berkata demikian. Selama ini tidak ada seorang pun yang berani menasehatiku, terutama soal agama. Istri bahkan orangtua ku tidak pernah sekali pun mempertanyakan tentang ibadahku.
Karena setiap kali mereka membahas hal tersebut, aku akan menghardik mereka. Dan hal itu membuat mereka jadi sedikit takut berbicara tentang ibadah di depanku.
Dengan kehidupanku yang serba berkecukupan sekarang, tidak ada seorang pun yang berani mengaturku. Bahkan kedua orangtuaku.
Namun mendengat ucapan Alex barusan, aku benar-benar merasa terpukul, dan aku bahkan tak mampu berkata apa-apa.
Sebagai seorang manusia, harus aku akui, kalau hidup penuh dengan gelimangan dosa. Aku hampir menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisiku. Aku juga sering berzina dengan laki-laki.
Aku juga tidak memperlakukan orangtuaku dengan baik. Karena aku merasa punya segalanya, aku juga merasa punya kekuasaan untuk mengatur segalanya.
Selama mereka, orangtua dan istriku, aku beri uang, aku merasa mereka tidak lagi punya hak untuk sekedar menasehatiku.
Tapi Alex berbeda. Kalimat sederhananya mampu menyentuh bagian hatiku yang terdalam. Bagian hatiku yang selama ini aku sembunyikan.
Nurani ku bergetar tiba-tiba.
Selama ini, Alex memang tidak pernah meninggalkan sholatnya. Ia selalu menyempatkan diri untuk sholat, meski kehidupannya tidak terlalu baik.
Sementara aku, yang hampir punya segalanya, justru semakin menjauh dari Tuhan.
Oh, tidak. Mungkinkah Alex adalah malaikat yang di kirimkan Tuhan untukku, untuk menyadarkanku bahwa selama ini aku telah salah melangkah. Bahwa selama ini aku tidak pernah sekali pun bersyukur akan hidupku.
"maaf, om. Saya tidak bermaksud apa-apa." ucap Alex lagi, "tapi kehidupan yang om Andra jalani saat ini, adalah kehidupan yang di impikan semua orang. Dan om akan merusak semuanya, hanya karena memperturutkan secuil nafsu dalam diri om Andra.." Alex melanjutkan, yang membuatku kian terhenyak.
"saya bisa saja memenuhi keinginan om Andra. Setidaknya untuk membalas semua kebaikan dan pengorbanan om Andra padaku selama ini. Tapi itu artinya, saya juga ikut berperan dalam menghancurkan kehidupan sempurna yang telah om Andra miliki." Alex melanjutkan kalimatnya.
"artinya juga, saya ikut berperan dalam mengundang murka Tuhan kepada om Andra. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu saya menolak om, meski saya merasa sangat bersalah akan hal tersebut."
"jika saya tetap nekat menerima tawaran om Andra, maka saya tidak akan sanggup menyaksikan kehancuran hidup om kelak.." Alex mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.
Aku masih terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa. Semua yang di utarakan Alex tidak bisa aku pungkiri.
Mungkin selama ini Tuhan masih memberikan aku kesempatan, meski pun aku sudah berulang kali melakukan kesalahan.
Dan kehadiran Alex di sini, adalah sebuah teguran untukku. Teguran Tuhan tidak selalu dengan memberi azab atau musibah, tapi juga melalui orang lain.
****
Sejak saat itu, aku justru jadi belajar banyak dari Alex. Aku mulai mendekatkan diri kepada Tuhan.
Aku belajar agama dari Alex.
Aku mulai memperbaiki beberapa kesalahanku. Mulai dari meminta maaf kepada kedua orangtuaku dan juga istriku.
Hubunganku dengan Alex bukan lagi hubungan antara majikan dan bawahan, tapi aku sudah menganggap Alex seperti adikku sendiri.
Aku juga menjadikan Alex sebagai mentor dalam hidupku.
Cintaku kepada Alex memang salah, dan aku mulai belajar untuk mengubah rasa cinta itu menjadi rasa sayang kepada seorang adik.
Dan begitulah kisahku. Aku akhirnya bertaubat, karena sosok yang aku cintai.
Semoga kisah sederhana ini, mampu memberi pelajaran bagi siapa pun yang mendngarkannya.
Terima kasih..
****
Selesai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar