Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!
Yaps, kalimat itu masih terus membayangiku. Meski pun saat ini aku sudah bisa kuliah lagi dan masih terus bekerja sore harinya di supermarket.
Namun sebagai imbalannya, saya harus menjadi teman tidur pak Anwar, sang manager supermarket, yang seorang duda dan juga merupakan salah seorang teman ayahku.
Walau pun sejujurnya aku juga menyukai pak Anwar dan sangat menikmati hubungan kami tersebut.
Tapi sampai kapan semua itu akan terus terjadi?
Sampai kapan aku mampu menjalani kehidupan seperti ini?
Pak Anwar bisa kapan saja membuangku dari kehidupannya. Atau bisa saja hubungan kami lambat laun diketahui oleh orang lain. Bisa saja hubungan kami diketahui oleh putra pak Anwar.
Sudah hampir tiga tahun jalinan asmaraku dengan pak Anwar terjalin.
Sekarang putranya yang bernama Indra itu, sudah mulai tumbuh dewasa. Ia sekarang sudah mulai kuliah.
Jarak usiaku dengan Indra memang cukup jauh, sekitar enam tahunan. Aku dulu sempat berhenti kuliah, karena kasusku dengan om Zainan dan tante Ratna, dan terpaksa mengulang lagi dari awal.
Jadi meski pun aku masih kuliah di semester enam, namun usiaku sendiri sudah hampir 25 tahun.
Jika aku tidak sempat terhenti untuk kuliah, seharusnya aku sudah meraih gelar sarjana-ku.
Tapi beginilah perjalanan hidupku.
Dan hubunganku sendiri dengan pak Anwar sudah semakin parah dan kadang tak terkendali.
Hampir tiada malam yang kami lewati tanpa kebersamaan.
Sampai suatu ketika, saat itu sore minggu. Aku memang tidak ada jadwal kerja, tapi pak Anwar sendiri memang sedang berada di supermarket untuk bekerja.
"saya tahu bang Sabri sering masuk kamar papa, terutama kalau malam hari saat bang Anwar pulang kerja.." ucapan lugu Indra mengagetkanku tiba-tiba.
Saat itu aku sedang memasak makanan di dapur.
Aku memang suka memasak. Sejak tinggal bersama pak Anwar, aku selalu masak setiap harinya. Untuk makan kami bertiga.
Aku dan Indra sebenarnya juga sudah sering ngobrol, tapi selama ini yang kami bicarakan hanyalah tentang pelajaran sekolah Indra.
Indra sering meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
"maksud kamu apa, Ndra?" tanyaku berlagak bodoh.
"awalnya aku tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Namun lama kelamaan aku jadi penasaran. Hingga suatu malam aku mencoba mengintip kalian..." Indra berucap lagi, seakan mengabaikan pertanyaan bodohku barusan.
Aku sendiri mulai menghentikan kegiatan memasakku, sepertinya Indra terdengar serius ingin membicarakan hal tersebut.
aku mengajak Indra untuk duduk di teras belakang rumah.
"saya merasa syok mengetahui kalau papaku melakukan perbuatan tak senonoh tersebut di rumah kami, dan saya semakin syok lagi menyadari kalau ternyata papaku adalah seorang homo.." Indra berucap lagi, setelah ia duduk di sampingku.
Indra memang telah tumbuh dewasa, sudah sewajarnya ia mengetahui hal tersebut. Apa lagi selama ini aku dan pak Anwar tidak terlalu berhati-hati dan agak sedikit susah menahan diri.
"saya ingin marah pada papa.." lanjut Indra lagi, "tapi saya tidak pernah berani. Saya terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Hingga saya tetap membiarkan hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun."
"namun satu hal yang tidak saya sadari. Saya justru merasa ketagihan untuk terus mengintip kalian setiap malam. Saya terus melakukannya hampir setiap malam. Dan hal itu justru menumbuhkan sesuatu yang aneh dalam hatiku."
"sesuatu yang aku rasakan mulai tumbuh perlahan di dalam hatiku. Sesuatu yang pada akhirnya aku ketahui bahwa itu adalah cinta. Ya, aku akhirnya sadar, kalau aku diam-diam telah jatuh cinta pada bang Sabri."
"semua yang bang Sabri lakukan pada papa, rasanya ingin sekali aku juga merasakannya. Segala khayalku selama ini selalu tentang bang Sabri. Aku sangat menginginkan bang Sabri.."
Ungkapan kejujuran Indra barusan benar-benar membuatku jadi sedikit merasa syok. Tiba-tiba saja ada rasa bersalah menyentuh hatiku seketika.
"lalu sekarang kamu mau nya gimana?" tanyaku tanpa mengerti maksud dari pertanyaanku sendiri.
"seperti yang aku katakan, aku menginginkan bang Sabri.." suara Indra pelan.
"kamu tahu, Ndra. Jelas hal itu tidak mungkin. Bukan saja karena kita sama-sama laki-laki. Tapi juga karena aku punya hubungan dengan papa kamu. Bagaimana nanti kalau papa kamu tahu? Beliau pasti akan marah besar sama saya. Dan itu artinya saya akan kehilangan pekerjaan saya dan juga kesempatan saya untuk kuliah.." ucapku akhirnya setelah berpikir cukup panjang.
"papa gak harus tahu, bang. Kita bisa melakukannya diam-diam. Kita bisa melakukannya saat papa tidak sedang di rumah, atau kita juga bisa buat janji bertemu di luar rumah saat jam kuliah. Papa pasti gak bakal curiga.." ujar Indra membalas.
"tapi resikonya terlalu besar, Ndra. Abang gak sanggup. Abang takut, Ndra.." suaraku lirih.
"Indra mohon, bang. Beri saya kesempatan untuk bisa merasakan hal tersebut bersama abang. Aku sudah terlanjur jatuh cinta pada bang Sabri.." suara Indra memelas.
Secara fisik Indra sebenarnya cukup menarik. Sama seperti papanya, Indra juga terlihat kekar dan tampan. Indra memang suka memanfaatkan waktu luangnya untuk berolahraga menggunakan alat olahraga papanya di rumah.
Dan lagi pula aku juga belum pernah melakukan hal tersebut dengan laki-laki yang lebih muda dariku.
Aku malah jadi penasaran ingin merasakan hal tersebut. Berhubung Indra juga terus bersikeras membujukku agar mau bersamanya.
Tapi aku juga merasa khawatir. Aku takut hubungan kami nantinya akan diketahui oleh pak Anwar, papanya Indra, yang juga merupakan kekasihku itu.
Dan dalam kewas-wasanku itu, aku akhirnya menerima tawaran Indra.
Sore itu, aku dan Indra untuk pertama kalinya mencoba melakukan hal tersebut.
Dan seperti yang aku bayangkan, hal itu memang terasa berbeda. Indra jauh lebih baik dari pada papanya.
Sejak saat itulah, aku dan Indra pun menjalin hubungan secara diam-diam.
Sementara aku dan pak Anwar juga masih terus berhubungan.
Jika pak Anwar mendapatkan jatah dariku setiap malam sebelum tidur, maka Indra mendapat giliran ketika pagi sebelum kami sama-sama berangkat kuliah. Karena pak Anwar sendiri selalu berangkat kerja lebih pagi setiap harinya.
Dan kadang Indra juga sering mengajakku melakukan hal tersebut saat jam kuliah, dengan menyewa sebuah penginapan murah.
Hal itu terus terjadi. Aku pun menikmatinya. Hari-hari terasa lebih berwarna sejak kehadiran Indra dalam hatiku.
Cinta segitiga itu terus berlanjut hingga berjalan hampir setahun.
Dan setelah hampir setahun, bangkai yang aku simpan itu akhirnya tercium juga oleh pak Anwar.
Suatu pagi, pak Anwar dengan sengaja memergoki kami di dalam kamar Indra.
Sepertinya pak Anwar memang sudah lama mencurigai hubungan kami, sehingga ia sengaja mencari waktu yang tepat untuk bisa memergoki kami secara langsung.
Dan terjadi lagi. Peristiwa beberapa tahun silam yang pernah aku alami kini terulang kembali.
Kalau dulu aku dipergoki oleh tante Ratna, tanteku sendiri, sedang memadu kasih dengan suaminya, om Zainan.
Sekarang, aku dipergoki oleh papanya Indra, pak Anwar, yang merupakan kekasihku juga, sedang menuju puncak bersama anaknya.
Tragis sekali rasanya. Tapi aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Ini murni kesalahanku sendiri, yang selalu tidak bisa menahan diri.
Pak Anwar tentu saja sangat marah. Aku dan pak Anwar sempat bertengkar hebat. Sementara Indra sendiri lebih memilih untuk pergi dari rumah.
Pak Anwar mengusirku dengan kasar. Ia bukan saja marah karena mengetahui kalau aku telah berselingkuh dengan anaknya sendiri, tapi ia juga kecewa karena mengetahui kalau anak semata wayangnya ternyata juga mengikuti jejaknya menjadi seorang gay.
Pak Anwar juga sudah memastikan kalau aku akan dipecat dari pekerjaanku. Dengan kekuasaannya saat ini, aku percaya pak Anwar pasti bisa melakukannya.
Aku pergi dari rumah itu, dengan perasaan campur aduk.
Esok adalah misteri, hari ini adalah kenyataan dan kejadian lalu tidak mungkin terulang. Namun hari ini aku ragu, kejadian lalu bisa saja terjadi kembali. Dan hal itu yang terbukti padaku saat ini.
Aku kehilangan tempat tinggal, aku kehilangan pekerjaanku. Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk kuliah.
Biar bagaimana pun caranya, aku harus tetap melanjutkan kuliahku.
Aku tidak ingin kembali lagi ke kampung. Aku harus segera mencari pekerjaan lain.
Meski aku tidak begitu yakin, namun aku tahu pasti kalau pak Anwar tidak akan berani menceritakan kejadian tersebut kepada ayahku.
Tapi bisa saja, sih. Ia menceritakan kebohongan kepada ayahku, seperti yang dilakukan tante Ratna dulu.
Namun apa untungnya hal tersebut bagi pak Anwar?
Dan aku juga tidak tahu, apa yang terjadi dengan Indra selanjutnya setelah peristiwa tersebut.
Aku juga tidak tahu, bagaimana hubungan ayah dan anak itu selanjutnya.
Aku juga tidak peduli saat ini.
Yang harus aku pikir sekarang ialah bagaimana caranya supaya aku bisa mendapatkan tempat tinggal dan juga segera menemukan pekerjaan.
Sementara uang tabunganku tidak seberapa. Gaji yang aku terima selama ini, sebagiannya memang aku kirim ke kampung, untuk membantu ayah dan ibuku.
Selebihnya juga untuk membiayai kuliahku sendiri. Jadi sebenarnya aku tidak bisa menyimpan uang terlalu banyak setiap bulannya.
Untuk sekedar membayar kost satu atau dua bulan, aku yakin uangku masih cukup. Tapi bagaimana dengan kebutuhanku sehari-hari dan juga untuk membayar uang kuliahku.
Satu-satunya jalan adalah aku harus segera mencari pekerjaan baru.
Tapi pekerjaan apa yang bisa aku lakukan saat ini. Aku hampir tidak punya keahlian apa-apa.
Untuk kedua kalinya aku kembali terhempas oleh kehidupan ini.
Dan masa depan itu kembali seperti hantu. Menakutkan...
*****
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar