Rahasia cinta Zaky

"kamu kenapa, Zak?" suara datar Nelson mengagetkanku, yang sejak tadi termenung sendiri di sebuah bangku taman sekolah.

Pikiranku menerawang, hingga aku tidak sadar, kalau Nelson sudah berdiri di sampingku.

Aku menatap sekilas kearah Nelson, "gak kenapa-kenapa, kok." jawabku sedikit acuh.

 

Sang penuai mimpi

"kita sudah berteman sejak kecil, Zaky," ucap Nelson, sambil ia ikut duduk di sampingku, "aku tahu persis bagaimana kamu. Kalau kamu sudah menyendiri seperti ini, itu artinya kamu lagi ada masalah.." lanjutnya, mata Nelson mengawasiku. Aku tiba-tiba merasa sedikit kaku.

"aku gak apa-apa kok, Nel. Cuma lagi pengen sendiri aja.." balasku, menghindari tatapan Nelson yang terus mengawasiku.

"kamu marah sama saya?" tanya Nelson kemudian.

"marah? Kenapa aku harus marah?" aku justru balik nanya, kali ini aku beranikan diri untuk menatap ke arah Nelson. Mata kami bertemu pandang, namun segera aku memalingkan muka. Jengah.

Ku dengar Nelson menarik napas, "sejak aku jadian sama Dhena, aku perhatikan kamu jadi lebih sering murung dan menyendiri.." ucapnya.

Aku menatap Nelson kembali, dengan sedikit susah payah aku tersenyum. "kamu apaan sih, Nel. Aku biasa aja, kok." ucapku pelan.

"aku tahu, sekarang kita jadi jarang jalan bareng, main bareng, gak kayak dulu lagi. Tapi kita tetap sahabatan, Zak." suara Nelson datar lagi.

"iya, Nel. Kita tetap sahabatan. Gak ada yang berubah, kok. Kalau kita sekarang jadi jarang main bareng lagi, ya gak apa-apa. Kamu kan memang harus punya waktu juga untuk Dhena. Aku ngerti, kok!" kali ini aku sedikit menunduk. Hatiku meringis.

*****

Aku dan Nelson memang sudah berteman sejak kecil. Sejak kami masih sama-sama di sekolah dasar. Kami masuk SMP yang sama, dan sudah dua tahun kami berada di SMA yang sama.

Kami memang sering main bareng, belajar bareng dan melakukan banyak hal berdua. Karena memang rumah kami satu kompleks. Hubungan kami selama ini sangat dekat, meski hanya sebatas sahabat.

Aku sering main ke rumah Nelson, begitu juga sebaliknya. Kami selalu bersama-sama. Kami tumbuh dengan persahabatan yang indah.

Neslon seorang cowok yang periang, ramah, tampan dan juga pintar.

Terus terang aku memang mengagumi sosok Nelson. Beranjak remaja, perasaanku justru kian berkembang. Aku bukan lagi sekedar mengagumi Nelson, tapi juga telah jatuh cinta padanya.

Namun aku tak pernah berani mengungkapkan itu semua. Aku selalu berusaha bersikap biasa sajadi depan Nelson. Aku sadar kalau hubungan kami hanya sebatas sahabat.

Meski jauh dari lubuk hatiku, aku berharap suatu saat kelak aku dan Nelson bisa berpacaran, bukan lagi hanya sekedar bersahabat.

Aku sering membayangkan hal tersebut. Bahkan hampir setiap malam.

Aku sering mengkhayalkan bisa menjalin hubungan yang lebih dengan Nelson.

Namun aku juga cukup sadar, kalau Nelson jelas tidak mungkin punya harapan yang sama denganku.

Biar bagaimana pun, Nelson adalah laki-laki normal. Dia tidak mungkin akan tertarik padaku.

Tapi sebagai seseorang yang telah terlanjur jatuh cinta kepada Nelson,  kadang aku sering berharap sesuatu yang di luar nalarku.

Mencintai Nelon adalah sebuah keindahan, namun memilikinya adalah sebuah kemustahilan.

Tapi aku cuku bahagia, bisa menjadi sahabatnya. Melewati hari bersama dan saling berbagi cerita.

Nelson memang selalu terbuka padaku. Hampir tidak ada rahasia yang Nelson sembunyikan dariku, terutama soal kisah asmaranya.

"aku akhirnya nembak Dhena, Zak." cerita Nelson suatu hari padaku.

"dan ternyata Dhena juga menyukaiku. Jadi sekarang kami sudah resmi pacaran.." lanjut Nelson.

Beberapa bulan belakangan ini, Nelson memang sering cerita tentang Dhena, adik kelas kami.

Meski Dhena bukan cinta pertama Nelson, tapi setahuku, selama ini Nelson belum pernah benar-benar pacaran.

Dan sepertinya Nelson juga sangat serius dengan Dhena. Hampir setiap hari ia selalu bercerita tentang kekagumannya pada Dhena.

Awalnya aku menganggapnya biasa saja. Karena ini bukan pertama kalinya Nelson bercerita dan jatuh cinta pada seorang cewek.

Hanya saja selama ini, Nelson belum pernah berani menembak cewek.

Tapi untuk Dhena, sepertinya Nelson memang benar-benar telah jatuh cinta.

Terus terang, aku memang selalu merasa cemburu setiap kali Nelson menyebut nama Dhena. Tapi sebagai sahabat, aku harus selalu berpura-pura mendukungnya.

Rasa cemburu ku semakin menjadi, saat aku melihat Nelson semakin dekat dengan Dhena.

Dan sekarang, aku bukan lagi hanya sekedar merasa cemburu, mendengar Nelson dan Dhena jadian. Tapi aku juga merasa patah dan hancur.

Aku memang tidak terlalu berharap, bisa menjadi pacar Nelson, karena itu memang sedikit mustahil.

Tapi aku sudah cukup bahagia, meski hanya menjadi sahabatnya.

Aku bahagia bisa selalu bersama Nelson. Namun kehadiran Dhena tentunya akan mengurangi intensitas kebersamaan ku dan Nelson.

Biara bagaimana pun, Nelson tentu akan lebih sering menghabiskan waktunya bersama Dhena dari pada bersama ku.

Dan hal itulah yang akhirnya membuatku patah dan kecewa.

Karena itu juga, sejak Nelson dan Dhena jadian, aku mulai menjaga jarak. Aku tidak sanggup melihat keromantisan mereka. Aku tidak sanggup mendengar cerita-cerita Nelson tentang kemesraannya bersama Dhena.

Aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri. Meratapi kisah cintaku yang tak terungkap dan tak berujung.

"kamu benar gak marah, Zak?' suara Nelson mengagetkanku lagi.

Aku hanya menggeleng. Nelson memang selalu berusaha untuk menghubungiku atau sekedar datang ke rumahku, tapi aku selama ini selalu menghindar.

"tapi kenapa akhir-akhir ini kamu seakan menghindar dariku, Zak?" Nelson bertanya lagi.

"aku gak menghindar, Nel. Aku hanya sedang banyak kegiatan. Lagi pula kamu kan sudah ada Dhena. Jadi aku juga harus cari kesibukan lain.." balasku beralasan.

"oke.. baiklah kalau begitu.." ucap Nelson, sambil ia kemudian pamit untuk kembali ke kelas.

Aku masih termangu menatap kepergian Nelson dengan langkah gagah menuju kelas.

Laki-laki itu semakin terlihat sempurna di mataku.

Huh.. aku menghempaskan napas berat. Entah mengapa semuanya menjadi begitu pahit bagiku.

Aku tidak masalah kalau Nelson tidak punya perasaan apa-apa padaku selain perasaan seorang sahabat. Tapi aku tetap tidak rela kalau Nelson harus berpacaran dengan orang lain, karena itu pasti akan menyita waktunya dan tentu saja akan mengurangi kesempatanku untuk bisa berlama-lama dengannya.

Tapi aku bisa apa? Rintihku.

Aku kembali menghempaskan napas, lebih berat.

****

Sudah lebih dari delapan bulan Nelson dan Dhena berpacaran. Hubungan mereka terlihat semakin mesra.

Aku sendiri juga sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku. Meratapi kepatah hatianku. Meski cintaku untuk Nelson tak pernah luntur.

Kami memang masih bersahabat, meski tak seerat dulu. Nelson sudah jarang main ke rumah, begitu juga aku.

Setiap kali aku ke rumah Nelson, selalu saja ada Dhena di sana. Jadi aku memilih untuk tetap menjaga jarak dengan Nelson.

Setidaknya aku masih bisa menatap Nelson dari kejauhan, melihat senyumnya yang selalu mengembang. Membayangkan wajahnya yang tampan, dan tatapan matanya yang berbinar indah.

Yah, aku hanya bisa membayangkannya.

Entah mengapa desakan haru dan rasa kagum itu selalu ada, setiap kali menatap mata beningnya dan setiap kali mendengar tawanya. Kejujuran, senyuman dan ceria yang tak pernah ia paksakan, bagai air segar bagi hatiku yang tawar.

Bicaranya yang ceplas-ceplos, blak-blakan, sederhana, jujur dan apa adanya. Aku seperti memandang setetes embun yang bening, bersih dan belum terkotori.

Berada di dekatnya, aku bagai mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Betapa sebenarnya aku membutuhkannya.

Kadang ingin rasanya aku selalu berada di dekatnya, sekedar mendengar cerita dan candanya. Aku ingin selalu ada di dekatnya.

Menjaga saat suntuk menyergapnya, saat kesunyian menyelimuti hatinya. Menawarkan hatinya yang lagi gusar atau menampung curhat dan candanya, lalu berbagi suka dan duka.

Ah, mungkinkah itu aku lakukan?

Justru sebaliknya, ia yang selalu berhasil membuatku tertawa dan tersenyum. Ketika aku hampir menyerah oleh kehidupan yang ku rasa mulai membosankan dan menggerogoti napasku perlahan.

Dia selalu jadi penawar, ketika ku anggap hidupku terasa hambar dan datar. Dan ketika ku anggap hidupku sudah tiada berarti, hampa dan tak bergairah.

Dia selalu buat aku tersenyum dan merasa berarti. Kadang ingin aku menjadi bagian dari dirinya dan selalu berada di sampingnya.

Tapi mustahi, ada dinding yang kokoh di antara kami. Aku tidak mungkin bisa menembusnya.

Aku hanya berharap semoga dia tetap menjadi seseorang yang aku kagumi.

Semoga ceria dan sinar itu tak lekang, semoga ia tetap mampu menawarkan hati orang-orang disekelilingnya, yang butuh kasih dan keceriaan.

Seperti ia mampu membuatku tersenyum, tertawa dan kadang menangis, karena kangen mendengar tawanya dan rindu mendengar ceritanya.

Saat ini, memang ada jarak diantara kami.

Tapi rasanya hatiku selalu dekat, selalu butuh candanya yang kocak, ceritanya yang blak-blakan atau senyumnya yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

Ah, dia seperti cahaya bagiku.

Dia selalu menjadi inspirasi bagiku. Dia selalu menghiasi setiap fantasi indahku.

Aku bangga dan bahagia bisa menjadi sahabatnya, tapi tetap saja rasa cintaku padanya membuat aku sakit.

****

Nelson menatapku tak percaya, keningnya mengerut.

"kamu yakin?" tanyanya.

Aku menarik napas pelan, kemudian mengangguk.

Kenapa kamu tak pernah cerita?" tanya Nelson lagi.

"maaf, Nel. Tadinya aku ingin cerita. Tapi menurutku percuma, kamu juga gak bakal peduli.." jawabku.

"kamu apa sih, Zak!" Nelson menyela dengan nada tinggi, "kamu pikir dengan aku pacaran sama Dhena, akan merubah persahabatan kita?" lanjutnya.

"tidak ada yang berubah, Nel. Tapi aku memang harus pergi.." suaraku pelan.

"iya. Tapi mengapa tiba-tiba, Zak?" tanya Nelson lagi.

"tiba-tiba apanya?" sela ku cepat.

"kamu mendadak ingin kuliah ke luar negeri, Zak. Kamu tak pernah cerita ini sebelumnya. Bahkan kita pernah berjanji, kalau kita bakal tetap bersama sampai kita kuliah." ucap Nelson, suaranya tiba-tiba parau.

"itu janji masa kecil, Nel. Waktu itu kita belum tahu, akan jadi apa kita setelah dewasa.." balasku datar.

Nelson terdiam. Ia memainkan jemarinya. Aku coba menatap wajah tampan itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"kamu sekarang sudah punya Dhena, Nel. Kamu gak bakal kesepian tanpa aku.." ucapku akhirnya.

"apa karena itu?" tanya Nelson tiba-tiba.

"maksud kamu?" tanyaku balik.

"karena aku sekarang pacaran dengan Dhena. Dan kamu merasa kalau aku telah melupakan persahabatan kita. Kamu merasa kalau aku telah mengabaikanmu?" jelas Nelson sengit.

Aku menyunggingkan senyum. Andai saja kamu tahu, Nel. Betapa aku tersiksa selama ini? Sejak kamu jadian sama Dhena! Rintih bathinku.

"ini tak ada hubungannya dengan semua itu, Nel. Keputusanku untuk kuliah ke luar negeri adalah karena aku ingin mengejar mimpiku. Ingin mengejar cita-citaku.." dalihku beralasan.

"cita-citamu? Impianmu? Bukankah dulu kamu hanya bercita-cita untuk bisa kuliah bersama-sama? Tak pernah sekali pun kamu bercerita tentang kuliah ke luar negeri, Zak.."suara Nelson terdengar ketus.

"ternyata kamu memang telah berubah, Zak!" lanjutnya lagi.

Kamu yang berubah, Nel. Kamu juga yang membuat aku berubah. Bathinku pilu.

Tapi aku tak mungkin menyalahkan Nelson. Aku yang terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan, bahwa Nelson tak akan pernah bisa aku miliki lebih dari sekedar sahabat.

Aku yang terlalu larut dengan perasaanku padanya. Aku yang terlalu berharap.

Seandainya saja aku tidak jatuh cinta sedalam ini pada Nelson. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.

Aku yang salah. Telah membiarkan benih-benih cinta itu tumbuh dengan subur di hatiku.

Harusnya aku bisa mengatasi ini. Harusnya aku bisa menganggap Nelson hanya sebatas sahabat, seperti yang ia lakukan padaku.

Tapi semua sudah terlambat, cinta itu telah tumbuh subur dalam hatiku. Aku tak bisa membunuhnya begitu saja. Aku tak bisa membunuh perasaan cintaku pada Nelson.

Dan lebih menyakitkannya lagi, aku juga tidak bisa mengungkapkannya.

Biarlah semua hanya menjadi rahasia. Tidak akan ada siapa pun yang tahu.

Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa terus disini. Aku harus bisa melupakan Nelson. Meski aku tahu, itu butuh waktu, bahkan seumur hidup..

****

Selesai..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate