Tampilkan postingan dengan label kisah misteri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah misteri. Tampilkan semua postingan

Security tampan itu pacarku (part 4) Abe version

Abe ... 

Cerpen gay sang penuai mimpi

Aku dan Dio kembali bersama. Kami kembali menikmati indahnya cinta kami.

Hampir setiap malam kami selalu bersama. Merajut benang-benang kasih yang penuh warna.

Namun pada suatu malam, tiba-tiba Candra, sepupu Dio, datang menemuiku di rumahku.

Saat itu aku memang tidak sedang bersama Dio, karena Dio sedang bertugas malam itu.

"ada apa kamu kesini, Can?" tanyaku, saat akhirnya Candra aku persilahkan masuk.

"apa tawaran bang Abe dulu masih berlaku?" balas Candra.

"tawaran yang mana?" tanyaku benar-benar tidak ingat.

"tawaran untuk aku bisa menghibur bang Abe waktu itu." jawab Candra.

"oh.." desahku ringan, dengan sedikit membulatkan bibir. Aku jadi ingat, saat aku pernah menawarkan Candra untuk sekedar menghiburku, karena aku telah patah hati oleh Dio saat itu.

Candra bersedia waktu itu, untuk menikmati malam bersamaku, tapi dia tidak jadi datang dan yang datang justru Dio yang telah lama menghilang waktu itu.

"ya, gak mungkin berlaku lagi lah, Can. Kan sekarang aku sudah bersama Dio.." ucapku akhirnya.

"tapi aku masih penasaran, bang. Bagaimana sih rasanya hal itu, jika melakukannya dengan laki-laki.." balas Candra, dengan mengerlingkan matanya.

Aku terdiam. Aku harap Candra hanya bergurau.

Lalu bagaimanakah akhirnya kejadian ku malam itu bersama Candra?

Dan bagaimana pula reaksi Dio, saat tahu semuanya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya ... bla..bla..

****

"aku serius, bang.." ucap Candra lagi meyakinkanku.

"tapi aku gak bisa, Can. Aku gak mungkin mengkhianati Dio. Aku hanya mencintainya." balasku tegas.

"aku hanya ingin merasakannya satu kali aja, bang. Karena aku masih penasaran, seperti apa rasanya hal itu.." balas Candra.

"tapi kan tidak harus dengan aku kan, Can. Kamu bisa cari lain. Banyak kok di luar sana.." ucapku menyarankan.

"tapi aku maunya sama bang Abe. Aku juga gak mau sembaranganlah, bang. Lagi pula, kan abang yang menawarkan waktu itu.." balas Candra lagi.

"iya, tapi sekarang aku gak bisa lagi, Can.." ucapku pelan.

"kalau abang gak mau, aku akan sebarkan tentang hubungan abang dengan Dio pada orang-orang.." tiba-tiba Candra berucap dengan nada sedikit tinggi.

"maksud kamu apa sih, Can.." suara ku ikut meninggi.

"iya, kalau abang gak mau melakukannya denganku malam ini, maka aku akan menceritakan kepada orang-orang kalau abang dan Dio berpacaran.." balas Candra sengit.

"kamu jangan gila ya, Can. Kamu mau merusak nama kami berdua?" balasku lagi.

"makanya, bang. Jangan macam-macam sama saya, saya kan cuma minta satu kali ini aja. Saya cuma penasaran doang kok. Lagian saya kan pegang rahasia kalian berdua, jadi boleh dong saya dapat imbalannya.." ucap Candra lagi.

"kamu kenapa sih, Can. Ngotot banget. Kamu kan tahu kalau aku pacaran dengan Dio. Dio itu sepupu kamu, nanti kalau dia tahu bagaimana?" aku berucap dengan nada sedikit tinggi.

"ya jangan sampai Dio tahu la, bang. Lagian kan cuma satu kali. Orang pacaran normal aja pernah selingkuh, masa' hubungan seperti kalian ini gak bisa selingkuh.." balas Candra tajam.

"pokoknya, kalau abang gak mau, saya pasti akan menyebarkan tentang hubungan kalian.." lanjut Candra lagi dengan nada mengancam.

"abang pilih mana? Pilih memenuhi keinginan saya malam ini, atau pilih hubungan kalian diketahui orang banyak.." Candra berucap lagi, melihat aku hanya terdiam.

Aku berpikir keras. Candra sepertinya sangat serius dengan ancamannya.

"oke. Saya mau. Dengan syarat, ini hanya malam ini saja, dan kamu tidak boleh menceritakannya pada Dio.." ucapku akhirnya.

Aku memutuskan demikian, hanya untuk menjaga agar hubunganku dengan Dio, tetap terjaga rahasianya.

Aku yakin, Candra sangat serius dengan ancamannya. Karena itu aku pun menyetujuinya.

Jadilah malam itu aku dan Candra pun melakukan sebuah pergelaran, yang selama ini hanya aku lakukan bersama Dio.

Meski pun baru pertama kali melakukannya, Candra ternyata cukup lihai dalam hal tersebut.

Aku menjadi sedikit terkesan dengannya malam itu.

Namun setelah semuanya terjadi, tiba-tiba aku merasa menyesal. Aku merasa sangat bersalan kepada Dio. Aku telah mengkhianatinya.

Tapi semua itu aku lakukan, hanya untuk menjaga nama baik kami berdua.

****

"tega kamu, bang.." lantang suara Dio padaku.

"maksud kamu?" tanyaku dengan kening berkerut.

Malam itu Dio tiba-tiba saja datang dengan keadaan sangat marah padaku.

"abang gak usah pura-pura bodoh. Aku sudah tahu, kalau abang menjalin hubungan dengan Candra.." suara Dio masih lantang.

"aku gak punya hubungan apa-apa dengan Candra, Dio. Kamu ngomong apa sih? Aku gak mungkin mengkhianati kamu, Dio. Aku hanya mencintai kamu.." balasku berusaha selembut mungkin.

"omong kosong! Nyatanya abang selingkuh kan dengan Candra?!" ucap Dio kasar.

"aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun, Dio. Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" balasku masih berusaha lembut.

"udahlah, bang! aku sudah tahu semuanya. Pokoknya mulai sekarang kita putus! Aku benci bang Abe.." setelah berkata demikian, Dio segera berlalu dari rumahku.

Aku ingin mengejarnya, namun aku takut para tetangga melihat dan mendengar pertengkaran kami. Karena itu aku hanya membiarkan Dio pergi.

Aku merasa terhenyak tiba-tiba. Bagaimana Dio bisa tahu tentang kejadian malam itu?

Apa mungkin Candra yang cerita? Padahal Candra sudah berjanji untuk tidak menceritakan hal tersebut pada Dio.

Aku mencoba menghubungi Dio, tapi tak ada tanggapan sama sekali. Aku pun mengirimkan beberapa pesan, tapi tak jua dibalasnya.

Aku merasa putus asa. Rasa penyesalan kembali menyeruak di dadaku.

Kejadian malam itu, hanya aku dan Candra yang tahu. Dan itu sudah terjadi seminggu yang lalu. Tapi kenapa sekarang Dio tiba-tiba tahu?

Ahk, aku jadi bingung dengan semua ini. Baru saja hubunganku dengan Dio membaik, sekarang sudah ada lagi masalah.

Aku memejamkan mata, mencoba untuk tertidur malam itu. Tapi pikiranku masih kacau. Aku bingung bagaimana menjelaskan semuanya pada Dio.

****

"aku minta maaf, Dio. Aku terpaksa melakukannya.." ucapku pelan, saat akhirnya aku bertemu Dio pagi itu di pos penjagaannya.

"terpaksa apanya?" suara Dio kasar.

"Candra mengancam akan menyebarkan tentang hubungan kita kepada orang-orang, kalau aku menolak permintaannya malam itu.." jelasku masih dengan suara pelan.

"dan abang bersedia begitu aja? Apa aban pikir Candra akan berani melakukan hal tersebut? Apa abang pikir, orang-orang akan begitu saja pada Candra?" suara Dio sedikit melunak.

"aku hanya mencoba menjaga rahasia hubungan kita, Dio." balasku ringan.

"dengan mengorbankan hubungan kita? Dengan mengorbankan perasaanku?" tanya Dio sengit.

"aku minta maaf, Dio. Itu hanya terjadi satu kali saja. Dan itu tidak akan pernah terjadi lagi. Aku janji.." balasku lagi.

"sudah teramat sering bang Abe mengingkari janji bang Abe sendiri. Aku sudah tidak percaya lagi. Lagi pula, untuk saat ini, aku tidak ingin bertemu bang Abe lagi. Hatiku terlanjur sakit, bang. Dan ini bukan pertama kalinya, bang Abe menyakitiku. Aku tidak bisa menerimanya lagi. Jadi lebih baik kita akhiri saja semuannya.." ucap Dio panjang lebar, yang membuatku semakin terenyuh.

Aku terdiam. Aku tahu, Dio sangat marah padaku saat ini. Dan aku tidak bisa berbicara banyak pada orang yang sedang marah.

Apa pun penjelasanku padanya, jelas tidak akan bisa dia terima. Karena itu, aku memilih untuk pergi kembali bekerj, dan membiarkan Dio sendirian di pos nya.

*****

"aku minta maaf, bang Abe.." pelan suara Candra, ketika malam itu ia datang lagi ke rumahku.

"kamu minta maaf untuk apa?" tanyaku acuh.

"karena aku hubungan bang Abe dan Dio jadi retak.." jelas Candra.

"hubuganku dan Dio bukan saja retak, Candra. Tapi telah hancur berkeping-keping. Dio tak mau lagi bertemu denganku. Dan hatiku sakit karena itu.." ucapku membalas.

"apa bang Abe sangat mencintai Dio?" tanya Candra kemudian.

"aku sangat mencintainya, Candra. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi sekarang semuanya berantakan. Yang aku tak habis pikir, kenapa Dio bisa tahu tentang kejadian malam itu?" balasku terdengar lemah.

"aku yang cerita, bang." ucap Candra, yang membuatku menatapnya penuh tanya.

"apa maksud kamu menceritakan itu pada Dio? Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak menceritakannya?" ucapku akhirnya.

"karena itu aku minta maaf, bang. Abang kan tahu, aku orangnya ceplas ceplos dan blak-blakan. Jadi aku tanpa sengaja menceritakan hal tersebut pada Dio. Aku pikir itu tidak akan berakibat fatal. Aku hanya ingin berbagi pengalaman pada Dio." jelas Candra dengan raut merasa bersalahnya.

"hubungan kami bukanlah hubungan main-main, Candra. Hubungan kami sangat serius. Sudah banyak yang kami korbankan untuk bisa bersama. Sudah banyak kepahitan yang kami lalui. Dan kamu menghancurkannya begitu saja.." suaraku pilu, lebih kepada diriku sendiri.

"sekali lagi aku minta maaf, bang Abe. Aku menyesal. Aku pikir adalah hal biasa kejadian seperti itu dalam hubungan sesama jenis. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau cinta kalian berdua begitu besar.." ucap Candra lagi.

Setelah berucap demikian, Candra pun pamit untuk pulang.

Aku masih dalam kesendirianku. Aku masih dengan perasaan bersalahku.

Dulu saat aku dipaksa menikah oleh orangtuaku, terus terang aku memang merasa bersalah pada Dio. Namun rasa bersalah ku kali ini jauh lebih besar dari pada itu.

Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, kalau aku tidak bisa membuat Dio tersenyum kembali padaku.

Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini?

Semuanya sudah terjadi. Dan aku hanya bisa menyesalinya.

****

Malam berikutnya, tiba-tiba Dio datang ke rumahku.

"Dio? Ada apa?" tanyaku dalam kekagetanku.

"aku minta maaf, bang." ucap Dio lemah, "aku minta maaf, karena telah mengabaikan bang Abe beberapa hari ini.." lanjutnya.

"aku yang harus minta maaf sama kamu, Dio. Aku telah menodai hubungan cinta kita. Aku adalah seorang pengkhianat. Kamu boleh hukum aku apa saja, Dio. Tapi jangan pernah kamu tinggalkan aku seperti ini.." ucapku dengan suara serak.

"aku memang sakit hati, mendengar semua cerita itu dari Candra, bang. Dan aku kecewa. Tapi aku kemudian mengerti dan sadar, kalau apa yang abang lakukan, semua hanya karena terpaksa..." balas Dio pelan.

"aku mungkin terlalu mencintai, bang Abe. Karena itu aku jadi sangat posesif. Namun kemudian aku sadar, bahwa tidak ada cinta yang sempurna di dunia ini. Apa lagi hubungan cinta seperti kita ini." Dio melanjutkan.

"kenapa kamu tiba-tiba jadi berubah pikiran seperti ini, Dio?" tanyaku pelan.

"pertama, mungkin karena aku memang sangat menyayangi bang Abe. Dan kedua karena tadi pagi Candra datang menemuiku. Candra menjelaskan semuanya. Tentang kejadian malam itu dan juga tentang bagaimana perasaan bang Abe padaku sebenarnya." jelas Dio membalas.

Aku menatap wajah tampan itu dengan penuh perasaan.

Terima kasih, Candra. Bisikku dalam hati.

"aneh ya Candra itu.." ucapku tanpa sadar.

"aneh kenapa?" tanya Dio dengan kening berkerut.

"iya, aneh. Awalnya dia sangat mendukung hubungan kita, lalu kemudian, dia tiba-tiba menjadi penyebab retaknya hubungan kita, dan sekarang dia malah berusaha untuk menyelamatkan hubungan kita kembali.." jelasku kemudian.

"udahlah, bang. Kita gak usah bahas tentang Candra lagi. Kecuali kalau bang Abe memang benar-benar menyukainya.." ucap Dio kemudian.

"kamu apaan sih, Dio. Aku hanya mencintai kamu, Dio. Aku hanya mencintai kamu, dulu, sekarang, esok dan selama-lamanya." balasku lembut.

"aku juga hanya mencintai bang Abe.." ucap Dio penuh perasaan.

Sesaat kemudian, kami pun saling berdekapan, untuk melepaskan segala kerinduan kami selama beberapa hari ini.

Dan kemudian, kami pun melakukan ritual kami seperti biasa.

Sebuah ritual yang telah kami lakukan selama bertahun-tahun hubungan kami.

Dunia kembali penuh warna bagiku.

Cinta akan kembali menyatukan aku dan Dio, walau apa pun yang akan terjadi.

Semoga saja, selanjutnya kami akan lebih kuat lagi menghadapi berbagai rintangan yang coba memisahkan cinta kami.

Ya, semoga saja...

****

Sekian ..

Misteri gadis yang hilang .....

Lila Kurnia membuka matanya pelan, cahaya lampu sedikit membuatnya silau. Lila mengusap-usap matanya beberapa kali. Pandangannya tertuju pada lampu yang berada tepat diatasnya. Untuk sesaat Lila memfokuskan pikirannya. Hal terakhir yang ia ingat, ketika seorang laki-laki berbadan tegap memukul kepalanya hingga ia terjerembab dan tak sadarkan diri.
Lila memutar kepalanya ke kiri, ia melihat seorang gadis tersenyum sinis padanya. Gadis itu duduk di atas sebuah dipan kecil dengan menyilangkan kedua kakinya. Rok mini yang dipakainya sedikit terbuka.
Dengan spontan Lila coba menggerakkan tubuhnya untuk bangkit. Sorot matanya tak henti menatap gadis yang berada tak jauh dari sampingnya.

"saya dimana?" tanya Lila akhirnya, setelah ia berhasil duduk diatas dipan tempat ia terbaring tadi. Tubuhnya ia arahkan pada gadis cantik yang masih saja tersenyum kecut menatapnya.
Gadis itu menurunkan kakinya dengan santai.
"saya dimana?" tanya Lila lagi lebih keras, "dan kamu siapa?" lanjutnya dengan napas sedikit terengah.
Gadis yang duduk di depannya menyunggingkan bibirnya sambil merangkai kedua jemarinya.
"di neraka..." jawabnya dengan nada kasar.
Lila mengernyitkan kening, ia bergidik.
"maksdu kamu?" tanya Lila bergetar.
"nanti kamu juga bakal tahu..." kali ini gadis di depannya berkata sedikit lembut.
Lila mengalihkan pandangannya menatap seisi ruangan itu. Hanya ada dua tempat tidur di situ dan dua buah lemari pakaian yang tertutup. Ruangan itu seperti sebuah kamar dengan ukuran 3 x 4 meter menurut perkiraan Lila. Tidak ada jendela, hanya sebuah pintu yang tertutup rapat.
Sebuah kamar mandi kecil berada di sudut ruangan.

"saya Atika..." suara gadis itu sedikit mengagetkan Lila, "sudah hampir empat bulan saya berada disini.." lanjutnya.
Gadis itu berdiri dan berjalan menuju lemari, ia mengambil sebuah handuk.
"kamu sebaiknya mandi sekarang, sebentar lagi makan siang kita akan datang.." ucapnya lagi, ia melemparkan handuk tersebut ke tubuh Lila yang memang terlihat dekil.
Dengan sedikit terlonjak Lila menyambut handuk tersebut. Lila menatap gadis itu beberapa saat. Tubuhnya memang terasa sangat gerah dan kotor. Rambutnya awut-awutan. Lila tidak begitu ingat entah sudah berapa lama ia tidak mandi.
Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Lila coba berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.
Pikirannya masih menerawang. Semua masih menjadi tanda tanya bagi Lila.
Ia benar-benar tidak tahu dimana ia berada saat ini.
Mungkin dengan mandi bisa sedikit meringankan rasa sakit di kepalanya, pikir Lila sambil mengunci pintu kamar mandi itu dari dalam.


*******

"kalian yakin akan ikut?" tanya Akmal lagi pada Piter dan Alena. Kali ini Akmal yang menyetir dan Alena berada di sampingnya, sedangkan Piter duduk di kursi belakang mobil panther itu.
Mobil itu berjalan pelan menyelusuri jalan menuju ke arah pinggiran kota.
Alena melirik sekilas, lalu mengangguk pelan.
Walau sebenarnya ia merasa takut, tapi biar bagaimana pun Lila adalah temannya, ia merasa ingin membantu menemukannya.
Sementara Piter hanya terdiam, ia merasa tak harus menjawab pertanyaan tersebut. Baginya Lila bukan hanya sekedar teman dekat, ia telah jatuh cinta pada gadis itu. Ia harus bisa menemukan Lila. Hanya itu keinginannya saat ini.
"biasanya saya bekerja sendirian. Jadi saya tidak menjamin keselamatan kalian berdua. Jika terjadi sesuatu pada kalian, itu bukan tanggungjawab saya. Kalian yang bersikeras untuk ikut..." ucap Akmal tegas.

"sebenarnya kita akan kemana?" tanya Alena, setelah cukup lama mereka terdiam.
"di daerah pinggiran sana ada sebuah rumah bordir. Saya perkirakan teman kalian telah diculik oleh orang-orang yang berada di sana. Teman kalian mungkin akan dijadikan salah seorang pelacur disana.." ucap Akmal menjelaskan.
Alena tiba-tiba merinding, perutnya terasa mual mendengar ucapan Akmal barusan.
"kenapa anda begitu yakin?" suara Piter dari belakang.
"saya pernah menangani kasus seperti ini sebelumnya." balas Akmal terdengar santai.
"kalau begitu kita bisa lapor polisi saja.." ucap Alena.
"rumah bordir itu milik seorang pengusaha kaya yang sangat berpengaruh di kota ini. Mereka kebal hukum. Tidak ada polisi atau pun pejabat yang berani menutup tempat tersebut. Jadi percuma kalau kita lapor polisi, mereka seolah tutup mata akan keberadaan tempat tersebut." jelas Akmal.

"jadi bagaimana kasus sebelumnya?" tanya Piter penasaran.
"saya belum sempat menyelesaikannya. Saat saya berhasil masuk ke dalam, gadis tersebut sudah tidak berada di sana. Ia mencoba kabur. Tapi sehari kemudian gadis tersebut ditemukan tewas terbawa arus sungai. Ada luka tusuk di perutnya. Pihak berwajib sengaja menutupi hal tersebut dan menyatakan kejadian tersebut hanya sebuah kecelakaan. Meski kedua orangtua gadis tersebut tidak bisa terima, namun pihak polisi sudah menutup kasus tersebut.." jelas Akmal lagi.
Ia memarkir mobilnya di pinggiran jalan. Hari sudah sangat gelap.
Tak jauh di depan mereka terdapat sebuah bangunan yang sangat luas. Bangunan empat tingkat tersebut seperti sebuah hotel, yang di kelilingi pagar tembok cukup tinggi.
Mobil-mobil mewah ramai terparkir di halaman depan bangunan tersebut.
Untuk memasuki gedung, ada sebuah gerbang khusus di bagian depan yang dijaga oleh dua orang laki-laki yang berbadan besar dan tegap.
Setiap mobil yang masuk akan di identifikasi oleh petugas tersebut.

"bagaimana caranya kita masuk ke dalam?" tanya Alena sambil terus memperhatikan ke arah gerbang tersebut.
"saya yang akan masuk ke dalam. Kalian berdua tunggu di mobil. Saya akan menyelinap masuk lewat belakang. Saat saya sudah temukan teman kalian, saya akan membawanya keluar. Dan kamu Piter, harus segera menghidupkan mobil untuk kabur secepatnya sebelum kita ketahuan. Saya harap kalian paham.."
Piter dan Alena hanya mengangguk-angguk.

************

Detektif Akmal menyusuri pagar tembok yang tingginya lebih kurang 2 meter tersebut ke arah belakang bangunan. Ia mencoba mencari posisi terbaik untuk bisa masuk ke dalam tanpa terlihat. Keadaan sekitar sangat gelap, namun detektif Akmal sudah terbiasa berada dalam kegelapan malam seperti itu. Matanya cukup jernih untuk dapat melihat dengan jelas setiap langkahnya. Bias cahaya lampu dari gedung tersebut cukup membantu Akmal hingga ia sampai di area belakang gedung yang memang terlihat sepi.
Ia pernah berada di sana sebelumnya. Ia tahu, di tengah tembok ada sebuah pintu masuk kecil yang terkunci dari dalam.
Akmal berhenti di depan pintu tesebut, lalu dengan hati-hati ia mendobrak pintu tersebut. Ia tahu, pada jam-jam seperti ini, para penjaga sedang sibuk di depan, jadi tidak akan ada yang mendengar suara dobrakannya.

Krak!
Pintu itu akhirnya berhasil terbuka. Akmal menyelinap ke dalam dengan langkah hati-hati. Ia melangkah menuju bagian belakang gedung dengan sedikit tertunduk, menghindari pantulan cahaya lampu.
Pohon akasia tersusun acak berdiri di halaman belakang gedung tersebut, cukup membantu Akmal untuk menyelinap dengan aman. Ia sampai di dinding tembok gedung bagian belakang. Di telusurinya dinding itu sambil terus berlindung dengan merapatkan tubuhnya ke dinding tersebut.
Sebuah pintu terdapat disana. Akmal memperhatikan sekeliling dengan dada bergemuruh.
Pelan ia menyentuh gagang pintu tersebut. Terkunci!
Ia tidak mungkin mendobrak pintu itu juga, karena suaranya pasti akan terdengar ke dalam. Dan Akmal tidak bisa memperkirakan apa yang ada di sebalik pintu tersebut.

Akmal mengambil sebuah kunci dari dalam saku jaket hitamnya. Sebuah kunci serba guna yang sengaja dibawa Akmal untuk keperluan mendesak seperti saat ini.
Dengan hati-hati Akmal memasukan kunci tersebut ke dalam lobang kecil pintu, lalu memutarnya perlahan.
Krek!
Kunci berhasil terbuka. Akmal menekan pintu ke dalam, sambil mengintip dengan cermat. Ia masuk dengan hati-hati dan memperhatikan ruangan tesebut. Gelap!
Akmal mengeluarkan lagi dari saku jaketnya sebuah senter kecil.
Ternyata itu adalah sebuah gudang. Disana terdapat banyak sekali barang-barang rongsokan.
Di bagian sudut ruangan tersebut terdapat sebuah pintu.
Akmal yakin, pintu tersebut adalah pintu menuju salah satu ruangan lainnya di gedung tersebut.
Detektif Akmal sudah mendapat info, kalau para gadis tersebut di kurung di kamar yang berada di lantai bawah.

Akmal membuka pintu tersebut dengan menggunakan kunci yang ia bawa. Bias cahaya masuk ke dalam ruangan tersebut, Akmal mematikan senternya segera.
Akmal dapat melihat dengan leluasa ke dalam. Terdapat sebuah koridor yang panjang. Disepanjang koridor ada begitu banyak kamar yang terdapat di bagian kiri kanannya.
Benar-benar seperti sebuah hotel, pikir Akmal.
Tiba-tiba diujung lorong, Akmal melihat ada tiga bayangan menuju ke arahnya. Dengan segera Akmal kembali menutup pintu gudang tersebut.
Suara langkah kaki semakin jelas terdengar. Akmal menahan napas. Dipeganginya sebuah pistol yang berada di pinggangnya, hanya untuk berjaga-jaga. Kalau-kalau ia ketahuan.
Langkah-langkah itu semakin jelas dan mendekat. Akmal menyandarkan tubuh ke dinding di dekat pintu, sedikit bersiap-siap.

"saya mau dibawa kemana?" suara serak seorang gadis terdengar diantara derap langkah tersebut.
Akmal mencoba mengintip dari lobang kunci. Samar-samar ia melihat tiga orang yang sedang berjalan. Seorang perempuan berada ditengah, diapit oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap. Kedua tangan perempuan tersebut dipegang paksa oleh kedua laki-laki tersebut.
Perempuan itu sedikit meronta, namun jelas terlihat kalau ia sudah tidak berdaya melawan tenaga kedua laki-laki itu.
"kamu diam atau peluru ini akan menembus kepalamu.." suara kasar laki-laki yang berada disamping kanan gadis itu, sambil mengacungkan sebuah pistol.
Langkah mereka semakin mendekat. Saat mereka bertiga berada di depan pintu gudang, Akmal dapat melihat dengan jelas, kalau perempuan yang sedang berjalan tersebut sangat mirip dengan gadis yang ada di photo.
Itu dia! bathin Akmal.

Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang ....

Laki-laki berusia sekitar 38 tahun itu, menatap kedua muda-mudi yang berdiri di hadapannya secara bergantian, lalu kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke selembar photo yang berada di tangan kirinya.
"kalian yakin, teman kalian diculik?" tanya laki-laki itu dengan suara khas yang terdengar sedikit serak.
"sepertinya begitu, tuan." si laki-laki muda menjawab dengan suara tertekan.
Dan wanita yang disampingknya hanya mengangguk meyakinkan.
"selain karena dia sudah hampir tiga hari tidak ada kabar, apa yang mendasari kalian untuk menyimpulkan kalau gadis di dalam photo ini ternyata diculik..?" suara serak laki-laki paroh baya itu terdengar lagi. Ia meletakkan photo yang tadi ia pegang ke atas meja yang berada di sampingnya.

Piter mengeluarkan jepitan rambut yang ia dapat kemarin siang,
"ini.." ucapnya sambil menyerahkan benda tersebut kepada laki-laki itu.
Laki-laki yang bernama lengkap Akmal Hadi itu, mengambil benda tersebut. Kemudian menatapnya sejenak.
"ini apa?" tanyanya ringan.
"jepitan rambut.." kali ini si wanita yang sejak tadi hanya terdiam spontan menjawab.
Akmal menatap tajam ke arah wanita itu.
"iya saya tahu ini jepitan rambut!" ucapnya sedikit kasar, "maksud saya mengapa kalian perlihatkan benda ini sama saya.." suaranya mulai pelan.
Wanita itu, Alena, tertunduk. Tubuhnya sedikit gemetar. Rasa takut merasuki pikirannya tiba-tiba, mendengar suara kasar laki-laki yang ada di depannya.

"itu adalah jepitan rambut yang dipakai Lila pada hari terakhir ia terlihat.." Piter akhirnya bersuara lagi.
"Lila?"
"gadis yang hilang. Gadis yang di photo.." jawab Piter cepat.
Akmal membulatkan bibir.
"kamu dapat dari mana?" tanyanya.
"saya kemarin coba telusuri gang tempat Lila biasa lewat, saya menemukan itu di semak-semak pinggiran jalan." jawab Piter lagi. Suaranya bergetar.
"kalian sudah lapor polisi?"
"sudah.." itu suara Alena yang mencoba memberanikan diri lagi untuk menatap wajah laki-laki itu.
Laki-laki yang mereka temui itu terlihat menyunggingkan senyum tipis. Bekas-bekas ketampanan masih terlihat jelas di wajahnya. Tatapan matanya tajam.

"soal ini.." Akmal mengacungkan benda yang dipegangnya keatas.
Piter dan Alena hanya menggeleng ringan.
"kenapa?" tanya Akmal. Kali ini tatapannya ditujukan pada Piter.
"karena menurut saya, anda lebih membutuhkan benda tersebut..." Piter menjawab.
Laki-laki itu manggut-manggut, ia berjalan mengelilingi meja yang ada di ruangan kecil itu.
Ruangan itu berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi, di dalamnya hanya terdapat dua buah lemari yang berisi berkas-berkas. Lalu di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah meja dan sebuah kursi.
Ruangan itu adalah ruang kerja Akmal sebagai detektif bayaran. Sudah banyak kasus yang pernah ia tangani. Biasanya ia selalu bisa menyelesaikannya.
"saya akan bantu kalian," ucapnya pelan, "tapi kalian harus bayar mahal untuk kasus ini..."
"yah, kami pasti akan bayar." balas Piter.
Sementara Alena hanya terdiam, ia tidak tahu pasti berapa bayaran yang diminta oleh laki-laki itu.
Alena tahu, kalau Piter memang punya banyak uang.
Sebegitu besarkah pengorbanan Piter untuk Lila? bathin Alena.

*************

Mereka bertiga berjalan menyelusuri gang di belakang kampus itu, sebuah gang yang masih tertimbun tanah. Sehingga jika hujan terkadang jalan menjadi becek.
"ngapain kita kesini?" tanya Piter. "saya sudah kesini kemarin, selain jepitan itu, tidak ada apa-apa lagi disini.." lanjutnya.
"jika benar teman kalian diculik, itu berarti si penculik pasti menggunakan kendaraan. Karena sangat tidak mungkin si penculik memopong tubuh teman kalian untuk melewati rumah-rumah yang ada di gang ini. Jadi kita harus perhatikan jejak kendaraannya disini." jawab Akmal, sambil terus berjalan pelan.
Piter dan Alena mengangguk-angguk pelan.
"tapi disini begitu banyak jejak kendaraan.." balas Piter lagi.
"yah, untuk itu kita harus mencari jejak kendaraan yang benar-benar baru. Atau setidaknya jejak kendaraan yang berbeda dari kendaraan-kendaraan yang biasa melewati jalan ini.."

"ini pasti akan sulit.." bisik Alena pelan.
"tidak ada yang sulit." balas Akmal lagi, "jika kita memperhatikannya dengan seksama. Yang terpenting kita perhatikan adalah, yang pertama pastikan jejak kendaraan itu ialah jejak sebuah mobil, karena tidak mungkin si penculik membawa teman kalian dengan sepeda motor." lanjutnya dengan sedikit menarik napas, "kemudian pastikan jejak mobil tersebut, terlihat seperti sebuah jejak yang terkesan buru-buru, karena sudah pasti si penculik mengendarai kendaraannya dengan buru-buru setelah berhasil membawa teman kalian di dalamnya..."
Sekali lagi Piter dan Alena manggut-manggut.
Sebuah analisa yang cerdas. Pantas Piter begitu yakin dengan orang ini, pikir Alena.

"nah itu dia!" ucap Akmal menghentikan langkahnya.
Piter dan Alena yang berada di belakangnya turut berhenti dan memperhatikan arah telunjuk Akmal.
Alena mengerutkan kening, ia tidak begitu paham apa yang ditunjuk oleh Akmal barusan.
"jejak mobil itu terlihat sangat berantakan.." jelas Akmal, sambil berjalan mendekati jejak mobil tersebut.
Piter dan Alena mengikuti dari belakang.
"sekarang kita harus bertanya pada orang yang tinggal di rumah itu.." Akmal berkata lagi, kali ini ia acungkan tangannya ke arah sebuah rumah yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"saya sudah bertanya kemarin.." ucap Piter tiba-tiba.
"dan mereka jawab apa?" Akmal bertanya sambil terus melangkah mendekati rumah tersebut.
"mereka bilang mereka tidak tahu.." jawab Piter.
"itu karena pertanyaanmu kurang tepat.."
Piter hanya mengerutkan kening, tidak mengerti.

Akmal melangkah mendekati pagar rumah tersebut, kemudian membukanya dengan sedikit kasar.
Piter dan Alena hanya diam mengikuti langkah laki-laki itu.
Akmal mengetuk pintu rumah itu, seorang wanita tua keluar dengan wajah sedikit heran.
"permisi.." suara Akmal lembut, "bolehkah saya bertanya?" lanjutnya.
"yah, ada apa ya..?" wanita itu mengerutkan keningnya yang memang mulai terlihat mulai keriput.
"maaf, apakah anda kemarin lusa atau dua hari yang lalu berada di rumah?"
"saya selalu berada di rumah sepanjang hari. Kenapa?"
"apakah dua hari yang lalu anda melihat sebuah mobil yang menurut anda cukup asing, atau bahkan belum pernah melewati jalan ini?"
Wanita tua itu terdiam sejenak, terlihat berpikir keras.
"ini tentang gadis yang hilang itu?" tanya wanita itu.
"yah," jawab Akmal mengangguk.

"pagi tadi dua orang polisi juga datang kesini dan bertanya pada saya. Mereka bertanya apakah saya mendengar suara teriakan pada dua hari yang lalu. Saya tentu saja menjawab tidak, karena saya memeng tidak mendengar suara teriakan." wanita itu menarik napas sejenak.
"dan pertanyaan anda menurut saya sangat menarik, karena di gang ini memang jarang sekali orang yang lewat. Tidak banyak yang tahu ada gang disini yang bisa tembus ke arah kampus, kecuali bagi mereka yang sudah lama tinggal disini." wanita itu berhenti beberapa saat, sambil memperhatikan ketiga tamu yang berdiri di depannya.
"saya sudah hafal betul kendaraan apa saja yang sering lewat disini, karena saya memang sudah tinggal disini sejak saya menikah. Dan pada dua hari yang lalu saya memang melihat sebuah mobil yang belum pernah lewat disini. Sepintas saya melihat mobil tersebut berhenti disana.." wanita itu menunjuk arah tak jauh dari tempat Akmal menemukan jejak mobil yang dicurigainya tadi.
"apa anda masih ingat kira-kira mobilnya seperti apa?" tanya Akmal dengan wajah penasaran.
"saya tidak tahu pasti merk mobilnya apa. Warnanya hitam pekat, itu seperti sebuah mobil carry tua, kalau saya tidak salah lihat.."

Setelah mengucapkan terima kasih, mereka bertiga pun bergegas menuju mobil Piter yang mereka parkir di halaman kampus.
Diam-diam Piter dan Alena mulai mengagumi sosok Akmal yang memang cerdas dan berpengalaman. Mereka berdua sangat berharap kalau Lila bisa segera mereka temukan, sebelum kejadian yang paling buruk menimpa Lila.

*****
Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang ...

Esoknya Piter dan Alena, akhirnya melaporkan ke pihak berwajib, tentang Lila yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
"kami belum bisa menyimpulkan bahwa gadis ini dinyatakan hilang.." seorang polisi muda mencoba memberi penjelasan kepada mereka. "karena ini belum dua puluh empat jam. Seperti yang kalian katakan, Lila terakhir kali terlihat yakni pada saat makan siang di kampus. Namun jika sampai siang nanti belum juga ada kabar, kami akan segera mengusut dan mengumumkan kasus ini. Untuk saat ini sebaiknya kalian mencoba menghubungi orang-orang yang selama ini sering berhubungan dengan Lila. Terutama dari pihak keluarganya..." lanjut polisi yang dilabel namanya tertulis 'Martin Dirga'.
"oke. Baik, pak. Terima kasih.." balas Piter datar. Ia tidak begitu yakin, pihak berwajib akan segera mengusut akan hilangnya Lila. Meski belum sampai dua puluh empat jam, Piter sudah bisa memutuskan bahwa sudah terjadi sesuatu yang tidak baik pada Lila. Namun Piter belum bisa menyimpulkan hal seperti apa yang telah terjadi dengan Lila.

"lalu sekarang kita harus bagaimana?" tanya Alena, setelah mereka berada di luar. "apa kita harus mengabarkan orangtua Lila di kampung?"
Sesaat Piter hanya terdiam.
"Bagaimana caranya mengabari mereka, kita kan gak punya satu pun nomor dari keluarga Lila. Bahkan kita juga tidak tahu pasti dimana kampung Lila sebenarnya.." ucap Piter akhirnya.
Lila memang jarang sekali bercerita tentang orangtua dan keluarganya di kampung. Lila juga selama ini sangat jarang pulang kampung.
Yang Piter tahu, Lila berasal dari sebuah kampung yang sangat jauh dari kota ini. Menurut cerita Lila untuk sampai ke kampungnya, bisa menghabiskan waktu lebih dari dua puluh empat jam dengan menggunakan sepeda motor.

"lalu kita harus bagaimana?" tanya Alena lagi dengan nada cemas.
"yah, kita tunggu saja kabar dari pihak yang berwajib. Siapa tahu nanti, kalau sudah diumumkan tentang hilangnya Lila, akan ada kabar baik dari Lila..." jawab Piter sedikit pesimis.
Alena terdiam, ia juga tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Selama ini mereka boleh dibilang cukup dekat.  Alena sering berkunjung ke kamar Lila, hanya sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Karena kebetulan kamar kost mereka memang bersebelahan. Menurut Alena, Lila adalah sosok cewek yang asyik untuk diajak ngobrol dan dijadikan tempat curhat.

"menurutmu apa yang sebenarnya terjadi pada Lila?" tanya Alena dengan hati-hati. Ia dan Piter duduk di sebuah kafe tak jauh dari kantor polisi yang mereka datangi tadi.
Piter hanya menghembuskan napas. Ia juga tidak tahu pasti apa yang terjadi. Ia juga tidak tahu harus menjelaskan apa pada Alena saat ini.
"apa Lila diculik?" tanya Alena lagi, setelah melihat Piter hanya terdiam.
Piter menatap Alena dengan mengernyitkan kening.
"segala kemungkinan bisa saja terjadi, Alena. Kita belum bisa menyimpulkan apa-apa. Tapi saya akan coba menyelidikinya.." ucap Piter tegas.
Kali ini giliran Alena yang mengerutkan dahinya.
"tapi kita kan sudah melaporkan ke polisi, Piter. Biarkanlah pihak polisi yang mengusutnya."
"yah. Tapi saya gak mungkin berdiam diri saja hanya menunggu kabar dari pihak polisi.."
"lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya Alena penasaran.


**************

Lila terbangun tiba-tiba. Sebuah suara membangunkannya. Matanya membuka, sebuah cahaya cukup menyilaukan matanya. Cahaya itu berasal dari pintu yang terbuka.
Lila segera bangkit dan mencoba untuk berdiri. Seorang laki-laki telah berdiri di ambang pintu, membuat ruangan yang pengap itu menjadi gelap kembali.
Lila menatap laki-laki itu dalam remang-remang cahaya. Tapi ia tahu persis, kalau laki-laki yang berdiri dihadapannya sekarang, bukan laki-laki kemarin yang membiusnya.
Laki-laki ini lebih tegap dan lebih muda, dengan tubuh yang jangkung dan berotot.
"kamu mau apa?" hanya itu pertanyaan yang keluar dari mulut Lila yang kering.
Laki-laki itu tidak menjawab, ia melangkah mendekati Lila.
"tolooong...!!!" tiba-tiba Lila berteriak. Suaranya terdengar serak. Ia mencoba memanfaatkan kesempatan saat pintu terbuka, berharap ada orang yang mendengar teriakannya.

Tapi laki-laki itu dengan cekatan, membekap mulut Lila dengan tangannya.
Lila coba meronta. Melepaskan diri. Namun tenaga laki-laki itu sangat kuat, ia mendekap tubuh Lila dari belakang.
Lila membuka mulutnya dan spontan menggigit tangan laki-laki itu.
Laki-laki itu menarik tangannya, namun segera melepaskan sebuah pukulan keras pada tengkuk Lila.
"aahhhhkkk...." Lila menjerit tertahan. Tengkuknya terasa sangat sakit. Namun sebelum rasa sakit itu hilang, sebuah pukulan mengenai kepala bagian belakang Lila, yang mengakibatkan ia terjerembab dan akhirnya tak sadarkan diri.
Laki-laki itu segera memopong tubuh Lila yang tak sadarkan diri itu, keluar dari ruangan. Seorang temannya telah menunggu di mobil yang parkir tak jauh dari bangunan mungil tersebut.

*************

Keesokan harinya, sebuah pengumuman sudah disiarkan. Tentang hilangnya Lila. Sebuah siaran radio mengabarkan bahwa telah hilang seorang gadis berusia kira-kira 20 tahun, dengan ciri-ciri berambut panjang lurus sebahu, berkulit putih dengan bentuk wajah sedikit oval.....
Di sebuah siaran televisi juga mengabarkan hal tersebut dengan memajang photo Lila.
Pihak polisi juga sudah mulai menyelidiki tentang hilangnya Lila.
Polisi sudah mewawancarai beberapa orang yang melihat Lila di kampus pada hari terakhir Lila terlihat.
Namun sampai siang itu, belum ada perkembangan apa pun.

Piter melangkah pelan menyelesuri gang tempat biasa Lila berjalan menuju kampus.
Gang itu cukup sepi.
Menurut Andini, kemarin Lila pulang melewati gang ini. Bathin Piter, sambil terus memperhatikan dengan seksama kearah kiri kanan jalan.
Tiba-tiba Piter melihat sebuah jepitan rambut berwarna pink tergeletak dipinggiran jalan. Piter melihat disekitar jalan tersebut terdapat semak-semak yang semrawutan, seperti habis diinjak-injak oleh beberapa orang.
Piter mengambil jepitan tersabut lalu memperhatikannya dengan cermat. Segera ia menyimpan jepitan tersebut ke dalam sakunya. Kemudian ia melangkah pelan menuju kampus.

************

"kamu tahu ini?" Piter memperlihatkan jepitan yang ia temukan siang tadi pada Alena, setelah mereka membuat janji untuk bertemu malamnya, di sebuah warung pinggiran tak jauh dari tempat kost Alena.
Alena menatap sejenak, lalu mengambil jepitan itu kemudian mengamatinya.
"kamu dapat ini dari mana?" tanya Alena penasaran.
Piter menjelaskannya secara perlahan, "kenapa?" tanya Piter, melihat Alena yang terbengong.
"saya yakin sekali, ini adalah jepitan milik Lila." ucap Alena sedikit berbisik, "dan saya yakin, Lila memakainya pada hari ia menghilang..." lanjutnya.
Piter sedikit membeliakkan mata. Meski ia sudah bisa mengira hal tersebut, namun pernyataan Alena cukup membuatnya semakin yakin, kalau Lila memang diculik.
Tapi oleh siapa? dan kenapa? pikirnya keras.

"sebaiknya kamu serahkan ini ke polisi..." ucap Alena, sambil menyerahkan jepitan tersebut ke tangan Piter.
Piter menggeleng lemah, "polisi pasti gak bakal percaya. Mereka pasti akan berpikir kalau kita mengada-ada.." ucapnya.
"lalu bagaimana?" tanya Alena.
"saya tahu orang yang bisa menyelidiki kasus ini. Saya yakin ia pasti mau bantu kita..." balas Piter.
"siapa?" tanya Alena dengan raut penasaran.
"namanya Akmal, dia seorang detektif bayaran. Beliau sudah biasa menangani kasus seperti ini. Kita harus mendatanginya.." jawab Piter pelan.

*****
Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang...

"toloooong....!! toloooong...!!!" Lila berteriak sekeras-kerasnya berkali-kali, tapi suara teriakannya hanya menggema kembali ke gendang telinganya.
Hampir satu jam ia terkurung disana, di dalam sebuah ruang pengap nan gelap.
Ruangan itu persegi empat, berukuran sekitar 2 x 3 meter persegi, dengan dinding tembok yang kokoh. Di bagian atasnya terdapat plafon dari kayu yang keras. Tinggi ruangan itu tidak kurang dari 2 meter.
Tidak ada sedikitpun cahaya yang masuk ke dalam, kecuali dari sebuah lubang kecil kunci pintu.
Pintu yang terbuat dari baja itu bertaut rapi dengan tembok pada setiap sisinya.
Pintu itu sudah terkunci dari luar sejak Lila sadarkan diri tadi.
Lila tidak begitu ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di dalam ruangan sempit tersebut. Yang ia ingat, ia menjalani hari ini seperti hari-hari biasanya.

Sekitar jam enam pagi, alarm Lila berbunyi dan ia pun terbangun. Segera Lila mandi, sarapan dan berangkat kuliah.
Lila tinggal di sebuah rumah kost. Ia menyewa sebuah kamar disana. Sendirian. Karena memang kamar kost tersebut dirancang hanya untuk ditempati oleh satu orang.
Ada terdapat banyak kamar kost disana, menurut Lila ada sekitar lebih dari lima puluh kamar.
Setiap kamar di huni oleh satu orang, yang berasal dari berbagai daerah dan juga berbagai profesi.
Semua penghuni kost adalah cewek, karena memang disewakan khusus untuk cewek.
Lila menuju kampus dengan hanya berjalan kaki, seperti biasa. Karena memang jarak tempat kost Lila hanya berjarak lebih kurang tiga ratus meter dari kampus tempat ia kuliah.
Sudah lebih dari dua tahun Lila berada di kota tersebut, sementara kedua orangtua dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berjarak sangat jauh dari kota.

Sesampai di kampus Lila langsung menuju kelasnya. Ia mengikuti pelajaran seperti biasa. Pada jam istirahat, Lila berkumpul dengan teman-temannya, lalu membaca beberapa buku di perpustakaan.
Hingga siang Lila berada di kampus, lalu memutuskan untuk pulang setelah ia makan siang di kantin kampus.
'setidaknya sesampainya di kost, saya bisa langsung tidur' pikirnya. Karena Lila memang paling malas masak di kost. Bukan karena Lila malas masak, tapi Lila paling enggan harus berebut tempat masak dengan teman-teman kost lainnya, karena rumah kost itu hanya punya dua ruang untuk tempat masak. Satu berada di lantai atas dan satu lagi berada di lantai bawah cukup jauh dari kamar Lila.
Diperjalanan pulang, Lila bertemu dengan seorang laki-laki paroh baya, yang sedang atau menurut Lila seperti kebingungan.

"maaf, pak. Bapak mau kemana?" tanya Lila sedikit hati-hati.
Gang tempat biasa Lila lewat menuju kampus memang sedikit sepi. Hanya terdapat beberapa buah rumah disana, dan jarak setiap rumah cukup berjauhan. Jalannya kecil dan berlobang-lobang. Jarang ada orang yang lewat disana, kecuali bagi mereka yang ingin jalan pintas menuju kampus.
Laki-laki itu menatap Lila cukup lama,
"saya... saya... mungkin tersesat..." suara laki-laki itu terdengar berat dan sedikit serak.
"oh.." desah Lila, sambil berjalan mendekati laki-laki itu tanpa rasa curiga.
"emangnya Bapak mau kemana?" tanya Lila lagi, setelah cukup dekat.

Laki-laki itu hanya menatap sekeliling, lalu kemudian tiba-tiba tangannya yang sedari tadi berada di dalam saku jaketnya, ia keluarkan. Sebuah sapu tangan biru berada di tangan kanannya. Kemudian dengan sangat cepat, tangan itu mengarah ke wajah Lila.
Lila spontan kaget, namun ia sudah cukup terlambat untuk menyadarinya. Tangan laki-laki itu sudah berada di mulutnya, sapu tangan itu menutup mulut dan hidungnya.
Lalu tiba-tiba Lila merasa pusing, hingga tak lama kemudian ia tak sadarkan diri.
Setelah itu Lila tidak ingat apa-apa lagi.

************

Lila memegang keningnya, kepalanya terasa sangat sakit. Tubuhnya terasa lemas. Lila benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Ia menyentuh hampir setiap jengkal tubuhnya, ia merasa semuanya masih baik-baik saja, terlepas dari kondisi dimana ia berada sekarang. Setidaknya laki-laki itu, tidak atau belum melakukan hal-hal buruk yang ia takutkan, padanya.
Lila mencoba menarik napas panjang, sekedar menenangkan pikirannya. Mencoba berpikir lebih jarnih. Namun suasana ruangan yang sangat gelap dan juga sempit, membuat Lila tidak bisa benar-benar berpikir.
Lila mencoba menggedor-gedor lagi pintu baja itu, tangannya sudah terasa sangat sakit. Suaranya sudah hampir hilang. Sudah tidak terhitung jeritan minta tolong yang Lila teriakan, namun semuanya hanya sia-sia. Laki-laki itu benar-benar mengurungnya sendirian disana.
Tiba-tiba Lila merasa sangat takut. Ia memeriksa kembali setiap saku celananya, namun ia tidak menemukan apa-apa. Semua, tas, handphone dan juga dompetnya sudah diambil laki-laki tersebut.

Lila menghempaskan tubuhnya di lantai keramik itu, ia merasa sangat lelah. Menurutnya mungkin sudah lebih dari enam jam ia berada di sana sendirian. Lila dapat merasakan hal itu, karena perutnya sudah mulai terasa lapar. Itu artinya sekarang hari sudah mulai malam, bathin Lila meringis.
Tiba-tiba ia merasa kangen dengan kamar kost-nya. Lila ingin istirahat dan tertidur lelap.
Tapi kenyataannya ia berada disini sekarang. Berada di sebuah ruangan yang sempit dan pengap, dengan perut yang semakin lapar.

Lila menatap sekeliling dalam gelap. Tidak ada ruangan lain disitu. Lila terpaksa menahan sesak dari dalam perutnya untuk buang air kecil yang tiba-tiba ia rasakan.
Lila benar-benar merasa tidak nyaman dan sangat tesiksa.
Air matanya terasa seakan kering karena menangis dari tadi.
Tapi Lila cukup sadar, saat ini tidak ada gunanya ia menangis atau pun berteriak. Karena mungkin menurut Lila, laki-laki itu mengurungnya disebuah tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Karena menurut Lila, laki-laki tersebut tidak mengikatnya dan juga tidak membekap mulutnya dengan lakban, seperti yang pernah Lila lihat di film-film, itu artinya laki-laki itu yakin, bahwa teriakan sekeras apa pun sudah pasti tidak ada yang akan mendengarnya, apa lagi suara teriakan Lila harus tertahan oleh dinding tembok yang menurut Lila sangat tebal dan kokoh.
Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan, selain menunggu kedatangan laki-laki tersebut dan menunggu apa yang akan dilakukan laki-laki tersebut selanjutnya.
Lila sudah pasrah, hingga tanpa sadar ia pun tertidur.

***********

Piter adalah seorang laki-laki yang memiliki bentuk tubuh yang kekar. Tentu saja karena ia sangat suka olahraga. Ia juga seorang pelatih dan instruktur di sebuah tempat fitnes.
Ia seorang mahasiswa tingkat akhir. Piter mengenal Lila sudah cukup lama, sejak Lila mulai kuliah.
Selama ini Piter memang diam-diam menyukai sosok Lila, meski ia belum pernah mengungkapkan hal tersebut. Hubungan mereka selama cukup baik dan sangat dekat.
"kamu yakin tidak melihat ia pulang ke kost?" Piter bertanya pada Alena, salah seorang teman kost Lila yang paling dekat. Alena bekerja di sebuah super market.
"terakhir saya melihat Lila pagi tadi, saat ia berangkat ke kampus.." balas Alena yakin.
"kamu sudah coba hubungi handphone-nya?" lanjut Alena.
"sudah beberapa kali, tapi tidak pernah aktif.." jawab Piter.
"kamu gak jumpa Lila di kampus hari ini?" tanya Alena lagi, ia juga merasa cukup khawatir, karena hari sudah menunjukkan jam sembilan malam. Biasanya Lila tak pernah pulang lewat dari jam delapan malam.
Piter menggeleng, "hari ini saya cukup sibuk di tempat latihan. Dan saat saya sudah di kampus, Lila sudah tidak berada di sana. Kupikir ia sudah pulang.." ucapnya.

"lalu sekarang gimana?" tanya Alena lagi, "apa kita harus lapor polisi?"
"tidak! jangan dulu.." balas Piter cepat, "Lila hilang belum sampai dua puluh empat jam. Lagi pula kita tidak tahu pasti apa yang terjadi. Bisa saja Lila pergi bersama teman kampusnya dan mematikan handphone-nya karena tak ingin terganggu.." lanjutnya, meski tatapannya menyiratkan ke khawatiran.
Piter dan Alena duduk di bangku depan rumah kost, tempat biasanya mereka nongkrong malam-malam.
Sampai saat itu mereka belum berani menyimpulkan kemana Lila pergi. Mereka masih berharap Lila tiba-tiba muncul dan menjelaskan semuanya.
Namun jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam, Piter dan Alena mencoba menghubungi teman-teman Lila yang mereka tahu. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Lila.
"tadi Lila pulang lebih awal kayaknya deh, Ter..." suara Andini dari seberang, "emangnya Lila gak ada di kost-nya ya..?" lanjutnya bertanya.
"itu dia masalahnya, Din. Lila belum pulang ke kost sejak pagi tadi. Gak ada seorang pun yang tahu ia kemana.." balas Piter dengan nada hati-hati.
"atau apa mungkin Lila pulang kampung?" lanjut Andini lagi.
"gak mungkin Lila pulang kampung tanpa membawa apa-apa. Menurut keterangan Alena, Lila ke kampus hanya membawa tas kecil. Lagi pula kalau Lila pulang kampung ia pasti cerita sama saya atau Alena. Dan gak mungkin juga handphone-nya gak aktif..." jelas Piter lagi panjang lebar.
"kamu udah coba hubungi orangtuanya di kampung?"
"kami gak punya nomor mereka, Din..." jawab Piter sedikit lemas. Pikiran Piter mulai merasa tidak enak, Ia merasa ada yang tidak beres. Lila gak mungkin menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Pikir Piter berprasangka.

"kita harus segera lapor polisi, Ter.." ucapan Alena membuat Piter sedikit kaget.
Ia menoleh kearah Alena sejenak, kemudian menarik napas dalam. Kedua tangannya mendekap erat di dadanya. Pikirannya menerawang, mencoba menebak kemana Lila pergi. Tapi rasanya semua terasa buntu. Selama ini Lila selalu terbuka padanya. Lila tak pernah pergi kemana-mana tanpa mengabarinya. Tapi sekarang Lila menghilang begitu saja, tanpa kabar!
Kemana dia? Piter membathin lagi.

****

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate