Nasib cinta sang tukang panen ...

"ada apa, mas Adjie?" tanyaku sedikit heran, ketika seorang pria muda berdiri di depan pintu dan mengucapkan salam.

Pria muda tersebut terlihat sedikit kaget, sepertinya ia tak menduga kalau saya sudah mengetahui namanya.

cerpen Sang penuai mimpi

Dia adalah mas Adjie, setidaknya begitulah yang aku ketahui tentangnya.

Mas Adjie merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha kebun sawit. Papanya seorang pengusaha yang sangat sukses dan juga punya beberapa kebun sawit yang cukup luas.

Aku bekerja di salah satu kebun sawit milik papa mas Adjie sebagai seorang tukang panen. Aku menjadi tukang panen di kebun ini baru sekitar satu tahun yang lalu.

Kebun sawit ini cukup luas. Biasanya papa mas Adjie yang selalu datang ke kebun ini untuk melihat kami bekerja, tapi entah mengapa kali ini justru mas Adjie sendiri yang datang. Dan ini merupakan pertama kalinya aku melihat sosok mas Adjie. Karena selama ini aku hanya tahu cerita tentang mas Adjie dari pak Darman, salah seorang orang kepercayaan papanya mas Adjie, yang juga tinggal di kebun ini.

"kamu gak kerja?" tiba-tiba mas Adjie bertanya, setelah cukup lama ia menatapku tanpa kedip. Aku tak mengerti mengapa mas Adjie menatapku seperti itu.

"oh, belum, mas Adjie." jawabku, "saya kan tukang panen, mas. Jadi kerjanya biasanya hanya empat atau lima hari dalam seminggu. Kebetulan hari ini saya libur.." lanjutku berusaha menjelaskan.

Mas Adjie terlihat manggut-manggut mendengar penjelasanku barusan. Ia masih berdiri di depan pintu.

"saya boleh numpang istirahat sejenak di sini?" tanya mas Adjie kemudian.

"iya, boleh. Silahkan masuk aja, mas." balasku spontan.

Di kebun sawit ini memang tersedia rumah-rumah tempat kami para pekerja tinggal. Kami biasa menyebutnya barak. Rumah-rumah ini tersusun rapi dan berdempetan satu sama lain. Meski hanya terbuat dari kayu, rumah-rumah ini sangat kokoh dan rapi.

Ada setidaknya sekitar sepuluh buah rumah yang berderetan di sini. Setiap rumah memiliki satu ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur di bagian belakang serta sebuah kamar mandi kecil di sudut belakang rumah.

Rumah yang aku tempati berada dipaling ujung. Aku tinggal di sini bersama dua orang temanku yang sama-sama masih lajang. Kebetulan pagi itu, kedua temanku sedang ikut bekerja di kebun. Jadi saya hanya sendirian di rumah, saat mas Adjie datang tadi.

Aku melihat jam di dinding, masih jam sepuluh pagi. Yang berarti kedua temanku baru akan pulang sekitar dua jam lagi. Aku cukup bingung harus menghadapi mas Adjie, yang merupakan anak pemilik kebun sawit tempat aku bekerja ini.

"kamu sendirian aja disini?" tanya mas Adjie lagi.
"gak, sih, mas. Saya bersama dua orang lainnya. Tapi sekarang mereka lagi kerja di kebun." jawabku.
"perumahan emang sunyi seperti ini ya?" mas Adjie bertanya lagi, sambil ia melangkah masuk.
"ya, mas. Soalnya kalau jam segini, anak-anak pada sekolah semua. Bapak-bapaknya dikebun dan para Ibu-ibu biasanya ke pasar atau ikut ke kebun." jelasku cukup panjang.

"istirahat di kamar aja, mas Adjie.." aku berujar lagi, karena melihat mas Adjie hanya berdiri di ruang tengah.

Mas Adjie pun segera masuk ke kamar. Di dalam kamar tersebut memang tidak ada ranjang, hanya terdapat dua buah kasur untuk tempat kami tidur.

"maaf ya, mas Aji. Kamarnya berantakan. Maklum, kami bertiga tinggal disini, belum ada yang berkeluarga. Jadi masih lajang semua, sehingga rumah beserta isinya agak berserakan.." aku berujar, karena merasa kurang nyaman melihat keadaan kamar yang berantakan.

"oh, gak apa-apa. Saya hanya mau tiduran sebentar, kok." balas mas Adjie, sambil ia langsung duduk di atas kasur.

"mas, mau saya ambilkan minum?" tanyaku lagi, karena melihat mas Adjie agak sedikit kelelahan.

"oh. gak usah..." balas mas Adjie cepat. "oh, ya. Nama kamu siapa?" tanyanya melanjutkan.

"Saya Arlan, mas. Saya udah hampir setahun bekerja jadi tukang panen disini." jawabku lugas.

"kamu jangan berdiri aja. Kamu duduk disini ya, temani saya ngobrol." ucap mas Adjie selanjutnya.

Saya pun dengan sedikit ragu mencoba melangkah masuk. Namun sebelum saya masuk, tiba-tiba mas Adjie meminta saya untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Meski saya tidak begitu mengerti kenapa mas Adjie ingin pintunya tertutup, saya tetap melakukan perintahnya.

Setelah menutup dan mengunci pintu kamar, saya masuk dan duduk agak sedikit jauh dari mas Adjie.

Mas Adjie memperhatikan saya dengan seksama, saya cukup merasa risih. Tatapan mas Adjie seperti melumat setiap detail tubuh saya. Pandangannya tajam.

Saya merasa tidak begitu nyaman, apa lagi saat itu saya hanya memakai celana pendek dan baju singlet.

Saya mencoba membalas tatapan mas Adjie. Mas Adjie kemudian menundukan kepalanya. Ia terlihat sedikit capek, karena baru saja berkeliling melihat kebun sawit.

Saya tahu mas Adjie anak orang kaya yang pastinya sedikit manja. Dan berada di kebun sawit, apa lagi harus berjalan kaki melihat-lihat kebun tadi, pasti membuat ia kelelahan. Karena itu juga mungkin, ia ingin beristirahat disini.

"mas, mau saya pijitin...?" tanyaku menawarkan, karena saya tidak tahu harus menawarkan apa lagi pada mas Adjie.

Mas Adjie menatapku kembali. Kali ini cukup lama. Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin juga ia tidak mengira kalau aku akan menawarkan hal tersebut.

"boleh. Kalau Arlan gak keberatan.." ucapnya akhirnya, sambil memasang senyum manisnya.

"ya udah, mas Adjie buka aja pakaiannya.." ucapku lagi.

Mas Adji pun mulai membuka pakaiannya satu persatu, ia hanya memakai celana boxer bercorak coklatnya.

"mas tengkurap, ya.." aku berujar lagi, setelah cukup lama menatap mas Adjie yang sudah setengah telanjang. Mas Adjie segera tengkurap, dan aku pun mulai memijat bagian kakinya.

Saya memang sudah sering memijat, terutama memijat rekan-rekan kerja saya sesama pemanen. Biasanya kalau siangnya kami memanen, malam harinya kami akan saling bergantian memijat.

Selesai memijat bagian kaki dan paha mas Adjie, saya pun berpindah ke bagian punggungnya.
Lalu kemudian meminta mas Adjie untuk telentang dan mulai memijat bagian kakinya lagi.
Memijat bagian tangannya, kemudian melanjutkan ke bagian dada dan perutnya.
 
Mas Adjie terlihat sangat menikmati setiap pijatan yang saya berikan. Ia terlihat nyaman dan rileks.

"kulit mas Adjie putih dan bersih..." ucapku tanpa sadar mengungkapkan kekagumanku, karena aku sendiri memiliki kulit yang cukup gelap. "Badan mas Adjie juga bagus, perut mas Adjie sangat six pack, dan dada mas Adjie juga bidang.." lanjutku jujur.
Sepertinya mas Adjie memang tipe orang yang rajin olahraga dan fitnes.
 
Hampir setengah jam saya memijat tubuh mas Adjie, saya mulai berkeringat. Karena merasa gerah, aku pun membuka baju singletku.
 
Aku melihat mas Adjie kembali menatap tubuhku yang tanpa baju. Aku merasa sedikit risih, tapi tetap berusaha melanjutkan tugasku.

"badan kamu juga bagus, Arlan. Kamu terlihat kekar dan berotot. Dada kamu bidang dan perutmu juga six pack." tiba-tiba mas Adjie berucap. Saya merasa sedikit tersanjung.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka olahraga. Tubuh saya terbentuk secara alami, karena sudah biasa kerja keras sejak kecil.

Saya masih terus memijat bagian dada dan perut mas Adjie. Lalu kemudian berpindah untuk memijat tangannya. Saya berusaha untuk tetap fokus melakukan pijatan saya, meski mas Adjie tak berhenti menatap saya.

Saat saya memijat bagian lengan mas Adjie, saya tanpa sengaja meletakkan telapak tangan mas Adjie di atas paha saya, agar lebih gampang untuk menjaga keseimbangannya. Saya biasa melakukan hal tersebut, setiap kali memijat orang.
 
Cukup lama saya melakukan gerakan tersebut, mas Adjie terlihat sedikit gelisah. Lalu kemudian saya merasakan tangan mas Adjie tiba-tiba mengelus paha saya yang masih terbalut celana kaos pendek tersebut.
 
Saya merasa geli dan sedikit kaget menyadari hal tersebut. Spontan saya pun menghentikan pijatan saya. Saya menatap mas Adjie cukup lama. Tapi mas Adjie malah membalas tersenyum.

"mas Adjie, mau apa?" tanyaku terdengar lugu.
 
Untuk sesaat ia hanya terdiam. Ia terlihat bingung. Namun sedetik kemudian, ia pun bangkit untuk duduk. Mas Adjie duduk tepat berada di depanku. Wajahnya sangat dekat. Saya merasa sedikit risih.
 
Mas Adjie menatapku dengan penuh perasaan, sambil ia berucap,
"saya ... saya ... ingin kamu..." suara mas Adjie terdengar bergetar.
"mas Adjie ... mas Adjie ingin saya bagaimana?" aku bertanya kembali, lalu kemudian menunduk, tak berani menentang tatapan tajam mas Adjie.
 
Sebenarnya saya mulai mengerti apa yang mas Adjie inginkan. Tapi selain karena saya tidak begitu yakin, saya juga merasa cukup takut harus menghindar dari mas Adjie.
 
Lalu kemudian, tanpa menjelaskan apa pun, tiba-tiba mas Adjie memegang dagu saya dan mengangkat wajah saya ke atas. Mas Adjie dengan pelan mulai mendekatkan bibirnya.
Aku spontan kaget, lalu dengan repleks segera mendorong tubuh mas Adjie.
 
Mas Adjie cukup kaget melihat reaksi saya barusan. Saya terus menjauh. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
 
"maaf, mas Adjie. Saya ... saya ... tidak bisa... saya ... saya merasa geli..." aku berucap terbata, ketika aku sudah berdiri.

Mas Adjie terlihat terdiam. Ia seperti tak percaya dengan apa yang barusan saya ucapkan. Sepertinya mas Adjie terlanjur berharap dan ia seperti tak menerima apa yang aku ucapkan.

Mas Adjie kemudian menarik napas, ia seperti mencoba menahan sesuatu yang sudah terlanjur bangkit.

Saya semakin mengerti sekarang, siapa mas Adjie sebenarnya. Saya hanya tidak menyangka sama sekali kalau mas Adjie adalah laki-laki penyuka sesama jenis. Padahal secara fisik ia terlihat macho.

Tiba-tiba saya merasa menyesal, telah menawarkan mas Adjie untuk pijat. Mungkin saja ia salah mengartikan tawaran saya tersebut. Apa lagi tadi saya sempat memujinya. Mungkin juga mas Adjie berpikir, kalau saya juga menginginkan hal tersebut.
Padahal semua itu, murni sebagai bentuk rasa hormat saya kepada mas Adjie, karena ia adalah anak pemilik kebun sawit tempat saya bekerja.

Mas Adjie terlihat menarik napas dalam sekali lagi, kali ini lebih panjang.
Aku yakin, mas Adjie sedikit merasa malu padaku saat ini, karena sudah mengetahui siapa dia sebenarnya.
Meski aku pun yakin mas Adjie bisa saja memaksaku untuk melakukannya, karena ia punya kekuasaan akan hal tersebut.

Biar bagaimana pun mas Adjie adalah anak dari pemilik kebun sawit tempat aku bekerja.

Mas Adjie tiba-tiba ikut berdiri. Ia berdiri tepat di hadapanku. Jarak kami tak lebih hanya setengah meter. Aku pun perlahan mulai mundur, tapi aku merasakan tubuhku terbentur dinding kamar, yang membuatku harus terhenti.

Sementara mas Adjie terus melangkah mendekat. Aku mulai sedikit panik. Tapi mas Adjie terlihat tidak begitu peduli, ia seperti sudah kerasukan sesuatu. Sepertinya ia benar-benar menginginkanku. Mas Adjie sudah seperti kehilangan akal sehatnya.

Mas Adjie sudah berdiri kembali di hadapanku, ia sangat dekat. Aku segera mendorong tubuhnya, agar menjauh.

"jangan mas Adjie.." ucapku memohon, dengan nada sedikit menghiba.

Mas Adjie justru memegang tanganku yang coba mendorongnya.
 
"kalau kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untu memecat kamu dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut mas Adjie.
 
Saya tentu saja merasa kaget mendengar hal tersebut. Tak kusangkan mas Adjie akan berucap demikian.
Tiba-tiba perasaan takut menyelimutiku. Perasaan takut akan kehilangan pekerjaanku.
 
"tapi... tapi saya gak bisa, mas. Saya.. saya tidak pernah melakukan hal seperti ini..."ucapku akhirnya dengan suara terbata, "tadi saya berniat memijat mas Adjie karena mas Adjie kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada maksud apa-apa. Tolong saya, mas. Jangan lakukan hal ini sama saya. Saya sangat butuh pererjaan ini..." aku terus berbicara panjang lebar dengan suara semakin menghiba. Berharap mas Adjie mau mengerti dan melepaskan saya.
 
Tapi sepertinya mas Adjie tidak begitu peduli dengan ucapan saya. Ia masih saja terus berusaha mendekati saya.
 
"justru karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya menjadi yang pertama buatmu, Arlan!" ucapan mas Adjie terdengar semakin jahat.
"nanti saya akan kasih kamu uang yang banyak, asal kamu mau melakukannya sekarang..." ia melanjutkan, mencoba memberikan saya sebuah tawaran.
 
Kali ini aku terdiam. Aku harus berpikir lebih keras lagi untuk mempertimbangkan semua ini.
Terus terang saya merasa sangat jijik membayangkan akan melakukan hal tersebut dengan mas Adjie. Tapi saya juga tidak ingin kehilangan pekerjaan saya.

Dan  terlepas dari itu semua, saya juga tidak begitu berani menolak permintaan dari anak pemilik kebun sawit tempat saya bekerja selama ini. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Saya pasti tidak bisa lari begitu saja. Mas Adjie pasti tidak akan begitu saja melepaskan saya. Melihat dari caranya menatap saya saat ini. Dan lagi pula bahkan ia juga bersedia membayar saya mahal.
 
"baik... baiklah, mas Adjie. Saya mau. Asal saya di kasih uang, dan tolong jangan pecat saya dari sini. Saya juga ingin mas Adjie berjanji untuk tidak menceritakan semua ini kepada siapa pun..." jawabku akhirnya, setelah berpikir cukup panjang.
 
Bukan sebuah keputusan yang tepat sebenarnya. Tapi saat ini, aku memang tidak punya pilihan lain.
Apa lagi mas Adjie berjanji akan memberiku sejumlah uang. Saat ini aku memang sangat membutuhkan uang.
 
Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar dari kampung kalau ibuku sakit parah dan butuh biaya banyak. Aku ingin mengirimkan uang untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung, tapi saat ini aku benar-benar tidak punya uang. Dan tawaran dari mas Adjie, aku rasa bisa menjadi jalan keluar untukku saat ini.
 
Meski aku harus mengorbankan harga diriku sebagai seorang laki-laki. Meski aku harus menelan semua rasa jijik dan geliku.
Aku akan mencobanya, setidaknya demi sejumlah uang dan juga untuk mempertahankan pekerjaanku.
 
Aku melihat mas Adjie tersenyum penuh kemenangan, setelah mendengar jawabanku barusan. Ia bak anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan baru.

"tapi saya belum pernah melakuakn hal ini, mas Adjie. Apa lagi dengan sesama laki-laki.." aku berujar, ketika mas Adjie hendak menyentuh dadaku. "saya tidak tahu harus melakukan apa.." lanjutku jujur.

"kamu nikmati saja, apa yang saya lakukan sama kamu.." ucap mas Adjie membalas, sambil ia kembali memasang senyum mesumnya.
Ia mulai merapatkan tubuhnya mendekat. Saya merasa merinding. Sekuat mungkin saya berusaha menahan rasa geli dan jijik saya. Saya memejamkan mata dan menahan napas. Keringat dingin mulai membasahi dada saya.

Dan sedetik saat bibir mas Adjie hendak menyentuh bibir saya, saat itulah tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar.
Mas Adjie segera menghentikan tindakannya dan mulai menjauhi tubuh saya kembali.

Ternyata para pekerja telah kembali dari kebun. Suara mereka terdengar ramai berbincang-bincang.
Setengah bersyukur saya kembali membuka mata saya dan melihat jam di dinding. Sudah jam 12 siang, dan tentu saja ini adalah jam istirahat para pekerja.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu rumah terbuka. Mas Adjie dengan tergesa memungut pakiannya kembali dan segera memakainya, saya pun melakukan hal tersebut.

Mas Adjie meminta saya untuk membuka pintu kamar, lalu ia berbaring di kasur dan berpura-pura tertidur. Tapi sebelumnya ia sempat berucap,
"ini belum berakhir, Lan.." suaranya lirih.
 
Aku hanya terdiam. Berbagai perasaan mulai berkecamuk di benakku. Kali ini aku mungkin lolos dari memenuhi keinginan mas Adjie. Tapi sepertinya hal ini justru membuat mas Adjie semakin penasaran.
 
Aku yakin, setelah ini mas Adjie pasti akan mencari waktu yang tepat untuk bisa memenuhi hasratnya denganku.
 
Aku menarik napas dalam, dan ikut berpura-pura tertidur. Saat kedua temanku hendak masuk kamar, mereka mundur kembali, karena melihat mas Adjie yang sedang tertidur di dalam kamar kami.
 
Sebagian hatiku memang merasa cukup bersyukur siang itu, karena aku telah selamat dari keinginan bejat mas Adjie. Namun sebagian hatiku yang lain juga merasa kecewa. Karena dengan  begitu, aku tetap tidak bisa mengirimkan uang untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung.
 
*****
 
Beberapa hari kemudian, setelah kejadian menegangkan di kebun sawit tersebut, mas Adjie kembali datang ke barak tempat saya tinggal.
Kali ini ia datang bukan lagi atas perintah ayahnya, tapi hanya untuk menemuiku.
 
"saya hanya minta di temani ke kota sebentar, pak Darman. Nanti saya antar lagi Arlan ke sini.." begitu ucap mas Adjie, meminta izin kepada pak Darman.
 
Pak Darman tentu saja tidak bisa menolak permintaan dari anak majikannya tersebut. Meski pak Darman terlihat sedikit bingung dengan permintaan mas Adjie tersebut.
 
Akhirnya dengan sedikit terpaksa, saya pun ikut bersama mas Adjie ke kota menaiki mobilnya.
"tawaran saya masih berlaku buat kamu, Lan." ucap mas Adjie, ketika kami sudah berada di perjalanan.
"kalau kamu mau saya akan kasih kamu uang. Dan tentu saja pekerjaanmu akan aman." lanjutnya.
 
Aku masih terdiam. Aku memang terpaksa harus ikut bersama mas Adjie, karena saya tidak berani menolak.
 
"lalu sekarang kita mau kemana?" tanyaku akhirnya, setelah kami berada di keramaian kota.
"ke sebuah hotel." jawab mas Adjie terdengar tegas.
 
Tak lama kemudian mobil kami pun parkir di sebuah gedung hotel yang cukup mewah. Sepertinya mas Adjie memang sudah memesan hotel tersebut, mungkin secara online. Karena ketika kami sampai di hotel, mas Adjie langsung mengajak saya masuk ke salah satu kamar hotel tersebut.
 
Saya merasa sangat gugup ketika akhirnya kami sampai di dalam kamar hotel. Jujur, ini adalah kali pertamanya aku memasuki sebuah hotel. Seumur hidup aku belum pernah memasuki kamar hotel semewah ini.
 
"usia kamu berapa sih, Lan?" tanya mas Adjie, saat aku sudah duduk di atas ranjang. Sementara mas Adjie masih berdiri tepat di depan saya.
"19 tahun, mas." jawabku singkat.

Mas Adjie terlihat sedikit manggut-manggut. Ia sepertinya mulai memahami kenapa saya terlihat sedikit bingung dan ketakutan.
Hidup saya yang keras sejak kecil, membuat saya jadi terlihat sedikit dewasa dari usia saya yang sebenarnya.

Sesaat kemudian, mas Adjie pun duduk di sampingku. Lalu ia dengan sedikit memaksa meminta saya untuk bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga aku bisa sampai di kebun sawit tersebut.

"aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Kalau tidak boleh di bilang miskin, sih." ucapku memulai ceritaku.
 
"aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Aku memang berasal dari kampung, semua keluargaku tinggal di kampung. Pada saat usiaku masih empat belas tahun, aku sudah mulai merantau." lanjutku.

"Karena kehidupan kami yang selalu kekurangan, aku dan saudara-saudaraku yang lain hampir tidak bersekolah sama sekali. Kecuali hanya lulusan SD. Dan merantau bukanlah sesuatu yang asing dalam keluarga kami."
Aku menarik napas sejenak, lalu meneguk minuman dingin, yang sengaja mas Adjie pesan sejak tadi.

Mas Adjie memang sengaja memesan beberapa makanan ringan dan berbagai minuman, untuk kami. Sepertinya mas Adjie memang ingin membuatku merasa terkesan, dan tentu saja ia ingin, agar aku malam ini mau memenuhi permintaannya, yang sempat tertunda beberapa hari yang lalu.
 
"Kakak pertama saya sudah merantau sejak masih berusia enam belas tahun. Begitu juga kakak ketiga saya, ia sudah sejak lama tidak pulang ke kampung." aku melanjutkan ceritaku lagi.
 
"Alasanku merantau bukan saja karena mengikuti jejak kakak-kakakku. Tapi juga karena tuntutan hidup. Tidak banyak pilihan pekerjaan di kampungku, selain jadi petani dan buruh." lanjutku lagi, kali ini aku beranikan diri untuk melirik sekilas ke arah mas Adjie.

Terlihat mas Adjie cukup serius mendengarkan ceritaku, wajahnya memperlihatkan keperihatinan.
 
"Saya sempat beberapa tahun terlunta-lunta di kota. Sampai akhirnya saya bertemu pak Darman. Dan beliau pun mengajak saya ikut bekerja dengannya di perkebunan sawit itu..." lanjutku mengakhiri ceritaku.
 
Mas Adjie masih terdiam. Ia semakin menunjukkan wajah penuh rasa iba padaku. Aku yakin, kisah hidupku cukup menyentuh nurani mas Adjie.

"saya sudah terbiasa hidup susah, mas Adjie." ucapku kemudian. "tapi saya juga takut kehilangan pekerjaan saya. Jadi saya sudah pasti tidak bisa menolak apapun keinginan mas Adjie saat ini.." lanjutku dengan nada lirih.
 
Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran dari mas Adjie. Biar bagaimana pu naku memang sedang membutuhkan uang untuk biaya berobat ibuku di kampung. Selain itu, aku juga takut kehilangan pekerjaanku. Jadi jika dengan memenuhi keinginan mas Adjie, bisa menghasilkan uang dan juga bisa menyelamatkan pekerjaanku, tak ada salahnya aku mencoba. Meski perasaan jijik masih terus membayangiku.

"uang bukan tujuan utama saya, mas Adjie. Tapi yang penting saya tetap bisa bekerja di kebun sawit tersebut.." aku mengeluarkan suara kembali, masih dengan nada lirih. Dan dengan sedikit berbohong.

"sekarang mas Adjie, mau saya bagaimana?" tanyaku melanjutkan.

Mas Adjie masih terdiam. Berpikir panjang. Saya tidak tahu apa yang sedang mas Adjie pikirkan. Padahal ia yang bersikeras mengajak ke hotel ini. Ia bisa saja dengan begitu mudah memaksaku untuk melakukannya.

Namun tak lama kemudian, perlahan mas Adjie pun mulai mendekat. Memeluk tubuhku yang masih terasa sangat kaku. Aku memejamkan mata, mencoba menahan rasa geli dan jijik-ku padanya.

Namun pelan tapi pasti, mas Adjie mulai menguasai keadaan. Dan aku pun akhirnya mencoba untuk pasrah. Benar-benar pasrah. Kepasrahanku, justru membuat mas Adjie jadi lebih leluasa untuk mempermainkanku.
 
Siang itu, untuk pertama kalinya dalam hidup melakukan hal tersebut dengan mas Adjie. Dengan seorang laki-laki.
Meski pun awalnya aku benar-benar merasa tidak nyaman, namun mas Adjie mampu membuatku merasakan sensasi keindahan yang luar biasa.

Itu adalah pengalaman pertama dalam hidupku, meski terjadi bukan dengan orang yang aku inginkan. Tapi mas Adjie sepertinya sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut, yang membuat saya merasa sedikit lega.

Aku pikir semua itu telah berakhir, namun ternyata mas Adji justru mengajakku untuk menginap malam itu di hotel tersebut. Ia sengaja menelepon pak Darman, dan mengatakan bahwa kami akan pulang esok pagi.

Aku walau dengan perasaan berat terpaksa sekali lagi memenuhi permintaan mas Adjie. Dan malam itu, setelah mandi dan makan malam, mas Adjie kembai mengajakku untuk melakukannya.
Mas Adjie memang cukup liar, aku merasa kelelahan karenanya.

"kamu hebat, Arlan. Kamu benar-benar perkasa. Aku jadi semakin menyukaimu.." begitu bisik mas Adjie, saat kali keduanya kami terhempas.

Aku hanya tersenyum tipis. Tubuhku benar-benar merasa lelah. Sementara mas Adjie terlihat tersenyum bangga menatapku. Sepertinya ia merasa bangga telah berhasil menaklukkanku.

******

Hari-hari selanjutnya mas Adjie semakin sering mengajakku ke kota. Berbagai alasan ia berikan kepada pak Darman, untuk meminta izin.
Semakin lama hubunganku dengan mas Adjie semakin dalam dan parah.

Mas Adjie memang selalu memberi saya sejumlah uang setiap kali kami selesai melakukannya. Uang yang diberikan mas Adjie cukup banyak. Sebagian uang tersebut, aku kirimkan ke kampung untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Mas Adjie sepertinya benar-benar ketagihan denganku. Dan jika harus jujur, aku juga mulai menikmati hal tersebut.
Berkali-kali melakukan hal tersebut dengan mas Adjie, akhirnya menumbuhkan sebuah rasa di hatiku.
Kadang aku merasa rindu, jika mas Adjie tak datang menjemputku.

Saya belum berani menyimpulkan bahwa itu cinta, tapi yang pasti aku mulai merasa nyaman saat bersama mas Adjie. Aku mulai sering memikirkannya.

Sampai suatu saat aku mendapat kabar dari kampung, kalau penyakit parah. Aku mau tidak mau harus segera pulang ke kampung. Untuk itu, aku pun menyampaikan hal tersebut kepada mas Adjie.

"iya, gak apa-apa. Kamu pulang aja.." ucap mas Adjie, ketika aku menyampaikan niatku tersebut.

Jarak kampungku memang sangat jauh. Setidaknya butuh waktu dua hari dua malam naik bis, untuk bisa sampai kesana.

Sebenarnya mas Adjie terlihat berat melepaskan kepergianku. Tapi aku memang harus pulang.
Aku sendiri juga sebenarnya merasa sedikit berat harus berpisah dari mas Adjie.
Berbulan-bulan kami bersama, dan hal itu mampu menumbuhkan kesan yang mendalam di hatiku untuk mas Adjie.

"aku pasti kembali, mas Aji..." ucapku saat aku hendak menaiki bis yang aku tumpangi.
"aku pasti akan selalu menunggumu disini, Arlan.." balas mas Adjie dengan nada sedih.
 
Entah mengapa saat itu tiba-tiba aku merasa sedih. Aku merasa berat harus berpisah dari mas Adjie.
Namun aku berusaha tegar, aku tak ingin mas Adjie melihat raut kesedihanku.
 
Hingga bis itu pun segera berlalu, dan aku melihat mas Adjie masih berdiri menatap dari kejauhan.

*****

Sesampai di kampung, aku melihat kondisi ibuku semakin parah. Segala obat telah di coba, namun ibu tak kunjung membaik.
Hingga akhirnya beliau pun meninggal.
 
"Ibu meninggal, mas. Jadi saya mungkin masih cukup lama berada di kampung." ucapku kepada mas Adjie ditelpon.
Mas Adjie memang sering menghubungiku, dan ketika ibu akhirnya meninggal aku pun menceritakannya.
 
"iya, gak apa-apa, Lan. Aku akan tetap menunggu kamu disini.." balas mas Adjie terdengar lirih.
 
Meski pun aku dan mas Adjie tidak punya ikatan hubungan apa pun, tapi aku mulai merasa dekat dengan mas Adjie. Dan selama di kampung aku juga sering memikirkannya.
 
Ingin rasanya aku segera kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja. Ingin rasanya aku segera bertemu mas Adjie lagi. Tapi, selain karena ibuku baru saja meninggal, keadaan keluarga juga sedang sulit.
 
Ayah yang sudah mulai menua tidak mampu lagi bekerja terlalu berat, sementara kakak-kakakku juga tidak punya kehidupan yang baik.
 
Adikku yang paling bungsu, tahun ini baru saja lulus SMP, dan butuh biaya banyak untuk melanjutkan sekolahnya. Karena itu, meski dengan sedikit berat aku pun terpaksa menjual handphone-ku, untuk membantu biaya sekolah adikku tersebut.
 
Karena sudah tidak punya handphone, tentu saja mas Adjie sudah tidak bisa menghubungiku lagi.
Hubungan kami terputus begitu saja, meski pun sebenarnya kami belum punya hubungan apa pun, sampai saat ini.
 
Tapi hatiku selalu merindukannya. Aku selalu mengingatnya. Memikirkannya di hampir setiap malamku.
Mungkin aku memang telah jatuh cinta kepada mas Adjie, dan hal itu tanpa pernah aku sadari.
 
Tapi untuk saat ini, aku harus bisa menahan diriku untuk tidak bertemu dan berhubungan dengan mas Adjie.
Aku juga harus melakukan beberapa pekerjaan di kampung, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja.
 
Setelah berbulan-bulan, aku akhirnya bisa mengumpulkan uang, dan segera kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja.
 
Aku tak berharap bisa bertemu mas Adjie kembali. Aku yakin, setelah berbulan-bulan mas Adjie pasti sudah berubah. Ia pasti tidak akan mengharapkanku lagi. Ia pasti sudah menemukan pengganti diriku yang jauh lebih baik.
 
Karena itu aku tidak berusaha mengabarinya kalau aku sudah kembali. Aku langsung menuju kebun sawit, dan mulai bekerja lagi seperti biasa.
 
Namun setelah tiga hari aku mulai bekerja, tiba-tiba mas Adjie datang menemuiku. Katanya ia mendapat kabar dari pak Darman, kalau saya sudah kembali.
 
Saya merasa bahagia bisa melihat pria tampan itu lagi. Dan sore itu, mas Adjie meminta izin kepada pak Darman untuk membawaku ke kota. Ia mengajakku untuk menginap di hotel malam itu.
 
"kemana saja kamu, Arlan? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" mas Adjie memberondongiku dengan beberapa pertanyaan, saat kami sudah berada di dalam hotel.

"maaf, mas Adjie. Saya terpaksa menjual ponsel saya, untuk membantu biaya sekolah adik saya yang paling kecil. Ia baru saja lulus SMP tahun ini, jadi butuh biaya banyak." jelasku jujur.

"aku juga harus kerja dulu di kampung, mas Adjie. Untuk cari ongkos kembali kesini.." lanjutku.
 
Kemudian aku pun duduk di samping mas Adjie di atas ranjang.
"aku sangat merindukan mas Adjie.." ucapku pelan, yang membuat mas Adjie tersenyum senang.
"aku.. aku sayang sama mas Aji..." ucapku lagi dengan sedikit terbata.
"aku juga sayang kamu, Arlan.." balas mas Adjie tegas.
 
Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aroma harum napas mas Adjie tercium di hidungku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala rasa rindu yang selama ini terpendam aku tumpahkan dengan segenap jiwaku.

Mas Adjie juga seperti enggan melepaskanku. Dia ingin kembali merasakan pendakian yang indah itu bersamaku.
 
"kamu begitu sempurna, mas Adjie. Aku tidak bisa melupakan kelembutan mas Adjie. Aku ingin selalu merasakannya. Tak peduli aku di bayar atau tidak, yang penting aku bisa terus bersama mas Adjie..." kali ini aku membisikkannya di telinga mas Adjie, sambil aku terus membuainya dalam lautan cinta yang indah.

Cinta kami pun akhirnya menyatu padu, melebur dalam sebuah rasa yang indah.
Pendakian-pendakian berikutnya semakin penuh rasa.
Hati kami menyatu, jiwa raga kami pun tak ingin terpisah.
Kami enggan untuk saling mengakhiri, kami ingin tetap menyatu dalam lautan cinta itu.
 
Kini hatiku benar-benar bahagia, akhirnya aku bisa memiliki pemuda tampan anak juragan sawit itu.
Aku yang dulunya hanya merasa terpaksa, kini benar-benar menginginkannya.
 
Kan ku serahkan seluruh hidupku hanya untuk mas Adjie. Aku akan selalu ada untuknya. Memberinya kebahagiaan yang tak akan pernah ia lupakan.
 
Kami akan tetap bersama, meski itu semua tidaklah akan selalu mudah.
Tapi aku percaya, kekuatan cinta bisa mengalahkan apapun.
Semoga saja..
 
*****
Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate