Aku cemburu

Aku cemburu. Ya, aku cemburu dan aku berhak untuk cemburu. Karena dia adalah tunangan ku.Semua orang kampung juga tahu, kalau kami sudah bertunangan.

Tapi mengapa semua itu bisa terjadi?

Aku melihatnya. Aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri. Tadi itu jelas sekali. Dan aku tak tahan melihatnya. Aku ingin marah. Aku ingin melabrak mereka. Tapi...

Aku baru saja pulang dari kantor Camat, yang berjarak 15 kilometer dari desa kami, bersama pak Kades. Ada rapat. Dan aku di minta untuk mendampingi pak Kades ikut rapat. Karena aku adalah sekdes di desa kami.

Kami berangkat pagi tadi, pakai mobilnya pak kades, Terios, merk mobil itu. Siang, rapat itu baru usai. Dan aku serta pak Ali, kepala desa yang baru diangkat satu setengah tahun lalu itu, makan dulu di sebuah rumah makan di Kecamatan.

Kami pulang sekitar jam 2 siang. Pak Ali meminta aku untuk menyetir mobil, katanya dia capek. Dan  itu tadi, jalan menuju rumah pak Ali harus melewati rumah tunangan ku, Novi.

Aku dengan jelas melihat, Novi berdiri di depan pintu rumahnya. Di sampingnya berdiri seorang cowok, tapi lebih tepat dipanggil bapak, karena ku lihat orang itu sudah cukup tua, mungkin seusia pak Ali. Aku sengaja memelan mobil. Cowok itu, atau bapak itu, mencium kening Novi dengan mesra. Setidaknya begitulah yang aku lihat.

Dan anehnya lagi, Novi malah tersenyum di cium oleh cowok itu. Seakan sengaja memanasi ku.

Aku kaget. Mobil hampir saja masuk parit yang ada di kiri jalan. Untuk saja aku cepat menginjak rem. Sehingga mobil terhenti sesaat.

"ada apa, Jo?" pak kades yang lagi ketiduran itu menanyaiku. Karena, mungkin saja, ia kaget sebab mobil berhenti mendadak.

"mm... ah... gak apa-apa, pak." jawabku gugup. Kemudian aku langsung menginjak pedal gas. Mobil pun melaju menuju rumah pak Ali. Sekilas ku lihat di spion, Novi menatap kepergian mobil kami dengan bengong.

****

Malam ini aku belum bisa tidur. Rasanya mata sulit sekali di pejamkan. Padahal sudah hampir tengah malam. Setiap kali aku coba untuk memejamkan mata, aku selalu melihat dengan jelas kejadian sore tadi. Bapak itu mencium dahi Novi dengan mesra. Siapa dia? tanyaku membathin.

Selama ini aku belum pernah melihatnya. Bahkan yang aku tahu, Novi tak punya saudara yang berada di luar desa ini. Sedangkan yang berada di desa ini, aku kenal semua.

Apa mungkin dia itu keluarganya Novi yang dari jauh? Atau malah orang itu ingin merebut Novi dari ku? Bisa saja, kan? Dengan kekayaannya orang itu membujuk orangtua Novi, agar mau menerimanya menjadi menantu.

Tapi Novi kan tunangan ku.

Aku ingat pertama kali kami jadian.

"apa bang Jo serius dengan perkataan bang Jo?" tanya Novi waktu itu, waktu aku mengungkapkan perasaanku sama Novi.

"apa abang kelihatan seperti orang yang gak serius?" aku balik bertanya.

"tapi bang Jo kan sekdes di desa ini. Apa bang Jo tak malu punya calon istri seperti aku, yang cuma anak seorang tukang kebun?" tanya Novi lemah.

"loh, kenapa abang mesti malu? Kamu kan cantik. Udah gitu baik lagi. Harusnya abang bangga, dong." aku berbicara sedikit tegas, sambil menatap mata Novi. Mata yang bening itu, menghindari tatapanku.

"justru sebaliknya, kmau yang harusnya malu punya calon suami kayak abang." ucapku memancing.

"kenapa aku harus malu?" tanya Novi cukup heran.

"ya.. karena usia abang kan udah cukup tua, sedangkan Novi masih muda.." jawabku jujur. Karena memang usia kami terpaut cukup jauh, setidaknya enam atau tujuh tahunan lah.

"ini bukan masalah umur, bang. Tapi masalah hati." ungkap Novi tegas.

Aku sudah kenal Novi sejak lama. Sejak kecil malah. Kami tinggal dalam satu desa. Rumah kami juga tidak terlalu jauh.

Tapi sejak aku menamatkan SMP yang ada di desa kami, aku pindah ke kota. Tinggal bersama kakak ku yang jadi guru di kota. Di sana aku sekolah, sambil membantu abang iparku menjaga toko. Abang iparku punya toko disana. Toko elektronik.

Sekali-kali aku pulang ke kampung. Di rumah abangku yang cuma seorang nelayan. Karena sejak kecil kedua orangtua ku uddah meninggal. Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara.

Tamat SMA, aku kuliah. Setelah itu aku pulang ke kampung dan di angkat menjadi sekdes. Sudah hampir empat tahun menjadi sekdes aku belum juga punya istri.

Sekarang kades nya udah ganti, tapi aku tetap di pakai untuk menjadi sekdes.

Aku dan Novi akhirnya bertunangan, setelah hampir tiga bulan dari masa pacaran kami. Aku memang berniat serius, karena aku memang sudah saatnya untuk menikah, dan Novi adalah pilihanku.

*****

Tok! Tok! Tok!

Ku dengar pintu kamar ku di ketuk. Lamunanku buyar. Sehabis sholat subuh tadi, aku rebahan kembali. Mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin.

"siapa?" tanyaku, sambil berusaha duduk dari rebahan ku.

"saya, om. Imah." jawab suara itu dari luar.

"oh. Ada apa, Imah?" tanya ku lagi pada pona'an ku itu. Imah anak abang ku yang paling bontot, kelas 2 SMP.

"ada yang cari." jawabnya.

"siapa?" aku bertanya, sambil membukakan pintu kamarku.

"tuh!" kata Imah, sambil memonyongkan bibirnya ke arah ruang tamu.

Aku melihat Novi duduk di sofa.

Mau apa dia? bathinku. Dengan terpaksa aku pun menemuinya. Aku masih marah. Dan amarah ku masih belum sempat aku lampiaskan. Tapi aku tak boleh gegabah. Aku harus tahu siapa lelaki yang bersamanya kemarin.

"ada apa kesini?" tanyaku sedikit ketus, setelah aku duduk di hadapannya dan meminta Imah untuk membuatkan dua gelas minuman.

"aku mau ngomong." jawabnya ragu.

"ngomong aja." ucapku sedikit acuh.

"aku... hmmm... kata Ria, bang Jo marah padaku. Apa benar?" Novi berucap sambil menunduk.

"yah." jawabku singkat.

Aku ingat, aku sempat bertemu Ria sore kemarin. Sepulang dari rumah pak kades. Karena tak bisa menahan emosi ku, aku terpaksa ngomong sama Ria tentang kejadian itu. Karena aku tahu, Ria itu sahabatnya Novi.

Ternyata Ria menceritakannya pada Novi. Dan Novi datang pagi-pagi kesini, ingin tahu. Apa dia tak merasa bersalah? tanyaku membathin.

"kenapa, bang? Apa aku berbuat salah?" kali ini Novi menatapku penuh selidik.

Ah, aku bingung. Aku tak ingin menunjukkan kecemburuan ku. Tapi...

"siapa lelaki kemarin?" akhirnya aku bertanya sambil menahan napas.

"lelaki yang mana, bang?" Novi balik bertanya.

"kamu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?" tanyaku lagi, sedikit emosi.

"maksud, bang Jo..?" wajah Novi agak kelihatan bingung.

"siapa lelaki yang datang ke rumah mu kemarin?" tanya ku lagi.

Sesaat Novi mengerutkan kening. Kemudian perlahan bibirnya mengulaskan senyum. Senyum lebar malah.

"kenapa senyum? Apanya yang lucu?" tanyaku antara marah dan heran.

"oh, jadi bang Jo marah karena itu?" ucap Novi pelan, kemudian ia pindah duduk di sampingku. Aku tetap memasang tampang masam. kemudian ku dengar Novi berucap,

"dulu, setelah tamat SD, aku tidak melanjutkan sekolah di sini, tapi aku sekolah di kota. Di kota aku tinggal bersama seorang juragan. Juragan itu adalah pemilik kebun tempat ayah ku bekerja. Orangnya baik, dia juga yang membiayai aku sekolah." Novi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan,

"adik-adik ku juga butuh biaya untuk sekolah, ayahku tak sanggup membiayai kami semua. Dan juragan itu bersedia membantu ayah untuk membiayai sekolah ku dan adik-adik." ku lihat Novi menarik napas dan melirik ku.

"juragan itu cuma punya satu orang anak, yaitu bang David. Waktu itu ia masih kuliah. Ia udah menganggap ku seperti adik sendiri, demikian juga juragan itu, ia juga sudah menganggap sebagai anaknya sendiri." Novi berhenti sejenak.

Aku mulai mengerti ceritanya. Setidaknya aku mencoba mencerna kata-kata yang di ucapkan Novi.

"dan kemarin itu ia datang, karena sudah lama sekali kami tak bertemu. Sejak tamat SMA, aku jarang sekali kesana. Dan sejak menikah bang Davit sibuk dengan bisnisnya. Kebetulan kemarin itu dia lagi libur, jadi dia datang ke rumah sendirian, karena istrinya sedang ada kerjaan yang harus diselesaikan." ucap Novi panjang lebar.

Aku mengangguk dan menatap Novi. Ku lihat ketulusan dan kejujuran di matanya. Aku salah telah mencemburuinya.

"aku minta maaf..." ucapku spontan, "aku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Tapi itu semua terjadi, karena aku begitu menyayangi mu dan aku sangat takut kehilangan kamu, Novi." ucapku penuh perasaan, sambil kuraih tangan lembut Novi.

"aku belum selesai cerita," ucap Novi tanpa menghiraukan pernyataan ku, "sampai sekarang bang David belum juga mendapatkan keturunan, itulah sebabnya ia sangat menyayangi ku dan juga adik-adikku." lanjutnya lagi.

Aku keliru. Bathinku.

Novi adalah gadis terbaik yang pernah ku kenal da naku tak akan menyia-nyiakannya. Aku janji.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate