Tampilkan postingan dengan label cerpen romantis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen romantis. Tampilkan semua postingan

Gadis desa

Namaku Kamal. Setidaknya begitulah orang-orang memanggil ku. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah ku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena itu, aku hanya bisa bersekolah hingga tamat SMA.

Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara. Kami tiga bersaudara semuanya laki-laki. Kedua kakak ku, yang juga hanya lulusan SMA, sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri. Kakak pertama ku bekerja menjadi seorang security di sebuah perusahaan. Sedangkan kakak kedua ku, punya usaha dagang kecil-kecilan di rumahnya.

Hanya aku satu-satunya yang mengikuti jejak ayah ku, dengan menjadi kuli bangunan. Aku juga sudah menikah, dan juga sudah punya dua orang anak. Saat ini, usiaku sudah 32 tahun.

Sejak lulus SMA, aku memang sudah mulai aktif ikut bersama ayahku bekerja menjadi kuli bangunan. Dan pada saat usia ku baru 24 tahun, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis, yang juga berasal dari keluarga kuli.

Pernikahan kami berjalan dengan baik. Meski pun secara ekonomi, kami masih sering kekurangan. Namun hal itu, tidak mengurangi kebahagiaan rumah tangga kami. Apa lagi sejak anak-anak kami lahir.

Karena sudah bertahun-tahun menjadi kuli, tentu saja aku sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Aku juga sudah sering bekerja menjadi kuli bangunan di luar daerah. Aku sering bepergian, untuk beberapa bulan, mengerjakan proyek-proyek yang ditawarkan padaku.

Aku juga  punya banyak kenalan, rekan-rekan kuli lainnya, yang berasal dari daerah yang berbeda. Setiap kali aku mengerjakan sebuah proyek bangunan, maka akan berbeda pula rekan kerja ku.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini. Kalau ditanya bahagia, aku memang merasa bahagia. Setidaknya aku masih punya penghasilan. Dan aku juga punya seorang istri yang pengertian, dan juga dua orang anak yang mulai tumbuh besar.

Tapi kadang-kadang, aku juga sering merasa sedih dan kesepian, terutama jika aku harus bekerja jauh di luar daerah ku. Karena tentu saja, hal itu membuat aku harus berpisah sementara dari istri dan anak-anak ku. Aku harus menahan rindu untuk bisa bertemu mereka, sampai proyek bangunan yang aku kerjakan itu selesai.

Dan itu kadang-kadang, bisa sampai berbulan-bulan.

****


Sampai pada suatu ketika...

Aku dan tiga orang rekan kerja ku sesama kuli, mendapatkan sebuah proyek bangunan sekolah. Proyek bangunan sekolah tersebut, terletak di sebuah desa yang sangat jauh dari perkotaan. Bahkan sangat jauh, dari daerah tempat aku tinggal.

Jalan untuk menuju desa itu bahkan masih merupakan jalan tanah, yang sangat becek, apa lagi jika di musim hujan. Jarak desa tersebut, sekitar 25 km lebih dari ibu kota kecamatan. Dan sepanjang jalan menuju desa tersebut, terdapat hutan belantara.

Di desa tersebut, masih belum ada listrik masuk. Tidak ada jaringan untuk telpon, apa lagi jaringan internet. Penduduk desa tersebut, masih sangat primitif. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan pada malam hari, mereka masih menggunakan lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas.

Di desa itu, memang belum ada sekolah sama sekali. Gedung sekolah yang akan kami bangun, adalah gedung sekolah dasar pertama di desa tersebut. Tentu saja pembangunan gedung sekolah itu, disambut dengan baik oleh semua warga desa.

Kami sampai ke desa tersebut, sekitar jam 3 sore. Kepala desa yang kami temui, langsung mengajak kami untuk menuju rumah tempat kami tinggal sementara, selama pengerjaan proyek gedung sekolah tersebut.

Sebuah rumah kosong, yang terlihat masih cukup terawat. Di samping rumah kosong tersebut, terdapat sebuah rumah lain, yang di huni oleh sebuah keluarga yang merupakan penduduk asli desa tersebut.

Selain kami berempat, kami juga akan dibantu oleh beberapa orang tukang yang berasal dari desa tersebut. Salah seorang tukang tersebut, adalah seorang laki-laki yang tinggal di samping rumah kosong yang akan kami tempati tersebut.

Lelaki yang sudah berusia di atas 50 tahun tersebut, merupakan salah seorang tukang bangunan senior di desa tersebut. Namanya pak Dadang. Dia tinggal bersama istri dan anaknya.

"Annisa.." lembut suara gadis itu menyebut namanya, saat kami saling berkenalan.

"Kamal.." jawab ku tegas.

Annisa adalah anak gadis satu-satunya dari pak Dadang, yang ia perkenalkan kepada kami sore itu. Sebelum kami menuju rumah kosong, tempat kami akan tinggal tersebut.

Pak Dadang juga memperkenalkan istrinya kepada kami. Beliau juga sempat cerita, kalau kedua anak laki-lakinya, sudah lama pergi merantau. Sehingga hanya mereka bertiga yang tinggal di rumah tersebut.

"jadi selama mereka berempat bekerja di sini, mereka akan tinggal di rumah kosong itu.." pak Dadang mencoba menjelaskan hal tersebut kepada istri dan anaknya.

"selain itu, selama mereka bekerja disini, ibuk sama Annisa lah yang akan memasak untuk mereka.." pak Dadang melanjutkan penjelasannya.

Karena memang, seperti yang kami sepakati dari awal, kami memang meminta jasa tukang masak dari warga desa setempat. Dan karena kebetulan pak Dadang juga ikut bekerja bersama kami, kami sekalian menawarkan untuk meminta istri nya memasak untuk kami.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas pak Dadang lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap Banu, salah seorang teman ku, sambil mengarahkan telunjuknya kepada ku yang berdiri tepat di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." aku memperjelas ucapan Banu tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." aku melanjutkan kalimat ku. Entah mengapa aku merasa harus mengatakan hal tersebut.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba istri pak Dadang ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas bang Baron, teman ku yang paling tua diantara kami dan merupakan kepala tukang kami.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." bang Baron berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." pak Dadang yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba istri pak Dadang bertanya, sebelum kami berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." balas bang Baron.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" istri pak Dadang bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas bang Baron lagi.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap istri pak Dadang kemudian.

****

Begitulah perkenalan singkat ku dengan Annisa. Putri bungsu dari pak Dadang. Gadis desa yang berparas cukup cantik, dan masih terlihat sangat muda.

Entah mengapa, sejak berkenalan dengan Annisa, aku jadi sedikit memikirkannya. Aku hanya tidak menyangka akan bertemu seorang gadis cantik di desa yang masih tertinggal ini.

Apa lagi, setelah ini, kami akan semakin sering bertemu. Selain karena kami sekarang bertetangga, Annisa juga akan setiap hari ke rumah kami, untuk sekedar mengantarkan makanan buat kami berempat.

Malam itu, setelah mandi dan makan malam, kami berempat pun berkunjung ke rumah pak Dadang. Sekedar untuk mengobrol, dan juga membahas tentang harga yang harus kami bayar, untuk biaya makan selama kami berada disana.

Malam itu, aku tidak melihat Annisa. Dia sepertinya hanya mengurung diri di kamar. Di desa yang sunyi dan gelap ini, keluar malam bukanlah hal biasa bagi para penduduk di sana. Kecuali memang ada hal yang penting, yang harus mereka lakukan di malam hari.

Dari cerita pak Dadang, kami pun tahu, kalau sebagian besar penduduk di desa ini, bekerja sebagai petani karet. Namun kebun karet yang mereka kelola, bukanlah milik mereka sendiri. Sebagian besar kebun karet tersebut, adalah milik para juragan kaya di desa tersebut, dan juga dari desa tetangga.

Dari cerita pak Dadang juga, kami jadi tahu, kalau selama ini, anak-anak usia sekolah dasar, itu hanya bisa bersekolah di desa tetangga, yang jarak lebih kurang 5 km dari desa tersebut. Dan sebagian besar dari mereka, hanya bersekolah sampai lulus SD. Terutama untuk anak-anak perempuan.

Karena kalau untuk melanjutkan ke tingkat SMP, mereka harus bersekolah ke ibu kota kecamatan, yang jaraknya lebih dari 25 km tersebut. Jadi, hanya bagi mereka yang mampulah, yang bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMP maupun SMA.

Sementara itu, bagi anak laki-laki, yang berasal dari keluarga kurang mampu, setelah lulus SD, banyak yang memilih untuk pergi merantau ke daerah lain. Karena tidak banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan jika tetap berada di desa tersebut.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, Annisa pun mengantarkan sarapan ke rumah kami para kuli bangunan.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa Annisa ramah, ketika dia sudah berada di rumah kami tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutnya lagi.

Aku hanya mendengar pembicaraan tersebut dari belakang, karena saat itu aku sedang mandi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." ku dengar Banu membalas.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kurang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucap Annisa kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk Tegar, salah seorang temanku yang lain, yang baru keluar dari kamar.

"kalian cuma bertiga?" ku dengar lagi Annisa bertanya.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas Tegar lagi.

"oh, begitu.." suara Annisa terdengar sangat pelan.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" kali ini bang baron yang bertanya.

"saya aja yang ambil nanti.." Annisa membalas dengan pelan.

Saat itu aku sudah selesai mandi, dan segera berjalan dengan sedikit terburu ke ruang depan, dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang ku.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." aku segera membuka suara, saat aku sudah berada diantara mereka berempat.

Mataku bersirobok pandang dengan mata indah milik Annisa. Entah mengapa dada ku jadi tiba-tiba berdebar hebat saat itu. Tatapan Annisa yang tajam ke arah ku membuat ku jadi sedikit jengah. Apa lagi aku sedang berdiri tanpa baju.

Aku dapat melihat, betapa pandangan Annisa pada ku, penuh arti. Mungkin ia belum pernah melihat laki-laki bertel4njang dada berdiri sedekat itu di depannya.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." aku mencoba menyambung ucapanku, sekedar menghilangkan grogi yang tiba-tiba aku rasakan, karena Annisa tak kunjung mengalihkan pandangannya dari ku.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balas Annisa, sambil akhirnya ia menundukan pandangannya.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." Annisa kembali berujar dengan cepat.

Aku merasa sedikit kecewa, karena Annisa harus pulang buru-buru. Padahal aku ingin ia lebih lama lagi disini.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Baron yang membalas ucapan Annisa.

Annisa segera berlalu dari kami. Sementara kami berempat jadi saling tatap. Entah apa yang ada dalam pikiran teman-teman ku. Aku yakin, mereka juga harus mengakui akan kecantikan Annisa. Apa lagi, saat ini, kami sama-sama jauh dari istri.

Kehadiran seorang gadis seperti Annisa, itu seperti air segar bagi kami. Untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dan juga sebagai pelepas rasa penat.

"ingat anak istri di rumah, Mal.." tiba-tiba bang Baron berucap, saat kami mulai menyantap sarapan tersebut.

"kenapa sih, bang?" tanya ku berlagak tidak paham.

"saya dapat melihat tatapan kamu sama Annisa, Mal. Dia memang gadis yang cantik, tapi... kamu harus ingat, kamu udah nikah..." bang Baron membalas pelan.

"alah... kayak kalian gak aja... tatapan kalian juga sama kok.." balas ku sedikit sengit.

 "iya... tapi cuma tatapan kamu yang dibalas sama Annisa..." kali ini Tegar yang berbicara.

"iya... kayaknya dari kemarin emang Annisa lebih sering memperhatikan kamu, Mal..." Banu ikut menimpali.

"ah.. kalian ada-ada aja..." balasku pelan, dengan perasaan yang tak karuan. Karena sebenarnya, aku juga dapat merasakan hal tersebut.

Bang Baron, Banu dan Tegar tidak lagi membalas ucapan ku. Kami sama-sama terdiam, menikmati sarapan pertama kami di desa tersebut.

****

Siang itu, aku pulang lebih awal, karena tiba-tiba perut ku sakit.

Saat itu, tiba-tiba Annisa datang, untuk mengantarkan makan siang kami.

"selamat siang, bang Kamal." sapa nya lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjutnya.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas ku, sambil aku mengambil alih makanan tersebut dari tangan Annisa

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya Annisa berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas ku pelan.

"abang sakit perut kenapa?" tanya Annisa terdengar merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas ku jujur.

"oh.." gumam Annisa membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" Annisa bertanya lagi.

Terus terang aku merasa senang bertemu Annisa siang itu, apalagi ia mau mengobrol dengan ku, mumpung aku juga lagi sendirian.

"enak, kok." aku membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" aku melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balas Annisa pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya Annisa melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas ku apa adanya.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucap Annisa terdengar jujur.

Akun tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapku.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucap Annisa seperti berusaha meyakinkanku.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelasku lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya Annisa sedikit berani.

Terus terang aku merasa kaget Annisa bertanya demikian.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas ku berusaha untuk jujur.

"oh, gitu.." Annisa berguman dengan nada kecewa.

Entah itu hanya perasaan ku saja, atau memang Annisa merasa kecewa, karena mengetahui kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi terlihat jelas di raut wajahnya, yang memperlihatkan kekecewaan tersebut.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." aku berucap lagi, seakan berusaha untuk meyakinkan Annisa akan status ku saat ini.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" Annisa bertanya lagi, seperti mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." ceritaku.

"abang anak tunggal?" tanya Annisa kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami tiga bersaudara. Abang pertama ku, jadi security sekarang. Abang kedua ku punya usaha dagang di rumahnya. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Jadi kuli bangunan.." aku menjelaskan lagi.

Entah mengapa, aku jadi begitu terbuka pada Annisa.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" Annisa bertanya kembali, dia sepertinya benar-benar ingin mengenal ku lebih dekat lagi. Sekali pun aku sudah mengatakan kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah Annisa untuk tetap menjadi dekat denganku.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas ku panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya Annisa kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang penting ada kerjaan.." balas ku lagi.

Dan tak lama kemudian, ketiga temanku tadi pun datang. Annisa pun segera pamit pulang ke rumahnya kembali. Aku jadi merasa tak karuan. Aku dapat merasakan, betapa Annisa memang sengaja berlama-lama ngobrol dengan ku.

Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, kalau aku aku juga suka mengobrol berdua dengan Annisa.

****

Sejak saat itu, aku dan Annisa jadi sering ngobrol berdua. Annisa seperti sengaja mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu ku, saat aku sendirian di rumah. Aku termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Sementara, ketiga temanku sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi aku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, Annisa jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua denganku.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu sepertinya mampu membuat Annisa merasa bahagia. Semua itu dapat aku rasakan, dari raut wajah yang diperlihatkan dengan jelas oleh Annisa. Aku dan Annisa pun terasa semakin dekat. Annisa juga begitu terbuka padaku. Semua cerita tentang hidupnya, ia cerita kan pada ku. Dan aku dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan aku tinggal dan bekerja di desa tersebut. Aku dan Annisa juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya aku sendiri di rumah. Ketiga temanku sudah pulang kampung, karena sudah sebulan kami berada di desa tersebut.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya Annisa.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas ku.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" Annisa bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balasku singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucap Annisa seakan sengaja memberi tahu ku akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya ku.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelas Annisa terdengar apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" Annisa bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balasku.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanya Annisa cukup berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya ku.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas Annisa pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap ku.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya Annisa seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

Berada berdua bersama Annisa di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah salah satu hal yang aku inginkan selama ini sebenarnya. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Terus terang, sejak sering ngobrol bersama Annisa, aku jadi merasa nyaman.

Jujur saja, sebagai laki-laki normal, tidak bisa aku pungkiri, kalau Annisa adalah gadis yang menarik. Selain cantik, ia  juga ramah dan terlihat selalu ceria. Meski kadang, ia juga suka blak-blakan kalau lagi ngomong.

Kehadiran Annisa mengisi hari-hari ku, satu bulan ini, telah mampu membuat ku merasa terhibur. Segala kerinduan dan rasa sepi ku, seakan hilang saat bersama Annisa. Apa lagi, aku juga tidak bisa menghubungi istri dan anak ku, karena memang disini tidak ada jaringan apa pun sama sekali.

Kehadiran Annisa menghiasi hari-hari ku dengan indah. Meski pun aku sadar, tak semestinya aku merasakan hal tersebut. Mengingat aku sudah punya istri dan anak. Tapi, harus aku akui, kalau Annisa terlihat sangat berjuang untuk bisa dekat dengan ku. Dan aku harus menghargai hal tersebut.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas ku akhirnya, yang membuat Annisa tersenyum senang.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya Annisa tiba-tiba.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balasku, dengan nada canda.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." aku melanjutkan ucapanku, masih dengan nada canda.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balas Annisa spontan.

"ah, yang benar?" ucapku.

"benar, bang.." balas Annisa terdengar yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." Annisa melanjutkan ucapannya, tanpa rasa ragu lagi. Ia seperti sengaja ingin memberitahu ku, akan perasaannya padaku. Mungkin karena memang ada kesempatan. Mungkin karena hanya ada kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balasku, berusaha menyadarkan Annisa akan kenyataan tersebut.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap Annisa lagi dengan gaya ceplas-ceplosnya.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" aku bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawab Annisa terdengar jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanyaku lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucap Annisa lagi, sepertinya ia sudah tidak mampu lagi menahan diri. Suasananya benar-benar mendukung.

Aku juga mulai merasa terbawa suasana tersebut. Malam, gelap, sepi dan dingin.

Ah, laki-laki mana yang mampu mengendalikan dirinya, di saat seperti ini.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" aku bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." Annisa berucap, dengan nada penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balasku pelan, masih berusaha manyadarkan Annisa akan hal tersebut.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucap Annisa, masih berusaha meyakinkan ku.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" aku bertanya kembali, saat keraguan masih menyelimuti hati ku.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucap Annisa lagi, masih dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucapku akhirnya.

"tapi sebelumnya, abang mau tanya satu hal sama dek Annisa." ucapku melanjutkan.

"bang Kamal mau tanya apa?" suara Annisa lembut.

"apa yang membuat dek Annisa suka sama abang?" tanyaku, sebenarnya hanya sekedar ingin tahu.

"abang itu lelaki yang sangat tampan, bang. Selain itu abang juga gagah dan kekar. Aku belum pernah bertemu laki-laki seperti abang sebelumnya. Apa lagi, selama ini, aku jarang sekali dekat dengan laki-laki. Tapi sejak mengenal abang, aku jadi ingin sekali merasakan hal tersebut, bersama abang.." balas Annisa terdengar apa adanya.

Terus terang, aku merasa bangga mendengar hal tersebut. Sudah sangat lama aku tidak mendengar kalimat pujian seperti itu. Setidaknya sejak aku menikah. Istri ku jarang sekali memuji ku. Dan kalimat yang dilontarkan Annisa barusan, benar-benar membuat ku tersanjung.

Dan begitulah, malam itu, Annisa berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada ku, lelaki cinta pertamanya. Annisa terlihat tulus memberikannya. Ia terlihat sangat menginginkan hal tersebut. Dan aku, tak ingin membuang kesempatan tersebut begitu saja. Aku ingin membuat Annisa merasa bahagia.

Aku melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku berusaha membuat Annisa merasa terkesan. Kesan pertama yang tidak akan pernah ia lupakan. Aku ingin, Annisa tidak akan pernah menyesali semua ini. Aku ingin, ia merasa, telah memberikan hal tersebut kepada orang yang tepat.

Annisa juga berusaha untuk membuat merasa terkesan. Ia berusaha untuk memberikan yang terbaik padaku. Ia persembahkan semua itu dengan sepenuh hati. Tanpa rasa ragu. Tanpa rasa takut. Sepertinya ia sudah sangat siap akan hal tersebut. Raut bahagia, terpancar dari wajahnya yang cantik.

Terus terang, aku juga merasa bahagia. Entah mengapa semua itu terasa indah bagiku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari apa yang aku harapkan.

Sebulan aku terpisah dari istri ku. Sebulan aku menahan rasa dahaga ku, akan hal tersebut. Kini aku menemukan setetes air di tengah gurun gersang. Rasa dahaga ku pun terlepaskan sudah. Aku merasa lega. Aku merasa bahagia.

Namun jujur saja, aku juga sedikit merasa bersalah.

Aku merasa bersalah pada istri ku. Ini pertama kalinya, aku melakukan hal tersebut, dengan orang lain. Selama ini, aku selalu mampu menahan berbagai godaan. Tapi kali ini, aku kalah.

Aku juga merasa bersalah pada Annisa. Biar bagaimana pun, tak seharusnya aku melakukan hal tersebut padanya. Bukan saja karena ia masih suc!, tapi juga karena aku ini seorang lak-laki yang sudah beristri.

Tapi semua sudah terjadi. Annisa tak terlihat menyesal sama sekali. Ia terlihat sangat bahagia. Ia bahkan terkesan bangga telah mempersembahkan keindahan tersebut padaku.

"terima kasih ya, bang Kamal..." bisiknya, di sela napasnya yang masih belum teratur.

"yah... sama-sama dek Annisa.." balasku pelan.

****

Sejak malam itu, aku dan Annisa pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa bahagia. Meski rasa bersalah terus menghantui ku. Namun kebahagiaan yang diperlihatkan Annisa, mampu menghapus rasa bersalah tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Annisa selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu ku.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah Annisa, terutama saat ayah dan ibu nya sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun kami sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Aku hanya bisa singgah di dalam hidup Annisa. Aku tidak bisa menetap selamanya. Tapi sepertinya Annisa tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Cinta Annisa memang terasa begitu besar bagiku. Begitu banyak pengorbanan yang telah ia lakukan untuk ku. Dan harus aku akui, kalau hal itu mampu membuat ku terasa berat untuk meninggalkannya.

Hingga tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang kami bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, kami semua akan segera pergi dari desa ini. Itu artinya, aku dan Annisa akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanya Annisa, ketika malam terakhir kami bertemu.

"iya, dek.." balasku pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanya Annisa, sepertinya ia berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri, karena ia pasti sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balasku hati-hati.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucap Annisa dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." aku berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal Annisa akhirnya.

Terlihat sekali ia berusaha untuk menahan air matanya sendiri. Dan aku merasa tersentuh akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, aku juga merasa berat harus berpisah dengan Annisa. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, tak mungkin bisa aku lupakan begitu saja.

****

Dan keesokan harinya, aku dan rekan-rekan kuli yang lain, pun akhirnya benar-benar pergi dari desa tersebut. Rasanya hal itu terasa berat bagiku. Berpisah dengan orang yang sudah memberikan sesuatu yang paling berharga untuk ku, telah mampu memberikan sebuah luka tersendiri di hati ku.

Tapi aku memang harus pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang harus memilih. Dan setiap pilihan memang selalu punya resiko. Aku harus menanggung resiko tersebut. Meski itu terasa sakit bagiku.

Annisa adalah gadis yang baik. Ia hanya telah salah tempat untuk jatuh cinta. Dan sebagai laki-laki, aku telah memanfaatkan hal tersebut. Aku telah memanfaatkannya, untuk kesenangan diri ku sendiri. Walau pun aku tahu, kalau Annisa tulus memberikannya padaku. Ia tulus mencintai ku.

Seandainya saja, aku belum menikah, tentu saja aku akan memperjuangkan Annisa untuk ku. Aku akan berusaha bertahan untuknya, meski hubungan kami akan ditentang oleh kedua orangtuanya.

Tapi... kenyataannya, saat ini aku sudah punya istri dan anak. Memperjuangkan Annisa adalah sesuatu yang sangat rumit. Selain karena akan menyakiti hati istri ku, tapi juga akan menyakiti hati kedua orangtua Annisa.

Kini kami telah berpisah. Namun segala kenangan indah bersama Annisa, akan aku ingat selamanya. Akan aku simpan kenangan itu, di suatu sudut hatiku yang terdalam. Hingga tiada siapa pun yang akan tahu. Terutama istri ku.

Kenangan ku bersama Annisa, hanya akan menjadi rahasia seumur hidupku. Sebuah rahasia yang tidak akan pernah aku ungkap kepada siapa pun. Karena biar bagaimana pun, hal itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan terindah dalam perjalanan hidup ku.

Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Aku juga tidak akan mungkin berusaha untuk menemuinya. Bagiku semua itu telah berlalu.

Aku hanya berharap, semoga Annisa bisa menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari ku. Laki-laki yang tidak lari dari tanggungjawabnya. Laki-laki yang belum punya ikatan apa pun.

Aku selalu berharap, semoga Annisa menemukan kebahagiaannya yang lain. Kebahagiaan akan cinta yang tak terhalang oleh apa pun. Kebahagiaan yang utuh.

Semoga kejadian ini, mampu memberikan pelajaran tersendiri bagiku. Semoga tidak ada lagi Annisa Annisa lain yang akan mampu menggoyahkan kesetiaan ku.

Yah... semoga saja..

****

Mama Muda (Part 2)

Sejak kejadian malam itu, aku dan Aida pun semakin dekat dan akrab. Kami juga sudah saling bertukar nomor WA, dan juga sudah saling follow aku media sosial masing-masing.

Semenjak sudah punya nomor WA ku, Aida pun jadi sering menghubungiku. Sekedar menanyakan kabar, dan juga menanyakan kegiatan ku, hampir setiap harinya.

Dan bahkan Aida pernah beberapa kali mengajak aku makan malam berdua, saat aku libur kerja. Aida juga sangat terbuka padaku, terutama tentang masalah rumah tangga nya.

Aku pun sejujurnya, juga merasa senang akan hal tersebut. Aku merasa bahagia bisa menjadi dekat dengan Aida. Aku senang bisa menjadi pendengar yang baik baginya.

Hingga tanpa aku sadari, ternyata rasa kagum mulai tumbuh di hati ku untuk Aida. Aku jadi sayang padanya. Dan bahkan mungkin aku juga telah jatuh cinta padanya. Hampir setiap malam, aku selalu membayangkan senyum Aida yang manis, atau suaranya yang lembut.

Aku jadi sering rindu padanya, bila sehari saja tak jumpa dengannya, atau sekedar mendapat chat darinya. Sekarang, aku yang jadi sering berkirim pesan padanya. Sekedar bertanya kabar tentangnya, atau hanya sekedar basa-basi, untuk pelepas rindu ku padanya.

Aku tahu, kalau perasaan yang tumbuh di hati ku untuk Aida, adalah sebuah kesalahan. Biar bagaimana pun, Aida sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi aku tidak bisa memungkiri itu semua. Perasaan telah berperan dalam kisah ku ini. Kisah yang aku sendiri tidak tahu, entah seperti apa akhirnya.

Namun yang pasti saat ini, aku merasa sangat bahagia, bisa menghabiskan hari-hari ku bersama Aida. Aku ingin selalu bersamanya. Meski pun kadang, aku jadi sering menelan ludah pahit, setiap kali aku mengingat asa ku tentang Aida. Asa untuk bisa memilikinya.

Cinta itu rumit. Dan saat ini, aku sedang terjebak dalam kerumitan cinta tersebut. Aku jadi dilema. Antara terus berjuang, atau mundur teratur, sebelum semuanya menjadi semakin dalam dan kacau.

Jika aku terus bertahan dengan tetap dekat dan menjalin pertemanan dengan Aida, itu artinya aku harus siap menanggung kekecewaan. Karena biar bagaimana pun, Aida jelas tidak akan mungkin bisa aku miliki.

Namun jika aku mundur, dan mulai menjaga jarak. Itu artinya, aku harus siap terluka, karena harus memendam perasaan ku dan belajar untuk melupakan orang yang telah membuat aku jatuh cinta.

Ah, cinta...

Mengapa harus menjadi serumit ini?

****

Dan sang waktu pun masih terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Aku masih dengan perasaan cinta ku terhadap Aida. Kami juga masih terus bersama, walau pun hubungan kami hanya sebatas teman biasa.

Hingga pada suatu saat, Aida sengaja mengajak aku malam malam berdua lagi, untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini, terasa ada yang berbeda bagiku. Aida terlihat sedikit agak murung. Tidak seperti biasanya, wajahnya selalu di hiasi dengan senyum manisnya.

"ada apa, mbak Aida? Mbak Aida lagi ada masalah?" aku bertanya demikian akhirnya, setelah beberapa saat tadi pesanan kami datang.

"sebenarnya... ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, Do. Tapi..."

"mbak cerita aja, gak usah merasa sungkan seperti itu. Saya siap mendengarkannya.."

"entah mengapa.. akhir-akhir ini, aku merasa kalau suami ku jadi semakin jarang berada di rumah. Setiap kali aku bertanya, ia selalu beralasan kalau ia lagi banyak kerjaan di luar kota. Padahal, menurut teman ku yang juga bekerja di kantornya, suami malah sebenarnya jarang ada kerjaan di luar kota."

"aku jadi curiga. Tapi.. aku tidak berani mengutarakan hal tersebut pada suami ku. Aku takut ia marah dan tersinggung..."

Begitu cerita Aida akhirnya.

"aku sangat menyayangi suami ku, meski pun ia sangat jarang berada di rumah. Dulu sebelum menikah, kami sempat pacaran selama dua tahun. Dulu, aku juga bekerja di kantor tempat suami ku bekerja saat ini. Dari situlah kami pun saling kenal."

"setelah beberapa bulan saling kenal, kami pun memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius. Kami pacaran selama dua tahun, kemudian memutuskan untuk menikah. Namun suami ku tidak ingin aku bekerja lagi. Ia hanya ingin, agar aku menjadi ibu rumah tangga biasa saja."

"aku mencoba untuk mengikuti keinginan suami ku tersebut. Aku pun berhenti bekerja, setelah kami menikah. Pernikahan kami pun berjalan dengan sangat bahagia. Hingga kami sudah punya dua orang anak."

"namun entah mengapa, akhir-akhir ini, aku merasakan kalau suami mulai berubah. Sebagai seorang istri, aku dapat dengan jelas merasakan perubahan tersebut. Bahkan, suami ku sudah hampir dua bulan belakangan ini, tidak lagi pernah menyentuh ku."

"aku pernah coba untuk memintanya, tapi ia selalu beralasan, kalau ia sangat capek, dan tak ingin di ganggu. Aku mencoba untuk bersabar, menghadapi perubahan suami ku. Tapi... sebagai seorang wanita, dan juga sebagai seorang istri, tentu saja aku punya batas kesabaran, terutama untuk kebutuhan biologis ku."

Aida melanjutkan ceritanya dengan cukup panjang lebar.

"mbak Aida yang sabar, ya... Pasti ada alasan di balik perubahan suami mbak Aida.." hanya kalimat tersebut, yang dapat aku ucapkan, sabagai tanggapan atas cerita Aida barusan.

"iya, Do.. Terima kasih ya, udah mau mendengarkan aku bercerita.."

"santai aja, mbak. Kita kan teman. Jadi sudah sewajarnya, kalau saya bisa menjadi tempat curhat buat mbak Aida."

Kali ini Aida hanya membalas dengan senyum manisnya.

****

Setelah hari itu, tiba-tiba Aida menghilang. Pesan ku tak pernah lagi ia balas. Setiap kali aku telpon, selalu ditolaknya. Ia juga tidak pernah lagi datang ke mini market untuk berbelanja seperti biasanya.

Aku jadi bingung, kenapa Aida tiba-tiba berubah dan menghilang? Ia seakan sengaja untuk menghindari ku. Entah kenapa dan entah apa salah ku?

Dalam kebingungan ku, aku mencoba untuk bersabar dan berusaha untuk mengerti. Mungkin Aida sudah tidak ingin berteman lagi dengan ku. Mungkin ia dapat merasakan kalau aku sudah jatuh cinta padanya.

Aku merasa kecewa. Hari-hari ku jadi muram tanpa warna. Tak lagi ku baca pesan-pesan singkat darinya. Tak lagi ku dengar tawa renyahnya yang menghibur hati. Tak lagi bisa kulihat senyumnya yang manis dan menawan. Aku kehilangan semua itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Aku benar-benar tidak tahu apa maksud Aida dengan semua ini. Kenapa ia datang dalam kehidupan ku, dan membuat aku jatuh cinta padanya. Namun kemudian ia pun menghilang tanpa kabar, di saat aku benar-benar telah jatuh hati padanya. Di saat aku mulai menyayangi dan membutuhkannya.

Mimpi yang mulai aku bangun secara pelan-pelan tersebut, kini hancur berantakan. Khayalan ku tentang Aida, tidak lagi seindah dulu. Aku di himpit perasaan ku sendiri. Aku dipaksa untuk menelan kekecewaan. Aku di paksa untuk berhenti, bahkan ketika semuanya belum di mulai. Kisahku dan Aida seakan usai tanpa ada permulaan.

Kini, aku hanya bisa merajut hati ku kembali, yang menyadarkan ku, bahwa cinta ku pada Aida memang adalah sebuah kesalahan. Cinta ku pada Aida adalah mimpi yang tidak mungkin terwujud.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku tidak lagi mendapat kabar apa pun dari Aida. Aku mencoba menjalani hari-hari ku, meski kadang itu terasa sangat berat. Aku belajar untuk melupakan Aida, meski selalu saja senyum manisnya melintas di pikiran ku.

Hingga pada suatu kesempatan, tiba-tiba Aida menghubungi ku. Ia mengajak aku ketemuan, di tempat biasa kami bertemu. Awalnya aku ingin menolak, namun aku juga merasa penasaran, kenapa Aida tiba-tiba mengajak aku bertemu, setelah berbulan-bulan ia menghilang.

"aku minta maaf..." itu kalimat pertama yang di ucapkan Aida, saat akhirnya kami bertemu di kafe tersebut.

"aku minta maaf, karena sudah berbulan-bulan aku tidak memberi mu kabar. Aku minta maaf, karena selama ini aku selalu mengabaikan pesan-pesan dari mu. Aku juga minta maaf, karena tidak bisa mengangkat telepon dari mu..."

"beberapa bulan belakangan ini, aku sibuk mengurusi persoalan rumah tangga ku. Aku sibuk mengurusi perceraian ku dengan suami ku. Aku jadi tidak punya waktu, untuk melakukan hal lain.."

Aida berucap dengan nada penuh keseriusan.

"setelah pertemuan terakhir kita hari itu, aku mencoba menyelidiki suami ku. Mencari tahu, apa yang menyebabkannya berubah. Sampai akhirnya aku tahu, kalau ternyata suami ku, telah menikah lagi. Dan itu ia lakukan, sudah hampir setahun. Bahkan istri barunya juga sedang hamil.."

"aku tentu saja merasa sangat kecewa dengan semua itu. Aku marah. Dan aku meminta cerai dari suami ku. Aku tidak sudi lagi, hidup bersama laki-laki yang telah mengkhianati ku."

"aku menuntut cerai dari suami ku. Aku meminta hak asuh anak-anak ku sepenuhnya. Tapi suami ku menolak, karena ia juga ingin memiliki hak asuh terhadap anak-anak kami. Karena itulah, proses perceraian kami berjalan sangat lama."

"walau pun akhirnya, hak asuh anak-anak jatuh padaku. Tapi suami ku tidak memberi sepersen pun harta gono gini padaku, kecuali rumah yang kami tempati selama ini. Dan rumah itu pun terpaksa aku jual, untuk biaya hidup kami."

"saat ini, untuk sementara aku dan anak-anak tinggal bersama adik ku. Untunglah aku juga sudah dapat pekerjaan. Jadi mungkin ke depannya, kami akan mencari rumah kontrakan, untuk bisa kami tempati. Karena tidak mungkin selamanya kami tinggal di rumah adik ku tersebut.."

"sekarang.. aku sudah bebas dari suami ku. Hanya saja, aku harus menata hidup ku kembali, menata hati ku juga. Mungkin akan butuh waktu yang cukup lama, tapi aku pasti bisa melewati semua ini.."

begitulah cerita Aida panjang lebar pada ku malam itu. Aku jadi merasa tersentuh mendengar ceritanya. Hati ku yang tadinya merasa marah dan kesal, kini luluh, berganti rasa iba dan bangga. Aku bangga melihat betapa tegarnya Aida menghadapi semua itu. Hal itu juga membuat aku semakin kagum padanya.

Ternyata selama ini, aku telah salah sangka pada Aida. Aku pikir, Aida sengaja menghindari dan menjauh dari ku. Tapi ternyata, ia hanya tidak ingin aku terlibat dalam persoalan rumah tangganya. Ia tidak ingin membuat aku merasa ikut terbebani dengan persoalan yang sedang ia hadapi.

****

Bersambung...

Mama Muda (part 1)

Nama ku Edo. Usia ku sudah 28 tahun. Dan saat ini aku sudah bekerja menjadi seorang karyawan di sebuah mini market. Aku seorang sarjana sebenarnya. Namun karena tidak satu pun lamaran kerja ku yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tempat aku melamar kerja, aku pun harus berpuas diri meski hanya menjadi karyawan di sebuah mini market.

Gaji yang aku terima memang tidak seberapa, tapi masih cukup untuk biaya hidup ku sehari-hari dan untuk membayar uang kost setiap bulannya.

Aku kost sendirian di sebuah tempat kost-kost-an yang kamar nya cukup kecil, dengan harga yang murah. Karena memang aku sudah mulai merantau sejak aku kuliah. Dan aku sudah terbiasa hidup sendirian di kota yang besar ini.

Orangtua dan semua keluarga ku tinggal di kampung, yang jaraknya sangat jauh dari kota tempat aku tinggal. Sejak tinggal di kota aku memang jarang pulang, terutama setelah aku lulus kuliah. Selain karena memang tidak ada ongkos pulang, aku juga merasa malu, jika pulang dalam keadaan belum sukses seperti saat ini.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku yang perempuan sudah menikah dan sudah punya dua orang anak di kampung. Adik perempuan ku juga sudah menikah. Aku laki-laki satu-satunya di keluarga kami dan belum menikah. Hal itu juga menjadi salah satu alasan bagi ku, kenapa aku jadi jarang pulang.

Aku sendiri sebenarnya pernah berpacaran beberapa kali. Tapi selalu saja hubungan ku harus berakhir dengan sangat menyakitkan, dengan berbagai alasan. Terutama karena memang aku seseorang yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan belum memiliki masa depan yang jelas.

Untuk saat ini pun, aku jadi kurang percaya untuk mendekati perempuan yang aku suka, karena kehidupan ku secara ekonomi masih jauh dari kata mapan. Karena itu lah, aku memilih untuk tidak berpacaran lagi, setidaknya sampai aku punya pekerjaan yang lebih baik.

****


 

Sebagai seorang karyawan di mini market, aku memang hampir setiap hari bertemu orang-orang. Baik itu orang-orang baru, mau pun orang yang sama. Dan Aku mencoba  menikmati hal tersebut, meski pun sebenarnya itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan.

Aku punya cita-cita, aku punya keinginan. Namun untuk saat ini, yang bisa aku lakukan, hanyalah mencoba menjalani ini semua dengan berlapang dada. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa.

Di samping itu, aku masih terus mencoba untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan bidang dan keahlian ku. Terutama perusahaan-perusahaan yang menurutku memiliki prospek yang baik ke depannya.

Sebagai seorang laki-laki aku memang punya cita-cita yang cukup tinggi. Aku ingin punya pekerjaan dengan gaji yang fantastik, agar aku bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk nantinya aku jadikan modal, untuk membuka usaha ku sendiri. Lalu kemudian, aku akan bisa melamar gadis yang aku inginkan.

Setidaknya begitulah cita-cita ku untuk saat ini. Meski pun aku sadar, hal itu tidak akan mudah untuk aku wujudkan. Tapi setidaknya aku akan selalu berusaha untuk mewujudkannya.

****

Ada seorang pelanggan perempuan yang sering datang berbelanja ke mini market tempat aku bekerja saat ini. Perempuan itu sebenarnya masih cukup muda, mungkin berkisar 30 tahun usianya. Dan dia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Hal itu aku ketahui, karena dia sering datang bersama suami dan dua orang anaknya, untuk berbelanja.

Perempuan itu berwajah manis, dengan hidung sedikit mancung. Tubuhnya cukup berisi, namun tidak terbilang gendut. Cukup montok sih, kalau menurut saya. Intinya secara fisik perempuan itu masih cukuup menarik. Tipe mama muda jaman sekarang.

Kami sudah pernah mengobrol beberapa kali, terutama saat ia datang sendirian ke mini market. Ia sering bertanya pada ku tentang letak barang-barang yang ia cari. Aku selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik, sebagai seorang karyawan di mini market tersebut.

Aku bekerja secara shift, kadang aku masuk pagi sampai sore, kadang juga masuk sore sampai malam. Mini market tempat bekerja, memang cukup ramai, dan biasanya kami tutup sampai jam dua belas malam.

Ada beberapa orang karyawan yang bekerja di mini market tersebut. Dan semuanya sudah punya tugasnya masing-masing. Ada yang jadi kasir, ada yang bertugas menyusun barang-barang di rak-rak yang sudah ada. Dan ada juga yang bertugas mengangkut barang-barang yang datang.

Hingga pada suatu malam, saat itu hampir jam dua belas malam. Mini market sudah mau kami tutup. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, di iringi suara gemuruh petir dari kejauhan. Saat itu, kebetulan perempuan yang aku ceritakan tadi, juga sedang berada di sana.

Aku dan perempuan itu pun duduk di kursi yang ada di teras mini market tersebut, sambil sedikit mengobrol. Sementara karyawan-karyawan lain, ada yang sudah pulang, ada yang masih berada di dalam mini market, dan ada juga yang duduk-duduk di sisi lain teras mini market itu.

Saat itulah, tanpa sengaja aku pun berkenalan dengan perempuan tersebut. Ternyata perempuan itu bernama Aida. Setidaknya begitulah pengakuannya padaku, saat kami berkenalan. Ia juga mengaku, kalau ia sudah hampir delapan tahun menikah, dengan suaminya yang sekarang.

Suaminya adalah seorang kontraktor alat berat, yang tentu saja jarang berada di rumah. Karena suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Terutama saat suaminya harus bekerja di luar kota, karena ada proyek di sana.

Kedua anaknya juga masih kecil-kecil. Yang satu sudah berusia tujuh tahun, dan yang bungsu baru berusia, dua tahun. Mereka tinggal di sebuah perumahan elit, tak jauh dari mini market tersebut. Di rumahnya yang cukup besar itu, Aida sering tinggal hanya bertiga bersama anak-anaknya, karena suaminya jarang pulang.

Setidaknya begitulah cerita Aida padaku, malam itu. Entah mengapa ia begitu gamblangnya menceritakan hal tersebut padaku. Padahal kami baru saja saling berkenalan, meski pun selama ini kami sudah sering bertemu di mini market tersebut.

Aku juga berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi Aida malam itu. Mungkin ia memang butuh seseorang untuk bisa mendengarkan ia bercerita. Apa lagi, saat itu, hujan belum juga reda.

****

"jadi sekarang anak-anak mbak Aida tinggal berdua di rumah, dong?" tanya ku, ketika Aida berhenti bercerita sesaat.

"kalau malam ini, suami ku ada di rumah. Tapi karena tadi, anak ku kehabisan susu, mau tidak mau aku harus keluar sendirian untuk membeli susu ke mini market ini.." balas Aida santai.

"oh gitu.." ucapku kemudian, "kalau mbak Aida mau pulang cepat, saya ada bawa baju hujan di motor, mbak Aida bisa pakai. Siapa tahu, anak mbak Aida sudah menangis karena ingin minum susu..." lanjutku menawarkan.

"tapi.. kamu sendiri gimana? Kamu juga butuh baju hujan itu untuk pulang kan?"

"iya sih, tapi gak apa-apa, karena mbak Aida lebih butuh. Saya sudah biasa pulang dalam keadaan hujan-hujan. Lagi pula, tempat kost saya gak jauh kok dari sini.."

"oh.. jadi kamu kost?"

"iya, mbak..."

"saya kira kamu asli orang sini..."

"gak kok, mbak. Saya perantau dan hanya tinggal sendiri di kota ini.."

Untuk beberapa saat suasana hening.

"emangnya kamu kost dimana?" tanya Aida tiba-tiba.

Aku pun menyebutkan nama daerah tempat aku kost, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari mini market tersebut.

"ya udah, kalau kamu memang bersikeras untuk meminjamkan aku baju hujan, saya mau pulang sekarang aja. Karena hujan sepertinya masih lama turunnya.." ucap Aida lagi.

"iya, mbak. Gak apa-apa. Pakai aja. Saya ambilkan baju hujannya sebentar ya..." balasku sambil mulai berdiri dan melangkah menuju motor ku yang terparkir tak jauh dari situ.

Setelah mendapatkan baju hujan tersebut, aku pun menyerahkannya kepada Aida. Ia pun segera memakai baju hujan tersebut, lalu kemudian ia pun pamit untuk segera pulang.

****

Keesokan malamnya, tanpa aku duga sama sekali, tiba-tiba saja Aida datang ke tempat kost ku. Aku cukup kaget menyambut kedatangannya.

"ada apa mbak Aida kesini?" tanya ku dalam kekagetan ku.

"saya mau antar baju hujan yang malam kemarin saya pinjam.."

"ah, mbak. Gak usah repot-repot loh sebenarnya, mbak. Gak diantar juga gak apa-apa, kok. Lagi pula mbak Aida kan bisa antar ke mini market aja, kalau pun saya gak ada di sana bisa titip aja sama yang lain.."

"iya sih.. aku juga sebenarnya sekalian pengen tahu tempat kost kamu. Tadi kebetulan juga aku lewat sini, jadi ingat kalau kamu kost di sini, sekalian mau mampir..." balas Aida, sambil memamerkan senyum manisnya.

Lalu kemudian, tanpa menunggu basa-basi dari ku, dan tanpa rasa canggung, Aida pun masuk ke kamar kost ku yang kecil tersebut. Untuk masih jam tujuh, jadi masih boleh bertamu.

"yah.. beginilah keadaan kost saya, mbak. Kecil." ucapku dengan perasaan sungkan.

"gak apa-apa kecil, Do. Yang penting nyaman, dan tahan lama..."

"ah, mbak Aida bisa aja.. Emangnya seperti apa kamar kost yang tahan lama, mbak?"

"yah.. seperti kamar kost kamu ini, kecil, tapi temboknya terlihat kokoh. Jadi bisa tahan lama bangunannya. Kamu juga bisa bertahan lama untuk tetap nge-kost di sini.." jelas Aida entah untuk tujuan apa.

"iya, mbak. Saya memang sudah bertahun-tahun nge-kost di sini, sudah sejak aku masih kuliah.." balasku sekedar memberitahunya.

"tapi... mbak Aida datang kesini dak takut suaminya marah?" tanyaku tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat suasana hening tercipta diantara kami.

"dia kan gak tahu, kalau aku kesini. Lagi pula malam ini, suami ku tidak sedang di rumah, ia dapat tugas lagi ke luar kota.."

"loh.. jadi anak mbak Aida sekarang dimana?" tanyaku dengan nada sedikit heran.

"tadi anak-anak saya titip di rumah adik saya. Rumahnya gak jauh kok, dari rumah saya. Saya juga sudah sering menitipkan anak-anak di sana.." Aida menjelaskan dengan suara yang terdengar sangat pelan.

Kami duduk di tepian ranjang kecil yang ada di dalam kamar tersebut. Meski pun masih merasa canggung, tapi mencoba untuk tetap rileks dan berusaha sesantai mungkin.

Terus terang selama aku kost disini, baru kali ini ada perempuan masuk ke kamar kost ku, apa lagi ini malam hari. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Mengingat Aida sudah punya suami dan anak. Rasanya ada yang terasa aneh akan hal tersebut.

Tapi aku coba mengabaikannya, karena mungkin saja Aida memang lagi butuh teman untuk bercerita. Dan aku harus siap akan hal tersebut, setidaknya untuk menghargai usahanya mengantarkan baju hujan yang ia pinjam, malam-malam seperti ini.

"kamu sudah punya pacar?" tiba-tiba Aida bertanya demikian.

"belum.." balasku jujur dan terdengar sangat polos.

"baguslah..." suara Aida terdengar sedikit berbisik.

"maksudnya, mbak?"

"yah.. bagus.. itu artinya gak bakal ada yang cemburu, kalau saya berlama-lama disini.."

Berlama-lama di sini? Bathin ku jadi tak karuan tiba-tiba mendengar kalimat Aida barusan.

Tiba-tiba Aida menatapku lama, sambil ia tersenyum manis padaku.

****

Bersambung...

Sedalam cinta Yuni

"aku ingin kita putus, Yun." suara Tito parau.

Yuni menatap lekat wajah laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya.

"kamu kenapa sih, To?" tanya Yuni akhirnya.

"aku gak kenapa-kenapa, Yun. Aku hanya ingin kita mengakhiri hubungan kita." balas laki-laki itu berat.

"iya... tapi kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba ingin kita putus? Setelah tiga tahun kita berpacaran, tanpa ada masalah apa pun selama ini. Sekarang kamu ingin kita putus? Pasti ada alasannya kan?" tanya Yuni bertubi-tubi. Hatinya terasa perih.

"karena kita berbeda, Yun. Kamu anak orang terpandang, sedang aku hanya seorang tukang parkir, gak punya masa depan yang jelas." balas Tito pilu. Hatinya juga sakit mengakui hal itu.

"bukankah dari awal kita memang beda? Tapi aku gak pernah mempermasalahkan hal itu. Kita juga sudah sering membahas hal ini, Tito. Kenapa sekarang hal itu justru menjadi alasan buat kamu, untuk kita putus? Kamu aneh, Tito. Alasan mu gak masuk akal." Yuni berucap lagi, hatinya semakin perih.

"selama ini aku berusaha menepis perbedaan yang ada di antara kita, Yun. Namun sekarang aku gak sanggup lagi. Aku gak bisa lagi berpura-pura, bahwa perbedaan itu tidak pernah ada. Aku harus realistis, Yun. Aku juga gak ingin kamu menyesal nantinya." Tito berucap, sambil mengalihkan pandangannya ke ujung langit yang mulai tamaram.

"kenapa kamu baru mengatakan hal ini sekarang? Kenapa kamu tidak mengatakannya tiga tahun yang lalu, sebelum kita jadian? Sebelum aku terlanjur dalam mencintai kamu?" Yuni masih meninggikan nada suaranya, sekedar untuk menahan rasa perih yang terus mengoyak hatinya.

Yuni tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Tito. Ia sadar betul hal itu. Dari awal Tito juga sudah sering mengingatkannya. Tapi Yuni yang selama ini bersikeras untuk tetap mencintai Tito. Yuni yang terus berusaha untuk mengabaikan perbedaan tersebut.

Dulu, lebih dari tiga tahun yang lalu, saat pertama kali Yuni bertemu Tito. Yuni sangat tertarik dengan Tito, yang merupakan seorang tukang parkir di sebuah mini market, tempat biasa Yuni belanja.

Awalnya Yuni hanya sekedar ingin menyapa, karena Tito memang terlihat memiliki wajah yang tampan. Rasanya ia tak pantas menjadi seorang tukang parkir. Begitu pikir Yuni waktu itu.

Namun dari sekedar menyapa, saling berkenalan, saling tukang nomor handphone, akhirnya mereka pun mulai akrab. Hingga Yuni pun jatuh cinta pada Tito.

Tapi Tito tak bisa menerima semua itu. Ia berusaha mengingatkan Yuni akan statusnya yang cuma seorang tulang parkir. Namun Yuni akhirnya berhasil meyakinkan Tito, bahwa hal itu tidaklah menjadi masalah.

Mereka pun akhirnya pacaran. Diam-diam. Tanpa siapa pun yang tahu.

Tito menyadari, jika hubungannya dan Yuni di ketahui oleh keluarga Yuni, maka hubungan mereka pasti akan di tentang. Karena itu, Tito yang bersikeras untuk tetap menyembunyikan hubungan mereka.

Yuni tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting baginya, mereka masih bisa bertemu, memadu kasih, meski mungkin hanya sekali seminggu. Tapi itu sudah cukup membuat Yuni bahagia.

Selama tiga tahun hubungan mereka terjalin dengan indah. Namun sekarang, Tito tiba-tiba ingin mengakhiri semua itu. Hati Yuni merintih menahan tangis.

"aku sangat mencintai kamu, Tito. Dan aku rela melakukan apa saja untuk bisa membuktikan hal itu." ucap Yuni akhirnya, setelah sejenak pikirannya melayang mengingat masa lalunya bersama Tito.

"kamu gak perlu membuktikan apa pun, Yun. Aku selalu percaya kalau kamu memang mencintaiku. Tapi aku juga percaya, bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat kita tetap bahagia." balas Tito lirih.

"tapi aku tetap tidak ingin kita putus, To. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama-sama. Aku mohon, To. Jangan pernah tinggalkan aku.." Yuni akhirnya terisak pilu. Hatinya benar-benar sakit.

Perlahan Tito pun merangkul tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Tito tidak pernah tega melihat Yuni menangis. Hatinya yang semula tegar untuk melepaskan Yuni, tiba-tiba luluh kembali.

"cinta kita tidak akan pernah mendapatkan restu dari keluarga kamu, Yun. Kamu harusnya menyadari hal itu. Jadi sebelum semuanya terlambat, lebih baik kita mengakhirinya sekarang." Tito berucap pelan, masih terus berusaha membuat Yuni mengerti.

"aku tahu bagaimana caranya agar hubungan kita bisa diterima oleh keluarga ku..." Yuni berucap pelan.

"maksud kamu?" tanya Tito heran. Dia tidak pernah yakin ada cara yang bisa membuat orangtua Yuni rela melepaskan anak gadis semata wayang mereka hidup bersama seorang tukang parkir. Tidak akan pernah ada.

"aku ingin .... kamu mengh4mili ku, To." suara Yuni serak, namun mampu membuat Tito melepaskan dekapannya. Sungguh ia tak menyangka kalau Yuni akan berkata demikian. Ia tatap mata gadis itu dalam-dalam.

"hanya itu satu-satunya cara, agar keluarga ku bisa menerima kamu, To." Yuni berucap lagi, sambil membalas tatapan Tito.

"sekali pun aku sangat mencintai kamu, Yun. Aku tak akan pernah melakukan hal itu. Aku tak akan pernah menodai kesucian cinta kita. Dan kamu jangan pernah berpikir untuk melakukan hal tersebut. Aku gak rela kamu berucap seperti itu." balas Tito akhirnya berucap.

"tapi aku sangat mencintai kamu, Tito. Dan aku tidak ingin hubungan kita berakhir, hanya karena kita merasa takut, hubungan kita tidak akan di restui oleh orangtua ku." ucap Yuni kemudian.

"tapi kenyataannya memang seperti itu, Yun. Dan kita memang harus mengakhiri ini semua, sebelum makin terlambat." balas Tito lirih.

*****

Dan begitulah, Tito dengan sangat berat harus melepaskan Yuni dari hidupnya. Dari hatinya. Meski hatinya sangat terluka dengan keputusan tersebut. Namun Tito harus menerima kenyataan tersebut.

Tito mengingat kembali kejadian beberapa minggu yang lalu, jauh sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Yuni.

"Yuni anak tante satu-satunya, Tito." suara berat mama Yuni berucap, saat ia dengan sengaja menemui Tito di tempat Tito bekerja menjadi seorang tukang parkir.

"tante hanya ingin yang terbaik untuknya. Dan tante ingin Yuni mendapatkan jodoh yang terbaik juga. Tante harap kamu mengerti maksud tante.." lanjut mama Yuni lagi, yang membuat Tito terdiam pasrah.

Tito sadar dan sangat mengerti maksud mama Yuni berucap begitu. Ia memang tidak pantas untuk Yuni. Ia bukanlah yang terbaik. Yuni memang pantas mendapatkan jodoh terbaik, dan orang itu bukan Tito.

Menyadari hal tersebut, Tito pun berusaha untuk bisa memutuskan hubungannya dengan Yuni. Itu semua demi kebaikan Yuni dan juga demi masa depan Yuni sendiri.

Kini Tito hanya ingin melupakan Yuni. Ia tidak ingin terlarut dengan kenangan-kenangan indahnya bersama Yuni. Ia hanya berharap, semoga Yuni menemukan kebahagiaannya.

*****

"hei... kamu Tito, kan?" sebuah suara lembut membuyarkan lamunan Tito, saat ia bersiap-siap hendak pulang. Tito memutar kepala untuk menatap arah suara itu. Seorang gadis manis tersenyum padanya.

"iya, dan kamu siapa?" tanya Tito dengan nada heran, karena ia belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.

"saya Nita, teman Yuni." balas gadis itu, dengan masih tetap tersenyum.

"oh.." Tito membulatkan bibir, "ada apa?" tanya Tito bersikap enggan.

"gak ada apa-apa, sih. Cuma mau ngasih tahu aja, kalau Yuni sekarang di rawat di rumah sakit." balas gadis itu, Nita.

"Yuni sakit? Sakit apa?" Tito penasaran. Sudah hampir tiga bulan ia tak pernah lagi bertemu Yuni, semenjak ia memutuskan hubungan mereka.

"Yuni mengalami depresi semenjak putus sama kamu, Tito. Dan terakhir ia mencoba bunuh diri, karena itu sekarang ia di rawat." jelas Nita.

"separah itu?" Tito mengernyitkan kening.

"iya.. separah itu. Yuni bukan hanya depresi karena putus dari kamu, Tito. Tapi juga karena ia akan di jodohkan orangtuanya. Ia tidak bisa menerima semua itu." balas Nita lagi.

"lalu untuk apa kamu menceritakan semua ini padaku? Kami sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi." ucap Tito terdengar acuh, meski hatinya sendiri sangat sakit mendengar kabar tersebut. Ia merasa bersalah, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"tante Dela yang meminta aku mencari kamu." jelas Nita.

"tente Dela? Mamanya Yuni?" tanya Tito terheran.

"iya. Ia yang meminta aku menemui kamu, dan ia juga berharap, agar kamu mau menemui Yuni di rumah sakit." jelas Nita lagi.

"tapi bukankah dia yang meminta aku untuk menjauhi Yuni?" tanya Tito lagi.

"iya... dan sekarang ia sudah menyesali semua itu. Sebenarnya beliau ingin sekali menemui kamu secara langsung, tapi ia gak tega meninggalkan Yuni sendirian di rumah sakit. Beliau juga ingin menyampaikan permintaan maafnya sama kamu." ucap Nita membalas.

"dan jika kamu masih mencintai Yuni, aku harap kamu bisa ikut dengan ku sekarang ke rumah sakit. Sebelum semuanya terlambat. Mungkin dengan kehadiran kamu, bisa membantu agar Yuni bisa sembuh lebih cepat." Nita berucap kembali.

Tito termangu beberapa saat. Dia hampir saja berhasil untuk bisa melupakan Yuni. Dan berharap untuk tidak lagi bertemu dengannya. Namun sekarang keadaanya sungguh berbeda. Yuni membutuhkannya.

Karena itu, Tito pun melangkah pelan mengikuti langkah Nita menuju mobilnya yang di parkir tidak terlalu jauh dari sana. Tito hanya berharap ia belum terlambat. Tito hanya berharap, Yuni bisa pulih kembali. Dan ia akan rela melakukan apa pun, untuk bisa membuat Yuni sembuh.

Tito sungguh tidak menyangka, kalau cinta Yuni begitu besar untuknya. Ia tak menyangka cinta Yuni akan sedalam itu. Cinta Yuni terlalu dalam, dan Tito berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melepaskan Yuni walau apa pun alasannya.

****

Bersama gadis pantai yang cantik

Aku berjalan pelan menelusuri pantai. Langkah ku sedikit goyah, karena masih merasa capek, setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam naik motor.

Pantai yang aku tuju memang lah sebuah pantai yang cukup indah dan juga merupakan sebuah pantai yang cukup ramai di kunjungi oleh warga lokal, mau pun dari luar negeri.

Di sepanjang pantai terdapat banyak pengunjung. Ada yang mandi-mandi, ada yang hanya sekedar photo-photo atau hanya sekedar nongkrong.

Aku sengaja datang sendirian ke pantai ini, sekedar menikmati masa liburan ku.

Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa. Usiaku sendiri sudah hampir kepala tiga, tapi aku belum menikah. Aku lebih suka menikmati masa lajang ku.

Bukan aku tak laku, atau pun sulit mencari pasangan. Hanya saja, sudah beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan yang serius, tapi selalu gagal.

Jadi hingga saat ini, aku lebih memilih untuk hidup sendiri. Apa lagi aku juga tinggal di kota besar, tak ada tuntutan untuk segera menikah. Kedua orangtua ku juga sudah tiada. Aku hanya punya dua orang kakak yang tinggal di kampung. Keduanya sudah punya suami dan anak.

Aku sering menikmati liburan sendiri seperti ini. Aku memang lebih suka sendirian, rasanya lebih bebas aja.

Terdapat banyak penginapan di sekitar pantai ini, aku sudah membooking satu kamar secara online. Aku memang berniat untuk menginap satu malam di sini.

Saat akhirnya senja pun datang, aku bersegera untuk menuju penginapan. Aku ingin beristirahat malam ini, sebelum esok aku akan menjelajahi pantai ini.

Saat sampai di penginapan, si pemilik penginapan menyambutku dengan senyum ramah. Pemilik penginapa itu, seorang ibu tua. Dia memang cukup ramah kepada para pengunjung, terutama yang menginap di penginapannya.

Penginapan itu hanya punya dua puluh kamar, dan semua kamar sudah terisi penuh. Biasanya kalau musim liburan seperti ini, hampir semua penginapan di sini, selalu penuh. Karena itu, aku memesan kamar ini secara online, agar tidak kehabisan kamar.

Selesai mandi dan makan malam, aku mencoba berjalan di sekitaran pantai. Suasana pantai itu memang sangat nyaman, terutama di malam hari. Deburan ombak yang menerpa karang, terdengar cukup riuh.

Saat aku duduk sendirian di sebuah batu karang, tiba-tiba sesosok wanita datang menghampiri ku.

"sendirian aja, mas?" lembut suara wanita itu menyapa.

"iya." jawabku singkat.

"lagi putus cinta atau lagi ada masalah dengan istri?" tanya wanita itu lagi.

"kok nanya nya gitu?" akku balik bertanya dengan nada heran. Aku perhatikan wajah wanita yang tiba-tiba saja sudah duduk di samping ku itu. Seorang wanita yang cukup cantik. Postur tubuhnya juga terliha seksi.

"iya.. biasanya kalau cowok lagi sendirian, pasti karena dua alasan itu." jelas wanita santai.

"gak juga lah." balas ku cepat, "aku memang lagi pengen sendiria aja." lanjutku.

"pasti ada alasannya, kan?" sela wanita itu.

"apa semua hal yang terjadi di dunia ini, harus ada alasannya?" aku kembali bertanya.

"gak juga sih, tapi untuk beberapa hal, kadang alasan itu memang ada, hanya kebanyakan dari kita tidak mau mengakuinya." balas wanita itu.

"yang pasti, aku tidak sedang putus cinta dan juga aku belum menikah, jadi gak mungkin punya masalah dengan istri kan?" timpal ku kemudian.

Kali ini wanita itu menatap ku.

"sudah ku duga." ucapnya pelan.

"maksudnya?" tanya ku.

"iya, sudah ku duga kalau mas pasti belum menikah. Karena di masa liburan seperti ini, orang-orang pasti pergi liburannya sama keluarga. Jadi kalau ada cowok yang berliburan sendiri, hanya ada dua kemungkinan." ucap wanita itu.

"dua kemungkinan? Apa itu?"  tanyaku menyela.

"pertama karena memang belum punya pacar, yang kedua karena memang gak suka gak perempuan." jelas wanita itu.

"ah, kamu bisa aja. Tapi yang pasti, aku bukan yang kedua." balasku ringan.

"ah, yang benar?" wanita itu sedikit menggoda.

"iya benar lah." balasku merasa sedikit tersinggung.

"bisa di bukti kan gak..?" wanita itu terus menggoda ku.

"gimana cara membuktikannya?" tanyaku terpancing.

Kali ini wanita itu tersenyum. Senyum yang cukup memikat.

"mas nginap sini kan?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk.

"mas nginap sendiri?" wanita itu bertanya lagi.

Aku mengangguk lagi.

"kalau begitu kita bisa membuktikannya di kamar mas.." ucap wanita itu lagi, dengan sedikit menekan suara.

"maksud kamu apa? Dan sebenarnya kamu ini siapa?" tanyaku dengan nada heran.

"panggil aja aku Aurel. Dan jika mas ini normal, mas pasti ngerti maksud ku apa." balas wanita itu.

"oke. Aku ngerti maksud kamu. Tapi apa untungnya bagi kamu?" balasku sedikit sengit.

"untungnya bagi ku ... ya... mungkin mas bisa memberiku sedikit uang.." ucap wanita itu terdengar santai.

"jadi kamu ini wanita bayaran?" tanyaku lugas.

"aku memang suka di bayar, tapi aku juga gak sembarangan mendekati laki-laki." balas wanita yang mengaku bernama Aurel tersebut.

"apa bedanya?" pungkas ku sedikit mengecam.

"terserah mas sih, mau menilai aku bagaimana. Tapi yang pasti jika mas mau punya teman tidur malam ini, aku bersedia. Kalau mas gak mau, ya itu tadi, berarti mas gak suka perempuan." ucap Aurel pelan.

"aku masih suka perempuan ya, tapi gak sembarangan perempuan juga. Kalau aku ingin membayar seorang perempuan, lebih baik aku mencarinya di kota, lebih banyak pilihannya." balas ku sedikit sengit.

"gadis kota dengan gadis desa itu berbeda loh rasanya, mas. Mas coba deh malam ini." Aurel terus berupaya untuk membujuk ku.

Sejujurnya aku belum pernah sekali pun membayar wanita untuk bisa tidur dengan ku. Tapi bukan berarti aku ini masih perjaka. Saat punya pacar dulu, aku pernah melakukan hal tersebut, beberapa kali.

Namun mendengar tawaran Aurel barusan, jujur aku merasa mulai tertarik dan cukup merasa tertantang.

"emangnya berapa tarif kamu?" tanyaku akhirnya.

"gak mahal, kok. Cuma lima ratus ribu." jawab Aurel lugas.

"satu malam?" tanya ku polos.

"ya gak lah. Itu tarif untuk sekali berlayar aja. Kalau satu malam beda lagi." bantah Aurel cepat.

"ya udah, aku mau coba gadis desa kayak kamu." ucapku akhirnya.

Aurel terlihat tersenyum menang. Kami pun kemudian sama-sama berdiri dan melangkah menuju penginapan.

*****

Malam itu, kapal kami pun berlayar. Sebuah pelayaran yang cukup indah. Aurel memang terlihat sudah sangat berpengalaman. Ia mampu membawa ku terbang dalam suasana nan romantis.

Dinginnya suasana pantai itu, tak mampu mendinginkan hasr4t kami untuk saling menumpahkan keinginan kami.

Hingga kapal kami pun berlabuh dengan sempurna. Sebuah perlabuhan yang cukup indah, dan cukup membuat aku menjadi terkesan.

Sekali lagi Aurel tersenyum menang. Ia mentapku dengan senyum menggoda.

"mas cukup hebat.." ucapnya tiba-tiba.

"kamu juga hebat.." balas ku jujur.

Sesaat kemudian, Aurel pun melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut. Sementara aku masih terbaring letih. Jujur saja, sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut, dan itu yang membuat aku merasa terkesan.

Jauh-jauh aku menikmati liburan sendiri, justru aku mendapatkan sebuah pengalaman yang cukup indah. Meski aku harus mengeluarkan sedikit uang untuk hal tersebut.

Beberapa menit kemudian, Aurel pun keluar dari kamar mandi, dia pun segera memakai pakaiannya kembali. Aku mengambil dompet ku, dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Uang itu aku serahkan pada Aurel, sesuai perjanjian.

"makasih, mas." ucap Aurel pelan, sambil tersenyum dan mengambil uang tersebut.

Tak lama kemudian, Aurel pun pamit.

Aku melepaskan kepergian Aurel dengan perasaan sedikit lega. Aku masih terus berpikir, karena tak menyangka sama sekali, di tempat seperti ini, masih ada wanita seperti Aurel.

Mungkin Aurel bukan satu-satu nya. Mungkin masih banyak gadis pantai lain, yang melakukan hal yang sama seperti yang Aurel lakukan.

Tentu saja itu semua mereka lakukan, hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aku merasa miris tiba-tiba. Mengapa orang-orang rela melakukan apa saja, hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Padahal ada begitu banyak pilihan dalam hidup ini, tapi mengapa mereka justru memilih hal itu?

Mungkin itu satu-satunya cara termudah yang mereka ketahui, untuk mendapatkan uang. Apa lagi mereka cuma punya modal fisik yang menarik saja.

Namun terlepas dari apa pun itu, aku juga tidak terlalu peduli. Itu merupakan pilihan hidup mereka, dan aku tak berhak untuk menghakimi mereka, walau dengan alasan apa pun.

Itu lah salah satu pengalamanku, saat aku berliburan sendiri. Selalu saja ada hal-hal indah yang aku temui dalam perjalanan ku. Hal-hal indah yang aku simpan sebagai pengalaman hidup. Hal-hal indah yang membuat aku semakin betah melajang.

****

Sekian ..

Hidup serumah dengan janda kaya

Aku melangkah gontai dalam kegelapan malam. Pikiran ku kacau. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus kemana. Aku kehilangan arah. Aku hampir kehilangan semuanya.

Berawal dari aku yang di pecat dari pekerjaan ku sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku bekerja di sana sebenarnya baru sekitar satu tahun. Namun karena pendemi yang sedang melanda, perusahaan tempat aku bekerja harus melakukan pengurangan karyawan. Dan aku salah satu korbannya.

Dulu aku merantau ke kota, karena sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi sekarang aku sudah tidak punya pekerjaan lagi. Semua uang tabungan ku pun sudah terkuras, karena sudah hampir empat bulan aku menganggur.

Aku sudah berusaha mencari pekerjaan lain, namun tidak satu pun pekerjaan yang aku dapatkan.

Terpikir untuk pulang ke kampung halaman ku, namun di kampung aku sudah tidak punya siapa-siapa. Selain kak Hana, kakak ku satu-satunya. Kehidupan kak Hana juga sangat sulit di kampung, karena itu aku tak ingin menambah bebannya.

Sekarang ini, aku bahkan sudah tidak punya tempat tinggal. Ibu kost sudah mengusir ku dari tempat kost, karena sudah lebih dari dua bulan aku tidak membayar uang kost. Aku terpaksa pergi dari sana, walau sebenarnya aku tidak punya tujuan yang jelas.

****

Aku duduk di depan sebuah ruko yang tertutup, untuk beristirahat. Tubuhku terasa lelah.

Saat itulah seorang wanita paroh baya keluar dari ruko tersebut. Wanita itu menatap ku sesaat, kemudian melangkah mendekat.

"kamu siapa?" tegurnya lembut.

Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku memang tidak tahu harus menjawab apa.

Aku justru berusaha untuk berdiri, aku berniat untuk pergi dari tempat itu.

"kamu jangan pergi dulu." cegah wanita itu, "saya bisa minta tolong?" lanjutnya bertanya.

"minta tolong apa?" tanya ku akhirnya, sambil tetap berdiri.

"keran air di dapur ku sepertinya tersumbat, tadinya aku berniat untuk memanggil tukang. Tapi karena melihat kamu tadi, aku jadi berubah pikiran. Mungkin kamu bisa membantu ku memperbaikinya, sepertinya kerusakannya hanya sedikit." jelas wanita itu panjang lebar.

"baiklah.." ucapku setuju.

Wanita itu tersenyum. Kemudian ia segera mengajak aku masuk ke dalam rukonya.

Ruko itu ternyata adalah sebuah toko pakaian khusus perempuan. Di bagian tengah ruko, terdapat banyak berbagai jenis pakaian wanita dewasa.

"mbak tinggal sendiri?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"namaku Nita, panggil aja mbak Nita." balas wanita itu, seperti mengabaikan pertanyaan ku.

"aku sudah bertahun-tahun membuka usaha toko pakaian di sini, dan sudah bertahun-tahun juga, aku tinggal sendiri, sejak aku bercerai dari suamiku." cerita mbak Nita terdengar sangat terbuka.

Aku hanya manggut-manggut ringan mendengar penjelasannya tersebut. Hingga kemudian kami pun sampai di dapur, setelah melewati sebuah kamar, yang aku yakin di kamar itulah mbak Nita tinggal.

Aku pun segera memeriksa keran air yang tersumbat tersebut. Dan setelah dengan cukup susah payah, aku pun berhasil memperbaikinya. Ada plastik yang menyumbat bagian ujung keran tersebut.

"seperti sudah lancar kembali." ucapku, dengan tangan ku yang basah kuyup.

Mbak Nita segera memberiku sebuah handuk kecil.

"keringkan dulu tangannya." ucap mbak Nita.

Aku mengambil handuk kecil tersebut, lalu segera mengeringkan tangan ku.

"sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau kita makan malam dulu. Kebetulan tadi aku masak cukup banyak." ucap mbak Nita menawarkan.

Saat itu mungkin sudah hampir jam sepuluh malam. Perut ku memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan mendengar tawaran mbak Nita, aku pun jadi tergiur.

"baiklah, mbak. Kalau mbak Nita memaksa." ucapku akhirnya.

Mbak Nita pun tersenyum kembali, sambil ia mengajak ku melangkah menuju meja makan yang berada tidak terlalu jauh dari situ.

"ini sudah jam sepuluh, mbak Nita belum makan malam?" tanya ku berbasa-basi.

"maklumlah, karena hidup sendiri, makan kadang juga gak teratur." balas mbak Nita, sambil mempersilahkan aku duduk.

"oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu nama kamu, loh." ucap mbak Nita lagi, saat kami sudah mulai makan.

"namaku Taufik Riza, tapi orang-orang biasa memanggil ku Fikri." balas ku ringan.

"nama yang cukup keren, sama seperti orangnya." ucap mbak Nita lugas

Aku tersenyum tersipu mendengar pujian tersebut.

"jadi sebenarnya kamu mau kemana?" tanya mbak Nita kemudian, setelah untuk beberapa saat kami sibuk mengunyah makanan kami masing-masing.

"aku gak tahu harus kemana, mbak. Aku baru saja kehilangan tempat tinggal." jelasku apa adanya.

"loh, kenapa emangnya?" tanya mbak Nita sedikit heran.

Aku pun dengan sedikit berat menceritakan secara singkat tentang kejadian yang menimpa ku akhir-akhir ini, terutama tentang aku yang kehilangan pekerjaan.

****

"bagaimana kalau untuk sementara, kamu bantu-bantu aku kerja di sini dulu. Kebetulan aku baru saja kehilangan seorang karyawan yang biasa membantu ku, karena dia harus pulang kampung. Dan jika kamu mau, kamu juga bisa tinggal di sini. Di atas ada kamar kosong." tawar mbak Nita, setelah ia mendengarkan cerita ku dengan seksama.

"apa itu gak terlalu berlebihan, mbak. Kita baru saja saling kenal loh. Mbak gak merasa takut?" balasku pelan.

"aku percaya kamu orang baik, Fik. Lagi pula aku juga merasa kesepian tinggal sendirian di sini." balas mbak Nita.

"aku bukannya gak mau, mbak. Tapi aku takut jadi omongan orang-orang, kalau kita tinggal berdua." ucapku lagi.

"udah, kamu tenanga aja. Kita ini tinggal di kota besar. Hal seperti itu, sudah menjadi hal yang biasa. Orang-orang juga gak bakal peduli. Lagi pula, kalau ada yang bertanya, katakan saja kalau kamu itu saudara ku dari kampung." balas mbak Nita terdengar yakin.

Aku pun tak punya alasan untuk menolak tawaran mbak Nita. Selain karena aku memang butuh pekerjaan dan tempat tinggal, mbak Nita juga kelihatannya orang yang baik.

*****

Sejak saat itulah, aku dan mbak Nita tinggal satu atap. Aku juga bekerja dengannya. Membantunya melayani pelanggan yang datang ke toko nya untuk berbelanja pakaian.

Rata-rata yang datang ke toko pakaian mbak Nita semuanya perempuan. Hal itu ternyata cukup membantu penjualan mbak Nita. Karena semenjak kerja di sana, semakin banyak pembeli yang datang ke toko mbak Nita.

"makasih ya, Fik. Karena kamu udah bantu aku kerja, pelanggan ku jadi semakin banyak. Penjualan ku pun semakin meningkat." ucap mbak Nita, suatu malam, saat kami makam malam bersama.

"aku yang makasih, mbak. Aku sudah di terima kerja di sini. Aku juga di terima tinggal di sini." balasku ringan.

"iya, Fik. Semoga kamu betah tinggal di sini, ya." ucap mbak Nita kemudian.

Dan seperti biasa, sehabis makan malam, aku pun segera naik ke lantai atas untuk tertidur. Selama hampir dua bulan ini, aku memang tidur lebih awal. Aku ingin bangun pagi-pagi, dan membantu mbak Nita membuka toko.

Saat aku sudah berada di dalam kamar, dan sudah merebahkan tubuhku di ranjang kecil itu, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar.

Aku segera bangkit dan membuka pintu. Aku melihat mbak Nita sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang. Ia hanya memakai pakaian tidur yang cukup transparan.

Aku terkesima melihatnya, karena biasanya aku melihat mbak Nita selalu berpakaian tertutup.

Meski pun mbak Nita sudah berusia hampir 40 tahun, namun ia masih terlihat cantik. Tubuhnya cukup seksi. Kulitnya bersih terawat. Terus terang secara fisik, mbak Nita memang masih cukup menarik.

"ada apa, mbak?" tanya ku sedikit tergagap.

"saya boleh masuk?" tanya mbak, mengabaikan pertanyaan ku.

"iya, boleh, mbak. Ini kan memang rumah mbak Nita." balas ku pelan.

Mbak Nita pun melangkah masuk ke kamar, aku mengikutinya dari belakang. Mbak Nita kemudian duduk di tepian ranjang kecil tersebut. Aku berdiri sedikit jauh darinya.

"kamu jangan berdiri di situ. Kamu duduk saja dekat saya." ucap mbak Nita.

Dengan sedikit sungkan, aku pun melangkah mendekat dan duduk di samping mbak Nita.

"ada apa ya, mbak?" tanyaku cukup heran.

Tak biasanya mbak Nita masuk ke kamar ku. Meski pun aku sudah tinggal dengannya lebih dari dua bulan. Meski pun kami sebenarnya sudah cukup dekat, karena memang hampir setiap hari kami bersama.

"aku sudah bercerai dari suami ku lebih dari lima tahun. Kami bercerai, karena suami ku lebih memilih hidup dengan selingkuhannya. Kami memang sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi kami belum punya keturunan."

"karena itulah, suami ku mencari wanita lain di luar sana, dan ternyata wanita selingkuhannya itu hamil. Jadi suami ku memilih untuk menikahinya dan meninggal aku sendirian."

"beruntunglah aku sudah punya usaha ini sejak lama, jadi aku punya kesibukan untuk melupakan semua kejadian pahit itu. Tapi sebagai seorang wanita normal, kadang aku juga merasa kesepian."

"banyak sih, laki-laki yang coba mendekati ku selama lima tahun belakangan ini. Tapi tidak satu pun dari mereka yang membuat aku merasa tertarik. Lagi pula aku juga masih merasa trauma untuk dekat dengan laki-laki mana pun."

"namun entah mengapa, sejak pertama kali melihat kamu, aku merasa tertarik sama kamu. Karena itulah, aku nekat untuk menawarkan kamu pekerjaan, dan juga untuk tinggal di sini bersama ku. Aku berharap, kita bisa bertemu setiap hari."

"dan semakin hari perasaan ku sama kamu kian berkembang, Fik. Aku mungkin telah jatuh cinta sama kamu. Keinginan ku untuk bisa memiliki kamu, tidak bisa aku pendam lagi. Aku benar-benar menyayangi kamu, Fik. Sudikah kau menjalin hubungan yang lebih serius dengan ku?"

Cerita mbak Nita yang panjang lebar itu, cukup membuat aku terkesima. Sungguh tidak aku sangka sama sekali, kalau mbak Nita akan berkata demikian.

"tapi aku... aku sudah menganggap mbak Nita seperti kakak ku sendiri." ucapku akhirnya terbata.

"aku tahu, ini gak mudah bagi kamu, Fik. Apa lagi jarak usia kita yang cukup jauh. Tapi aku harap kamu bisa memikirkan hal ini lebih dalam lagi. Karena aku benar-benar menginginkan kamu. Dan jika kamu bersedia, kita bisa menikah, Fik." mbak Nita berucap, sambil mulai berdiri.

"kamu pikirkan aja dulu, kamu gak harus jawab sekarang." ucapnya lagi.

Dan sesaat kemudian, mbak Nita pun melangkah keluar kamar meninggalkan aku dalam kebingungan.

****

Terus terang. aku jadi merasa dilema.

Di satu sisi, aku memang bisa menerima ungkapan cinta mbak Nita. Bukan karena dia tak menarik, tapi karena jarak usia kamu cukup jauh, hampir lima belas tahun.

Namun di sisi lain, aku juga gak mungkin menolaknya. Selain mbak Nita memang masih cantik dan seksi, dia juga selama sangat baik padaku. Jika aku menolak, itu berarti aku harus siap kehilangan kehidupan ku yang sekarang. Dan aku tidak mau hidup di jalanan.

Setelah berpikir cukup panjang dan penuh pertimbangan, aku pun membuat sebuah keputusan.

Sebuah keputusan yang sangat penting dalam hidup ku.

Mbak Nita adalah sosok wanita yang baik, lembut dan yang pasti dia adalah wanita yang sukses. Hidup ku akan baik-baik saja, jika aku tetap tinggal bersamanya. Apa lagi kalau sampai aku menikah dengannya.

Karena itu, aku pun menerima tawaran mbak Nita.

Kami pun akhirnya menikah, dan hidup satu rumah sebagai pasangan suami istri yang sah.

Begitulah kisah ku, yang akhirnya memilih untuk menikah dengan wanita yang usia nya jauh lebih tua dari ku.

Dan sejujurnya aku cukup merasa bahagia dengan semua itu. Apa lagi mbak Nita sangat berpengalaman, yang membuat ku kian terkesan dengannya.

****

Selesai..

Gadis desa yang lugu

Kisah ini berawal dari perkenalan ku dengan seorang gadis desa yang masih polos dan lugu. Namanya Desi. Dia gadis yang cantik dan lembut. Kecantikannya terlihat sangat alami.

Kami kenal tak sengaja, karena kebetulan Desi adalah seorang pembantu baru di rumah tetangga ku. Aku sering melihat Desi, terutama saat pagi hari ia berbelanja sayur-sayuran pada tukang yang memang setiap pagi lewat di kompleks perumahan kami.

Karena sering melihatnya, aku pun jadi penasaran. Apa lagi Desi memang sangat cantik.

Aku pun nekat mengajaknya berkenalan, saat Desi sedang berbelanja di warung depan rumah ku. Aku berpura-pura memebeli sesuatu di sana, agar aku punya alasan untuk mendekatinya dan mengajaknya berkenalan.

Kami pun akhirnya berkenalan, dan aku sengaja meminta nomor hendphone nya. Meski dengan sedikit berat Desi pun bersedia bertukar nomor handphone dengan ku.

Desi berasal dari kampung. Orangtua dan semua keluarganya tinggal di kampung. Menurut cerita Desi, dia baru pertama kali datang ke kota. Dia hanya seorang lulusan SD, karena itu ia hanya bisa menjadi seorang pembantu. Desi ternyata baru berusia 19 tahun.

Desi juga bercerita, kalau dia merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adik-adiknya masih kecil dan masih bersekolah. Orangtuanya yang hanya petani biasa di kampung. Penghasilan mereka juga terbilang cukup pas-pasan. Karena itu juga, Desi mau bekerja menjadi pembantu, untuk membantu keuangan orangtuanya.

Selain lewat handphone, aku dan Desi sekarang juga sering ngobrol secara langsung. Aku sengaja datang menemui Desi di rumah majikannya, saat majikannya tersebut tidak sedang berada di rumah. Kami biasanya ngobrol di teras belakang rumah tersebut.

Selain Desi, sebenarnya ada satu orang pembantu lagi di rumah tersebut. Namanya sebut saja bi Ijah. Namun kalau pagi dan siang hari, bi Ijah memang di tugaskan untuk mengantar dan menjemput anak majikan di sekolah.

Suami istri majikan Desi tersebut, keduanya memang sama-sama bekerja. Karena itu mereka berdua sangat jarang berada di rumah, terutama saat siang hari. Mereka memiliki dua orang anak, yang satu sudah kelas lima SD dan satu lagi masih kelas satu SD. Dan bi Ijah yang di percaya untuk menjaga kedua anak tersebut. Sementara Desi di tugaskan untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah.

Setidaknya begitulah yang Desi ceritakan padaku, tentang kegiatannya sehari-hari di rumah juragannya tersebut.

*****

Hari-hari pun berlalu, aku dan Desi pun semakin dekat dan akrab. Kata Desi dia senang bisa mengenal ku, karena ia memang tidak punya teman lain di kota ini.

Saat waktu-waktu senggangnya, aku juga sering mengajak Desi berkeliling kota. Desi tentu saja merasa bahagia dengan semua itu, karena ia memang tidak pernah ke kota sebelumnya.

Aku memang selalu berusaha untuk berbuat baik padanya. Karena aku memang sudah jatuh hati padanya, bahkan sejak pertama kali melihatnya. Namun aku tidak ingin buru-buru mengungkapkan perasaanku padanya. Aku ingin mendekatinya secara perlahan. Aku ingin Desi membuka hatinya untuk ku secara suka rela, tanpa ada paksaan.

Setelah merasa cukup yakin, aku pun kemudian berniat untuk mencurahkan isi hatiku pada Desi.

Kebetulan malam itu malam minggu, aku sengaja mengajak Desi jalan-jalan naik motor ku. Kami nonton di bioskop, lalu kemudian makan malam di sebuah kafe. Kemudian aku pun mengajak Desi untuk ngobrol di sebuah taman.

Saat itulah aku pun mengungkapkan perasaan ku padanya. Desi tidak menerimanya awalnya, karena ia merasa tidak pantas untuk ku.

"aku hanya seorang pembantu, mas." begitu alasannya.

Tapi aku terus berusaha untuk meyakinkan Desi, kalau aku benar-benar tulus mencintainya. Hingga akhirnya Desi pun luluh, dan kami pun resmi berpacaran.

****

Sejak berpacaran, kami kian dekat dan semakin terbuka dengan perasaan kami masing-masing.

Sampai suatu saat, aku nekat mengajak Desi masuk ke kamar ku. Aku memintanya diam-diam keluar dari rumah majikannya malam-malam, kemudian kami pun menyelinap ke kamarku. Saat itu orangtua ku memang sedang tidak berada di rumah.

Sesampai di kamar, kami pun mulai mengobrol. Berawal dari obrolan yang biasa, lalu kemudian menjurus kearah yang lebih sensitif. Hingga lama kelamaan, aku pun mulai berani untuk melakukan kontak fisik dengan Desi.

Desi berusaha menolak awalnya, namun aku terus membujuknya untuk mau melakukan hal tersebut dengan ku. Akhirnya Desi pun bersedia.

Desi benar-benar sangat lugu dan polos. Dia benar-benar sosok gadis desa yang belum tersentuh oleh tangan laki-laki mana pun. Bahkan menurut Desi, aku adalah pacar pertamanya. Dan aku juga laki-laki pertama yang berhasil menyentuh hatinya.

Aku pun berhasil menjadi laki-laki pertama yang bisa menciumnya. Bahkan bukan cuma sampai di situ. Aku semakin berani untuk meminta hal yang lebih pada Desi. Meski pun malu-malu dan masih terasa kaku, Desi pun mulai terbawa suasana.

Pelan namun pasti, kami pun mulai terhanyut dengan suasana romantis malam itu. Hingga akhirnya aku pun berhsil mer3nggutt k3suc!an Desi mlam itu. Desi sempat menangis beberapa saat, namun aku kembali berhasil membujuknya. Desi pun kembali bsa m3n!km4tti p3rm4!nan itu lagi. Dia bahkan beursaha untk mmblas setipa tndakanku padanya.

Hingga kmi pun sama-sma trhemp4s, dlam lautan keindhan cinta yng penuh wrna.

****

Sejak malam itu, kami pun semakin sering mlakukan hal trsebut. Kami semakin terlena dengan cinta yang hadir di antara kami. Aku semakin tak ingin melepaskan Desi. Bukan saja karena aku memang mencintainya. Tapi juga karena aku jadi merasa ket4gihan dengannya.

Aku memang pernah pacaran sebelumnya. Namun aku belum pernah sampai melewati batas dengan pacarku, seperti yang aku lakukan dengan Desi. Namun dengan Desi aku mendapatkan segalanya. Karena itu juga, aku tak ingin melepaskannya.

Desi memang bukan pacar apa lagi cinta pertamaku. Tapi dia adalah gadis pertama yang mampu memberikan aku kesan yang indah. Kesan pertama yang tak akan pernah aku lupakan.

Aku memang masih kuliah saat ini. Masih semester lima. Aku juga merupakan anak tunggal. Papa ku seorang karyawan di sebuah bank swasta, sedangkan ibu ku adalah seorang guru. Sebagai anak tunggal, aku memang hidup serba berkecukupan. Hampir semua keinginan ku selalu dipenuhi oleh orangtua ku.

Saat mengetahui, kalau aku punya hubungan istimewa dengan Desi. Orangtua ku tentu saja menolak hal tersebut. Mereka sangat marah padaku. Mereka meminta aku untuk meninggalkan Desi dan mencari gadis lain yang sepadan dengan kehidupan kami secara ekonomi maupun pendidikan.

Aku tidak menerimanya begitu saja. Aku berusaha meyakinkan orangtua ku, kalau aku dan Desi benar-benar saling mencintai. Tapi orangtua ku tetap tidak ingin aku berhubungan dengan Desi.

Hubungan ku dengan orangtua ku menjadi renggang. Aku jadi tidak mau berbicara dengan mereka. Sementara aku dan Desi terus melakukan pertemuan diam-diam. Meski pun Desi terus berusaha mengingatkan ku akan ketidaksetujuan orangtuaku.

Desi memang merasa takut akan hal tersebut. Ia jadi tidak untuk menemui ku lagi. Tapi aku terus mendesak. Aku terus berusaha untuk menemuinya. Bahkan aku pernah nekat untuk menyelinap ke kamar Desi malam-malam.

Sampai akhirnya orangtua ku pun benar-benar turun tangan untuk memisahkan aku dan Desi. Mereka diam-diam meminta majikan Desi untuk memecat Desi dan memintanya untuk bekerja di tempat lain. Tempat yang sangat jauh dari rumah kami.

Hal itu aku ketahui dari cerita bi Ijah, saat aku berusaha menemui Desi suatu pagi. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya.

Bi Ijah mengatakan, kalau Desi sudah tidak bekerja di rumah itu lagi, dan sudah pindah menjadi pembantu di tempat lain. Tapi bi Ijah tidak tahu, Desi di pindahkan kemana. Nomor handphone Desi pun sudah tidak aktif lagi.

Aku merasa sangat kehilangan. Aku juga membenci kedua orangtuaku. Aku masih berusaha untuk mencari tahu dimana Desi sekarang. Namun tidak satu pun info yang aku dapat tentang Desi. Dia benar-benar menghilang tanpa jejak. Dan aku merasa sangat terluka akan hal tersebut.

Aku telah kehilangan Desi. Namun kenangan yang ia tinggalkan, akan selalu tersimpan di hatiku yang paling dalam. Semoga saja, suatu saat nanti aku dan Desi akan kembali bertemu.

Ya, semoga saja.

****

Pengalaman pertama

Sejak masuk ke sekolah ini aku sudah mulai mengenal Rara. Dia cewek pertama yang aku kenal di SMA ini. Setahun sudah aku mengenalnya. Rara seorang gadis yang baik, manis dan cerdas serta penuh perhatian.

Dari awal aku sudah mulai suka padanya. Aku pun sudah pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Waktu itu, sudah hampir satu semester kami berteman.

"Rey, untuk saat ini, mungkin lebih baik kita berteman saja." ucap Rara waktu itu, "aku belum siap menjalani hubungan percintaan dengan siapa pun, karena aku ingin fokus dengan sekolah ku saat ini." lanjutnya.

"dan aku harap kamu mau mengerti. Cobalah cari gadis lain yang mungkin juga menyukai kamu." Rara melanjutkan lagi.

Aku sempat kecewa waktu itu, mendengar penolakan Rara. Namun biar bagaimana pun, harus bisa menerima kenyataan bahwa Rara tidak menyukai ku. Meski pun entah mengapa, aku selalu merasa yakin, kalau Rara sebenarnya juga menyukai ku. Hanya saja sepertinya, ada banyak hal yang ia coba sembunyikan dari ku.

Sejak saat itu, aku tidak berharap banyak lagi kepada Rara, kecuali hanya sebagai teman.

Sampai saat ini, sudah lebih dari enam bulan berlalu, sejak Rara menolak cinta ku, aku masih belum bisa menemukan gadis lain, seperti yang di sarankan Rara. Karena sebenarnya, aku masih selalu mencintai Rara. Aku tak bisa melupakannya, apa lagi mencari gadis lain.

Selama enam bulan ini, hubungan kami biasa-biasa saja. Aku pun tak pernah mengungkit lagi tentang perasaan ku pada Rara. Meski pun sejujurnya, aku masih berharap, suatu saat nanti Rara mau membuka hatinya untukku.

Sebagai seseorang yang selalu mencintai Rara, aku sering merasa cemburu saat melihat Rara dekat dengan cowok lain. Namun aku selalu berusaha untuk menekan semua rasa cemburu ku itu. Karena aku tidak ingin kehilangan Rara, meski hanya sebagai teman.

Aku tahu, sampai saat ini Rara memang belum punya pacar. Seperti yang ia katakan dulu, kalau ia ingin fokus dengan sekolahnya.

****

Hingga pada suatu saat, aku kembali nekat untuk mengungkapkan perasaan ku pada Rara. Aku sengaja datang ke rumahnya diam-diam. Saat itu malam minggu.

Meski kaget, Rara tetap mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.

"kamu sendirian di rumah?" tanyaku memulai pembicaraan.

"berdua sama bi Asih." jawab Rara, "mama dan papa sedang menghadiri acara pesta di kantor tempat papa kerja." lanjutnya menjelaskan.

"kamu gak ikut?" tanya ku.

"aku gak suka acara pesta seperti itu." balas Rara lemah.

"oh, ya. Kamu ada apa datang ke sini malam-malam?" tanya Rara tiba-tiba, seolah mencoba mengalihkan pembicaraan.

"aku lagi suntuk aja di rumah, Ra. Jadi aku kepikiran untuk datang ke sini. Dan... sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan sama kamu." balas ku apa adanya.

"soal apa?" tanya Rara.

"setelah enam bulan berlalu, jujur, aku masih mencintai kamu, Ra. Aku tidak bisa melupakan kamu. Aku harap kamu mau memberikan aku kesempatan." ucapku dengan suara berat.

"maaf, Rey. Kalau soal itu, sampai saat ini jawabanku masih sama." balas Rara.

"kenapa sih. Ra? Kenapa kamu tidak mau memberikan aku kesempatan?" tanya ku penuh hiba.

"karena percuma, Rey." balas Rara.

"percuma kenapa?" tanyaku heran.

"kamu gak bakal ngerti, Rey." balas Rara lagi.

"kalau kamu gak pernah cerita gimana aku mau ngerti? Kamu jangan membuat aku semakin penasaran, Ra." ucapku sedikit tertahan.

"aku gak tahu bagaimana menjelaskannya sama kamu, Rey. Namun yang pasti, aku gak bisa. Aku harap kamu ngerti." balas Rara serak.

"terserah kamu, Ra. Mungkin aku yang salah. Aku yang terlalu berharap." suaraku lemah.

Setelah berkata demikian aku pun pamit.

"aku pulang, Ra. Semoga saja kamu bisa menemukan laki-laki yang benar-benar kamu suka." ucapku sambil mulai melangkah keluar.

*****

Seminggu kemudian Rara tiba-tiba menghilang. Dia menghilang tanpa kabar. Teman-temannya di sekolah juga tidak ada yang tahu kemana Rara. Aku kehilangan jejaknya.

Karena penasaran, aku pun mencoba mendatangi rumahnya. Namun rumah itu kosong. Menurut keterangan dari salah seorang tetangganya, Rara dan keluarga sudah pindah beberapa hari yang lalu.

Namun tidak seorang yang tahu, kenapa dan kemana Rara dan keluarganya pindah.

Aku mencoba menelan kepahitan itu. Meski pun aku merawa kecewa karena penolakan Rara, namun sebagai temannya, aku tetap merasa kehilangan. Aku tak bisa melihat wajah cantik itu lagi setiap hari di sekolah. Aku tak bisa melihat senyum manis itu lagi.

Kemana Rara sebenarnya? Dan kenapa ia pergi?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku.

Sampai suatu malam, sebuah pesan masuk ke email ku. Aku melihat pesan itu berasal dari email milik Rara. Dengan rasa penasaran, aku pun membuka email tersebut.

Teruntuk Rey, temanku.

Maaf, kalau aku pergi tiba-tiba. Maaf, kalau aku pergi tanpa memberitahu kamu. Seperti yang aku katakan, aku sulit menjelaskannya, Rey.

Namun setelah aku pergi, aku pikir kamu berhak tahu, karena itu aku pun nekat mengirimkan email ini.

Saat ini aku sedang berada di Singapur, Rey. Aku harus menjalani pengobatan.

Aku sakit, Rey. Leukimia stadium akhir. Kanker darah ini sudah merasuki ku sejak aku masih SMP.

Mama dan papa sudah berusaha keras untuk bisa mengobatiku. Berbagai pengobatan telah aku jalani, Rey. Namun semuanya tidak ada yang berhasil.

Sampai seorang kenalan papa, merekomendasikan sebuah rumah sakit di Singapur. Karena itu kami pun pindah, untuk pengobatan ku.

Meski pun sebenarnya harapan untuk aku sembuh sangat tipis, namun papa dan mama tidak pernah putus asa. Papa bahkan rela ikut pindah kerja ke Singapur, agar aku bisa menjalani pengobatan dengan rutin.

Maafkan aku, karena tidak jujur padamu dari awal. Tapi aku memang tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitku. Aku tak ingin di kasihani, Rey.

Dan aku juga minta maaf, kalau aku tidak bisa menerima cintamu. Bukan karena aku tidak suka sama kamu, Rey. Tapi karena aku tidak ingin, saat aku pergi, kamu akan semakin merasa kehilangan.

Sejujurnya aku bahagia bisa mengenal kamu. Ak bahagia bisa dekat sama kamu, Rey. Dan sebenarnya, aku juga cinta sama kamu. Namun aku tidak ingin hubungan kita semakin dalam. Karena itu pada akhirnya akan menyakiti kita berdua.

Aku harap kamu bisa melupakan aku, Rey. Dan sekali lagi, maafkan aku....

Begitulah kira-kira isi email dari Rara tersebut. Dan aku tanpa sadar pun meneteskan air mata saat membacanya. Hatiku terasa perih. Kepala ku sakit.

Rasanya jauh lebih sakit, ketika Rara menolak cintaku. Dan aku semakin merasa sakit, saat tahu, kalau Rara sebenarnya juga mencintai ku.

Kami saling mencintai, tapi Rara memilih untuk tidak menyatukan cinta kami. Karena ia tahu, dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Dan sebulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Rara akhirnya meninggal. Pengobatan yang ia lakukan, hanyalah sebuah usaha terakhir orangtuanya, untuk menyelematkan anak mereka.

Pada akhrinya Rara benar-benar pergi. Aku merasa sangat kehilangan. Bukan saja sebagai teman dekatnya, tapi juga sebagai orang yang mencintainya.

Biar bagaimana pun Rara adalah cinta pertama ku. Dan aku tidak akan pernah melupakannya.

Itulah pengalaman pertama ku yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Cinta yang rumit.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate