Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan

Akibat Kawin Kontrak (kisah nyata)

Nama ku Ben. Begitu biasa orang-orang memanggil ku. Saat ini aku sudah berusia 38 tahun. Aku sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Anak pertama ku laki-laki dan anak kedua ku perempuan.

Pernikahan ku berjalan dengan baik-baik saja. Apa lagi secara ekonomi kehidupan kami sudah cukup mapan. Aku bekerja di sebuah perusahaan konstruksi yang cukup besar. Aku bekerja sebagai seorang kontraktor di bidang pekerjaan sipil.

Pekerjaan ku biasanya berkaitan dengan pembangunan jalan, jembatan, jalur kereta api, landasan pesawat, terowongan, bendungan dan berbagai pembangunan lainnya.

Saat mendapatkan proyek yang cukup besar dan berada di luar daerah, kadang aku sering tidak bisa pulang ke rumah. Karena selain jauh, aku juga harus fokus pada pekerjaan ku, agar hasilnya tidak mengecewakan.

Meski pun sering tidak berada di rumah, hubungan ku dengan istri dan anak-anak ku tetap terjalin dengan baik. Apa lagi di zaman sekarang, jarak bukan lagi menjadi penghalang untuk sebuah hubungan. Kita tetap bisa terhubung dengan orang terdekat kita, meski pun terpisah ribuan kilo jauh nya.

Namun pada suatu kesempatan, aku pernah mendapatkan proyek yang cukup besar. Proyek pembangunan sebuah jalan, di daerah yang cukup jauh dan kebetulan di sana belum ada sinyal sama sekali. Hal itu jadi sedikit menghambat komunikasi ku dengan istri dan anak-anak ku.

Lama pengerjaan proyek tersebut di perkirakan kurang lebih selama tiga bulan. Dan aku untuk sementara harus tinggal di sana, bersama tenaga kerja lainnya.

Proyek tersebut merupakan pembangunan sebuah jalan, menuju sebuah desa yang cukup terpencil. Jarak desa tersebut dari jalan poros kecamatannya sekitar 25 kilo meter. Dan selama ini masyarakat di sana sangat jarang keluar kampung, karena kondisi jalannya yang cukup parah, dan hanya bisa ditempuh oleh sepeda motor.

Kehidupan masyarakat di desa tersebut memang cukup memprihatinkan secara ekonomi. Sebagian besar masyarakat hanya bekerja sebagai petani yang penghasilannya tidak seberapa, dikarenakan jalan yang buruk tersebut.

****

Hampir satu bulan aku bekerja dan tinggal di daerah tersebut. Selama itu pula, aku belum pernah pulang ke rumah. Bahkan aku hampir tidak pernah bisa menghubungi istri ku, karena jaringannya yang tidak memadai.

Jujur saja, selama itu, aku memang cukup merasa kesepian, dan sering merasa rindu, terutama kepada anak-anak ku. Meski pun sudah biasa berpisah dengan mereka, namun selama ini, setidaknya aku masih bisa menghubungi mereka. Tapi sekarang, rasanya berbeda. Karena komunikasi kami juga ikut terputus, saat ini.

Sebagai seorang laki-laki yang masih cukup muda, dan harus terpisah ribuan kilo jauhnya dari istri. Kadang aku merasa kesepian. Biar bagaimana pun, aku juga punya kebutuhan biologis yang harus aku salurkan. Dan hal itu cukup menyiksa ku.

Sampai pada suatu kesempatan, seorang laki-laki yang merupakan penduduk asli daerah tersebut, yang aku ketahui bernama Paijo, sempat menawarkan aku sesuatu yang cukup menggoda jiwa ku.

Aku mengenal Paijo sudah sejak dari awal aku tinggal di sana, kebetulan Paijo adalah salah seorang mandor pada proyek yang sedang aku kerjakan.

Aku memang sudah sering mengobrol bersama Paijo. Aku juga tidak terlalu merasa sungkan untuk menceritakan tentang rasa kesepian tersebut. Hal itu ternyata cukup menarik minat Paijo. Sehingga ia pun dengan berani menawarkan hal tersebut padaku.

"disini ada loh, pak. Perempuan muda yang bisa diajak kawin kontrak..." begitu ucap Paijo pada ku waktu itu.

"maksudnya gimana tu?" tanya ku kurang paham.

"maksudnya gini, pak.... karena pak Ben yang harus terpisah dari istri, sementara pak Ben juga butuh tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis pak Ben. Saya menawarkan, bagaimana kalau pak Ben kawin kontrak aja dengan gadis sini. Apa lagi proyek ini kan juga masih lama selesainya."

"pak Ben bisa kawin kontrak selama dua bulan kedepan, dengan harga yang cukup murah. Selama itu, pak Ben bebas mau ngapain aja. Dan sudah dijamin tidak akan ada tuntutan apa pun. Dan juga rahasia pak Ben pasti aman." jelas Paijo cukup panjang lebar.

"jadi makudnya, saya menikah dengan gadis sini, hanya untuk sementara waktu selama saya berada di sini?" aku bertanya sekali lagi, sekedar meyakinkan maksud Paijo sebenarnya.

"iya, pak. Dari pada bapak selalu merasa kesepian, kan?"  balas Paijo lagi.

Aku terdiam beberapa saat, memikirkan hal tersebut. Tawaran yang cukup menarik sebenarnya. Tapi.. bukankah hal itu berarti aku akan mengkhianati istri ku? Bukankah itu berarti aku tidak lagi menjadi suami yang setia?

"yah.. itu terserah pak Ben sih. Saya hanya sekedar menawarkan. Kalau memang pak Ben bersedia, saya bisa carikan gadis yang cocok buat pak Ben. Saya jamin pak Ben tak akan menyesalinya." Paijo berucap lagi melihat keterdiaman ku.

"emang... harganya berapa?" tanya ku tanpa sadar.

"harganya berkisar 2 sampai 3 juta per bulan, pak. Jadi kalau cuma dua bulan, yah.. sekitar 5 atau 6 juta lah. Itu pun tergantung gadis yang bapak pilih.." jelas Paijo.

"pilihannya banyak ya?" aku bertanya lagi.

"banyak, pak. Bapak tinggal sebutin aja, tipe seperti apa yang bapak ingin kan. Rata-rata gadis-gadis di sini, memang itu pekerjaannya. Dan mereka .. cantik-cantik loh, pak. Asal bapak jangan baper aja, dan bukan untuk di ajak serius loh..." terang Paijo kembali.

"oh.. gitu ya, Jo. Ya udah.. boleh tuh di coba. Kamu cariin aku satu ya, Jo..." ucapku akhirnya.

"pak Ben serius?" Paijo bertanya kembali.

"yah... gak tahu juga sih, Jo. Saya malah jadi bingung sebenarnya... Saya juga tidak ingin mengkhianati istri saya.... Tapi... saya juga butuh sih, Jo..." balasku pelan.

"ya udah... kalau gitu, pak Ben coba dulu aja.. Kalau rasanya nanti gak cocok atau gak nyaman, pak Ben bisa berhenti kok.." ucap Paijo kemudian.

"ya udah, Jo. Kamu atur aja, ya.. nanti kalau soal biaya, kamu minta aja berapanya sama saya.." balasku akhirnya.

"oke, pak.." ucap Paijo, sambil ia mengacungkan kedua jempol tangannya pada ku.

****

Beberapa hari kemudian, kawin kontrak itu pun akhirnya terjadi. Paijo memperkenalkan dengan seorang gadis desa, yang berparas cukup cantik, dan masih cukup muda. 21 tahun usianya, namanya Amirah. Menurut pengakuannya, ini adalah kawin kontrak pertamanya. Jadi ..Amirah belum berpengalaman dalam hal tersebut.

Ia mau melakukan semua itu, hanya karena membutuhkan uang, untuk biaya hidup, dan membantu orangtuanya. Meski pun ia tahu, kalau itu adalah sebuah kesalahan.

Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Tanpa syarat dan surat-surat apa pun. Kami dinikahkan oleh penghulu kampung, dan hanya dihadiri oleh beberapa orang saksi saja, termasuk Paijo. Tidak ada pesta dan tidak ada surat nikah. Hanya sebuah surat perjanjian antara aku dan Amirah, yang berisi beberapa hal.

Setelah menikah, Amirah pun tinggal bersama ku, di sebuah rumah yang sengaja aku sewa selama aku berada di sana. Dan anehnya, penduduk di sana menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa. Tidak ada yang peduli akan hal tersebut.

Mungkin memang karena begitulah kebiasaaan penduduk kampung itu. Dan aku juga jadi tahu, kalau aku bukan satu-satu nya pendatanga yang melakukan hal tersebut. Bahkan ada yang dengan sengaja datang kesana, hanya untuk sekedar kawin kontrak selama beberapa minggu saja.

Miris sebenarnya, tapi itu bukan urusan ku. Aku tak berhak menghakimi mereka. Setiap orang punya pilihan dalam hidup ini. Tapi.. ada banyak orang yang tidak bisa memilih jalan hidupnya, karena faktor ekonomi.

Biaya kontrak Amirah terbilag cukup mahal. Karena biar bagaimana pun, ia masih suci. Dan hal iti, menjadi nilai plus tersendiri baginya. Dan aku merasa beruntung bisa mendapatkan Amirah. Selain karena ia memang cantik dan seksi, ia juga masih perawan.

****

"mas Ben, mau saya masakin apa malam ini?" tanya Amirah pada ku suatu sore, saat itu aku baru saja pulang dari tempat kerja.

"terserah dik Amirah aja. Apa pun yang dik Amirah masak, selalu terasa enak di lidah mas." balasku sok romantis.

"masakan Amirah aja nih, yang terasa enak di lidah mas Ben?" tanya Amirah seperti sengaja memancing ku.

"yah... selain itu juga terasa enak kok, di lidah mas.." balasku.

"yang mana?" tanya Amirah dengan suara manja nya.

"yang di tengah-tengah itu loh.. " balasku sambil sedikit mengedipkan mata.

"ah.. mas Ben bisa aja..." ucap Amirah sedikit tersipu.

Begitulah kemesraan yang terjadi antara aku dan Amirah, semejak kami menikah. Amirah memang selalu bisa menghiburku. Rasa capek ku jadi hilang, saat sudah bertemu dengannya di rumah. Aku jadi semakin merasa nyaman bersamanya. Rasanya hidupku menjadi lengkap kembali dengan kehadiran Amirah menghiasi hari-hari ku.

Semakin hari, aku pun semakin terasa di manjakan oleh Amirah. Tidak sia-sia rasanya aku harus membayarnya mahal untuk hal tersebut. Aku jadi punya tujuan untuk pulang. Aku juga jadi semangat bekerja. Rasanya semua itu terlalu indah bagi ku.

Tak ku sangka aku akan mendapatkan kebahagiaan lain di sini. Di tempat terpecil ini, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang. Di tempat yang sunyi namun penuh ketenangan, yang membuat aku jadi betah untuk berlama-lama tinggal di sini, bersama Amirah.

****

Waktu pun berlalu dengan begitu cepat. Aku menjalani pernikahan ku dengan Amirah dengan sangat baik. Kami benar-benar menjadi sepasang suami istri. Aku bahkan jadi hampir lupa, kalau aku sudah punya istri dan anak. Aku terlena dengan hubungan singkat tersebut.

Aku bahkan tidak pernah pulang selama dua bulan setelah menikah dengan Amirah. Aku juga tidak berusaha untuk menghubungi istri dan anak-anak ku. Meski pun aku yakin, mereka akan mengerti , karena kondisi jaringan di tempat aku bekerja sekarang, memang tidak memungkinkan aku untuk menghubungi mereka.

Sebagai seorang istri, Amirah memang melayani ku dengan cukup baik. Ia memask untuk ku, mencucikan pakaianku, membersihkan rumah dan tentu saja melakukan tugasnya sebagai seorang istri pada saat malam hari. Semuanya terasa sempurna bagi ku. Aku tidak lagi merasa kesepian.

Sampai akhirnya proyek ku pun selesai. Kontrak perkawinan kami pun berakhir. Amirah kembali ke rumah orangtuanya. Dan aku, dengan sangat berat hati, harus kembali ke kota tempat aku tinggal.

Meski pun singkat, namun kesan yang Amirah berikan untuk ku benar-benar membekas di hati ku. Aku jadi terbawa perasaan. Aku jadi tidak bisa melupakan Amirah. Wajahnya masih terus membayangi pikiran dan hati ku. Amirah terlalu sempurna, sebagai seorang istri.

Tapi .. semua memang harus berakhir. Aku harus bisa melupakan Amirah, dan segala kenangan bersamanya. Aku harus realistis, Pernikahan ku dengan Amirah hanya bersifat sementara. Bukan untuk selamanya. Kehadiran Amirah dalam hidupku, hanyalah sebagai selingan di saat aku merasa kesepian.

Aku harus sadar, bahwa saat ini, aku sudah punya istri dan anak, yang selalu setia menunggu pulang ke rumah. Aku harus bisa menganggap Amirah hanyalah selingan dalam hidup ku. Ia hadir hanya untuk singgah, bukan untuk menetap. Ia bukan rumah ku, karena aku sudah punya rumah lain, yang harus aku jaga keutuhannya.

Semoga saja, aku mampu melupakan Amirah. Semoga saja, aku bisa menghapus bayangannya dari pikiran ku. Dan semoga saja, istri ku tidak akan pernah mengetahui hal tersebut.

Yah... semoga saja..

***

Saat aku harus merelakan kepergian mu

 Aku memejamkan mataku dengan berat, berusaha mengenyahkan kejadian pahit yang baru saja aku alami pagi tadi.

Saat di sekolah, aku tak sengaja mendengarkan gunjingan teman-teman sekelas ku, mereka mengatakan, kalau Dyra, gadis yang sudah menjadi pacarku selama dua tahun ini, telah menduakan ku.

Mulanya aku tak percaya. Aku menganggap cerita teman-teman ku tersebut, hanyalah sebuah gossip belaka. Hanya untuk menghancurkan hubungan indah kami selama ini.

Aku dan Dyra memang sudah pacaran selama dua tahun lebih, setidaknya sejak awal-awal kami masuk ke SMA ini, hingga sekarang kami sudah berada di tahun terakhir.

Aku dan Dyra memang tidak satu kelas, apa lagi Dyra juga mengambil jurusan yang berbeda. Namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk kami tetap bersama. Cinta kami tetap terjalin dengan indah, meski kami jadi jarang bertemu.

Aku dan Dyra saling mencintai. Aku selalu berusaha menjaga kesetiaanku. Dan aku juga percaya kalau Dyra juga akan selalu setia.

Namun kejadian pagi tadi, sungguh membuat aku mulai meragukan hal tersebut.

Bagaimana tidak, teman-teman ku berhasil mendapatkan photo Dyra bersama laki-laki lain. Mereka terlihat mesra. Laki-laki itu juga tidak aku kenal.

“apa kamu masih tidak percaya, setelah melihat photo ini?” ucap Riko sedikit memanasi ku.

“bisa saja mereka hanya teman kan?” balasku mengelak.

“teman? Teman tapi mesra?” ucap Riko lagi.

“kalau Cuma teman gak mungkin semesra itulah, Kal.” Deri ikut menimpali.

Aku melirik photo itu sekali lagi. Photo yang sengaja Riko simpan di handphone nya, untuk membuktikan padaku, kalau Dyra selingkuh.

Di dalam photo tersebut, Dyra telihat tersenyum bahagia, sementara laki-laki di sampingnya, merangkulkan tangannya di pundak Dyra, sambil memasang senyum yang sama.

Seketika hati ku bergemuruh, menahan amarah.

Bagaimana mungkin Dyra dengan begitu mudah mengkhianti ku. Padahal aku selalu percaya padanya.

Karena penasaran, aku pun segera menemui Dyra di kelasnya.

“siapa laki-laki ini?” Tanya ku sedikit kasar, sambil ku perlihatkan photo yang ada di handphone Riko tersebut.

Di luar dugaan ku Dyra justru tersenyum.

“dia Alex. Kenapa emangnya?” ucap Dyra tanpa rasa bersalah.

“ada hubungan apa kamu sama dia?” Tanya ku masih dengan nada kasar.

“belum ada hubungan apa-apa sih sebenarnya. Hanya saja akhir-akhir ini dia sering datang ke rumah. Sering ngajak jalan..” balas Dyra.

“dan kamu mau?” Tanya ku heran.

“ya… mau gimana lagi, habisnya Alex orangnya sangat menarik. Aku jadi suka sama dia.” Balas Dyra masih tanpa merasa bersalah.

“lalu aku kamu anggap apa?” suara ku sedikit meninggi, beberapa orang jadi memperhatikan kami.

“Sepertinya hubungan kita memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, Kal. Jadi sebelum semuanya makin terlambat, lebih baik kita putus aja ya…” Dyra masih berucap dengan santai, seakan-akan hal itu merupakan hal biasa baginya.

“maksud kamu apa sih, Dyr? Kita sudah pacaran lebih dari dua tahun loh. Dan kamu memutuskan aku begitu aja. Sungguh tidak bisa di percaya.” Suaraku tiba-tiba serak. Hatiku semakin bergemuruh.

“udahlah, Kal. Bagi ku di Antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi.” Dyra benar-benar terlihat santai mengucapkan hal tersebut.

Ingin rasanya aku menampar mulut Dyra saat itu juga. Ingin rasanya aku memakinya. Namun harga diriku sebagai seorang laki-laki mencegah hal tersebut. Aku gak mau jadi pengemis. Aku gak mau mengemis cinta pada perempuan. Kalau Dyra dengan begitu mudahnya mencampakkan ku, kenapa aku masih harus mempertahankannya.

“tega kamu, Dyr..” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut ku, sebelum akhirnya aku pergi dari hadapan Dyra.

*****

Pagi itu aku melangkah lesuh memasuki kelas. Keputusan Dyra untuk mengakhiri hubungan kami, benar-benar membuat aku terluka.

“duh yang lagi patah hati..” sapa Riko menyambut kedatangan ku.

“udahlah, Kal. Jangan lemas gitu donk. Dyra bukan satu-satunya cewek di dunia ini kan?” Deri ikut menimpali.

“masalahnya dia memutuskan aku begitu saja. Seolah-olah hubungan kami selama dua tahun ini gak ada artinya.” Ucapku lemah.

“biasalah …. Wanita emang gitu, kalau udah dapat yang lebih, yang lama mah lewat..” ucap Riko.

“tapi kok semudah itu ya, Dyra memutuskan ku? Rasanya aku masih belum percaya. Aku seperti gak mengenalinya lagi. Dyra yang aku kenal gak akan bersikap seperti. Pasti ada yang salah..” ucapku tiba-tiba.

Aku memang merasa ada yang aneh dengan keputusan Dyra. Belakangan hubungan kami baik-baik saja. Kalau pun ada laki-laki lain, aku yakin Dyra gak akan mudah tergoda. Alex bukan satu-satunya laki-laki yang pernah mencoba mendekati Dyra selama kami berpacaran. Namun selama ini, Dyra selalu cerita padaku. Tapi kenapa Dyra gak pernah cerita tentang Alex? Dan saat aku tahu, dia justru tidak membantahnya.

Kalau pun memang Dyra ingin putus dari ku, kenapa dia tak melakukannya sebelum aku mengetahui tentang Alex? Kenapa dia tiba-tiba memutuskan aku, saat aku memperlihatkan photo kemesraannya bersama Alex?

“kamu hanya belum bisa menerima kenyataan, Kal. Karena itu semuanya jadi gak masuk bagi kamu.” Ucapan Riko membuyarkan pikiran ku tiba-tiba.

*****

Sejak hubungan ku dengan Dyra kandas. Aku pun memutuskan untuk belajar melupakannya. Meski hal itu tidaklah mudah bagiku. Hari-hari ku jadi terasa berat.

Sudah hampir sebulan, aku dan Dyra tidak pernah bertemu. Aku juga tidak berusaha untuk menghubunginya. Kalau Dyra sudah menganggap kami tidak ada hubungan apa-apa lagi, untuk apa lagi aku mengharapkannya.

Sampai suatu hari…

“hai, Kal.. saya Alex…” seorang laki-laki tiba-tiba menghampiri ku, saat aku berjalan sepulang sekolah.

“iya, aku tahu..” balasku tanpa selera.

“saya tahu kamu marah padaku. Tapi asal kamu tahu, semua itu hanya salah paham. Dyra sudah merencanakan semuanya.” Ucap Alex.

“maksud kamu?” tanyaku jadi penasaran.

“aku tidak berusaha untuk mendekati Dyra, Kal. Aku adalah saudara sepupu Dyra. Aku baru datang beberapa bulan yang lalu ke kota ini. Kebetulan aku juga sedang cari kerja di kota ini. Jadi untuk sementara aku tinggal di rumah Dyra.” Jelas Alex.

“lalu untuk apa Dyra mengatakan kalau kamu berusaha mendekatinya, dan karena itu ia memutuskan ku?” Tanya ku lagi.

“sebenarnya sudah lama Dyra ingin putus dari kamu, Kal. Tapi selama ini dia tidak punya alasan yang tepat. Namun saat aku datang kesini, dia memanfaatku untuk bisa membuat kamu marah, dan akhirnya ia bisa punya alasan untuk memutuskan mu. Sebenarnya Dyra juga sengaja mengirim photo itu pada Riko, agar kamu melihatnya.” Ucap Alex lagi.

“aku gak ngerti, Lex. Dan bagiku itu semua sudah tidak penting.” Balasku.

“kalau kamu tahu alasan Dyra sebenarnya ingin putus dari kamu, ini akan jadi penting bagi kamu, Kal.” Ucap Alex kemudian.

“maksud kamu?” tanyaku semakin heran.

“Dyra sakit, Kal. Dyra mengidap leukemia akut sudah setahun belakangan ini. Tapi Dyra tidak ingin kamu tahu. Dia tidak ingin kamu mengasihinya. Dia ingin kamu melupakannya, sebelum dia benar-benar pergi.’ Jelas Alex, yang membuat ku tiba-tiba merasa terpukul.

“Dyra di vonis, tidak akan bertahan hidup lebih dari setahun, Kal. Berbagai pengobatan juga sudah di jalaninya. Namun dokter pun bahkan sudah menyerah. Dyra gak bakal bisa sembuh. Karena itu dia ingin kamu melupakanya. Dia tidak ingin kamu akan merasakan sakit, saat melepaskan ia pergi untuk selama-lamanya.” Alex melanjutkan ucapannya.

“lalu sekarang dimana Dyra?” ucapku akhirnya.

“sudah seminggu Dyra di rawat di rumah sakit, Kal. Penyakitnya semakin parah. Dia sudah sering tidak sadarkan diri. Sebenarnya Dyra tidak ingin kamu tahu. Tapi aku benar-benar tidak tega melihatnya. Karena itu aku berusaha mencari kamu, untuk menceritakan semua ini.” Jelas Alex lagi.

Lemas terasa seluruh tubuhku tiba-tiba. Teganya Dyra menyembunyikan semua itu dari ku. Pantas saja aku tidak percaya, kalau Dyra dengan begitu mudah memutuskan ku.

“apa kamu mau menjenguknya?” Tanya Alex kemudian.

Aku pun mengangguk setuju.

Namun saat kami sampai di rumah sakit. Dyra dinyatakan telah menghembuskan napas terakhirnya. Hati ku benar-benar hancur menyadari itu semua. Kenapa Dyra tidak ingin aku menemaninya, di saat-saat terakhirnya?

Kenapa ia memilih untuk memutuskan ku, saat aku seharusnya berada di sampingnya?

Hatiku benar-benar hancur dan sakit. Dan tanpa sadar air mata ku pun jatuh menetes.

Ternyata kehilangan Dyra untuk selama-lamanya, jauh lebih menyakitkan dari pada mendengar kata putus dari Dyra. Dan aku terduduk lemas tak berdaya.

****

Adik iparku yang cantik

Sejak istri ku ikut menjadi TKW bekerja di luar negeri, aku jadi sering merasa kesepian. Hidupku terasa hampa. Meski istri ku masih sering menghubungi ku melalui ponsel, namun itu semua tidaklah cukup untuk mengusir segala kesepian ku.

Aku dan istri ku sudah menikah hampir enam tahun. Kami juga sudah punya seorang anak laki-laki yang saat ini sudah berusia empat tahun lebih. Dan setahun yang lalu, istri ku memutuskan untuk menjadi TKW ke luar negeri.

Aku tak bisa mencegahnya. Karena biar bagaimana pun, kehidupan kami secara ekonomi memang masih sangat kekurangan. Kami masih tinggal di rumah kontrakan. Sedangkan aku hanya bekerja sebagai seorang kuli bangunan.

Penghasilan ku dari jadi kuli bangunan, tidaklah pernah tetap. Kadang aku juga masih sering menganggur, karena tidak ada job sama sekali.

Semenjak istri ku pergi, hidupku semakin terasa kacau. Beruntunglah anak kami satu-satunya itu, sekarang tinggal bersama ibu mertua ku. Meski jika aku tidak bekerja, kadang anak ku juga tinggal bersama ku. Dan biasanya, kalau malam hari, ibu mertua ku mengantar anak ku ke rumah kami.

Ibu mertua ku juga bukan orang kaya, apa lagi dia juga seorang janda. Suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak pertamanya, laki-laki, sudah menikah, dan juga sudah punya anak. Namun kehidupannya juga hanya pas-pasan. Istri ku adalah anak kedua. Sedangkan anak bungsu nya juga seorang perempuan, yang baru saja lulus kuliah.

Aku sendiri hanyalah seorang perantau. Kedua orangtua ku sudah lama meninggal. Sedangkan saudara-saudara ku tinggal cukup jauh di kampung.

Menjalani kehidupan yang serba kekurangan dan tanpa di dampingi seorang istri, membuat aku jadi sedikit kehilangan semangat. Namun demi anak ku, aku harus tetap bekerja.

Aku memang sudah terbiasa hidup susah sejak kecil. Menjalani kehidupan yang serba kekurangan, bukanlah hal yang menakutkan bagi ku. Hanya saja masalahnya, hampir setiap malam aku selalu merasa kesepian, karena istri ku berada jauh di luar negeri sana.

Hingga pada suatu malam...

Adik iparku yang baru saja lulus kuliah itu, yang bernama Sutimah, dan biasa kami panggil imah. Malam itu datang ke rumah kontrakan ku, untuk mengantar anak ku. Biasanya mertua ku yang melakukan hal tersebut.

Saat itu anak ku sudah tertidur. Aku meminta Imah untuk langsung mengantarnya ke dalam kamar kami.

"mas Is sudah makan?" tanya Imah, entah ia berbasa-basi atau hanya sekedar ingin tahu.

"udah.." jawabku singkat.

Aku dan Imah memang tidak begitu dekat. Apa lagi selama ia kuliah, ia tidak tinggal bersama ibunya, tapi ia kost di sekitaran kampus tempat ia kuliah.

Imah memang gadis modern. Ia suka berpakain sedikit seksi. Apa lagi ia memiliki wajah yang cukup cantik. Wajahnya juga sangat mirip dengan wajah istri ku.

"mbak Ida ada nelpon, mas?" tanya Imah lagi.

"kemarin malam sih ada, tapi kalau malam ini kayaknya ia gak bakal nelpon." jawabku menjelaskan.

"sudah setahun mbak Ida pergi, apa mas Is gak merasa kesepian?" Imah bertanya lagi. Pertanyaannya itu membuat aku jadi menatapnya penuh tanya. Imah cukup berani bertanya hal tersebut padaku.

"kenapa kamu bertanya seperti itu?" aku malah jadi balik bertanya.

"kalau mas Is merasa kesepian, aku siap kok, menggantikan mbak Ida untuk sementara." balas Imah lugas.

"kamu ngomong apa sih, Mah. Aku ini abang iparmu loh." ucapku mulai merasa tak karuan.

"ya gak apa-apa toh, mas. Lagi pula dari dulu aku memang suka sama mas Is. Mas Is terlihat gagah dan tampan. Aku juga sering mengkhayalkan mas Is loh." balas Imah semakin terbuka.

"kamu hanya ingin menggoda ku kan, Imah. Kamu gak sungguh-sungguh kan?" suara ku mulai parau.

"Imah serius, mas. Imah suka sama mas Is. Jadi mumpung mbak Ida lagi di luar negeri, kita bisa memanfaatkan kesempatan ini. Mas Is pasti kesepian, dan aku juga sudah lama menginginkan mas Is." balas Imah terdengar serius.

"tapi... tapi.. aku...." suaraku mulai terbata.

"udahlah, mas Is. Jangan sok jual mahal. Lagi pula, aku gak bakal nuntut macam-macam kok sama mas Is. Kita juga gak perlu terikat hubungan apa-apa. Hanya sebatas suka sama suka aja." Imah memotong ucapan ku.

Aku pun akhirnya hanya bisa diam. Sebagai seorang suami yang sudah lama di tinggal istri, dan sebagai laki-laki normal, tentu saja aku tidak bisa menolak hal tersebut.

Aku pun kemudian hanya bisa menerima perlakuan Imah pada ku malam itu. Ternyata Imah sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Terlihat sekali, kalau hal itu bukanlah pertama kali baginya.

Aku mencoba mengikuti keinginan Imah. Sebagai laki-laki aku juga ingin menunjukkan kehebatan ku. Dan malam itu, untuk pertama kali nya aku dan Imah pun melakukan hal terl4rang tersebut.

****

Sejak kejadian malam itu, aku dan Imah jadi semakin sering melakukannya. Kami semakin terlena dengan hubungan terl4rang kami.

Segala kesepian ku selama ini, kini telah hilang dengan kehadiran Imah, menggantikan posisi istri ku untuk sementara.

Hubungan rahasia itu terus berlanjut hingga berbulan-bulan. Sampai akhirnya istri ku pun pulang. Kepulangan istri ku tersebut, membuat hubungan ku dengan Imah jadi terhenti untuk sesaat.

Namun ketika istri ku sudah kembali lagi bekerja menjadi TKW ke luar negeri, aku dan Imah pun kembali menjalin hubungan.

Tapi setelah beberapa bulan berlalu, hubungan kami pun mulai di curigai oleh ibu mertua ku. Karena itu ia pun berinisiatif untuk segera menjodohkan Imah.

Imah berusaha menolak perjodohan tersebut awalnya. Namun karena terus di desak oleh ibunya, Imah pun akhirnya hanya bisa pasrah.

Entah mengapa aku merasa kecewa menyadari kalau Imah akan segera menikah. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Biar bagaimana pun hubungan kami memanglah sebuah kesalahan.

Imah pun menikah, dan istri ku pun sudah memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali menetap hidup bersama ku. Aku yakin, keputusan istri ku untuk berhenti bekerja, pasti juga karena di desak oleh ibu mertua ku.

Kini semua kembali berjalan normal, meski pun kehidupan kami secara ekonomi belum juga membaik. Tapi setidaknya, sekarang aku tidak lagi harus merasa kesepian.

Sementara hubungan ku dan Imah pun berakhir begitu saja. Imah juga terlihat bahagia dengan pernikahannya. Apa lagi suaminya juga seorang yang cukup mapan.

Dan begitulah kisah cinta sesaat ku bersama adik iparku yang cantik itu terjadi.

Aku tidak menyesali hubungan tersebut. Tapi aku berjanji dalam hati ku, untuk tidak akan lagi mengulangi hal tersebut. Apa lagi saat ini, istri ku juga sudah mengandung anak kedua kami.

****

Bersama gadis pantai yang cantik

Aku berjalan pelan menelusuri pantai. Langkah ku sedikit goyah, karena masih merasa capek, setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam naik motor.

Pantai yang aku tuju memang lah sebuah pantai yang cukup indah dan juga merupakan sebuah pantai yang cukup ramai di kunjungi oleh warga lokal, mau pun dari luar negeri.

Di sepanjang pantai terdapat banyak pengunjung. Ada yang mandi-mandi, ada yang hanya sekedar photo-photo atau hanya sekedar nongkrong.

Aku sengaja datang sendirian ke pantai ini, sekedar menikmati masa liburan ku.

Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa. Usiaku sendiri sudah hampir kepala tiga, tapi aku belum menikah. Aku lebih suka menikmati masa lajang ku.

Bukan aku tak laku, atau pun sulit mencari pasangan. Hanya saja, sudah beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan yang serius, tapi selalu gagal.

Jadi hingga saat ini, aku lebih memilih untuk hidup sendiri. Apa lagi aku juga tinggal di kota besar, tak ada tuntutan untuk segera menikah. Kedua orangtua ku juga sudah tiada. Aku hanya punya dua orang kakak yang tinggal di kampung. Keduanya sudah punya suami dan anak.

Aku sering menikmati liburan sendiri seperti ini. Aku memang lebih suka sendirian, rasanya lebih bebas aja.

Terdapat banyak penginapan di sekitar pantai ini, aku sudah membooking satu kamar secara online. Aku memang berniat untuk menginap satu malam di sini.

Saat akhirnya senja pun datang, aku bersegera untuk menuju penginapan. Aku ingin beristirahat malam ini, sebelum esok aku akan menjelajahi pantai ini.

Saat sampai di penginapan, si pemilik penginapan menyambutku dengan senyum ramah. Pemilik penginapa itu, seorang ibu tua. Dia memang cukup ramah kepada para pengunjung, terutama yang menginap di penginapannya.

Penginapan itu hanya punya dua puluh kamar, dan semua kamar sudah terisi penuh. Biasanya kalau musim liburan seperti ini, hampir semua penginapan di sini, selalu penuh. Karena itu, aku memesan kamar ini secara online, agar tidak kehabisan kamar.

Selesai mandi dan makan malam, aku mencoba berjalan di sekitaran pantai. Suasana pantai itu memang sangat nyaman, terutama di malam hari. Deburan ombak yang menerpa karang, terdengar cukup riuh.

Saat aku duduk sendirian di sebuah batu karang, tiba-tiba sesosok wanita datang menghampiri ku.

"sendirian aja, mas?" lembut suara wanita itu menyapa.

"iya." jawabku singkat.

"lagi putus cinta atau lagi ada masalah dengan istri?" tanya wanita itu lagi.

"kok nanya nya gitu?" akku balik bertanya dengan nada heran. Aku perhatikan wajah wanita yang tiba-tiba saja sudah duduk di samping ku itu. Seorang wanita yang cukup cantik. Postur tubuhnya juga terliha seksi.

"iya.. biasanya kalau cowok lagi sendirian, pasti karena dua alasan itu." jelas wanita santai.

"gak juga lah." balas ku cepat, "aku memang lagi pengen sendiria aja." lanjutku.

"pasti ada alasannya, kan?" sela wanita itu.

"apa semua hal yang terjadi di dunia ini, harus ada alasannya?" aku kembali bertanya.

"gak juga sih, tapi untuk beberapa hal, kadang alasan itu memang ada, hanya kebanyakan dari kita tidak mau mengakuinya." balas wanita itu.

"yang pasti, aku tidak sedang putus cinta dan juga aku belum menikah, jadi gak mungkin punya masalah dengan istri kan?" timpal ku kemudian.

Kali ini wanita itu menatap ku.

"sudah ku duga." ucapnya pelan.

"maksudnya?" tanya ku.

"iya, sudah ku duga kalau mas pasti belum menikah. Karena di masa liburan seperti ini, orang-orang pasti pergi liburannya sama keluarga. Jadi kalau ada cowok yang berliburan sendiri, hanya ada dua kemungkinan." ucap wanita itu.

"dua kemungkinan? Apa itu?"  tanyaku menyela.

"pertama karena memang belum punya pacar, yang kedua karena memang gak suka gak perempuan." jelas wanita itu.

"ah, kamu bisa aja. Tapi yang pasti, aku bukan yang kedua." balasku ringan.

"ah, yang benar?" wanita itu sedikit menggoda.

"iya benar lah." balasku merasa sedikit tersinggung.

"bisa di bukti kan gak..?" wanita itu terus menggoda ku.

"gimana cara membuktikannya?" tanyaku terpancing.

Kali ini wanita itu tersenyum. Senyum yang cukup memikat.

"mas nginap sini kan?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk.

"mas nginap sendiri?" wanita itu bertanya lagi.

Aku mengangguk lagi.

"kalau begitu kita bisa membuktikannya di kamar mas.." ucap wanita itu lagi, dengan sedikit menekan suara.

"maksud kamu apa? Dan sebenarnya kamu ini siapa?" tanyaku dengan nada heran.

"panggil aja aku Aurel. Dan jika mas ini normal, mas pasti ngerti maksud ku apa." balas wanita itu.

"oke. Aku ngerti maksud kamu. Tapi apa untungnya bagi kamu?" balasku sedikit sengit.

"untungnya bagi ku ... ya... mungkin mas bisa memberiku sedikit uang.." ucap wanita itu terdengar santai.

"jadi kamu ini wanita bayaran?" tanyaku lugas.

"aku memang suka di bayar, tapi aku juga gak sembarangan mendekati laki-laki." balas wanita yang mengaku bernama Aurel tersebut.

"apa bedanya?" pungkas ku sedikit mengecam.

"terserah mas sih, mau menilai aku bagaimana. Tapi yang pasti jika mas mau punya teman tidur malam ini, aku bersedia. Kalau mas gak mau, ya itu tadi, berarti mas gak suka perempuan." ucap Aurel pelan.

"aku masih suka perempuan ya, tapi gak sembarangan perempuan juga. Kalau aku ingin membayar seorang perempuan, lebih baik aku mencarinya di kota, lebih banyak pilihannya." balas ku sedikit sengit.

"gadis kota dengan gadis desa itu berbeda loh rasanya, mas. Mas coba deh malam ini." Aurel terus berupaya untuk membujuk ku.

Sejujurnya aku belum pernah sekali pun membayar wanita untuk bisa tidur dengan ku. Tapi bukan berarti aku ini masih perjaka. Saat punya pacar dulu, aku pernah melakukan hal tersebut, beberapa kali.

Namun mendengar tawaran Aurel barusan, jujur aku merasa mulai tertarik dan cukup merasa tertantang.

"emangnya berapa tarif kamu?" tanyaku akhirnya.

"gak mahal, kok. Cuma lima ratus ribu." jawab Aurel lugas.

"satu malam?" tanya ku polos.

"ya gak lah. Itu tarif untuk sekali berlayar aja. Kalau satu malam beda lagi." bantah Aurel cepat.

"ya udah, aku mau coba gadis desa kayak kamu." ucapku akhirnya.

Aurel terlihat tersenyum menang. Kami pun kemudian sama-sama berdiri dan melangkah menuju penginapan.

*****

Malam itu, kapal kami pun berlayar. Sebuah pelayaran yang cukup indah. Aurel memang terlihat sudah sangat berpengalaman. Ia mampu membawa ku terbang dalam suasana nan romantis.

Dinginnya suasana pantai itu, tak mampu mendinginkan hasr4t kami untuk saling menumpahkan keinginan kami.

Hingga kapal kami pun berlabuh dengan sempurna. Sebuah perlabuhan yang cukup indah, dan cukup membuat aku menjadi terkesan.

Sekali lagi Aurel tersenyum menang. Ia mentapku dengan senyum menggoda.

"mas cukup hebat.." ucapnya tiba-tiba.

"kamu juga hebat.." balas ku jujur.

Sesaat kemudian, Aurel pun melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut. Sementara aku masih terbaring letih. Jujur saja, sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut, dan itu yang membuat aku merasa terkesan.

Jauh-jauh aku menikmati liburan sendiri, justru aku mendapatkan sebuah pengalaman yang cukup indah. Meski aku harus mengeluarkan sedikit uang untuk hal tersebut.

Beberapa menit kemudian, Aurel pun keluar dari kamar mandi, dia pun segera memakai pakaiannya kembali. Aku mengambil dompet ku, dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Uang itu aku serahkan pada Aurel, sesuai perjanjian.

"makasih, mas." ucap Aurel pelan, sambil tersenyum dan mengambil uang tersebut.

Tak lama kemudian, Aurel pun pamit.

Aku melepaskan kepergian Aurel dengan perasaan sedikit lega. Aku masih terus berpikir, karena tak menyangka sama sekali, di tempat seperti ini, masih ada wanita seperti Aurel.

Mungkin Aurel bukan satu-satu nya. Mungkin masih banyak gadis pantai lain, yang melakukan hal yang sama seperti yang Aurel lakukan.

Tentu saja itu semua mereka lakukan, hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aku merasa miris tiba-tiba. Mengapa orang-orang rela melakukan apa saja, hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Padahal ada begitu banyak pilihan dalam hidup ini, tapi mengapa mereka justru memilih hal itu?

Mungkin itu satu-satunya cara termudah yang mereka ketahui, untuk mendapatkan uang. Apa lagi mereka cuma punya modal fisik yang menarik saja.

Namun terlepas dari apa pun itu, aku juga tidak terlalu peduli. Itu merupakan pilihan hidup mereka, dan aku tak berhak untuk menghakimi mereka, walau dengan alasan apa pun.

Itu lah salah satu pengalamanku, saat aku berliburan sendiri. Selalu saja ada hal-hal indah yang aku temui dalam perjalanan ku. Hal-hal indah yang aku simpan sebagai pengalaman hidup. Hal-hal indah yang membuat aku semakin betah melajang.

****

Sekian ..

Aku cemburu

Aku cemburu. Ya, aku cemburu dan aku berhak untuk cemburu. Karena dia adalah tunangan ku.Semua orang kampung juga tahu, kalau kami sudah bertunangan.

Tapi mengapa semua itu bisa terjadi?

Aku melihatnya. Aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri. Tadi itu jelas sekali. Dan aku tak tahan melihatnya. Aku ingin marah. Aku ingin melabrak mereka. Tapi...

Aku baru saja pulang dari kantor Camat, yang berjarak 15 kilometer dari desa kami, bersama pak Kades. Ada rapat. Dan aku di minta untuk mendampingi pak Kades ikut rapat. Karena aku adalah sekdes di desa kami.

Kami berangkat pagi tadi, pakai mobilnya pak kades, Terios, merk mobil itu. Siang, rapat itu baru usai. Dan aku serta pak Ali, kepala desa yang baru diangkat satu setengah tahun lalu itu, makan dulu di sebuah rumah makan di Kecamatan.

Kami pulang sekitar jam 2 siang. Pak Ali meminta aku untuk menyetir mobil, katanya dia capek. Dan  itu tadi, jalan menuju rumah pak Ali harus melewati rumah tunangan ku, Novi.

Aku dengan jelas melihat, Novi berdiri di depan pintu rumahnya. Di sampingnya berdiri seorang cowok, tapi lebih tepat dipanggil bapak, karena ku lihat orang itu sudah cukup tua, mungkin seusia pak Ali. Aku sengaja memelan mobil. Cowok itu, atau bapak itu, mencium kening Novi dengan mesra. Setidaknya begitulah yang aku lihat.

Dan anehnya lagi, Novi malah tersenyum di cium oleh cowok itu. Seakan sengaja memanasi ku.

Aku kaget. Mobil hampir saja masuk parit yang ada di kiri jalan. Untuk saja aku cepat menginjak rem. Sehingga mobil terhenti sesaat.

"ada apa, Jo?" pak kades yang lagi ketiduran itu menanyaiku. Karena, mungkin saja, ia kaget sebab mobil berhenti mendadak.

"mm... ah... gak apa-apa, pak." jawabku gugup. Kemudian aku langsung menginjak pedal gas. Mobil pun melaju menuju rumah pak Ali. Sekilas ku lihat di spion, Novi menatap kepergian mobil kami dengan bengong.

****

Malam ini aku belum bisa tidur. Rasanya mata sulit sekali di pejamkan. Padahal sudah hampir tengah malam. Setiap kali aku coba untuk memejamkan mata, aku selalu melihat dengan jelas kejadian sore tadi. Bapak itu mencium dahi Novi dengan mesra. Siapa dia? tanyaku membathin.

Selama ini aku belum pernah melihatnya. Bahkan yang aku tahu, Novi tak punya saudara yang berada di luar desa ini. Sedangkan yang berada di desa ini, aku kenal semua.

Apa mungkin dia itu keluarganya Novi yang dari jauh? Atau malah orang itu ingin merebut Novi dari ku? Bisa saja, kan? Dengan kekayaannya orang itu membujuk orangtua Novi, agar mau menerimanya menjadi menantu.

Tapi Novi kan tunangan ku.

Aku ingat pertama kali kami jadian.

"apa bang Jo serius dengan perkataan bang Jo?" tanya Novi waktu itu, waktu aku mengungkapkan perasaanku sama Novi.

"apa abang kelihatan seperti orang yang gak serius?" aku balik bertanya.

"tapi bang Jo kan sekdes di desa ini. Apa bang Jo tak malu punya calon istri seperti aku, yang cuma anak seorang tukang kebun?" tanya Novi lemah.

"loh, kenapa abang mesti malu? Kamu kan cantik. Udah gitu baik lagi. Harusnya abang bangga, dong." aku berbicara sedikit tegas, sambil menatap mata Novi. Mata yang bening itu, menghindari tatapanku.

"justru sebaliknya, kmau yang harusnya malu punya calon suami kayak abang." ucapku memancing.

"kenapa aku harus malu?" tanya Novi cukup heran.

"ya.. karena usia abang kan udah cukup tua, sedangkan Novi masih muda.." jawabku jujur. Karena memang usia kami terpaut cukup jauh, setidaknya enam atau tujuh tahunan lah.

"ini bukan masalah umur, bang. Tapi masalah hati." ungkap Novi tegas.

Aku sudah kenal Novi sejak lama. Sejak kecil malah. Kami tinggal dalam satu desa. Rumah kami juga tidak terlalu jauh.

Tapi sejak aku menamatkan SMP yang ada di desa kami, aku pindah ke kota. Tinggal bersama kakak ku yang jadi guru di kota. Di sana aku sekolah, sambil membantu abang iparku menjaga toko. Abang iparku punya toko disana. Toko elektronik.

Sekali-kali aku pulang ke kampung. Di rumah abangku yang cuma seorang nelayan. Karena sejak kecil kedua orangtua ku uddah meninggal. Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara.

Tamat SMA, aku kuliah. Setelah itu aku pulang ke kampung dan di angkat menjadi sekdes. Sudah hampir empat tahun menjadi sekdes aku belum juga punya istri.

Sekarang kades nya udah ganti, tapi aku tetap di pakai untuk menjadi sekdes.

Aku dan Novi akhirnya bertunangan, setelah hampir tiga bulan dari masa pacaran kami. Aku memang berniat serius, karena aku memang sudah saatnya untuk menikah, dan Novi adalah pilihanku.

*****

Tok! Tok! Tok!

Ku dengar pintu kamar ku di ketuk. Lamunanku buyar. Sehabis sholat subuh tadi, aku rebahan kembali. Mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin.

"siapa?" tanyaku, sambil berusaha duduk dari rebahan ku.

"saya, om. Imah." jawab suara itu dari luar.

"oh. Ada apa, Imah?" tanya ku lagi pada pona'an ku itu. Imah anak abang ku yang paling bontot, kelas 2 SMP.

"ada yang cari." jawabnya.

"siapa?" aku bertanya, sambil membukakan pintu kamarku.

"tuh!" kata Imah, sambil memonyongkan bibirnya ke arah ruang tamu.

Aku melihat Novi duduk di sofa.

Mau apa dia? bathinku. Dengan terpaksa aku pun menemuinya. Aku masih marah. Dan amarah ku masih belum sempat aku lampiaskan. Tapi aku tak boleh gegabah. Aku harus tahu siapa lelaki yang bersamanya kemarin.

"ada apa kesini?" tanyaku sedikit ketus, setelah aku duduk di hadapannya dan meminta Imah untuk membuatkan dua gelas minuman.

"aku mau ngomong." jawabnya ragu.

"ngomong aja." ucapku sedikit acuh.

"aku... hmmm... kata Ria, bang Jo marah padaku. Apa benar?" Novi berucap sambil menunduk.

"yah." jawabku singkat.

Aku ingat, aku sempat bertemu Ria sore kemarin. Sepulang dari rumah pak kades. Karena tak bisa menahan emosi ku, aku terpaksa ngomong sama Ria tentang kejadian itu. Karena aku tahu, Ria itu sahabatnya Novi.

Ternyata Ria menceritakannya pada Novi. Dan Novi datang pagi-pagi kesini, ingin tahu. Apa dia tak merasa bersalah? tanyaku membathin.

"kenapa, bang? Apa aku berbuat salah?" kali ini Novi menatapku penuh selidik.

Ah, aku bingung. Aku tak ingin menunjukkan kecemburuan ku. Tapi...

"siapa lelaki kemarin?" akhirnya aku bertanya sambil menahan napas.

"lelaki yang mana, bang?" Novi balik bertanya.

"kamu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?" tanyaku lagi, sedikit emosi.

"maksud, bang Jo..?" wajah Novi agak kelihatan bingung.

"siapa lelaki yang datang ke rumah mu kemarin?" tanya ku lagi.

Sesaat Novi mengerutkan kening. Kemudian perlahan bibirnya mengulaskan senyum. Senyum lebar malah.

"kenapa senyum? Apanya yang lucu?" tanyaku antara marah dan heran.

"oh, jadi bang Jo marah karena itu?" ucap Novi pelan, kemudian ia pindah duduk di sampingku. Aku tetap memasang tampang masam. kemudian ku dengar Novi berucap,

"dulu, setelah tamat SD, aku tidak melanjutkan sekolah di sini, tapi aku sekolah di kota. Di kota aku tinggal bersama seorang juragan. Juragan itu adalah pemilik kebun tempat ayah ku bekerja. Orangnya baik, dia juga yang membiayai aku sekolah." Novi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan,

"adik-adik ku juga butuh biaya untuk sekolah, ayahku tak sanggup membiayai kami semua. Dan juragan itu bersedia membantu ayah untuk membiayai sekolah ku dan adik-adik." ku lihat Novi menarik napas dan melirik ku.

"juragan itu cuma punya satu orang anak, yaitu bang David. Waktu itu ia masih kuliah. Ia udah menganggap ku seperti adik sendiri, demikian juga juragan itu, ia juga sudah menganggap sebagai anaknya sendiri." Novi berhenti sejenak.

Aku mulai mengerti ceritanya. Setidaknya aku mencoba mencerna kata-kata yang di ucapkan Novi.

"dan kemarin itu ia datang, karena sudah lama sekali kami tak bertemu. Sejak tamat SMA, aku jarang sekali kesana. Dan sejak menikah bang Davit sibuk dengan bisnisnya. Kebetulan kemarin itu dia lagi libur, jadi dia datang ke rumah sendirian, karena istrinya sedang ada kerjaan yang harus diselesaikan." ucap Novi panjang lebar.

Aku mengangguk dan menatap Novi. Ku lihat ketulusan dan kejujuran di matanya. Aku salah telah mencemburuinya.

"aku minta maaf..." ucapku spontan, "aku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Tapi itu semua terjadi, karena aku begitu menyayangi mu dan aku sangat takut kehilangan kamu, Novi." ucapku penuh perasaan, sambil kuraih tangan lembut Novi.

"aku belum selesai cerita," ucap Novi tanpa menghiraukan pernyataan ku, "sampai sekarang bang David belum juga mendapatkan keturunan, itulah sebabnya ia sangat menyayangi ku dan juga adik-adikku." lanjutnya lagi.

Aku keliru. Bathinku.

Novi adalah gadis terbaik yang pernah ku kenal da naku tak akan menyia-nyiakannya. Aku janji.

****

Pembantu baru ku yang cantik (bagian 1)

Aku seorang pria yang berusia 32 tahun saat ini, aku memiliki istri yang berusia 28 tahun. Kami menikah sekitar 6 tahun yang lalu, waktu itu usia ku masih 26 tahun, sedangkan istri ku masih 22 tahun. Kami menikah setelah hampir 3 tahun pacaran.

Dari hasil pernikahan kami, kami sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia 4 tahun lebih. Saat ini, istriku sedang hamil anak kedua kami, sudah 8 bulan.

Aku seorang pengusaha muda yang cukup sukses. Usaha properti ku terbilang cukup maju. Sehingga secara ekonomi, kehidupan kami memang serba berkecukupan.

Istriku sendiri hanya seorang Ibu rumah tangga, meski ia memiliki pendidikan sampai sarjana. Namun karena sudah menikah dengan ku, aku tidak memperbolehkan ia bekerja. Aku ingin ia menjadi Ibu rumah tangga yang baik. Mengurusi anak dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri.

Meski terbilang masih muda, tapi kami sudah mempunyai rumah sendiri. Rumah yang aku beli dari hasil kerja keras ku selama ini. Rumah yang cukup mewah.

Dirumah kami, kami juga memperkerjakan beberapa orang pembantu.

Yang pertama ada Bi Ijah, yang bertugas mengurusi segala tetek bengek makanan di dapur dan juga mencuci pakaian. Sedangkan suami bi Ijah, pak Parno, bertugas membersihkan kebun dan pekarangan rumah. Kemudian ada Santo, yang bertugas menjaga keamanan rumah.

Dan Sidik, yang menjadi sopir pribadi istri ku. Serta ada Marni, yang bertugas membersihkan rumah dan kamar.

Mereka tinggal satu rumah dengan kami, Bi Ijah dan suaminya tidur di kamar paling belakang dekat dapur. Santo dan Sidik tidur satu kamar, karena mereka masih lajang, dan kamar mereka berada tidak jauh dari kamar Bi Ijah. Sementara Marni, tidur di salah satu kamar yang ada diruang tengah.

Marni adalah pembantu baru dirumah kami, ia baru bekerja dengan kami selama 4 bulan. Ia berasal dari kampung. Masih muda dan memiliki wajah yang lumayan cantik, meski tanpa make up.

Marni gadis yang lugu, usia nya masih 20 tahun. Ia hanya tamatan SD, karena memang ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia bekerja ke kota, untuk membiayai sekolah adik-adiknya di kampung. Begitu ceritanya, ketika ia pertama kali bekerja dengan kami. Bi Ijah yang memperkenalkan kami dengan Marni

Sebenarnya rumah tangga kami sangat bahagia, kami menikah atas dasar saling cinta. Apa lagi sejak anak pertama kami lahir, kebahagiaan kami semakin lengkap.

Istri ku seorang wanita yang sangat baik. Kami jarang sekali terlibat pertengkaran.

Namun beberapa bulan terakhir ini, sejak ia hamil anak kedua kami, istri ku sering sakit-sakitan dan sering sekali harus dirawat dirumah sakit.

Menurut keterangan dokter, itu merupakan bawaan dari kandungannya.

Sebenarnya tidak ada masalah yang perlu di kwatirkan, karena kondisi bayi dalam kandungan istriku masih dalam keadaan baik-baik saja.

Namun tentu saja, untuk urusan ranjang, istri ku tidak lagi bisa melayani ku seperti biasa.

Aku mencoba memahaminya, karena kadang aku merasa sangat kasihan melihat kondisi istri ku saat ini. Dia harus rutin pergi ke dokter kandungan hampir setiap minggu.

Dirumah pun ia tidak di perbolehkan bekerja terlalu berat.

Untung lah anak kami yang pertama, sudah cukup besar. Jadi ia tidak terlalu merepotkan istri ku, lagi pula di rumah ada pembantu yang mengurusinya.

Suatu pagi, aku bangun sedikit telat dari biasanya, karena tadi malam harus pulang larut. Ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.

Saat aku bangun, aku sudah tidak melihat istriku di tempat tidurnya. Aku langsung mandi dan hendak berganti pakaian. Ketika tiba-tiba aku mendengar ketukan di pintu kamar. Dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggangku dan bertelanjang dada, aku membukakan pintu kamar.

Di depan pintu kamar, sudah berdiri Marni dengan membawa nampan berisi sarapan dan segelas susu.

Aku sedikit heran, karena biasanya istriku yang melakukannya. Aku memang biasa sarapan di kamar, apa lagi kalau aku sedikit terlambat bangun pagi. Karena dengan begitu aku tak harus buang-buang waktu pergi ke dapur untuk sarapan.

Marni tersenyum tipis, sambil berkata, "ini sarapannya tuan.."

"Ibu mana?" tanya ku, tanpa memperdulikan ucapannya.

"Ibu sudah berangkat pagi tadi, katanya ia mau ke dokter." jawab Marni, "Ia berangkat diantar mas Sidik. Ia menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan tuan ke kamar..." lanjutnya menjawab keheranan ku.

"oh.." desahku, "ya, udah! kamu taruh aja di atas meja itu!" lanjutku, sambil menunjuk sebuah meja yang memang disediakan untuk tempat aku sarapan di dalam kamar.

Dengan sedikit sungkan Marni masuk ke kamar dan menaruh nampan berisi sarapan tersebut di atas meja dengan sedikit menunduk.

Aku masih berdiri di dekap pintu sambil melihat ke arah Marni. Saat Marni menunduk, aku melihat belahan rok yang di pakai Marni sedikit tersingkap keatas. Marni hanya memakai rok mini ketat, yang memperlihatkan lekukan pinggulnya. Rok mini itu memiliki belahan di belakangnya, belahan yang cukup panjang, sehingga ketika Marni menunduk, kakinya akan kelihatan sampai ke atas.

Seketika dada ku berdegup kencang. Sebagai laki-laki normal, dan sebagai seorang suami yang sudah lima bulan lebih tidak mendapatkan jatah dari istri, karena sakit, tentu saja hal tersebut membuat hsrat ku tiba-tiba muncul.

Perasaan ku tiba-tiba saja menginginkan hal tersebut. Refleks aku menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.

Marni kaget, mendengar suara pintu menutup, ia pun segera berbalik dan mulai melangkah menuju pintu untuk keluar.

Tapi dengan sedikit gemetaran aku mencoba menahan langkahnya.

"ada yang bisa saya bantu lagi, tuan...?" tanya nya dengan nada bergetar.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi justru semakin mendekat. Aku menrik tngan Marni dan menyretnya ke rnjang.

Marni berusaha mernta dan ingin bertriak. Namun secepatnya aku menbkap mulutnya dengan tngan ku.

"aku mengingnkn kamu pagi ini. Dan kamu tidak perlu melwan." bisik ku di telinganya dengan nada mengncam. "aku akan beri kmu uang yang banyak, jika kmu mau.." lanjutku. 

Cukup lama Marni terdiam dalam dekpanku, ia masih berusaha melpaskan diri, namun tenaga nya tidak cukup kuat. Ia akhirnya hanya psrah, ketika aku berhsil mendrong tbuh mngilnya ke atas rnjang. Ia menutup wjahnya dengan kedua tngannya sambil sedikit terisak.

Aku benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan diri. Aku tak pedulikan isak Marni, aku hanya harus menylurkan keinginan ku yang sudah sangat lama terpndam.

"kamu tenang saja, aku pasti kasih kamu uang yang banyak.." ucapku, mencoba membuat Marni tenang.

Tapi Marni berusaha trus melwan. Aku hrus berusaha lebih keras agar bisa menaklukannya.

Hingga akhirnya Marni tidak berani mealwan lagi. Dan aku pun semkin leluasa mlakukn aksi ku.

Pagi itu, aku pun brhsil mrnggut keprwanan Marni. Aku kmbali mersakan sesuatu yg sdah beberapa bulan ini tdak aku rasakan. Marni menjdi tmpat penyluran segala keinginan ku yang slama ini trpndam.

Dan setelah perjuangn yang cukup pnjang, aku pun terhmpas di rnjang. Marni segera bngkit dan ia pun menngis tersdu-sedu di lantai. Aku pun berusaha membujuknya, aku takut bi Ijah mendngarnya.

Segera ku ambil sejumlah uang dalam laci dan ku berikan kepada Marni.

"kamu jangan sampai menceritakan kejadian ini kepada siapa pun, apa lagi kepada istriku.." ucapku sedikit mengncam. Marni berusaha menhan tangisnya, ia dengan sedikit berat mengmbil uang yang aku berikn. Ia pun berdiri dngan sedikit meringis, menahan skit.

Aku menyuruhnya untuk segera turun. Aku tak ingin bi Ijah curiga, karena Marni sudah cukup lama berada di lantai atas rumah kami.

"kamu harus berusaha bersikap biasa saja.." kataku, ketika Marni sudah berada di ambang pintu kamar. Dan ia pun melangkah keluar dan turun ke bawah.

Tiba-tiba saja, rasa bersalah merasuk ke dalam hatiku. Aku telah mengkhianati istriku yang begitu baik dan setia. Aku telah menodai pernikahan yang begitu bahagia.

Tapi jujur saja, aku tak bisa lagi membendungnya. Keinginan untuk melampiaskan hal tersebut, yang lama terpendam, tak bisa ku cegah lagi. Dan sebnarnya aku bgitu menikamti hal tersebut.

Meski aku tahu, apa yang lakukan barusan adalah sebuah kesalahan. Dan aku juga tahu, kelakuan ku barusan sudah sangat melampaui batas. Semua itu jelas akan ada resikonya. Akan ada balasan dari perbuatanku tersebut. 

*****

Beberapa hari kemudian, istriku memintaku untuk mengantarnya ke rumah orang tuanya yang berada cukup jauh dari kota.

"untuk sementara, sampai anak kita lahir, aku ingin tinggal bersama Ibu saja.." ucapnya. "dengan kondisiku seperti saat ini, rasanya aku akan jauh lebih aman, jika tinggal bersama Ibu.."lanjutnya.

Aku pun menyetujuinya. Dulu waktu anak pertama kami lahir, istriku juga tinggal bersama Ibunya.

Ibunya memang seorang bidan kampung, ia sudah terbiasa menangani orang yang melahirkan.

Aku pun mengantarkan istriku kerumah Ibunya, tapi aku tidak bisa menginap disana, karena aku harus bekerja. Istri ku mengerti dan membiarkan aku kembali ke rumah.

Aku berjanji untuk menjenguknya dua kali seminggu, sampai anak kami lahir nanti.

Malam itu, aku tidur sendirian di kamar. Anak pertama ku juga ikut Ibunya di kampung. Aku gelisah.

Tiba-tiba aku teringat kejadian pagi itu dengan Marni. Keinginan ku tiba-tiba datang lagi.

Keinginan untuk melakukan hal itu lagi datang begitu saja.

Aku akhirnya turun ke lantai bawah. Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Aku berdiri di depan pintu kamar Marni, yang memang terletak disamping tangga turun. Aku melihat lampu dalam kamar Marni masih menyala, pertanda Marni belum tidur.

Pelan ku ketuk pintu kamar itu. Tak lama kemudian aku mendengar langkah kaki menuju pintu dan pintu itu pun terbuka pelan. Marni dengan wajah sedikit kaget menatapku.

"ada apa, tuan...?"tanyanya sedikit tertunduk.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku justru mendrong pintu itu sehingga terbuka lebar. Lalu aku msuk ke dalam kmar itu dan segera menutup dan menguncinya.

Marni hanya berdiri di samping pintu, aku mendekatinya.

"aku ingin melkukannya lagi dnganmu malam ini.." bisikku di telinga Marni.

Marni mundur selangkah dan berusaha mendrong tubuhku.

"aku akan memberimu uang lagi..." lanjutku.

Setelah terdiam cukup lama, Marni pun berucap, "aku memang lagi butuh uang yang sangat banyak..." katanya. "aku akan brsedia mnuruti keinginn tuan kapan pun tuan mau..." lanjutnya. "asal tuan mau memberi saya uang saat ini sebanyak seratus juta rupiah..." katanya lagi.

Aku tercenung sesaat, memikirkan tawaran Marni.

"untuk apa uang sebanyak itu?" tanyaku akhirnya.

"Ibu ku sakit di kampung, ia harus segera di operasi..." jelasnya singkat.

Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. 

"oke...!" kataku, "besok aku akan transfer uang itu ke rekening kamu..." lanjutku.

"dengan syarat kamu bersedia mmenuhi keinginn saya, sampai istri saya kembali lagi ke rumah ini. Dan kamu jangan pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun..." aku berucap lagi, sambil mulai mendkati Marni.

Marni hanya diam dan sedikit mengangguk tanda ia setuju.

Pelan ku trik tbuh mungil Marni ke rnjang. Marni pun menrutiku.

Kami dduk di sisi rnjang, dan aku mulai kemabli melakukan aksi ku.

Hanya saja kali ini, tdak ada lagi penolakan dari Marni. Ia brusaha mngikuti semua keinginn ku. Bhkan Marni jga berusaha utk mmbuat aku trkesan. 

Dan stelah prgulatn yang ckup pnjang dan pnuh kesan, segera aku bngkit dan memkai pkaianku lagi, lalu keluar dan lngsung naik ke atas ke kamarku untuk segera tidur. Hari sudah jam 3 pagi.

Esoknya aku pun mentransfer uang seratus juta ke rekening Marni. Sesuai perjanjian.

*****

Malam-malam berikutnya, aku mulai rutin msuk ke kmar Marni untuk mendpatkan 'jatah' darinya dan Marni pun membri kan hal itu dengan baik.

Marni benar-benar mmpu menggntikan 'posisi' istri ku untuk sementara, ia mmpu menggntikan 'tugas' istri ku, selama istriku tidak berada di rumah.

Dan aku benar-benar merasa terksan dengan Marni.  Aku juga tak segan-segan memberinya sejumlah uang, setiap kli aku selsai menunaikan 'tugas' ku pdanya.

Malam-malam menjdi berbeda bagi ku saat ini, aku merasa menemukan tmpat yang tepat utk mncurahkn sgala kesepian dan juga kekosangn malam-mlam ku.

Aku pun rutin menjenguk istri ku dua kali seminggu di rumah Ibunya, meski tak pernah menginap di sana.

*****

Sebulan kemudian, istriku pun melahirkan anak kedua kami secara normal. Seorang anak laki-laki lagi. Anak kami lahir dengan selamat dan sehat. Begitu juga istriku, ia kelihatan sangat sehat.

Seminggu kemudian kami pun kembali lagi kerumah kami.

Kami mulai menjalani kehidupan kami lagi seperti biasa.

Sekarang aku tak lagi bisa msuk ke kmar Marni, karena istri ku sudah berada di rumah. Meski terkadang keinginan itu ada. Tapi aku berusaha menhan keinginanku.

Marni pun bersikap biasa saja, ia mungkin mengerti, karena perjanjiannya memang seperti itu dari awal.

Dan sang waktu pun terus berlalu. Sudah dua bulan usia anak kedua ku sekarang.

Sampai tiba-tiba Marni menghampiri ku, dan mengatakan kalau ia sudah telat tiga bulan. Dan ia pun mengatakan kalau ia sudah melakukan tes menggunakan alat tes kesehatan yang ia beli di apotik.

Dan hasilnya ia positif hamil.

Aku hanya terpaku mendengar cerita Marni. Pikiran ku tiba-tiba kacau. Kepala ku terasa begitu sakit. Pandangan ku berkunang.

Marni pergi berlalu. Ia meminta aku untuk segera mengambil keputusan, sebelum perutnya semakin membesar.

Aku semakin trenyuh. Dan tidak tahu harus berbuat apa saat ini.

Tapi Marni benar. Aku harus segera bertindak. Karena semakin lama, perut Marni akan mulai membesar.

Apa pun resikonya nanti, aku harus bisa menyelesaikannya.

**** 

Bersambung ...

Pembantu baru ku yang seksi part 2

Cowok gagah si penjual bakso keliling

Cinta bagi ku adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan.

Dulu, aku berpikir seperti itu. Jauh sebelum aku benar-benar merasakan jatuh cinta.

Jauh sebelum aku mengenal bang Agus. Seorang laki-laki gagah, yang merupakan penjual bakso keliling langganan ku.

 

Cerpen gay  sang penuai mimpi

Aku mengenal bang Agus, karena ia hampir setiap sore singgah di depan rumahku.

Bang Agus seorang penjual bakso keliling, dengan mendorong gerobaknya ke sekeliling perumahan tempat aku tinggal.

Kebetulan aku tinggal di salah satu perumahan tersebut. Rumahku itu tepat berada di persimpangan jalan. Karena itu bang Agus selalu singgah di sana, untuk menanti beberapa orang langganan baksonya. Yang salah satunya adalah aku.

Rumah tempat aku tinggal itu sebenarnya, adalah rumah yang sudah lama di beli oleh ayahku, namun selama ini tidak di tempati.

Karena sekarang aku sudah kuliah, ayah ku mempercayai ku untuk menempati rumah itu sendiri. Agar aku bisa lebih dekat dengan kampus tempat aku kuliah.

Sementara orangtua dan dua orang adik-adikku tinggal di rumah kami yang lain, yang berjarak cukup jauh dari rumah tempat aku tinggal.

Karena tinggal sendiri dan juga tidak suka masak, aku memang lebih sering membeli makanan siap saji di luar. Salah satu nya ialah bakso bang Agus.

Bakso bang Agus sudah menjadi langganan ku sejak lama, setidaknya sejak aku pindah ke rumah ini, sekitar setahun yang lalu.

Pertama kali melihat dan bertemu bang Agus, aku mulai merasa tertarik dengannya. Aku tidak tahu, entah mengapa aku begitu mengagumi sosok bang Agus.

Wajahnya yang tampan, senyumnya yang selalu ramah terukir dari bibirnya yang manis. Tubuhnya yang atletis dan gagah. Semua itu benar-benar telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Semakin hari perasaan itu semakin berkembang aku rasakan. Dan aku selalu memikirkan bang Agus di hampir setiap malamku.

Bang Agus selalu ramah kepada setiap pelanggannya, dan hal itu terkadang membuat aku jadi salah paham akan keramahannya padaku.

Lalu seperti apakah kisah ku bersama bang Agus si penjual bakso keliling itu?

Mungkinkah aku mempu merebut hati laki-laki gagah itu?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Bang Agus sudah berusia 27 tahun, dan menurut pengakuannya juga, ia masih lajang.

Hal itu sedikit memberi harapan padaku, untuk bisa mendapatkan cinta bang Agus.

Untuk menarik perhatiannya, terkadang aku sengaja berlama-lama ngobrol denganya saat membeli bakso. Saat hanya kami berdua di sana.

"bang Agus kenapa belum nikah?" tanyaku suatu sore, saat itu hanya kami berdua di situ.

"siapa yang mau sama seorang penjual bakso keliling seperti saya ini, Wisnu." lemah suara bang Agus menjawab.

"gak ada yang salah dengan berjualan bakso, bang. Justru saya kagum sama bang Agus. Selain bang Agus seorang pekerja keras, bang Agus juga tampan dan gagah. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama bang Agus." ujarku jujur.

"ah, kamu bisa aja, Wisnu. Tapi nyatanya sampai saat ini aku masih jomblo." balas bang Agus.

"mungkin karena bang Agus terlalu pemilih.." ucapku pelan.

"gak juga. Aku hanya cari orang yang bisa terima aku apa adanya." balas bang Agus lagi.

"seandainya aku ini cewek, aku pasti mau sama bang Agus.." ucapku tanpa sadar.

"kamu gak perlu jadi orang lain, untuk menyukai seseorang, Wisnu. Lebih baik kamu jadi diri kamu sendiri. Karena aku lebih menyukai kamu sebagai Wisnu, bukan sebagai orang lain." ucap bang Agus dengan nada sedikit pelan.

"aku bisa menyukai bang Agus sebagai diri ku sendiri. Tapi aku tidak bisa memiliki bang Agus, jika tetap menjadi diri ku yang seperti ini." timpalku kemudian.

"siapa bilang tidak bisa? Jika kamu memang benar-benar menginginkannya, bisa saja hal itu menjadi mungkin kan?" balas bang Agus terdengar serius.

"maksud bang Agus bagaimana?" tanya ku benar-benar tidak mengerti.

"kalau kamu belum mengerti, itu artinya kamu belum benar-benar mengenalku, Wisnu." balas bang Agus lagi.

"tapi..." kalimat ku terhenti, saat tiba-tiba seorang anak remaja datang untuk membeli bakso.

Bang Agus kemudian sibuk melayani pembeli, yang mulai berdatangan cukup ramai.

Aku terpaksa menyimpan rasa penasaran ku, atas kalimat bang Agus barusan.

Aku kembali ke rumah dengan masih menyimpan tanda tanya di benakku.

*****

Ke esokan sorenya, dengan tidak sabar, aku menunggu kedatangan bang Agus di depan rumahku.

Semalaman aku hampir tidak tidur, karena terus bertanya-tanya maksud dari pernyataan bang Agus sore kemarin.

Apa mungkin bang Agus juga menyukai ku?

Apa mungkin bang Agus juga penyuka sesama jenis seperti ku?

Akh, rasanya itu sangat mustahil. Mengingat bang Agus, sangat terlihat maskulin dan jantan.

Meski pun tidak menutup kemungkinan, bahwa seorang laki-laki segagah apa pun, juga bisa saja adalah penyuka sesama jenis.

Tapi masa' iya, bang Agus seperti itu?

Aku terus bertanya-tanya sepanjang malam dan bahkan sepanjang hari ini. Aku benar-benar tak sabar menunggu sore.

Dan ketika akhirnya bang Agus datang, aku pun segera menghampirinya.

"bakso?" ucap bang Agus menyambut kedatangan ku.

"iya. Sekalian aku mau menanyakan maksud dari pernyataan bang Agus kemarin sore." balasku cukup berani.

"apa lagi yang ingin kamu tanyakan, Wisnu?" balas bang Agus bertanya.

"bang Agus pasti ngerti apa yang aku maksud." balasku pelan.

"aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Wisnu. Aku juga ingin agar kamu jujur padaku. Kamu katakan saja, apa yang kamu rasakan padaku." ucap bang Agus membalas.

"aku... aku,... bang Agus... " aku terbata, tidak tahu harus berkata apa.

"mungkin lebih baik, kalau kita atur waktu dan tempat yang tepat untuk kita ngobrol lebih lanjut, Wisnu. Sekarang ini aku lagi kerja. Jadi lebih baik kita bicarakan lagi nanti." ucap bang Agus melihat ketergagapan ku.

"kapan?" tanya ku spontan.

"bagaimana kalau nanti malam?  Aku bisa datang ke rumah mu kan?" tanya bang Agus.

"bisa, bang. Abang datang aja. Aku tunggu ya..." balas ku cepat.

"oke. Nanti sehabis jualan, aku akan datang ke rumah kamu. Tapi mungkin itu sudah jam sepuluh malam, gak apa-apa kan?" ucap bang Agus lagi.

"gak apa-apa, bang. Aku juga sendirian di rumah. Dan lagi pula, aku benar-benar ingin berbicara berdua bersama bang Agus." ucapku lugas.

Bang Agus hanya mengangguk ringan, karena beberapa orang pembeli sudah mulai datang mendekat.

Aku pun kembali ke rumah, dengan membawa semangkok bakso dan segumpal harapan.

Semoga saja harapan ku kali ini akan menjadi nyata.

****

Waktu bergulir, namun jarum jam terasa begitu lambat berputar bagiku.

Aku menunggu. Aku menunggu bang Agus, laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Aku menunggunya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih.

Padahal aku dan bang Agus sampai saat ini, masih hanya sekedar berteman. Tapi entah mengapa, aku jadi punya harapan lebih padanya.

Mungkin karena aku terlalu mencintainya. Mungkin juga karena bang Agus sepertinya sudah memberi harapan padaku.

Namun cinta tetaplah sebuah misteri. Ia tidak mudah di tebak. Kita tidak pernah tahu, kapan rasa itu tumbuh. Kita juga tidak pernah tahu, kepada siapa rasa itu akan tumbuh. Dan kita juga tidak akan tahu, bagaimana perasaan orang lain kepada kita. Bahkan perasaan orang yang paling dekat dengan kita sekali pun.

Aku tetap menunggu. Hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Debaran di jantung ku semakin tak beraturan.

Dan aku semakin gelisah, ketika jarum jam sudah melewati beberapa menit dari jam sepuluh.

Mungkinkah bang Agus akan datang?

Atau aku hanya menunggu sesuatu yang tak pasti?

Aku mungkin terlalu berharap. Namun harapan itu, sepertinya belum berpihak padaku.

Lalu bagaimanakah akhirnya kisah ku bersama bang Agus, si penjual bakso keliling itu?

Apakah yang terjadi selanjutnya jika bang Agus datang?

Saksikan kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaachhh.

****

 Part 2 (Malam penuh kesan)

Bang Agus adalah seorang perantau. Orangtua dan adik-adiknya tinggal di kampung. Orangtua nya adalah seorang petani, yang hanya punya penghasilan pas-pasan.

Bang Agus di kota ini tinggal bersama pamannya, yang merupakan seorang pengusaha bakso. Dan bang Agus adalah salah seorang pekerjanya, yang menjajakan bakso tersebut berkeliling.

Setidaknya begitulah sedikit tentang hidupnya yang bang Agus pernah ceritakan padaku.

Namun terlepas dari apa pun latar belakang kehidupannya. Di mata ku bang Agus adalah sosok laki-laki sempurna. Dia adalah laki-laki terindah.

Aku mencintainya. Aku menyayanginya dengan sepenuh hatiku.

Namun menunggunya malam ini, hingga hampir jam sebelas malam, aku menjadi kian gelisah.

Aku ragu. Mungkinkah bang Agus serius dengan ucapannya sore tadi, untuk datang ke rumahku?

Atau ia hanya sekedar memberi harapan padaku?

Simak kelanjtan dari kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, selanjutnya ya ...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

Jam sebelas malam kurang lima menit. Bang Agus akhirnya datang.

"maaf, Wisnu. Saya terlambat." ucap bang Agus, sesaat setelah aku persilahkan ia masuk dan duduk di ruang tamu rumahku.

"tadi dagangan ku belum habis, jadi aku harus berkeliling lebih lama dari biasanya." bang Agus melanjutkan kalimatnya.

"gak apa-apa, bang." jawabku berusaha sesantai mungkin, berusaha menahan debaran yang bergejolak di dada ku.

"jadi gimana? Kamu udah siap untuk jujur, Wisnu?" tanya bang Agus kemudian.

Aku mengangguk ragu. Aku juga tidak yakin, akan berani untuk jujur tentang perasaanku pada bang Agus. Aku takut, kejujuran ku justru akan membuat bang Agus semakin jauh dari ku.

Namun aku memang harus mengatakan semuanya pada bang Agus. Selain karena aku sudah tidak bisa memendamnya lagi. Aku berpikir, mungkin inilah saatnya untuk aku bisa mengungkapkan perasaanku pada bang Agus.

Apa lagi saat ini, hanya kami berdua di rumah ini.

"aku gak tahu, kapan perasaan itu tumbuh, bang. Namun yang pasti sejak aku mengenal bang Agus, aku jadi sering memikirkan bang Agus. Aku selalu mengkhayalkan bang Agus setiap malamnya. Lalu kemudian aku sadar, kalau aku telah jatuh cinta kepada bang Agus."

"tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku cukup sadar, kalau bang Agus tidak mungkin punya perasaan yang sama denganku. Aku hanya bisa mencintai bang Agus dalam diam, tanpa berani untuk aku ungkapkan.." ucapku panjang lebar.

"lalu mengapa malam ini kamu berani mengungkapkannya?" tanya bang Agus.

"seperti kata bang Agus, kalau aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku harus jujur dengan perasaanku, dan aku harus jujur pada bang Agus. Karena jika tidak, aku tidak akan pernah tahu seperti apa perasaan bang Agus padaku." jawabku lugas.

Untuk sesaat suasana pun hening. Bang Agus terlihat menarik napas beberapa kali.

"bertahun-tahun aku berusaha untuk menghindari semua ini, Wisnu. Aku merantau ke kota, sebenarnya ingin menjauh dari orang yang aku cintai. Di kampung aku punya seorang kekasih. Namanya Alan. Dia seorang pemuda yang tampan namun lembut."

"aku dan Alan pacaran sudah hampir dua tahun. Ketika akhirnya Alan harus menerima perjodohannya dengan gadis pilihan orangtuanya." bang Agus memulai ceritanya.

"Alan adalah putra seorang juragan kaya di desa kami. Dia anak tunggal. Karena itu dia tidak bisa menolak keinginan orangtua nya tersebut. Namun meski pun Alan akhirnya menikah, kami tetap menjalin hubungan secara diam-diam."

"tapi kemudian, hubungan kami pun mulai di curigai oleh istri Alan. Karena itu kami pun sepakat untuk berpisah dan saling melupakan. Namun tidak mudah bagiku, karena aku terlalu mencintai Alan. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi dari kampung halaman ku."

"aku ingin belajar melupakan Alan. Aku ingin memulai hidupku yang baru. Aku ingin hidup sebagai mana layaknya seorang laki-laki. Tapi ternyata hal itu tidak mudah. Meski pun akhirnya aku bisa melupakan Alan, namun aku tidak bisa menolak pesona seorang laki-laki."

"saat pertama kali aku melihat kamu, Wisnu. Aku kembali merasakan getaran keindahan sebuah rasa. Sebuah rasa cinta yang telah lama tidak aku rasakan, semenjak aku berhasil melupakan Alan. Namun sejak aku mulai mengenal kamu, rasa cinta itu kembali tumbuh."

"aku berusaha memendamnya. Aku berusaha menutupinya. Aku takut jatuh cinta lagi pada laki-laki, karena pada akhirnya hubungan sesama laki-laki, tidak akan pernah berakhir dengan indah. Karena pada akhirnya, salah satu dari kita, harus menjalankan kodrat kita sebagai seorang laki-laki."

"dari awal, aku juga sudah tahu, kalau kamu menyukai ku, Wisnu. Namun karena trauma yang pernah aku rasakan di masa lalu, membuat ku berusaha untuk tidak menanggapi kehadiran mu. Aku tidak ingin lagi pacaran denga laki-laki."

"tapi kemudian aku sadar, cinta bukanlah sesuatu yang harus di sembunyikan, terlebih karena aku tahu kalau kamu juga menyukai ku. Karena itu, aku ingin kamu jujur, Wisnu. Bukan saja tentang perasaanmu padaku, tapi juga tentang harapan mu padaku untuk ke depannya."

Bang Agus mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku terdiam. Sungguh semua itu di luar dugaanku. Mungkin selama ini, aku bisa merasakan kalau bang Agus juga menyukai ku. Tapi aku tak pernah berpikir, kalau bang Agus punya cerita pahit di masa lalunya.

"aku mencintai, bang Agus. Terlepas dari apa pun yang pernah terjadi di masa lalu bang Agus. Dan aku berharap, jika kita memang saling mencintai, kelak hubungan kita tidak akan pernah berakhir, meski apa pun yang akan terjadi." ucapku akhirnya, setelah terdiam beberapa saat.

*****

"aku juga mencintai kamu, Wisnu. Dan aku juga berharap, hubungan kita tidak akan pernah berakhir nantinya. Tapi apa kamu yakin, akan menghabiskan sepanjang hidupmu untuk bersama ku?" bang Agus berucap dengan sambil menatapku tajam. Ia seperti mengharapkan sebuah kejujuran dariku.

"aku yakin, bang. Bagi ku cinta adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan. Jika aku sudah jatuh cinta, maka pantang bagi ku untuk memupusnya walau dengan alasan apa pun. Sejak aku mengerti cinta, aku selalu menanamkan keyakinan pada hatiku, bahwa hanya ada satu cinta yang akan aku pelihara, dan tidak akan mencintai siapa pun lagi, kecuali kekasihku." ucapku membalas penuh keyakinan.

"tapi bukankah hubungan seperti ini akan penuh resiko, Wisnu. Akan banyak tantangan yang harus kita hadapi ke depannya, terutama dari keluarga dan orang-orang di sekitar kita." ujar bang Agus.

"iya. Aku tahu, bang. Dan aku siap menghadapi itu semua. Aku siap kehilangan apa pun, jika itu adalah pengorbanan yang harus aku lakukan, untuk bisa bersama orang yang aku cintai." balasku yakin.

"namun tidak ada satu tempat pun yang bisa menerima hubungan seperti hubungan kita ini, Wisnu. Biar bagaimana pun, pada akhirnya kita memang harus menjalankan hidup sesuai dengan takdir dan kodrat kita sebagai seorang laki-laki." ucap bang Agus.

"jika kita memang saling mencintai, bang. Aku rasa kita tidak butuh tempat yang bisa menerima hubungan kita. Namun kita tetap bisa bersama, karena cinta itu tumbuhnya di hati, bang. Cinta bukan sesuatu yang harus di umbar. Biarkan cinta kita tetap hanya menjadi rahasia. Biarkan hubungan kita, hanya kita berdua yang tahu dan bisa merasakannya." balasku lagi.

"dan lagi pula, menurutku, kita tak perlu mencemaskan masa depan yang belum tentu terjadi, bang. Labih baik kita nikmati saja saat ini. Kita nikmati saja setiap kesempatan yang ada." ucapku melanjutkan.

"iya. Kamu benar, Wisnu. Mungkin karena aku pernah merasakan sakitnya berpisah dengan orang yang aku cintai, membuatku menjadi sedikit berlebihan dalam hal ini. Aku hanya tidak ingin merasakan rasa sakit itu lagi, Wisnu. Tapi aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa bersama orang yang aku cintai, yaitu kamu Wisnu." ucap bang Agus penuh perasaan.

Perlahan kami pun mendekat. Saling tatap. Lalu kemudian saling tersenyum penuh makna.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Agus pun menjalin hubungan asmara. Hampir setiap malam, bang Agus selalu datang ke rumahku, bahkan ia pun sering menginap di tempat ku.

Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan di cintai oleh orang yang aku cintai.

"aku bahagia, akhirnya bisa bersama kamu, Wisnu. Aku harap kamu tak akan pernah meninggalkan ku." bisik bang Agus suatu malam padaku.

"aku juga sangat bahagia, bang. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan bang Agus, walau dengan alasan apa pun." balasku ikut berbisik.

Cinta adalah sesuatu yang indah, ia hanya bisa dirasakan oleh dua hati yang telah menyatu.

Bang Agus begitu tampan, dia sangat gagah. Dan aku sangat mencintainya.

Namun mungkinkah hubungan kami dapat bertahan selamanya?

Mungkinkah cowok gagah si penjual bakso keliling itu bisa aku miliki selamanya?

Atau mungkin pada akhirnya hubungan kami harus berakhir?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaach...

****

Part 3 (Pertemuan di sawah)

Hubungan ku dengan bang Agus terus berjalan dengan indah. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Mencintai bang Agus adalah keindahan dan memilikinya adalah sebua anugerah bagi ku.

Berbulan-bulan bahkan hingga setahun lebih kami bersama. Hampir setiap malam kami menghabiskan waktu berdua, di rumah ku.

Bang Agus si penjual bakso keliling itu, sungguh mampu membuat ku terlena dengan cintanya yang  sempurna. Sesempurna lukisan maha karya keindaha dari raut wajahnya yang tampan, tubuhnya yang gagah dan atletis.

Aku begitu mengaguminya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tidak ingin melepaskannya, walau dengan alasan apa pun.

Aku hanya berharap, semoga cinta kami tetap utuh selamanya.

Namun biar bagaimana pun, hubungan seperti hubungan kami ini, akan selalu banyak batu sandungan yang akan menghalanginya.

Akan banyak rintangan yang harus kami hadapi.

Lalu mungkinkah kami akan tetap bertahan dengan segala rintangan tersebut?

Mampukah kami tetap bersama mempertahankan cinta kami?

Simak kelanjutan kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling selanjutnya ya..

Namun sebelumnya ... bla... bla...

*****

Bulan berganti, tahun pun berlalu, hingga sudah hampir dua tahun aku dan bang Agus menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan yang indah, meski hanya kami berdua yang tahu.

Kami menikmati setiap kebersamaan kami. Merajut kasih dengan penuh kemesraaan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami bisa bertahan selama itu. Selama dua tahun ini, hubungan kami baik-baik saja. Tanpa ada persoalan yang berarti.

Namun hubungan indah kami, pada akhirnya harus merasakan sebuah kepahitan.

Berawal dari bang Agus yang meminta izin padaku untuk pulang kampung selama beberapa hari.

"aku sudah lebih dari dua tahun tidak pulang kampung, Wisnu. Lagi pula aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sedang sakit parah saat ini, jadi aku harus pulang sekarang juga." ucap bang Agus.

"iya, bang. Aku ngerti. Abang juga gak harus minta izin seperti pada ku. Asalkan bang Agus kembali lagi kesini untukku, aku rela melepaskan bang Agus untuk pulang." balasku sendu.

Sebenarnya aku merasa sangat berat harus berpisah dengan bang Agus, meski hanya untuk sementara. Aku sudah terlanjur biasa melewati malam bersamanya. Aku pasti akan sangat merindukannya.

"aku pasti akan sangat merindukanmu, Wisnu." ucap bang Agus, seakan bisa membaca pikiranku.

"aku juga, bang." balasku lirih.

"tapi ini hanya untuk sementara, Wisnu. Hanya beberapa hari. Aku pasti akan kembali lagi kesini untukmu, Wisnu." ucap bang Agus parau.

"iya, bang. Aku juga pasti akan menunggu bang Agus di sini." balasku.

Beberapa saat kemudian, kami pun saling mendekat. Aku mendekap tubuh kekar bang Agus. Aku mendekapnya erat, seakan tak ingin melepaskannya.

Mungkin beberapa malam ke depan, bang Agus tak ada lagi disini. Aku pasti akan merasa kesepian. Karena itu, malam ini, aku tak ingin melewatkannya begitu saja. Aku ingin menghabiskan malam ini hanya berdua bersama bang Agus.

Menikmati setiap detik kebersamaan kami. Keindahan raga bang Agus, bagai sebuah ukiran maha karya yang sempurna. Setiap centinya. Setiap hembusan napasnya.\

Aku terlena dalam cinta yang begitu sempurna. Aku terbuai dalam lautan keindahan penuh warna.

Hingga pagi pun datang, meninggalkan kelamnya malam.

Dan aku merasa berat saat akhirnya aku harus melepas bang Agus untuk pergi meninggalkan ku pagi itu.

Entah mengapa aku merasa kalau kepergian bang Agus kali ini, akan terasa sangat lama bagiku.

Bahkan mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi.

****

Seminggu bang Agus pergi. Dia belum juga kembali.

Meski dia masih rutin memberi aku kabar melalui ponselnya. Dia mengabarkan kalau dia belum bisa pulang, karena penyakit ibunya semakian parah.

Aku mencoba bersabar menunggunya. Mencoba menjalani hari-hari sepi ku, tanpa bang Agus.

Namun hingga hampir sebulan, tiba-tiba aku kehilangan kontak dengannya. Nomor bang Agus tidak bisa aku hubungi lagi.

Aku merasa cemas, takut dan bimbang. Entah apa yang terjadi dengan bang Agus di kampung halamannya.

Mungkinkah dia baik-baik saja? bathin ku penuh tanya.

Dua bulan, tiga bulan dan hampir setengah tahun berlalu. Aku benar-benar kehilangan kabar dari bang Agus. Aku benar-benar telah kehilangan dia.

Karena penasaran, aku pun nekat untuk mendatangi desa bang Agus.

Dan setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh empat jam naik motor, aku pun sampai di desa bang Agus.

Aku bertanya kepada beberapa orang yang aku temui di jalan, untuk mengetahui di mana rumah bang Agus.

Hingga akhirnya aku bisa sampai di rumahnya.

"cari siapa?" tanya seorang wanita muda menyambut kedatangan ku di rumahnya.

"maaf, apa benar ini rumah bang Agus?" tanyaku ragu.

"iya, benar. Kamu siapa? Dan ada perlu apa dengan bang Agus?" tanya wanita itu lagi.

"saya... saya teman bang Agus ketika di kota dulu. Apa bang Agus ada di rumah?" balasku bertanya.

"oh.." wanita itu membulatkan bibir. "bang Agus sedang berada di sawah sekarang. Jika kamu gak keberatan kamu bisa nunggu di rumah." lanjut wanita itu.

"kira-kira bang Agus masih lama pulangnya?" tanyaku lagi.

"biasanya sih sore. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa susul dia ke sawah. Letaknya gak jauh kok dari sini, hanya sekitar satu kilo lagi." balas wanita itu.

"iya, gak apa-apa. Saya susul dia aja." ucapku kemudian memutuskan.

"tapi maaf, kalau boleh tahu, mbak ini siapa nya bang Agus?" lanjutku bertanya.

"saya istrinya. Kami baru menikah sekitar dua bulan yang lalu. Mungkin bang Agus belum cerita sama kamu." jelas wanita yang berparas cukup cantik itu.

Aku bagai mendengar suara petir siang itu. Sungguh tidak aku sangka kalau bang Agus telah menikah diam-diam, tanpa memberitahuku.

Dengan perasaan terluka aku pun pamit pada wanita itu.

Ingin rasanya saat itu aku menangis. Ingin rasanya aku segera kembali ke kota. Aku tak ingin menemui bang Agus lagi. Tapi aku butuh penjelasan.

Untuk itu, aku menuju sawah tempat bang Agus bekerja.

Sesampai di sana, bang Agus pun menyambutku dengan wajah penuh keterkejutan.

Aku yakin, dia tak menyangka kalau aku akan sampai ke kampungnya.

"Wisnu?" ucapnya, "kenapa kamu bisa sampai kesini?" tanyanya.

"itu gak penting, bang. Yang penting sekarang bang Agus harus menjelaskan semuanya padaku." ucapku dengan nada lemah.

"apa yang harus aku jelaskan, Wisnu?" tanya bang Agus.

"bang Agus gak usah pura-pura lagi. Aku sudah tahu kalau bang Agus sudah menikah." ucapku.

"aku tak masalah sebenarnya, kalau bang Agus menikah. Tapi kenapa bang Agus tak menceritakannya padaku. Bahkan bang Agus sengaja tak pernah menghubungiku, berbulan-bulan. Aku menunggu bang Agus dengan penuh harap, bang. Tapi kenyataannya bang Agus tak pernah kembali."

"dan saat aku nekat datang kesini, aku justru mendapatkan kabar yang sangat menyakitkan. Kenapa bang Agus setega itu padaku? Padahal bang Agus sendiri tahu, betapa aku sangat mencintai bang Agus. Dan bang Agus sendiri juga sudah berjanji, kalau abang pasti akan kembali untuk ku lagi." ucapku lagi dengan nada pilu.

"maafkan aku, Wisnu. Aku tak berdaya dengan semua ini. Aku terpaksa menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Itu merupakan permintaan terakhir dari ibuku, sebelum akhirnya beliau meninggal." ucap bang Agus membalas.

"tapi setidaknya abang bisa memberi aku kabar, bang. Bukan malah menghilang seperti ini." ucapku.

"aku takut memberi kabar padamu, Wisnu. Aku takut kamu kecewa." balas bang Agus.

"lalu apa abang pikir dengan begini, aku tidak kecewa?" tanya ku sedikit sengit.

"maaf, Wisnu. Aku tak berpikir kalau kamu akan nekat datang kesini. Aku pikir, kamu pasti akan bisa melupakanku, beriring berjalannya waktu." balas bang Agus.

"aku tak akan pernah bisa melupakan bang Agus. Sekali pun saat ini aku tahu, kalau bang Agus sudah menikah." ucap ku lugas.

"tapi kita sudah tidak mungkin bersama lagi, Wisnu. Maafkan aku untuk semua itu. Lebih baik kalau kita saling melupakan.." ucap bang Agus dengan nada lemah.

"andai saja bang Agus jujur dari awal padaku, aku mungkin tidak perlu sampai kesini, bang. Abang bisa saja menjelaskan semuanya padaku melalui handphone." ucapku berat.

Aku benar-benar tidak tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Sakit, kecewa, marah, benci dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatiku.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada.

"sekali lagi aku minta maaf, Wisnu. Aku minta maaf untuk semuanya..." bang Agus berucap pelan.

"kamu boleh marah padaku, Wisnu. Kamu boleh membenciku. Tapi aku hanya manusia biasa, Wisnu. Aku juga tak berdaya menghadapi ini semua." lanjutnya.

Aku tidak tahu, apa aku harus marah pada bang Agus? Atau aku harus membencinya?

Semua tanya itu tak pernah bisa aku jawab.

Aku dan bang Agus memang saling mencintai. Tapi takdir dan kodrat, tidak akan pernah membiarkan kami menyatu.

Pada akhirnya aku hanya bisa merelakan. Merelakan orang yang aku cintai hidup bersama orang lain. Dan itu adalah tingkat tertinggi dari mencintai.

Aku pun pergi meninggalkan bang Agus, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Aku ingin segera kembali ke kota. Aku ingin melanjutkah hidupku lagi, meski tanpa bang Agus.

Bang Agus hanyalah serpihan dari kisah masa lalu ku. Dia hanya tinggal kenangan sekarang. Dan aku harus bisa melupakannya.

Setidaknya aku pernah merasakan bagaimana rasanya di cintai oleh orang yang aku cintai. Setidaknya aku pernah hidup bersama orang yang aku cintai.

Bang Agus, si penjual bakso keliling itu, akan tetap menjadi salah satu cerita termanis dalam perjalanan hidupku.

Demikian kisahku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaaachhh..

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate