Tampilkan postingan dengan label cerpen sedih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen sedih. Tampilkan semua postingan

Air Mata Dara

Lelaki itu menatap mata gadis yang duduk dihadapannya. Ia menatap mata itu, seakan mencari setitik kejujuran dari kalimat yang baru saja dilontarkan oleh gadis tersebut.

"aku ingin kita putus, Jo..." gadis itu mengulang kalimatnya.

Kali ini lebih tegas. Gadis itu mengulang kalimatnya, seakan berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya tersebut.

Gadis itu tahu, kalau kalimat tersebut sudah melukai hati lelaki yang masih menatapnya itu. Bahkan ia juga tahu, kalau kalimat tersebut juga melukai hatinya sendiri.

"kenapa?" lelaki itu mengeluarkan suara juga akhirnya.

"aku lelah, Jo. Sangat lelah...." balas gadis tersebut.

"lelah?" lelaki yang dipanggil Jo tersebut, sedikit mengerutkan dahinya, pertanda ia belum mengerti sepenuhnya.

"iya, Jo. Aku lelah mengejar bayang-bayang mu... Aku lelah berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Aku lelah untuk selalu berusaha, untuk tetap terlihat sepadan dengan mu..."

"maksud kamu apa sih, Dar?" lelaki itu, Jo, semakin mengerutkan dahinya.

Wanita itu, Dara, berusaha membalas tatapan penuh tanya milik Jo.

"kamu pasti ngerti maksud ku apa, Jo." ucapnya.

"karena kamu dari keluarga miskin? yatim piatu?" Jo berucap, sambil mengalihkan pandangannya menatapi jalanan yang mulai sepi.

"bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi membahas hal tersebut? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi mempermasalahkannya?" Jo menyambung kalimatnya.

"iya... aku tahu, tapi.... aku sudah tidak sanggup lagi, Jo. Kita terlalu jauh berbeda. Kamu adalah keturunan ningrat yang punya segalanya, sedangkan aku ...." Dara sengaja menggantung kalimatnya. Karena ia tahu, kalimat selanjutnya hanya akan membuat ia semakin sakit.

"aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, Dar. Bahkan sejak awal. Tapi kamu yang selalu mengungkitnya..."

"aku percaya hal itu, Jo. Tapi bagaimana dengan keluarga kamu?"

"mereka bisa menerima kamu apa adanya, kok. Buktinya, beberapa kali kamu aku ajak ke rumah, mereka semua menyambut kamu dengan baik.."

"iya... tapi dengan kalimat-kalimat sindiran yang mereka lontarkan, setiap kali aku berkumpul bersama keluarga mu, benar-benar membuat aku terluka, Jo. Belum lagi, kalau mereka semua, terutama kakak-kakak ipar mu, selalu membahas tentang kehidupan mereka yang mewah. Dan aku merasa bukan siapa-siapa diantara mereka.."

Kali ini, Dara menghempaskan napas berat.

Ingatannya kembali memutar semua memory yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun belakangan ini.

Jo, lelaki tampan yang ia kenal di kampus, yang mampu merebut hatinya, adalah seorang lelaki kaya, dari keluarga terpandang.

Jo, memiliki dua orang kakak laki-laki yang sudah menikah. Jo merupakan anak bungsu, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki.

Sementara Dara hanyalah seorang gadis miskin dan yatim piatu. Selama ini, Dara dibesarkan oleh pamannya yang hanya seorang pedagang keliling. Karena tidak memiliki anak, paman Dara cukup mampu untuk membiayai kuliah Dara. Meski kehidupan mereka sangat pas-pasan.

Setelah sama-sama salin jatuh cinta, Jo dan Dara, memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius.

Dara sangat mencintai Jo, begitu juga sebaliknya.

Bahkan bagi Jo, Dara sangatlah istimewa.

Setahun pacaran, Jo mulai berani memeperkenalkan Dara kepada keluarganya. Meski pun ia tahu, tidak akan mudah bagi keluarganya untuk menerima kehadiran Dara yang hanya gadis biasa.

Tapi Jo tetap bertekad untuk meyakinkan keluarganya, terutama orangtuanya, bahwa Dara adalah gadis yang terbaik untuknya.

Tapi bagi Dara, apa yang dilakukan Jo tersebut, justru membuatnya merasa terluka.

Dara merasa, ia tidak bisa berbaur dengan keluarga Jo yang mewah.

Namun selama tiga tahun Dara berusaha untuk tetap bertahan.

Dara berusaha untuk menjaga perasaan Jo dan juga perasaannya sendiri.

Selama tiga tahun, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Meskipun ia sadar, keluarga Jo tidak benar-benar menerimanya. Bahkan mereka sering dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat sindiran atas kemiskinannya.

Awalnya Dara mencoba untuk tidak peduli. Dia coba mengabaikannya. Demi Jo. Demi cinta mereka..

Tapi....

"kamu seharusnya sadar diri, Dara. Jo itu gak sebanding sama kamu. Apalagi Jo adalah anak bungsu kami. Kedua kakaknya sudah menikah dengan gadis yang tepat. Dan kami berharap, Jo juga akan mendapatkan gadis yang sepadan dengannya, terutama dari taraf kehidupanya secara ekonomi. Jadi tante harap kamu bisa mengerti, dan bisa meninggalkan Jo secepatnya..."

Begitu kalimat pahit yang diucapkan mama Jo kepada Dara, saat dengan sedikit memaksa, mama Jo meminta Dara untuk menemuinya di sebuah kafe mewah.

Sejak saat itu, Dara selalu berusaha untuk mencari cara agar bisa melepaskan Jo tanpa harus melukainya.

****

"kamu jangan mendramatisir keadaan ini dong, Dar..." kalimat Jo membuat Dara tersentak dari lamunannya.

"aku tidak mendramatisir, Jo. Aku berbicara fakta. Dan fakta itu tidak bisa kita pungkiri..."

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dara..."

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi kita berdua juga tahu, kalau persoalannya bukan disitu. Bukan di cinta kita..."

"lalu apa?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Jo.

"haruskah aku mengulanginya lagi?" Dara balas bertanya.

Kali ini Jo terdiam. Ia sangat mengerti apa yang Dara maksud.

Tapi mengapa Dara harus menyerah?

Mengapa ia harus memilih untuk putus?

"aku pamit, Jo. Mulai hari ini kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan aku harap, kamu jangan lagi menemui ku..."

Setelah berucap demikian, Dara bangkit dari duduknya. Lalu melangkah pergi. Meninggalkan Jo yang masih berusaha mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dibenaknya saat itu.

****

Dara meraih ponselnya, yang sudah berdering sejak tadi. Ia menatap layar ponsel tersebut, dan melihat sebuah nomor baru sedang melakukan panggilan padanya.

Dengan malas Dara mengangkatnya...

"hallo.." sapa Dara lembut.

"Dara... ini tante, mama Jo, tante harap kami bisa datang sekarang ke rumah sakit, Jo mengalami kecelakaan..." suara itu terdengar serak.

Dara terdiam sejenak. Ia benar-benar shock mendengar kabar tersebut. Hatinya merintih.

"rumah... rumah sakit.... mana...?" ucapnya akhirnya.

"nanti tante serlok, ya..." balas mama Jo pelan.

"iya... tante..." suara Dara sendiri mulai parau.

Dan setengah jam kemudian, Dara tiba di sebuah rumah sakit mewah. Ia disambut mama Jo dengan isak tangis.

"tadi malam Jo mengalami kecelakaan, sempat koma selama beberapa jam, dan pagi tadi ia sadar, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah nama kamu, Dara. Karena itu tante menghubungi mu. Tante berharap, kamu mau membantu Jo untuk sembuh. Setidaknya begitulah yang disarankan oleh dokter..." jelas mama Jo dalam isak tangisnya.

Dara masih tercenung. Terngiang kembali ucapan-ucapan pahit mama Jo yang dilontarkannya pada Dara. Jika mengingat semua itu, enggan rasanya Dara untuk menemui Jo. Karena Dara sudah bertekad untuk pergi selama-lamanya dari hidup Jo.

Tapi mengingat kondisi Jo saat ini, Dara harus menekan kuat-kuat ego-nya sendiri. Biar bagaimana pun, Jo adalah laki-laki baik. Jo adalah lakia-laki yang ia cintai.

Setidaknya, Dara akan berusaha untuk membantu Jo sembuh. Setelah itu, ia akan kembali pada keputusannya dari awal, yaitu pergi meninggalkan Jo untuk selamanya.

****

Seminggu di rumah sakit, keadaan Jo sudah membaik. Tentu saja, Dara selalu hadir disitu, menemani Jo melewati masa kritisnya.

Namun keadaan Jo yang membaik, tidak berlangsung lama. Benturan keras di kepala Jo akibat kecelakaan tersebut, ternyata belum sembuh sepenuhnya.

Di hari ke tujuh Jo dirawat, terjadi pendarahan di otaknya, yang membuat Jo kembali tidak sadarkan diri.

Dokter dan perawat berusaha memberikan pertolongan yang terbaik. Tapi takdir berkata lain, Jo justru menghembuskan napas terakhirnya saat itu.

Isak tangis nan histeris, bergema di ruang rumah sakit tersebut. Semua keluarga berduka. Semuanya. Tak terkecuali Dara.

"aku mohon padamu, Dar. Kamu jangan pergi dari hidupku. Aku sangat membutuhkan mu, aku.... aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dara..."

Terngiang kembali ucapan Jo di ingatan Dara.

Beberapa hari menemani Jo di rumah sakit, mereka memang punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua.

Dara selalu berusaha untuk menghibur Jo, agar ia bisa lekas sembuh.

Tapi kenyataannya, Jo justru pergi untuk selama-lamanya.

Dan kali ini Dara benar-benar terluka.

Meski pun Dara sudah ikhlas, untuk berpisah dengan Jo, dan tidak berharap untuk bisa memilikinya lagi.

Tapi tidak dengan cara seperti itu. Dara tidak bisa menerimanya. Dara belum siap kehilangan Jo dengan cara seperti itu. Tidak dengan cara seperti itu.

Cara yang membuat Dara terluka jauh lebih dalam, dari cara apa pun, yang ingin ia coba selama ini.

Lalu air mata Dara pun, tak kunjung berhenti menetes, meratapi kepergian Jo.

Ia merasa tidak sanggup lagi menjalani hari-hari selanjutnya, tanpa Jo...

****

Sekian...

Saat suami ku di penjara

Nama ku Hannah. Panggil aja begitu. Meski itu bukan namaku yang sebenarnya.

Aku seorang perempuan yang sudah menikah saat ini. Aku juga sudah punya seorang anak perempuan dari hasil pernikahan ku dengan mas Derry.

Mas Derry adalah suami ku, yang berusia hanya lebih tua satu tahun dari ku.

Kami menikah sekitar 15 tahun yang lalu. Atas dasar saling cinta tentunya.

Perjalanan hidupku amatlah rumit. Dan aku membenci itu semua kadang-kadang. Bukan karena aku tidak mensyukuri hidup ini. Namun hampir tidak ada satu pun hal yang terjadi dalam hidupku, yang bisa membuat aku merasa beruntung terlahir ke dunia ini.

Istilah 'perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik' sangatlah melekat dalam kisah ku ini. Tapi justru yang terjadi padaku justru sebaliknya. Karena aku bukanlah 'perempuan baik-baik', maka laki-laki yang datang padaku juga bukan 'laki-laki baik-baik'.

Aku seorang yatim piatu. Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia 5 tahun. Sedangkan ibu ku, meninggal saat aku sudah berusia 12 tahun. Masih cukup kecil sebenarnya, untuk mengerti arti sebuah kehilangan.

Namun yang pasti, sejak kedua orangtua ku meninggal, aku mulai hidup terlunta-lunta. Tanpa arah. AKu tumbuh tanpa kedua orangtua ku. Dan hal itu cukup membuat aku jadi anak yang hampir tidak punya aturan dalam hidup.

Aku punya seorang kakak cowok. Usianya lima tahun lebih tua dari ku. Tapi, kakak ku juga bukan laki-laki baik-baik. Kehilangan orangtua memang membuat kami berdua, juga kehilangan arah. Kehilangan pegangan, dan juga kehilangan semangat hidup.

Beruntunglah kedua orangtua kami masih meninggalkan sebuah rumah kecil untuk tempat kami tinggal, sehingga kami tidak perlu menjadi gelandangan. Meski pun untuk makan kami sehari-hari, terkadang kami harus mengemis.

Tumbuh tanpa orangtua yang lengkap, membuat kami menjadi salah jalan. Kakak ku hanya bisa sekolah sampai lulus SMP, sedangkan aku, hanya lulus SD. Sehingga, untuk mencari pekerjaan pun, bagi kami sangatlah sulit.

Tiga tahun setelah ibu ku meninggal, kakak harus masuk penjara, karena tertangkap maling di sebuah rumah orang kaya. Dan sejak saat itu pula, aku terpaksa menjani hidup ini sendirian.

Aku pernah mencoba bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan kaya. Namun aku hanya mampu bertahan beberapa bulan. Karena sang juragan, sering melecehkan ku. Dan akhirnya aku pun kabur dari rumah tersebut.

Bertahun-tahun aku hidup di jalanan, terlunta-lunta tak tentu arah. Mengemis, mengamen dan berbagai pekerjaan memalukan lainnya yang aku lakukan, demi untuk bisa bertahan hidup.

Sampai akhirnya aku bertemu mas Derry. Seorang laki-laki yang ternyata mampu membuat aku merasa nyaman. Kami saling jatuh cinta.

Mas Derry bukan orang kaya, dia sama jahatnya dengan ku. Orang-orangnya menyebutnya seorang preman. Tapi aku gak peduli waktu itu. Karena dari sekian banyak orang yang aku kenal, hanya mas Derry yang benar-benar perhatian padaku. Sebuah perhatian yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Kami memutuskan untuk menikah. Dan kami sama-sama berjanji untuk berubah. Meski pun pada waktu itu, usia ku masih 20 tahun, dan mas Derry sendiri juga masih 21 tahun. Tapi ia berjanji, akan membuat aku bahagia.

Aku tahu, mas Derry bukanlah laki-laki baik-baik. Dia suka mabuk-mabukan dan judi. Tapi aku yakin, jika sudah menikah, dia akan berubah. Dan lagi pula, aku juga bukan perempuan baik-baik. Jadi, setuju tidak setuju, kami adalah pasangan yang cocok waktu itu.

Setelah menikah, kami tinggal di rumah peninggalan orangtua ku, dan memulai hidup baru. Mas Derry sudah tidak mabuk-mabukan lagi, apa lagi judi. Ia benar-benar menepati janjinya untuk berubah. Aku juga mulai memperbaiki diri. Mencoba menjadi istri yang baik.

Dengan modal seadanya dan juga nekat, kami pun membuka usaha jualan ayam geprek di depan rumah. Meski pun awalnya hal itu tidak mudah, namun kami tidak pernah mau menyerah. Kehidupan keras yang pernah sama-sama kami lalui, membuat kami cukup kuat menghadapi itu semua.

Sampai akhirnya anak pertama kami lahir. Kami beri ia nama Amelia Putri. Kami berharap ia bisa menjadi keburuntungan dalam hidup kami kelak.

****

Lima tahun usia anak kami, Amel. Begitu kami memanggilnya. Sudah hampir enam tahun pula, usia pernikahan kami. Dan selama itu, semuanya baik-baik saja, meski secara ekonomi, hidup kami masih sering kekurangan.

Aku mencoba menikmati kebahagiaan sederhana tersebut. Mencoba menata hidup kami pelan-pelan. Hingga akhirnya, usaha ayam geprek kami pun mulai berkembang. Penghasilan kami pun mulai meningkat. Bahkan kami sudah mampu membayar seorang pekerja, untuk membantu kami berjualan.

Aku mulai bersyukur dengan keadaan tersebut. Aku mulai merasa makna hidup yang sebenarnya. Punya suami yang penyayang, punya anak yang lucu dan cantik, serta punya usaha cukup menghasilkan. Maka, nikmat mana lagi yang akan aku dustakan.

Namun hidup tidak semudah itu. Tidak. Hidup seperti itu terlalu gampang. Seperti sebuah kalimat populer mengatakan, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua pasti ada akhirnya.

Dan kebahagiaan singkat ku tersebut pun berakhir, saat aku mulai merasakan, ada perubahan besar yang terjadi dengan suami ku, mas Derry.

Dia berubah. Mungkin karena kehidupan kami sudah mulai membaik. Dan kebiasaan lamanya terulang kembali. Mas Derry jadi sering keluyuran malam. Ia jadi sering pulang dalam keadaan mabuk.

Aku berusaha menegurnya. Namun setiap kali aku menegurnya, setiap kali pula pertengkaran diantara kami mencuat. Rumah kami jadi tidak harmonis lagi. Aku jadi kehilangan kepercayaan pada mas Derry.

Dia berubah. Bahkan uang hasil penjualan ayam geprek kami, ia habiskan semuanya. Untuk minum-minum dan juga untuk berjudi.

Setiap kali aku berusaha mencegahnya, setiap kali pula, tangan kasarnya mendarat di pipi ku. Kami jadi semakin sering bertengkar. Rumah tangga kami kacau. Hatiku hancur. Aku masih tak percaya kalau mas Derry akan berubah sedrastis itu.

Aku jadi tidak tahan sendiri, melihat semua tingkah mas Derry. Dia bukan hanya menghabiskan uang hasil usaha kami. Dia juga sering memukul ku. Dan lebih parah lagi, sekarang mas Derry sudah berani terang-terangan mengajak teman-temannya ke rumah, untuk mabuk bersama.

Dia sudah tidak menghargai ku lagi. Dia tidak pernah memikirkan perasaan anaknya yang mulai tumbuh besar. Mas Derry sudah tidak bisa di beri toleransi lagi. Dan aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak tahan hidup bersama suami yang pemabuk dan suka bertindak semena-mena terhadapku.

Aku pun mulai mengambil tindakan. Aku melaporkan semua perbuatannya pada pihak berwajib. Mulai dari ia yang sering memukuli ku, sering mabuk-mabukan di rumah dan juga sering menghabiskan uang hasil usaha kami.

Laporan ku di terima, karena aku punya bukti yang kuat. Bekas-bekas tamparan mas Derry cukup membuat pihak berwajib, untuk segera bisa bertindak. Hingga akhirnya, mas Derry benar-benar ditangkap. Bukan hanya karena tindakan kasarnya padaku, tapi juga karena ia sering mabuk-mabukan dan berjudi.

Semua kesalahannya, mampu membuat ia bertahan di penjara selama bertahun-tahun. Dan, entah mengapa, aku merasa sedikit lega.

Meski jujur saja, ada rasa penyesalan akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, mas Derry adalah suami ku, ayah dari anak ku. Sebagai seorang wanita, aku masih merasa membutuhkannya. Mas Derry juga pernah menjadi laki-laki terbaik dalam hidupku.

Namun semua memang harus terjadi. Mas Derry mungkin butuh pengajaran yang lebih, agar ia bisa berubah kembali. Tapi, aku tidak lagi mengharapkan itu semua. Mau mas Derry akan berubah atau tidak, aku sudah tidak peduli. Aku merasa lebih aman, jika tidak lagi bersamanya.

****

Aku mencoba menjalani kehidupan ku sendiri, bersama anak ku satu-satunya. Meski pun aku dapat merasakan, bahwa betapa terpukulnya Amel, saat ia tahu, kalau sekarang ayahnya sudah di dalam penjara. Ia pun jadi di kucilkan oleh teman-temanya, karena hal tersebut.

Tapi aku yakin, Amel anak yang kuat. Ia pasti bisa melewati itu semua. Seperti halnya aku dulu, yang tumbuh tanpa seorang ayah.

Karena kasus suamiku, kini usaha ku pun jadi turut merosot. Orang-orang sudah tidak mau lagi berbelanja di tempat ku. Usaha ku pun jadi kembang kempis. Hal itu membuat aku jadi sedikit linglung. Sementara aku semakin butuh biaya banyak. Apa lagi Amel sekarang sudah mulai masuk sekolah.

Hidupku kembali terasa kacau. Semuanya kembali berantakan. Aku kembali menemukan diriku yang dulu. Hilang arah. Hilang pegangan. Dan aku hancur. Berantakan.

Aku mencoba bertahan, meski keadaan tak pernah benar-benar berpihak padaku. Tapi aku harus tetap berjuang, setidaknya demi anak ku, Amel. Hanya dia satu-satunya, yang membuat aku tetap kuat. Hanya dia yang membuat aku jadi merasa sedikit punya tujuan.

Aku terus berjuang, meraih kembali kepercayaan orang-orang. Mengharapkan belas kasihan mereka, karena aku adalah istri yang teraniaya. Dan aku butuh dukungan, untuk bisa pulih kembali.

Meski tak mudah, orang-orang mulai bersimpati lagi padaku. Apa lagi setelah melihat aku berusaha membesarkan anak ku sendirian. Usaha ayam geprek ku, mulai laris kembali. Penghasilan ku pun mulai bertambah. Hidup mulai membaik.

Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang yang utuh untuk Amel. Memberikannya sekolah yang layak. Mendidiknya sebaik mungkin. Meski pun aku tahu, terkadang Amel sangat merindukan ayahnya. Tapi tak pernah sekali pun, aku coba mengjenguk mas Derry di penjara. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, begitu pun aku tak ingin ia bertemu dengan Amel.

Aku bahagia dengan semua itu. Meski pun menjalani kehidupan tanpa suami, bukanlah hal yang mudah. Apa lagi di usia ku yang masih cukup muda saat itu. Tapi setidaknya, kehidupanku sudah cukup membaik. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia.

Namun, sekali lagi, hidup tak pernah sesimple itu. Hidup tak pernah semudah itu. Selalu saja ada kejadian, yang membuat aku jadi salah langkah.

Berawal dari perkenalan ku dengan seorang berondong manis di media sosial. Seorang laki-laki muda, namanya Angga. Usianya masih 22 tahun.

Saat itu, sudah sudah hampir sepuluh tahun, aku menjalani hidup sendiri tanpa suami. Mas Derry tak pernah lagi ku dengar kabar tentangnya. Terakhir yang aku tahu, ia kembali masuk penjara karena ulahnya ikut merampok di sebuah rumah mewah. Padahal waktu itu, ia baru keluar dari penjara.

Aku memang sudah tidak peduli lagi dengan mas Derry. Bagi ku ia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu ku. Apa lagi setelah aku tahu, kalau penjara ternyata pun tidak mampu mengubahnya.

Mas Derry pernah beberapa kali mencoba untuk menemui ku, saat ia sudah keluar penjara, sebelum akhirnya ia masuk lagi. Tapi aku selalu menolak kedatangannya, dan berusaha agar ia tidak bisa bertemu dengan Amel.

Setelah aku tahu, kalau mas Derry kembali masuk bui. Aku pun mulai merasa sedikit lega. Setidaknya ia tidak lagi punya kesempatan untuk bisa merebut Amel dari ku. Hanya itu yang ingin aku pertahankan.

Aku pun mulai berpikir untuk menikah lagi. Setidaknya untuk mencegah, agar mas Derry tidak akan lagi mengusik kehidupan ku, jika nanti suatu saat ia keluar dari penjara. Selain itu, aku juga masih 35 tahun saat ini. Masih cukup muda. Dan aku masih butuh belaian seorang laki-laki.

Karena itu, aku pun mulai bermain media sosial. Selain untuk mempromosikan dagangan ku, aku juga sekalian mencari kenalan. Siapa tahu, ada yang cocok untuk aku jadikan suami. Setidaknya begitulah harapan ku saat ini.

Dan dari situlah aku berkenalan dengan Angga. Laki-laki muda yang aku ceritakan tadi. Seorang berondong, yang masih berusia 22 tahun.

Angga yang memulai sebenarnya. Ia yang mengirim pesan padaku duluan, ia juga yang akhirnya mengajak aku berkenalan. Meski pun aku tahu, kalau Angga, masih sangat muda. Tapi aku tetap membuka peluang untuk sekedar berkenalan dengannya.

Sampai akhirnya kami pun ketemuan, itu pun Angga juga yang meminta.

Semakin lama, kami pun semakin akrab dan dekat. Angga bahkan dengan terang-terangan, memperlihatkan ketertarikannya padaku. Aku berusaha memberi pengertian pada Angga, tentang status ku dan juga tentang jarak usia kami yang cukup jauh.

Tapi sepertinya, Angga sudah tidak peduli akan hal tersebut. Ia terus berusaha untuk membuat aku bisa menerima kehadirannya. Sampai akhirnya, aku benar-benar luluh.

Jujur saja, meski pun masih cukup muda. Angga sudah cukup dewasa dalam berpikir. Ia juga sosok laki-laki yang baik, penuh perhatian dan yang pasti secara fisik ia sangat menarik. Selain berwajah tampan, Angga juga memiliki postur tubuh yang proporsional. Gagah dan kekar.

Sebagai seorang wanita yang sudah lama hidup sendiri, aku tidak bisa memungkiri rasa ketertarikan ku pada Angga. Aku merasa nyaman bersamanya. Aku mulai menemukan kembali, kebahagiaan yang sudah lama hilang dalam hidupku. Apa lagi, Angga juga memberikan aku peluang yang besar untuk bisa bersamanya.

Akhirnya kami pun pacaran. Meski dengan perasaan ku yang masih ragu. Mungkinkah Angga akan sudi hidup bersama ku selamanya? Sementara ia tahu, kalau aku tidak lagi berusia muda.

Namun apa pun itu, Angga benar-benar memperlihatkan keseriusannya. Ia benar-benar ingin hidup bersama ku selamanya. Bahkan ia bersedia, jika aku mengizinkannya untuk menikahi ku.

Aku tahu, Angga masih muda. Dan ia belum punya pekerjaan tetap. Tapi, jika kami memang akan menikah, setidaknya aku juga sudah punya usaha sendiri. Dan aku yakin, Angga pasti bisa menjadi partner yang baik bagiku, untuk mengembangkan usaha ku tersebut.

****

Dan pada akhirnya, aku pun menyerah. Aku terima lamaran Angga untuk menikahi ku. Meski begitu banyak ocehan dan makian orang akan keputusan ku tersebut. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku merasa bahagia.

Amel, anakku, sebenarnya tidak setuju. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Meski pun saat ini, Amel sudah berusia 15 tahun. Namun ia tidak pernah berani membantah apa yang sudah menjadi keputusan ku.

Aku dan Angga pun menikah. Kami saling mencintai. Setidaknya begitulah yang aku ketahui.

Seperti harapan ku, setelah menikah, Angga pun mulai membantu usaha ayam geprek ku. Kami bekerja sama. Meski pun usia Angga jauh lebih muda dariku, tapi aku berusaha memperlakukannya sebagai seorang suami, seorang pemimpin.

Kehidupan kami berjalan lancar akhirnya. Aku bahagia. Aku nikmati keindahan hidup tersebut, dengan perasaan suka dan damai. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Angga. Dan semoga pernikahan kami bisa bertahan selamanya.

Namun, sekali lagi, untuk kesekian kalinya, hidup tak pernah semudah itu, terutama bagi ku. Kebahagiaanku tak pernah utuh. Kebahagiaan ku tak pernah mampu bertahan lama dalam hidupku. Selalu saja ada hal yang membuat aku kembali terluka.

Yah... setahun pernikahan dengan Angga. Meski pun awalnya semuanya baik-baik saja. Namun pada akhirnya semua kembali menjadi berantakan.

Ketika pada akhirnya, aku tahu, kalau ternyata diam-diam, Angga dan Amel menjalin hubungan di belakang ku. Dan hal itu, membuat aku kembali hancur untuk yang kesekian kalinya.

Hubungan Angga dan Amel, aku ketahui, saat tak sengaja aku memergoki mereka berdua di dalam kamar, sedang melakukan hal yang tak semestinya mereka lakukan.

Aku marah. Kesal, kecewa, dan berbagai perasaan berkecamuk di pikiran ku saat itu. Sungguh itu semua di luar dugaan ku. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Angga akan tega berbuat seperti itu.

Mungkin luka ku tidak akan begitu parah, kalau seandainya Angga mengkhianati ku perempuan lain. Tapi kenyataannya, ia melakukan hal tersebut dengan Amel, anak ku sendiri. Sungguh aku tak percaya, kalau Angga adalah seorang laki-laki biadab, yang tidak punya perasaan sama sekali.

Pada akhirnya aku mengusir mereka berdua dari rumah. Meski aku tidak tahu, siapa sebenarnya yang bersalah diantara mereka. Mungkinkah ini semua salah Amel, yang masih lugu dan polos, yang ia sendiri tahu pasti, kalau Angga adalah suami ku, ayah tiri nya?

Ataukah ini sebenarnya salah Angga, yang mampu memanfaatkan keluguan Amel, yang ia sendiri tahu, kalau Amel adalah anak ku, anak tirinya?

Atau mungkin sebenarnya ini adalah salah ku, yang menikahi seorang laki-laki muda, yang lebih pantas menjadi menantu ku.

Namun apa pun itu, seperti yang aku katakan dari awal, bahwa aku bukanlah perempuan baik-baik, dan tentunya juga akan bertemu dengan laki-laki yang tidak baik. Dan bahkan kedua laki-laki yang datang dalam hidupku, tidak ada satu pun yang mencerminkan seorang laki-laki baik-baik.

Kini, aku hanya bisa menyesali semua itu.

Meski aku sendiri tidak tahu, bagian mana dalam perjalanan hidupku yang paling aku sesali.

Entah bagian karena aku pernah menikah dengan mas Derry, dan melahirkan seorang anak seperti Amel?

Entah bagian karena aku membiarkan seorang Angga masuk ke dalam hidupku?

Entah bagian karena aku yang tidak bisa mendidik anak ku dengan baik?

Atau aku menyesali semua bagian dari hidup ku. Semuanya. Dan aku membenci hidup ini, dengan cara ku.

Aku membenci setiap kejadian yang pernah terjadi dalam hidup ku.

Aku membenci, ketika ayah ku pergi di saat aku masih belum mengerti arti diri ku bagi ku.

Aku membenci, ketika ibu ku pergi di saat aku masih sangat membutuhkannya.

Aku membenci, kakak ku, yang memilih untuk hidup berantakan, tanpa memperhatikan aku sedikit pun.

Aku membenci diri ku, yang hanyut dalam semua kekecewaan tersebut.

Kini... semuanya sudah tidak ada arti lagi bagi ku. Aku juga tidak tahu, harus melakukan apa saat ini.

Aku telah kehilangan semuanya. Bahkan aku juga telah kehilangan anak ku sendiri. Anak yang aku besarkan dengan susah payah. Anak yang aku didik dengan sebaik-baiknya. Namun tetap saja, buah memang tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya.

Lalu siapa sebenarnya yang salah dalam hal ini? Siapa?

Dan aku hanya terpuruk disini. Sendiri.

Tanpa pernah bisa aku temukan jawabannya.

****

Sedalam cinta Yuni

"aku ingin kita putus, Yun." suara Tito parau.

Yuni menatap lekat wajah laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya.

"kamu kenapa sih, To?" tanya Yuni akhirnya.

"aku gak kenapa-kenapa, Yun. Aku hanya ingin kita mengakhiri hubungan kita." balas laki-laki itu berat.

"iya... tapi kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba ingin kita putus? Setelah tiga tahun kita berpacaran, tanpa ada masalah apa pun selama ini. Sekarang kamu ingin kita putus? Pasti ada alasannya kan?" tanya Yuni bertubi-tubi. Hatinya terasa perih.

"karena kita berbeda, Yun. Kamu anak orang terpandang, sedang aku hanya seorang tukang parkir, gak punya masa depan yang jelas." balas Tito pilu. Hatinya juga sakit mengakui hal itu.

"bukankah dari awal kita memang beda? Tapi aku gak pernah mempermasalahkan hal itu. Kita juga sudah sering membahas hal ini, Tito. Kenapa sekarang hal itu justru menjadi alasan buat kamu, untuk kita putus? Kamu aneh, Tito. Alasan mu gak masuk akal." Yuni berucap lagi, hatinya semakin perih.

"selama ini aku berusaha menepis perbedaan yang ada di antara kita, Yun. Namun sekarang aku gak sanggup lagi. Aku gak bisa lagi berpura-pura, bahwa perbedaan itu tidak pernah ada. Aku harus realistis, Yun. Aku juga gak ingin kamu menyesal nantinya." Tito berucap, sambil mengalihkan pandangannya ke ujung langit yang mulai tamaram.

"kenapa kamu baru mengatakan hal ini sekarang? Kenapa kamu tidak mengatakannya tiga tahun yang lalu, sebelum kita jadian? Sebelum aku terlanjur dalam mencintai kamu?" Yuni masih meninggikan nada suaranya, sekedar untuk menahan rasa perih yang terus mengoyak hatinya.

Yuni tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Tito. Ia sadar betul hal itu. Dari awal Tito juga sudah sering mengingatkannya. Tapi Yuni yang selama ini bersikeras untuk tetap mencintai Tito. Yuni yang terus berusaha untuk mengabaikan perbedaan tersebut.

Dulu, lebih dari tiga tahun yang lalu, saat pertama kali Yuni bertemu Tito. Yuni sangat tertarik dengan Tito, yang merupakan seorang tukang parkir di sebuah mini market, tempat biasa Yuni belanja.

Awalnya Yuni hanya sekedar ingin menyapa, karena Tito memang terlihat memiliki wajah yang tampan. Rasanya ia tak pantas menjadi seorang tukang parkir. Begitu pikir Yuni waktu itu.

Namun dari sekedar menyapa, saling berkenalan, saling tukang nomor handphone, akhirnya mereka pun mulai akrab. Hingga Yuni pun jatuh cinta pada Tito.

Tapi Tito tak bisa menerima semua itu. Ia berusaha mengingatkan Yuni akan statusnya yang cuma seorang tulang parkir. Namun Yuni akhirnya berhasil meyakinkan Tito, bahwa hal itu tidaklah menjadi masalah.

Mereka pun akhirnya pacaran. Diam-diam. Tanpa siapa pun yang tahu.

Tito menyadari, jika hubungannya dan Yuni di ketahui oleh keluarga Yuni, maka hubungan mereka pasti akan di tentang. Karena itu, Tito yang bersikeras untuk tetap menyembunyikan hubungan mereka.

Yuni tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting baginya, mereka masih bisa bertemu, memadu kasih, meski mungkin hanya sekali seminggu. Tapi itu sudah cukup membuat Yuni bahagia.

Selama tiga tahun hubungan mereka terjalin dengan indah. Namun sekarang, Tito tiba-tiba ingin mengakhiri semua itu. Hati Yuni merintih menahan tangis.

"aku sangat mencintai kamu, Tito. Dan aku rela melakukan apa saja untuk bisa membuktikan hal itu." ucap Yuni akhirnya, setelah sejenak pikirannya melayang mengingat masa lalunya bersama Tito.

"kamu gak perlu membuktikan apa pun, Yun. Aku selalu percaya kalau kamu memang mencintaiku. Tapi aku juga percaya, bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat kita tetap bahagia." balas Tito lirih.

"tapi aku tetap tidak ingin kita putus, To. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama-sama. Aku mohon, To. Jangan pernah tinggalkan aku.." Yuni akhirnya terisak pilu. Hatinya benar-benar sakit.

Perlahan Tito pun merangkul tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Tito tidak pernah tega melihat Yuni menangis. Hatinya yang semula tegar untuk melepaskan Yuni, tiba-tiba luluh kembali.

"cinta kita tidak akan pernah mendapatkan restu dari keluarga kamu, Yun. Kamu harusnya menyadari hal itu. Jadi sebelum semuanya terlambat, lebih baik kita mengakhirinya sekarang." Tito berucap pelan, masih terus berusaha membuat Yuni mengerti.

"aku tahu bagaimana caranya agar hubungan kita bisa diterima oleh keluarga ku..." Yuni berucap pelan.

"maksud kamu?" tanya Tito heran. Dia tidak pernah yakin ada cara yang bisa membuat orangtua Yuni rela melepaskan anak gadis semata wayang mereka hidup bersama seorang tukang parkir. Tidak akan pernah ada.

"aku ingin .... kamu mengh4mili ku, To." suara Yuni serak, namun mampu membuat Tito melepaskan dekapannya. Sungguh ia tak menyangka kalau Yuni akan berkata demikian. Ia tatap mata gadis itu dalam-dalam.

"hanya itu satu-satunya cara, agar keluarga ku bisa menerima kamu, To." Yuni berucap lagi, sambil membalas tatapan Tito.

"sekali pun aku sangat mencintai kamu, Yun. Aku tak akan pernah melakukan hal itu. Aku tak akan pernah menodai kesucian cinta kita. Dan kamu jangan pernah berpikir untuk melakukan hal tersebut. Aku gak rela kamu berucap seperti itu." balas Tito akhirnya berucap.

"tapi aku sangat mencintai kamu, Tito. Dan aku tidak ingin hubungan kita berakhir, hanya karena kita merasa takut, hubungan kita tidak akan di restui oleh orangtua ku." ucap Yuni kemudian.

"tapi kenyataannya memang seperti itu, Yun. Dan kita memang harus mengakhiri ini semua, sebelum makin terlambat." balas Tito lirih.

*****

Dan begitulah, Tito dengan sangat berat harus melepaskan Yuni dari hidupnya. Dari hatinya. Meski hatinya sangat terluka dengan keputusan tersebut. Namun Tito harus menerima kenyataan tersebut.

Tito mengingat kembali kejadian beberapa minggu yang lalu, jauh sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Yuni.

"Yuni anak tante satu-satunya, Tito." suara berat mama Yuni berucap, saat ia dengan sengaja menemui Tito di tempat Tito bekerja menjadi seorang tukang parkir.

"tante hanya ingin yang terbaik untuknya. Dan tante ingin Yuni mendapatkan jodoh yang terbaik juga. Tante harap kamu mengerti maksud tante.." lanjut mama Yuni lagi, yang membuat Tito terdiam pasrah.

Tito sadar dan sangat mengerti maksud mama Yuni berucap begitu. Ia memang tidak pantas untuk Yuni. Ia bukanlah yang terbaik. Yuni memang pantas mendapatkan jodoh terbaik, dan orang itu bukan Tito.

Menyadari hal tersebut, Tito pun berusaha untuk bisa memutuskan hubungannya dengan Yuni. Itu semua demi kebaikan Yuni dan juga demi masa depan Yuni sendiri.

Kini Tito hanya ingin melupakan Yuni. Ia tidak ingin terlarut dengan kenangan-kenangan indahnya bersama Yuni. Ia hanya berharap, semoga Yuni menemukan kebahagiaannya.

*****

"hei... kamu Tito, kan?" sebuah suara lembut membuyarkan lamunan Tito, saat ia bersiap-siap hendak pulang. Tito memutar kepala untuk menatap arah suara itu. Seorang gadis manis tersenyum padanya.

"iya, dan kamu siapa?" tanya Tito dengan nada heran, karena ia belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.

"saya Nita, teman Yuni." balas gadis itu, dengan masih tetap tersenyum.

"oh.." Tito membulatkan bibir, "ada apa?" tanya Tito bersikap enggan.

"gak ada apa-apa, sih. Cuma mau ngasih tahu aja, kalau Yuni sekarang di rawat di rumah sakit." balas gadis itu, Nita.

"Yuni sakit? Sakit apa?" Tito penasaran. Sudah hampir tiga bulan ia tak pernah lagi bertemu Yuni, semenjak ia memutuskan hubungan mereka.

"Yuni mengalami depresi semenjak putus sama kamu, Tito. Dan terakhir ia mencoba bunuh diri, karena itu sekarang ia di rawat." jelas Nita.

"separah itu?" Tito mengernyitkan kening.

"iya.. separah itu. Yuni bukan hanya depresi karena putus dari kamu, Tito. Tapi juga karena ia akan di jodohkan orangtuanya. Ia tidak bisa menerima semua itu." balas Nita lagi.

"lalu untuk apa kamu menceritakan semua ini padaku? Kami sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi." ucap Tito terdengar acuh, meski hatinya sendiri sangat sakit mendengar kabar tersebut. Ia merasa bersalah, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"tante Dela yang meminta aku mencari kamu." jelas Nita.

"tente Dela? Mamanya Yuni?" tanya Tito terheran.

"iya. Ia yang meminta aku menemui kamu, dan ia juga berharap, agar kamu mau menemui Yuni di rumah sakit." jelas Nita lagi.

"tapi bukankah dia yang meminta aku untuk menjauhi Yuni?" tanya Tito lagi.

"iya... dan sekarang ia sudah menyesali semua itu. Sebenarnya beliau ingin sekali menemui kamu secara langsung, tapi ia gak tega meninggalkan Yuni sendirian di rumah sakit. Beliau juga ingin menyampaikan permintaan maafnya sama kamu." ucap Nita membalas.

"dan jika kamu masih mencintai Yuni, aku harap kamu bisa ikut dengan ku sekarang ke rumah sakit. Sebelum semuanya terlambat. Mungkin dengan kehadiran kamu, bisa membantu agar Yuni bisa sembuh lebih cepat." Nita berucap kembali.

Tito termangu beberapa saat. Dia hampir saja berhasil untuk bisa melupakan Yuni. Dan berharap untuk tidak lagi bertemu dengannya. Namun sekarang keadaanya sungguh berbeda. Yuni membutuhkannya.

Karena itu, Tito pun melangkah pelan mengikuti langkah Nita menuju mobilnya yang di parkir tidak terlalu jauh dari sana. Tito hanya berharap ia belum terlambat. Tito hanya berharap, Yuni bisa pulih kembali. Dan ia akan rela melakukan apa pun, untuk bisa membuat Yuni sembuh.

Tito sungguh tidak menyangka, kalau cinta Yuni begitu besar untuknya. Ia tak menyangka cinta Yuni akan sedalam itu. Cinta Yuni terlalu dalam, dan Tito berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melepaskan Yuni walau apa pun alasannya.

****

Saat aku harus merelakan kepergian mu

 Aku memejamkan mataku dengan berat, berusaha mengenyahkan kejadian pahit yang baru saja aku alami pagi tadi.

Saat di sekolah, aku tak sengaja mendengarkan gunjingan teman-teman sekelas ku, mereka mengatakan, kalau Dyra, gadis yang sudah menjadi pacarku selama dua tahun ini, telah menduakan ku.

Mulanya aku tak percaya. Aku menganggap cerita teman-teman ku tersebut, hanyalah sebuah gossip belaka. Hanya untuk menghancurkan hubungan indah kami selama ini.

Aku dan Dyra memang sudah pacaran selama dua tahun lebih, setidaknya sejak awal-awal kami masuk ke SMA ini, hingga sekarang kami sudah berada di tahun terakhir.

Aku dan Dyra memang tidak satu kelas, apa lagi Dyra juga mengambil jurusan yang berbeda. Namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk kami tetap bersama. Cinta kami tetap terjalin dengan indah, meski kami jadi jarang bertemu.

Aku dan Dyra saling mencintai. Aku selalu berusaha menjaga kesetiaanku. Dan aku juga percaya kalau Dyra juga akan selalu setia.

Namun kejadian pagi tadi, sungguh membuat aku mulai meragukan hal tersebut.

Bagaimana tidak, teman-teman ku berhasil mendapatkan photo Dyra bersama laki-laki lain. Mereka terlihat mesra. Laki-laki itu juga tidak aku kenal.

“apa kamu masih tidak percaya, setelah melihat photo ini?” ucap Riko sedikit memanasi ku.

“bisa saja mereka hanya teman kan?” balasku mengelak.

“teman? Teman tapi mesra?” ucap Riko lagi.

“kalau Cuma teman gak mungkin semesra itulah, Kal.” Deri ikut menimpali.

Aku melirik photo itu sekali lagi. Photo yang sengaja Riko simpan di handphone nya, untuk membuktikan padaku, kalau Dyra selingkuh.

Di dalam photo tersebut, Dyra telihat tersenyum bahagia, sementara laki-laki di sampingnya, merangkulkan tangannya di pundak Dyra, sambil memasang senyum yang sama.

Seketika hati ku bergemuruh, menahan amarah.

Bagaimana mungkin Dyra dengan begitu mudah mengkhianti ku. Padahal aku selalu percaya padanya.

Karena penasaran, aku pun segera menemui Dyra di kelasnya.

“siapa laki-laki ini?” Tanya ku sedikit kasar, sambil ku perlihatkan photo yang ada di handphone Riko tersebut.

Di luar dugaan ku Dyra justru tersenyum.

“dia Alex. Kenapa emangnya?” ucap Dyra tanpa rasa bersalah.

“ada hubungan apa kamu sama dia?” Tanya ku masih dengan nada kasar.

“belum ada hubungan apa-apa sih sebenarnya. Hanya saja akhir-akhir ini dia sering datang ke rumah. Sering ngajak jalan..” balas Dyra.

“dan kamu mau?” Tanya ku heran.

“ya… mau gimana lagi, habisnya Alex orangnya sangat menarik. Aku jadi suka sama dia.” Balas Dyra masih tanpa merasa bersalah.

“lalu aku kamu anggap apa?” suara ku sedikit meninggi, beberapa orang jadi memperhatikan kami.

“Sepertinya hubungan kita memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, Kal. Jadi sebelum semuanya makin terlambat, lebih baik kita putus aja ya…” Dyra masih berucap dengan santai, seakan-akan hal itu merupakan hal biasa baginya.

“maksud kamu apa sih, Dyr? Kita sudah pacaran lebih dari dua tahun loh. Dan kamu memutuskan aku begitu aja. Sungguh tidak bisa di percaya.” Suaraku tiba-tiba serak. Hatiku semakin bergemuruh.

“udahlah, Kal. Bagi ku di Antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi.” Dyra benar-benar terlihat santai mengucapkan hal tersebut.

Ingin rasanya aku menampar mulut Dyra saat itu juga. Ingin rasanya aku memakinya. Namun harga diriku sebagai seorang laki-laki mencegah hal tersebut. Aku gak mau jadi pengemis. Aku gak mau mengemis cinta pada perempuan. Kalau Dyra dengan begitu mudahnya mencampakkan ku, kenapa aku masih harus mempertahankannya.

“tega kamu, Dyr..” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut ku, sebelum akhirnya aku pergi dari hadapan Dyra.

*****

Pagi itu aku melangkah lesuh memasuki kelas. Keputusan Dyra untuk mengakhiri hubungan kami, benar-benar membuat aku terluka.

“duh yang lagi patah hati..” sapa Riko menyambut kedatangan ku.

“udahlah, Kal. Jangan lemas gitu donk. Dyra bukan satu-satunya cewek di dunia ini kan?” Deri ikut menimpali.

“masalahnya dia memutuskan aku begitu saja. Seolah-olah hubungan kami selama dua tahun ini gak ada artinya.” Ucapku lemah.

“biasalah …. Wanita emang gitu, kalau udah dapat yang lebih, yang lama mah lewat..” ucap Riko.

“tapi kok semudah itu ya, Dyra memutuskan ku? Rasanya aku masih belum percaya. Aku seperti gak mengenalinya lagi. Dyra yang aku kenal gak akan bersikap seperti. Pasti ada yang salah..” ucapku tiba-tiba.

Aku memang merasa ada yang aneh dengan keputusan Dyra. Belakangan hubungan kami baik-baik saja. Kalau pun ada laki-laki lain, aku yakin Dyra gak akan mudah tergoda. Alex bukan satu-satunya laki-laki yang pernah mencoba mendekati Dyra selama kami berpacaran. Namun selama ini, Dyra selalu cerita padaku. Tapi kenapa Dyra gak pernah cerita tentang Alex? Dan saat aku tahu, dia justru tidak membantahnya.

Kalau pun memang Dyra ingin putus dari ku, kenapa dia tak melakukannya sebelum aku mengetahui tentang Alex? Kenapa dia tiba-tiba memutuskan aku, saat aku memperlihatkan photo kemesraannya bersama Alex?

“kamu hanya belum bisa menerima kenyataan, Kal. Karena itu semuanya jadi gak masuk bagi kamu.” Ucapan Riko membuyarkan pikiran ku tiba-tiba.

*****

Sejak hubungan ku dengan Dyra kandas. Aku pun memutuskan untuk belajar melupakannya. Meski hal itu tidaklah mudah bagiku. Hari-hari ku jadi terasa berat.

Sudah hampir sebulan, aku dan Dyra tidak pernah bertemu. Aku juga tidak berusaha untuk menghubunginya. Kalau Dyra sudah menganggap kami tidak ada hubungan apa-apa lagi, untuk apa lagi aku mengharapkannya.

Sampai suatu hari…

“hai, Kal.. saya Alex…” seorang laki-laki tiba-tiba menghampiri ku, saat aku berjalan sepulang sekolah.

“iya, aku tahu..” balasku tanpa selera.

“saya tahu kamu marah padaku. Tapi asal kamu tahu, semua itu hanya salah paham. Dyra sudah merencanakan semuanya.” Ucap Alex.

“maksud kamu?” tanyaku jadi penasaran.

“aku tidak berusaha untuk mendekati Dyra, Kal. Aku adalah saudara sepupu Dyra. Aku baru datang beberapa bulan yang lalu ke kota ini. Kebetulan aku juga sedang cari kerja di kota ini. Jadi untuk sementara aku tinggal di rumah Dyra.” Jelas Alex.

“lalu untuk apa Dyra mengatakan kalau kamu berusaha mendekatinya, dan karena itu ia memutuskan ku?” Tanya ku lagi.

“sebenarnya sudah lama Dyra ingin putus dari kamu, Kal. Tapi selama ini dia tidak punya alasan yang tepat. Namun saat aku datang kesini, dia memanfaatku untuk bisa membuat kamu marah, dan akhirnya ia bisa punya alasan untuk memutuskan mu. Sebenarnya Dyra juga sengaja mengirim photo itu pada Riko, agar kamu melihatnya.” Ucap Alex lagi.

“aku gak ngerti, Lex. Dan bagiku itu semua sudah tidak penting.” Balasku.

“kalau kamu tahu alasan Dyra sebenarnya ingin putus dari kamu, ini akan jadi penting bagi kamu, Kal.” Ucap Alex kemudian.

“maksud kamu?” tanyaku semakin heran.

“Dyra sakit, Kal. Dyra mengidap leukemia akut sudah setahun belakangan ini. Tapi Dyra tidak ingin kamu tahu. Dia tidak ingin kamu mengasihinya. Dia ingin kamu melupakannya, sebelum dia benar-benar pergi.’ Jelas Alex, yang membuat ku tiba-tiba merasa terpukul.

“Dyra di vonis, tidak akan bertahan hidup lebih dari setahun, Kal. Berbagai pengobatan juga sudah di jalaninya. Namun dokter pun bahkan sudah menyerah. Dyra gak bakal bisa sembuh. Karena itu dia ingin kamu melupakanya. Dia tidak ingin kamu akan merasakan sakit, saat melepaskan ia pergi untuk selama-lamanya.” Alex melanjutkan ucapannya.

“lalu sekarang dimana Dyra?” ucapku akhirnya.

“sudah seminggu Dyra di rawat di rumah sakit, Kal. Penyakitnya semakin parah. Dia sudah sering tidak sadarkan diri. Sebenarnya Dyra tidak ingin kamu tahu. Tapi aku benar-benar tidak tega melihatnya. Karena itu aku berusaha mencari kamu, untuk menceritakan semua ini.” Jelas Alex lagi.

Lemas terasa seluruh tubuhku tiba-tiba. Teganya Dyra menyembunyikan semua itu dari ku. Pantas saja aku tidak percaya, kalau Dyra dengan begitu mudah memutuskan ku.

“apa kamu mau menjenguknya?” Tanya Alex kemudian.

Aku pun mengangguk setuju.

Namun saat kami sampai di rumah sakit. Dyra dinyatakan telah menghembuskan napas terakhirnya. Hati ku benar-benar hancur menyadari itu semua. Kenapa Dyra tidak ingin aku menemaninya, di saat-saat terakhirnya?

Kenapa ia memilih untuk memutuskan ku, saat aku seharusnya berada di sampingnya?

Hatiku benar-benar hancur dan sakit. Dan tanpa sadar air mata ku pun jatuh menetes.

Ternyata kehilangan Dyra untuk selama-lamanya, jauh lebih menyakitkan dari pada mendengar kata putus dari Dyra. Dan aku terduduk lemas tak berdaya.

****

Melisa suka duren

Namanya Melisa. Dia seorang gadis yang berparas cantik dengan tubuh yang seksi.

Melisa masih kuliah, usianya juga masih 22 tahun. Melisa kost sendiri, tak jauh dari kampus tempat ia kuliah.

Melisa tak punya banyak teman. Karena dia memang tak terlalu suka berkumpul dengan orang-orang. Dia lebih menyendiri, menikmati dunia nya sendiri.

Sebagai seorang gadis cantik, tentu saja banyak cowok yang berusaha mendekati Melisa. Namun tidak satu pun dari semua cowok itu, yang bisa menarik perhatian Melisa.

Melisa seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih berusia sepuluh tahun. Ibu nya berusaha membesarkannya dan dua orang adiknya, sendirian. Ibunya bekerja di sawah orang di kampung. Adiknya sekarang sudah ada yang SMA dan juga yang bungsu sudah SMP.

Melisa memang harus berusaha hidup hemat, demi untuk bisa kuliah. Uang yang dikirim ibunya setiap bulan, tidaklah pernah benar-benar cukup.

Tapi Melisa benar-benar kuliha, karena itu ia nyambi kerja menjadi pelayan kafe saat sore hingga malam hari. Penghasilannya juga lumayan, cukuplah untuk ia bertahan hidup di kota besar ini.

Karena itu juga sebenarnya, Melisa selalu menjaga jarak dengan teman-teman kampusnya. Biar bagaimana pun, sebagai gadis modern, Melisa masih merasa gengsi untuk mengakui, kalau ia bekerja sambil kuliah. Dan karena itu juga, Melisa belum mau berteman dekat dengan seorang laki-laki, apa lagi sampai berpacaran.

Meski pun demikian, sebagai gadis normal, Melisa juga punya rasa tertarik pada lawan jenisnya. Salah seorang pria yang selalu menjadi perhatian Melisa selama ini adalah om Arga. Seorang pria yang sudah berusia hampir 40 tahun.

Om Arga memang seorang duda, tapi ia hidup sendirian. Om Arga bercerai dari istrinya beberapa tahun yang lalu. Ia bercerai karena istrinya pergi bersama pria lain. Dari hasil pernikahannya tersebut, om Arga sebenarnya sudah punya seorang anak laki-laki. Dan anaknya itu ikut bersama ibunya, saat om Arga memutuskan untuk menceraikan istrinya.

Sudah hampir lima tahun om Arga tinggal sendirian. Dia tinggal di sebuah rumah bulatan yang berada tidak terlalu jauh dari tempat Melisa kost.

Melisa dan om Arga sebenarnya juga sudah sering bertemu, terutama saat pagi hari, ketika mereka sama-sama berbelanja sayur-sayura pada tukang sayur keliling yang lewat di gang tersebut.

Awalnya mereka hanya sekedar saling senyum dan hanya sekedar tegur sapa. Tapi lama kelamaan mereka pun mulai dekat dan akrab. Apa lagi semenjak om Arga dengan cukup berani meminta nomor handphone Melisa.

Kedekatan mereka cukup membuat Melisa merasa terkesan. Sosok om Arga yang sudah sangat dewasa, membuat Melisa seakan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Sejak ayahnya meninggal, Melisa memang selalu merindukan sosok seorang pria dewasa dalam hidupnya. Dan kehadiran om Arga cukup mengobati kesepian Melisa selama ini.

Om Arga adalah seorang karyawan di sebuah bank negara. Kehidupannya juga sangat mapan. Om Arga juga seorang pria yang cukup tampan, dengan postur tubuhnya yang masih terlihat gagah dan kekar. Apa lagi om Arga sangat suka berolahraga, terutama joging pada pagi hari.

Semakin lama, Melisa semakin mengagumi sosok om Arga. Demikian juga sebaliknya, om Arga sudah mulai jatuh cinta pada Melisa.

Hingga pada suatu kesempatan, om Arga pun mengungkapkan perasaan suka nya pada Melisa. Dan gayung pun bersambut, Melisa pun menerima cinta om Arga.

Sejak saat itulah mereka pun resmi berpacaran.

Melisa mau pun om Arga merasa sangat bahagia dengan semua itu. Mereka benar-benar menikmati indahnya cinta mereka berdua. Sampai akhirnya mereka pun kebablasan. Hubungan mereka sudah melewati batas. Dan hal itu membuat Melisa pun hamil.

Kehamilan Melisa justru menjadi awal bencana dari hubungan mereka.

Tak di sangka, sikap om Arga tiba-tiba saja berubah. Dia yang awalnya dikenal Melisa sebagai laki-laki baik, sopan, lembut dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba saja berubah beringas, pemarah dan sangat kasar.

Melisa tentu saja merasa syok dengan perubahan tersebut. Apa lagi saat ini ia sedang mengandung anak dari om Arga. Tapi Melisa harus siap menghadapi perubahan tersebut, karena ia butuh tanggungjawab dari om Arga. Hanya saja sayangnya om Arga tidak benar-benar ingin bertanggungjawab.

Om Arga sudah mulai menghindari Melisa. Ia jadi jarang berada di rumah. Dia juga tak pernah mengangkat telpon dari Melisa.

Melisa pun menjadi bingung dengan semua itu. Dia telah merasa di campakkan oleh om Arga. Tapi Melisa tak bisa menyalahkan om Arga sepenuhnya. Semua itu terjadi juga atas keinginannya sendiri. Hanya saja Melisa sangat tidak menyangka, kalau om Arga akan lari dari tanggungjawabnya.

Kini Melisa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Om Arga selalu menghindarinya. Meski Melisa sudah melakukan berbagai cara untuk bisa bertemu om Arga. Dan bahkan dengan terang-terangan om Arga tidak mau mengakui, kalau anak yang Melisa kandung adalah anaknya.

"itu jelas bukan anak ku. Aku tak mungkin bisa punya anak." ucap om Arga tegas namun dengan suara bergetar.

"kenapa om yakin kalau ini bukan anak om?" tanya Melisa marah.

"karena aku ini mandul, Melisa. Aku gak mungkin bisa punya anak. Anak dari istri pertama ku juga bukan anak ku, itu anak dari selingkuhahnya. Karena itu aku menceraikannya. Jadi kamu gak perlu mengaku-ngaku kalau itu adalah anak ku." balas om Arga tajam.

Hati Melisa sangat terluka mendengar semua itu. Hatinya yang tadi merasa marah pada om Arga, tiba-tiba luluh lantak oleh kenyataan tersebut.

Melisa menangis tersedu-sedu. Ia meratapi kepedihan hidup yang menimpanya saat ini. Dia tak bisa menyalahkan om Arga lagi.

Melisa pun mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat ia mendapat kabar dari kampung halamanya, kalau ibunya sakit parah dan harus segera di operasi. Melisa tak punya uang untuk biaya operasi ibunya. Karena itu ia menerima tawaran dari salah seorang temannya yang sama-sama bekerja di kafe.

Sebenarnya saat itu, Melisa ingin sekali meminta bantuan kepada om Arga. Tapi ia merasa enak hati. Ia takut, om Arga berpikir, kalau ia hanya memanfaatkan om Arga. Kalau ia berpacaran dengan om Arga hanya untuk uang. Karena itu Melisa memilih untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada om Arga.

Melisa lebih memilih menerima tawaran teman kerjanya, untuk menemani seorang lelaki tua tidur dengannya. Sebenarnya tawaran seperti itu sudah sejak lama di tawarkan kepada Melisa, namun selama ini Melisa selalu menolak. Tapi karena saat itu ia sangat butuh uang ia pun terpaksa menerimanya.

Melisa tidak berpikir, kalau tawaran untuk tidur dengan seorang laki-laki tua tersebut, bisa membuatnya hamil. Melisa memang sengaja tidak memakai pengaman, karena ia pikir, ia dan om Arga juga sudah sering melakukan hal tersebut. Jadi hal itu tidaklah akan menjadi masalah menurutnya.

Meski pun Melisa di bayar mahal waktu itu, dan semuanya juga berjalan lancar. Om Arga tak pernah mengetahui hal tersebut. Sampai Melisa menyadari kalau ia sedang hamil. Tentu saja yang ada dalam pikiran Melisa saat ia mengetahui kalau ia hamil, adalah bahwa anak yang ia kandung tersebut adalah anaknya om Arga.

Tapi ternyata semua itu di luar dugaan Melisa. Om Arga sudah mengetahui kalau itu bukan anaknya. Karena itu juga sikap om Arga pun jadi berubah. Ia merasa kalau Melisa telah mengkhianatinya. Ia merasa kalau Melisa sedang ada hubungan dengan pria lain. Dan karena itu juga, ia tak mau bertanggungjawab. Sebab om Arga yakin, itu memang bukan anaknya.

*****

Dengan terisak, akhirnya Melisa memberanikan diri untuk jujur pada om Arga tentang apa yang telah menimpanya beberapa bulan yang lalu. Dia menceritakan semuanya, tanpa ada lagi yang ia tutup-tutupi.

Om Arga tentu saja sangat marah dengan semua itu. Padahal ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Melisa, tapi Melisa justru tidak mau berbagi penderitaan hidupnya dengan om Arga.

"saya hanya tak ingin om menganggap saya cewek materialistis, jika saya menceritakan tentang ibu saya yang sakit dan butuh uang untuk operasi tersebut pada om Arga." jelas Melisa mengakhiri ceritanya pada om Arga.

"lalu apa kamu pikir dengan menjual diri, akan menjadikan kamu lebih baik dari seorang cewek materialistis?" tajam kalimat om Arga membalas.

"saya benar-benar minta maaf, om.." suara Melisa semakin menghiba, mengiringi rasa penyesalannya.

"permintaan maaf mu itu tidak akan mengubah apa pun yang telah terjadi, Mel. Jadi kamu gak perlu menghiba seperti itu.." balas om Arga masih terdengar tajam.

"iya... aku tahu, om. Tapi aku sangat berharap om Arga mau memaafkan aku.." ucap Melisa lirih.

"aku bisa saja memaafkan kamu, Mel. Tapi ... aku gak mungkin mau bertanggungjawab atas kehamilan kamu tersebut. Itu jelas gak mungkin, Mel. Bertahun-tahun aku hidup dengan istri ku, dan berusaha membesarkan anak orang lain. Hingga akhirnya aku tahu kalau itu bukan anak ku, hati ku sangat sakit, Mel. Dan sekarang kamu meminta aku untuk mengulangi hal itu lagi?"

"aku gak sanggup. Mel. Sekali pun aku sangat mencintai kamu. Jika saat kita belum menikah saja, kamu sudah berani untuk mengkhianati ku, bagaimana pula ke depannya?"

ucapan om Arga yang panjang lebar dan penuh makna itu semakin membuat Melisa merasa hancur. Ia merasa kehilangan pegangan. Saat ini, satu-satunya tempat ia berharap hanyalah kepada om Arga.

"kenapa kamu gak minta pertanggungjawaban dari laki-laki yang membayarmu itu saja?" om Arga berucap tajam.

"aku di bayar untuk melakukan hal tersebut, om. Jadi aku gak punya hak untuk minta pertanggungjawabnnya. Dan lagi pula ia pasti tidak akan mengakui hal tersebut." balas Melisa terdengar pilu.

"ya udah.. itu semua sekarang bukan urusan ku lagi. Dan aku harap, kamu gak usah menganggu kehidupan ku lagi. Bagi ku semuanya diantara kita sudah berakhir." tegas suara om Arga berucap.

"lalu apa hubungan kita selama ini gak ada artinya bagi om Arga?" tanya Melisa ringkih.

"tentu saja semua itu sangat berarti bagiku, Mel. Tapi apa artinya semua itu, jika kamu lebih memilih untuk mengkhianati ku?" balas om Arga.

"aku terpaksa melakukannya, om. Aku tak punya pilihan lain saat itu." isak Melisa lagi.

"selalu ada pilihan dalam hidup ini, Mel. Dan selalu ada resiko pada setiap pilihan. Kini saatnya kamu menanggung resiko dari pilihan mu sendiri..." suara om Arga terdengar berat.

Dan setelah berkata demikian, om Arga pun segera pergi dari sana. Meninggalkan Melisa yang masih terus terisak dalam penyesalannya.

Melisa tidak tahu siapa yang harus ia salahkan dalam hal ini. Hatinya kah yang terlanjur jatuh cinta pada om Arga? Atau om Arga kah yang datang pada saat ia membutuhkannya?

Atau haruskah Melisa menyalahkan orang yang telah membayarnya? Atau justru ia harus pada ibunya yang tiba-tiba sakit pada saat yang tidak tepat?

Atau mungkinkah ia menyalahkan bayi yang ada dalam kandungannya, yang hadir di saat ia belum siap?

Dan melisa memilih pilihan terakhirnya. Karena itu ia pun nekat mencari orang yang bisa mengakhiri semua penderitaannya tersebut.

Melisa tahu, resikonya terlalu besar jika ia memilih untuk menggugurkan kandungannya tersebut. Tapi saat ini, hanya itu satu-satunya pilihan yang ia punya. Dan Melisa telah siap dengan segala resiko yang harus ia terima nantinya.

****

Sekian...

Suami sahabat ku, yang membuatku ...

Namanya mas Arifin. Dan dia adalah suami sahabatku, Dena.

Aku dan Dena memang sudah bersahabat sejak lama, setidaknya sejak kami sama-sama kuliah.

Kami bahkan akhirnya juga bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja Dena lebih beruntung, karena setelah setahun bekerja, dia pun di lamar oleh manager di perusahaan kami bekerja.

Setelah menikah dengan mas Arifin, si manager perusahaan tersebut, Dena pun memutuskan untuk berhenti bekerja. Dia lebih memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga biasa.

Selain karena itu merupakan permintaan dari suaminya, Dena juga sejak dulu memang tidak suka menjadi wanita karir.

Dena dan mas Arifin sudah memiliki seorang putra dari hasil pernikahan mereka.

Aku sendiri masih betah dengan status lajang ku. Aku masih ingin mengejar impian ku. Meski pun saat ini, usia ku sudah 28 tahun.

Sebenarnya ada banyak laki-laki yang berusaha untuk mendekati ku, tapi selama ini aku selalu menutup diri. Aku tidak suka terikat. Aku lebih suka kebebasan.

Meski pun sebagai wanita dewasa, aku juga kadang sering merasa kesepian hidup sendirian. Apa lagi di kota ini, aku hanya tinggal sendiri di sebuah apartemen sewaan.

Semua keluarga ku ada di desa, dan aku sangat jarang pulang ke kampung halamanku. Selain karena aku sudah merasa betah tinggal di kota, aku juga tidak suka pulang ke kampung ku, karena selalu di tanyakan tentang 'kapan nikah?' oleh keluarga ku.

Dan selain itu juga, kedua orangtua ku sebenarnya sudah lama meninggal. Jadi selain dua orang kakak ku yang ada di kampung, aku tidak punya banyak famili lain.

Meski pun sudah menikah dan punya anak, Dena masih sering mengajak aku ketemuan. Kami masih sering ngobrol, saling curhat dan saling telpon-telponan. Aku bahkan juga sering main ke rumahnya.

Kehidupan Dena memang di bilang cukup mewah. Tinggal di rumah gedongan, punya mobil mewah, dan punya beberapa orang pembantu di rumahnya.

Kadang aku merasa cukup iri dengan kehidupan Dena tersebut.

Apa lagi Dena memiliki seorang suami seperti mas Arifin. Selain mapan, mas Arifin juga seorang pria yang tampan dan gagah. Dena beruntung mendapatkan mas Arifin, demikian juga mungkin sebaliknya.

Dena memang cantik, sejak dulu dia selalu menjadi incaran banyak cowok. Dia selalu menjadi primadona di kampus maupun di tempat kerja. Sampai akhirnya mas Arifin mampu meluluhkan hatinya.

Aku dan mas Arifin sebenarnya cukup dekat. Selain karena ia adalah suami sahabatku, mas Arifin juga atasan ku di kantor.

Mas Arifin bahkan pernah beberapa kali mengantar ku pulang ke apartemen. Meski pun selama ini, pembicaraan masih seputar tentang pekerjaan dan hal-hal umum lainnya.

Hingga pada suatu saat. Untuk kesekian kalinya, mas Arifin mengantar ku pulang ke apartemen ku.

"kenapa masih betah hidup sendiri sih?" tanya mas Arifin di perjalanan menuju apartemen ku.

Aku cukup kaget mendengar pertanyaan itu. Karena sebelumnya mas Arifin belum bertanya hal-hal pribadi seperti itu.

"sebenarnya bosan juga hidup sendiri. Tapi nyari laki-laki yang mau bertanggung jawab itu susah. Dan lagi pula aku kan gak secantik Dena, jadi jarang ada laki-laki yang mau mendekat." balas ku apa adanya.

"kamu tuh cantik loh, Reni. Kamu cantik dengan caramu sendiri. Kamu juga manis dan seksi.." ucap mas Arifin dengan suara beratnya.

Jujur aku jarang sekali mendengar pujian seperti itu dari laki-laki. Dan hal itu cukup membuatku merasa tersipu. Muka ku memerah pastinya.

"ah mas Arifin bisa aja. Tapi nyata nya sampai saat ini aku masih jomblo. Itu artinya aku tidak terlalu menarik di mata laki-laki." balas ku berusaha menahan gejolak di hatiku.

"tapi bukannya kata Dena, kamu lebih memilih untuk berkarir dari pada cepat-cepat nikah?" ucap mas Arifin lagi.

"sebenarnya iya sih mas. Tapi sekarang ini, aku mulai lelah berkarir. Pengen juga ngerasain, jadi seorang istri dan jadi seorang ibu." timpalku pelan.

Untuk beberapa saat suasana pun hening. Hingga mobil kami pun sampai ke halaman parkir apartemen ku.

"mampir dulu mas." tawar ku seperti biasa. Dan biasanya mas Arifin selalu menolak.

"kalau kamu gak keberatan aku mampir." ucap mas Arifin, yang membuat aku sedikit tercekat.

Aku belum pernah sekali pun mengajak seorang laki-laki masuk ke apartemen ku. Dan tadinya aku hanya berbasa-basi pada mas Arifin. Tapi jika mas Arifin benar-benar ingin mampir, aku rasa aku tidak enak hati untuk menolaknya.

Selain karena dia adalah atasanku, juga suami sahabatku, aku juga merasa tidak enak hati karena berkali-kali di antarnya pulang.

"mas serius mau mampir?" tanya ku ragu, "apartemen ku jelek loh mas." lanjutku berusaha mencegah hal itu terjadi.

"iya, aku serius. Aku pengen lihat apartemen kamu. Dan lagi pula aku merasa sedikit haus." ucap mas Arifin, yang membuat ku tercekat lagi.

"ya .. udah... kalau begitu mari kita ke atas.." ajak ku akhirnya, setelah berusaha mengatur napasku yang tiba-tiba saja tersengal.

Apartemen ku memang berada di lantai dua gedung tersebut, dan untuk sampai ke sana, kami harus menaiki tangga manual. Karena apartemen tempat aku tinggal ini, hanyalah sebuah apartemen murah dengan fasilitas seadanya.

Sesampai di atas aku pun mempersilahkan mas Arifin untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"aku ambilkan minum dulu ya mas." ucapku memecah keheningan.

Tanpa menunggu persetujuan dari mas Arifin, aku pun segera melangkah ke dapur kecil apartemen ku tersebut.

Aku membawakan segelas air putih ke ruang tamu, dan menyerahkannya kepada mas Arifin.

"ini mas. Cuma ada air putih." ucapku, sambil ikut duduk di hadapan mas Arifin.

Mas Arifin segera menenggak minuman tersebut, kemudian menaruh gelas yang masih berisi separoh itu di atas meja tamu.

"sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, Reni. Sudah sejak lama sebenarnya aku ingin cerita. Tapi selama ini aku belum punya keberanian." mas Arifin berucap pelan.

"mas Arifin mau cerita tentang apa?" tanyaku penasaran.

"cerita tentang masa lalu sih. Tapi rasanya hal itu terus mengganjal di hatiku, jika aku tidak menceritakannya padamu." balas mas Arifin.

Aku diam. Menunggu mas Arifin memulai ceritanya.

"sebenarnya dulu, jauh sebelum aku menikah dengan Dena. Saat pertama kali kalian bekerja di perusahaan ku. Aku .... aku sebenarnya sudah suka sama kamu, Reni. Tapi waktu itu, ketika aku coba mendekati kamu, Dena pun cerita padaku, kalau kamu belum mau pacaran, karena masih mau fokus berkarir."

"karena itu, aku pun memilih untuk mundur. Aku masih mau menunggu sebenarnya, tapi karena aku dan Dena tiba-tiba saja menjadi dekat, aku malah jadi tertarik sama Dena. Hingga akhirnya kami pun pacaran dan menikah." cerita mas Arifin panjang lebar.

Aku tercekat lagi. Aku tidak tahu, apa mas Arifin berbicara jujur atau hanya sekedar menghiburku.

Namun yang pasti aku merasa tersanjung mendengar itu semua. Karena sejujurnya, sejak pertama kali melihat mas Arifin dulu, aku memang menyukainya.

Tapi karena aku merasa tidak pantas untuknya, dan karena memang aku lebih memilih untuk fokus pada karir dari pada pacaran, aku hanya bisa memendam semua itu.

Hingga pada akhirnya aku tahu, kalau mas Arifin dan Dena pacaran. Aku pun mengubur semua impian ku tentang mas Arifin.

"oh," desahku ringan, berusaha bersikap sewajar mungkin.

"lalu sekarang mas Arifin sudah merasa lega kan? Sudah cerita hal itu padaku?" ucapku akhirnya.

Mas Arifin menarik napas berat.

"jadi cuma itu? Cuma itu tanggapan kamu Reni?" tanya mas Arifin tiba-tiba.

"lalu mas Arifin maunya aku menanggapinya gimana?" tanyaku balik.

"aku juga gak tahu, apa yang aku inginkan sebenarnya dengan menceritakan hal tersebut. Tapi aku berharap, kamu punya reaksi lebih dari itu. Entah kenapa?" balas mas Arifin lemah.

"udahlah mas Arifin. Lagi pula itu semua kan sudah berlalu. Sekarang mas Arifin sudah bersama Dena. Jadi lupakan saja semua yang telah berlalu." ucapku membalas.

"tapi kalau seandainya, aku katakan, kalau sampai saat ini aku masih menyukai kamu?" ucap mas Arifin dengan nada tanyanya.

"ya tetap saja itu tidak mengubah apa pun mas. Kita tak mungkin kembali ke masa lalu kan? Dan sekali pun mas Arifin masih menyukai ku. Itu hak mas Arifin. Namun yang pasti sekarang ini, mas Arifin adalah seorang suami dan juga seorang ayah." ucapku berusaha sesantai mungkin.

"apa kamu tidak ingin mencobanya?" tanya mas Arifin lagi.

"mencoba apa mas?" tanyaku heran.

"mencoba menjalin hubungan denganku?" mas Arifin bertanya kembali.

"kamu jangan macam-macam mas. Dena adalah sahabatku. Aku tidak mungkin mengkhianatinya. Aku bukan tipe wanita seperti itu." ucapku tegas.

"tapi aku benar-benar menyukai kamu Reni. Aku ingin kamu menjadi istri kedua ku." balas mas Arifin dengan nada sedikit tinggi.

"aku gak mau mas. Apa lagi harus jadi istri kedua." balas ku tegas lagi.

"kalau kamu gak mau, aku akan pecat kamu dari perusahaanku." ucap mas Arifin dengan nada semakin tinggi.

Aku terdiam. Bukan karena aku takut akan ancamannya. Tapi aku tak menyangka kalau mas Arifin akan berkata seperti itu.

Itu seperti bukan mas Arifin yang aku kenal. Atau itulah sifat aslinya yang ia sembunyikan selama ini.

"pilihannya hanya dua Reni. Kamu menjadi istri kedua ku atau kamu aku pecat." mas Arifin berucap lagi. lebih tegas dan lebih kasar.

"aku tak sudi menjadi istri mas Arifin apa lagi menjadi istri kedua. Aku rela kehilangan pekerjaanku." balasku dengan nada bergetar menahan gejolak emosi di dadaku.

Tak aku sangka mas Arifin punya sifat seperti itu. Selama ini dia aku kenal sebagai laki-laki baik.

Aku pikir Dena beruntung bisa mendapatkannya, tapi ternyata...

"oke Reni. Jika itu pilihanmu, aku akan kabulkan. Dan aku harap kamu tidak akan pernah menyesal dengan pilihanmu itu." ucap mas Arifin lagi, lalu kemudian dia pun berdiri dan segera keluar dari apartemenku.

Aku terdiam. Aku merasa syok tiba-tiba.

****

Keesokan harinya, aku pun mendapat surat pemecatan.

Aku tidak bisa terima sebenarnya. Namun perusahaan itu adalah milik papanya mas Arifin, dan mas Arifin merupakan pewaris tunggal perusahaan tersebut.

Yang artinya, dia punya hak sepenuhnya untuk memecatku dengan alasan yang dia karang sendiri.

Aku pun akhirnya hanya bisa pasrah. Aku keluar dari perusahaan itu dengan perasaan campur aduk.

Aku tidak masalah sebenarnya berhenti bekerja dari perusahaan itu. Aku bisa cari kerja lain, atau sekurang-kurangnya, aku bisa kembali ke kampung halamanku dan memulai hidup baru.

Namun yang aku pikirkan adalah sahabatku, Dena. Betapa malangnya dia memiliki suami seperti mas Arifin.

Jika mas Arifin gagal mendapatkan ku, aku yakin akan ada wanita lain yang akan dia jadikan korban berikutnya.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk mengajak Dena ketemuan. Lalu kemudian aku pun menceritakan semuanya kepada Dena.

Tentu saja Dena tidak begitu saja percaya dengan ceritaku.

"kamu jangan ngarang deh Reni. Aku tahu, kamu iri kan melihat kebahagiaanku bersama mas Arifin." ucap Dena.

"tapi apa yang aku ceritakan adalah benar adanya Dena. Buktinya aku dipecat." balasku berusaha meyakinkan.

"kamu di pecat itu karena kesalahanmu sendiri Reni. Mas Arifin sudah minta pendapatku tadi malam tentang pemecatan kamu. Katanya kesalahan kamu sangat fatal, hingga tidak bisa ia pertahankan lagi." ucap Dena dengan nada yakin.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tentu saja Dena pasti akan lebih percaya kepada suaminya, dari pada aku, sekali pun aku ini adalah sahabatnya.

Karena itu aku pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi dengan Dena. Karena untuk saat ini, semua itu hanya percuma.

Aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku dan memulai hidup baru disana.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Dena selanjutnya. Mudah-mudahan dia cepat sadar, kalau suaminya bukanlah laki-laki yang baik.

Meski pun aku yakin, itu mungkin butuh waktu sangat lama. Tapi setidaknya sebagai sahabat, aku telah memperingatkannya dari awal.

*****

Cowok gagah si penjual bakso keliling

Cinta bagi ku adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan.

Dulu, aku berpikir seperti itu. Jauh sebelum aku benar-benar merasakan jatuh cinta.

Jauh sebelum aku mengenal bang Agus. Seorang laki-laki gagah, yang merupakan penjual bakso keliling langganan ku.

 

Cerpen gay  sang penuai mimpi

Aku mengenal bang Agus, karena ia hampir setiap sore singgah di depan rumahku.

Bang Agus seorang penjual bakso keliling, dengan mendorong gerobaknya ke sekeliling perumahan tempat aku tinggal.

Kebetulan aku tinggal di salah satu perumahan tersebut. Rumahku itu tepat berada di persimpangan jalan. Karena itu bang Agus selalu singgah di sana, untuk menanti beberapa orang langganan baksonya. Yang salah satunya adalah aku.

Rumah tempat aku tinggal itu sebenarnya, adalah rumah yang sudah lama di beli oleh ayahku, namun selama ini tidak di tempati.

Karena sekarang aku sudah kuliah, ayah ku mempercayai ku untuk menempati rumah itu sendiri. Agar aku bisa lebih dekat dengan kampus tempat aku kuliah.

Sementara orangtua dan dua orang adik-adikku tinggal di rumah kami yang lain, yang berjarak cukup jauh dari rumah tempat aku tinggal.

Karena tinggal sendiri dan juga tidak suka masak, aku memang lebih sering membeli makanan siap saji di luar. Salah satu nya ialah bakso bang Agus.

Bakso bang Agus sudah menjadi langganan ku sejak lama, setidaknya sejak aku pindah ke rumah ini, sekitar setahun yang lalu.

Pertama kali melihat dan bertemu bang Agus, aku mulai merasa tertarik dengannya. Aku tidak tahu, entah mengapa aku begitu mengagumi sosok bang Agus.

Wajahnya yang tampan, senyumnya yang selalu ramah terukir dari bibirnya yang manis. Tubuhnya yang atletis dan gagah. Semua itu benar-benar telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Semakin hari perasaan itu semakin berkembang aku rasakan. Dan aku selalu memikirkan bang Agus di hampir setiap malamku.

Bang Agus selalu ramah kepada setiap pelanggannya, dan hal itu terkadang membuat aku jadi salah paham akan keramahannya padaku.

Lalu seperti apakah kisah ku bersama bang Agus si penjual bakso keliling itu?

Mungkinkah aku mempu merebut hati laki-laki gagah itu?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Bang Agus sudah berusia 27 tahun, dan menurut pengakuannya juga, ia masih lajang.

Hal itu sedikit memberi harapan padaku, untuk bisa mendapatkan cinta bang Agus.

Untuk menarik perhatiannya, terkadang aku sengaja berlama-lama ngobrol denganya saat membeli bakso. Saat hanya kami berdua di sana.

"bang Agus kenapa belum nikah?" tanyaku suatu sore, saat itu hanya kami berdua di situ.

"siapa yang mau sama seorang penjual bakso keliling seperti saya ini, Wisnu." lemah suara bang Agus menjawab.

"gak ada yang salah dengan berjualan bakso, bang. Justru saya kagum sama bang Agus. Selain bang Agus seorang pekerja keras, bang Agus juga tampan dan gagah. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama bang Agus." ujarku jujur.

"ah, kamu bisa aja, Wisnu. Tapi nyatanya sampai saat ini aku masih jomblo." balas bang Agus.

"mungkin karena bang Agus terlalu pemilih.." ucapku pelan.

"gak juga. Aku hanya cari orang yang bisa terima aku apa adanya." balas bang Agus lagi.

"seandainya aku ini cewek, aku pasti mau sama bang Agus.." ucapku tanpa sadar.

"kamu gak perlu jadi orang lain, untuk menyukai seseorang, Wisnu. Lebih baik kamu jadi diri kamu sendiri. Karena aku lebih menyukai kamu sebagai Wisnu, bukan sebagai orang lain." ucap bang Agus dengan nada sedikit pelan.

"aku bisa menyukai bang Agus sebagai diri ku sendiri. Tapi aku tidak bisa memiliki bang Agus, jika tetap menjadi diri ku yang seperti ini." timpalku kemudian.

"siapa bilang tidak bisa? Jika kamu memang benar-benar menginginkannya, bisa saja hal itu menjadi mungkin kan?" balas bang Agus terdengar serius.

"maksud bang Agus bagaimana?" tanya ku benar-benar tidak mengerti.

"kalau kamu belum mengerti, itu artinya kamu belum benar-benar mengenalku, Wisnu." balas bang Agus lagi.

"tapi..." kalimat ku terhenti, saat tiba-tiba seorang anak remaja datang untuk membeli bakso.

Bang Agus kemudian sibuk melayani pembeli, yang mulai berdatangan cukup ramai.

Aku terpaksa menyimpan rasa penasaran ku, atas kalimat bang Agus barusan.

Aku kembali ke rumah dengan masih menyimpan tanda tanya di benakku.

*****

Ke esokan sorenya, dengan tidak sabar, aku menunggu kedatangan bang Agus di depan rumahku.

Semalaman aku hampir tidak tidur, karena terus bertanya-tanya maksud dari pernyataan bang Agus sore kemarin.

Apa mungkin bang Agus juga menyukai ku?

Apa mungkin bang Agus juga penyuka sesama jenis seperti ku?

Akh, rasanya itu sangat mustahil. Mengingat bang Agus, sangat terlihat maskulin dan jantan.

Meski pun tidak menutup kemungkinan, bahwa seorang laki-laki segagah apa pun, juga bisa saja adalah penyuka sesama jenis.

Tapi masa' iya, bang Agus seperti itu?

Aku terus bertanya-tanya sepanjang malam dan bahkan sepanjang hari ini. Aku benar-benar tak sabar menunggu sore.

Dan ketika akhirnya bang Agus datang, aku pun segera menghampirinya.

"bakso?" ucap bang Agus menyambut kedatangan ku.

"iya. Sekalian aku mau menanyakan maksud dari pernyataan bang Agus kemarin sore." balasku cukup berani.

"apa lagi yang ingin kamu tanyakan, Wisnu?" balas bang Agus bertanya.

"bang Agus pasti ngerti apa yang aku maksud." balasku pelan.

"aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Wisnu. Aku juga ingin agar kamu jujur padaku. Kamu katakan saja, apa yang kamu rasakan padaku." ucap bang Agus membalas.

"aku... aku,... bang Agus... " aku terbata, tidak tahu harus berkata apa.

"mungkin lebih baik, kalau kita atur waktu dan tempat yang tepat untuk kita ngobrol lebih lanjut, Wisnu. Sekarang ini aku lagi kerja. Jadi lebih baik kita bicarakan lagi nanti." ucap bang Agus melihat ketergagapan ku.

"kapan?" tanya ku spontan.

"bagaimana kalau nanti malam?  Aku bisa datang ke rumah mu kan?" tanya bang Agus.

"bisa, bang. Abang datang aja. Aku tunggu ya..." balas ku cepat.

"oke. Nanti sehabis jualan, aku akan datang ke rumah kamu. Tapi mungkin itu sudah jam sepuluh malam, gak apa-apa kan?" ucap bang Agus lagi.

"gak apa-apa, bang. Aku juga sendirian di rumah. Dan lagi pula, aku benar-benar ingin berbicara berdua bersama bang Agus." ucapku lugas.

Bang Agus hanya mengangguk ringan, karena beberapa orang pembeli sudah mulai datang mendekat.

Aku pun kembali ke rumah, dengan membawa semangkok bakso dan segumpal harapan.

Semoga saja harapan ku kali ini akan menjadi nyata.

****

Waktu bergulir, namun jarum jam terasa begitu lambat berputar bagiku.

Aku menunggu. Aku menunggu bang Agus, laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Aku menunggunya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih.

Padahal aku dan bang Agus sampai saat ini, masih hanya sekedar berteman. Tapi entah mengapa, aku jadi punya harapan lebih padanya.

Mungkin karena aku terlalu mencintainya. Mungkin juga karena bang Agus sepertinya sudah memberi harapan padaku.

Namun cinta tetaplah sebuah misteri. Ia tidak mudah di tebak. Kita tidak pernah tahu, kapan rasa itu tumbuh. Kita juga tidak pernah tahu, kepada siapa rasa itu akan tumbuh. Dan kita juga tidak akan tahu, bagaimana perasaan orang lain kepada kita. Bahkan perasaan orang yang paling dekat dengan kita sekali pun.

Aku tetap menunggu. Hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Debaran di jantung ku semakin tak beraturan.

Dan aku semakin gelisah, ketika jarum jam sudah melewati beberapa menit dari jam sepuluh.

Mungkinkah bang Agus akan datang?

Atau aku hanya menunggu sesuatu yang tak pasti?

Aku mungkin terlalu berharap. Namun harapan itu, sepertinya belum berpihak padaku.

Lalu bagaimanakah akhirnya kisah ku bersama bang Agus, si penjual bakso keliling itu?

Apakah yang terjadi selanjutnya jika bang Agus datang?

Saksikan kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaachhh.

****

 Part 2 (Malam penuh kesan)

Bang Agus adalah seorang perantau. Orangtua dan adik-adiknya tinggal di kampung. Orangtua nya adalah seorang petani, yang hanya punya penghasilan pas-pasan.

Bang Agus di kota ini tinggal bersama pamannya, yang merupakan seorang pengusaha bakso. Dan bang Agus adalah salah seorang pekerjanya, yang menjajakan bakso tersebut berkeliling.

Setidaknya begitulah sedikit tentang hidupnya yang bang Agus pernah ceritakan padaku.

Namun terlepas dari apa pun latar belakang kehidupannya. Di mata ku bang Agus adalah sosok laki-laki sempurna. Dia adalah laki-laki terindah.

Aku mencintainya. Aku menyayanginya dengan sepenuh hatiku.

Namun menunggunya malam ini, hingga hampir jam sebelas malam, aku menjadi kian gelisah.

Aku ragu. Mungkinkah bang Agus serius dengan ucapannya sore tadi, untuk datang ke rumahku?

Atau ia hanya sekedar memberi harapan padaku?

Simak kelanjtan dari kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, selanjutnya ya ...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

Jam sebelas malam kurang lima menit. Bang Agus akhirnya datang.

"maaf, Wisnu. Saya terlambat." ucap bang Agus, sesaat setelah aku persilahkan ia masuk dan duduk di ruang tamu rumahku.

"tadi dagangan ku belum habis, jadi aku harus berkeliling lebih lama dari biasanya." bang Agus melanjutkan kalimatnya.

"gak apa-apa, bang." jawabku berusaha sesantai mungkin, berusaha menahan debaran yang bergejolak di dada ku.

"jadi gimana? Kamu udah siap untuk jujur, Wisnu?" tanya bang Agus kemudian.

Aku mengangguk ragu. Aku juga tidak yakin, akan berani untuk jujur tentang perasaanku pada bang Agus. Aku takut, kejujuran ku justru akan membuat bang Agus semakin jauh dari ku.

Namun aku memang harus mengatakan semuanya pada bang Agus. Selain karena aku sudah tidak bisa memendamnya lagi. Aku berpikir, mungkin inilah saatnya untuk aku bisa mengungkapkan perasaanku pada bang Agus.

Apa lagi saat ini, hanya kami berdua di rumah ini.

"aku gak tahu, kapan perasaan itu tumbuh, bang. Namun yang pasti sejak aku mengenal bang Agus, aku jadi sering memikirkan bang Agus. Aku selalu mengkhayalkan bang Agus setiap malamnya. Lalu kemudian aku sadar, kalau aku telah jatuh cinta kepada bang Agus."

"tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku cukup sadar, kalau bang Agus tidak mungkin punya perasaan yang sama denganku. Aku hanya bisa mencintai bang Agus dalam diam, tanpa berani untuk aku ungkapkan.." ucapku panjang lebar.

"lalu mengapa malam ini kamu berani mengungkapkannya?" tanya bang Agus.

"seperti kata bang Agus, kalau aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku harus jujur dengan perasaanku, dan aku harus jujur pada bang Agus. Karena jika tidak, aku tidak akan pernah tahu seperti apa perasaan bang Agus padaku." jawabku lugas.

Untuk sesaat suasana pun hening. Bang Agus terlihat menarik napas beberapa kali.

"bertahun-tahun aku berusaha untuk menghindari semua ini, Wisnu. Aku merantau ke kota, sebenarnya ingin menjauh dari orang yang aku cintai. Di kampung aku punya seorang kekasih. Namanya Alan. Dia seorang pemuda yang tampan namun lembut."

"aku dan Alan pacaran sudah hampir dua tahun. Ketika akhirnya Alan harus menerima perjodohannya dengan gadis pilihan orangtuanya." bang Agus memulai ceritanya.

"Alan adalah putra seorang juragan kaya di desa kami. Dia anak tunggal. Karena itu dia tidak bisa menolak keinginan orangtua nya tersebut. Namun meski pun Alan akhirnya menikah, kami tetap menjalin hubungan secara diam-diam."

"tapi kemudian, hubungan kami pun mulai di curigai oleh istri Alan. Karena itu kami pun sepakat untuk berpisah dan saling melupakan. Namun tidak mudah bagiku, karena aku terlalu mencintai Alan. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi dari kampung halaman ku."

"aku ingin belajar melupakan Alan. Aku ingin memulai hidupku yang baru. Aku ingin hidup sebagai mana layaknya seorang laki-laki. Tapi ternyata hal itu tidak mudah. Meski pun akhirnya aku bisa melupakan Alan, namun aku tidak bisa menolak pesona seorang laki-laki."

"saat pertama kali aku melihat kamu, Wisnu. Aku kembali merasakan getaran keindahan sebuah rasa. Sebuah rasa cinta yang telah lama tidak aku rasakan, semenjak aku berhasil melupakan Alan. Namun sejak aku mulai mengenal kamu, rasa cinta itu kembali tumbuh."

"aku berusaha memendamnya. Aku berusaha menutupinya. Aku takut jatuh cinta lagi pada laki-laki, karena pada akhirnya hubungan sesama laki-laki, tidak akan pernah berakhir dengan indah. Karena pada akhirnya, salah satu dari kita, harus menjalankan kodrat kita sebagai seorang laki-laki."

"dari awal, aku juga sudah tahu, kalau kamu menyukai ku, Wisnu. Namun karena trauma yang pernah aku rasakan di masa lalu, membuat ku berusaha untuk tidak menanggapi kehadiran mu. Aku tidak ingin lagi pacaran denga laki-laki."

"tapi kemudian aku sadar, cinta bukanlah sesuatu yang harus di sembunyikan, terlebih karena aku tahu kalau kamu juga menyukai ku. Karena itu, aku ingin kamu jujur, Wisnu. Bukan saja tentang perasaanmu padaku, tapi juga tentang harapan mu padaku untuk ke depannya."

Bang Agus mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku terdiam. Sungguh semua itu di luar dugaanku. Mungkin selama ini, aku bisa merasakan kalau bang Agus juga menyukai ku. Tapi aku tak pernah berpikir, kalau bang Agus punya cerita pahit di masa lalunya.

"aku mencintai, bang Agus. Terlepas dari apa pun yang pernah terjadi di masa lalu bang Agus. Dan aku berharap, jika kita memang saling mencintai, kelak hubungan kita tidak akan pernah berakhir, meski apa pun yang akan terjadi." ucapku akhirnya, setelah terdiam beberapa saat.

*****

"aku juga mencintai kamu, Wisnu. Dan aku juga berharap, hubungan kita tidak akan pernah berakhir nantinya. Tapi apa kamu yakin, akan menghabiskan sepanjang hidupmu untuk bersama ku?" bang Agus berucap dengan sambil menatapku tajam. Ia seperti mengharapkan sebuah kejujuran dariku.

"aku yakin, bang. Bagi ku cinta adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan. Jika aku sudah jatuh cinta, maka pantang bagi ku untuk memupusnya walau dengan alasan apa pun. Sejak aku mengerti cinta, aku selalu menanamkan keyakinan pada hatiku, bahwa hanya ada satu cinta yang akan aku pelihara, dan tidak akan mencintai siapa pun lagi, kecuali kekasihku." ucapku membalas penuh keyakinan.

"tapi bukankah hubungan seperti ini akan penuh resiko, Wisnu. Akan banyak tantangan yang harus kita hadapi ke depannya, terutama dari keluarga dan orang-orang di sekitar kita." ujar bang Agus.

"iya. Aku tahu, bang. Dan aku siap menghadapi itu semua. Aku siap kehilangan apa pun, jika itu adalah pengorbanan yang harus aku lakukan, untuk bisa bersama orang yang aku cintai." balasku yakin.

"namun tidak ada satu tempat pun yang bisa menerima hubungan seperti hubungan kita ini, Wisnu. Biar bagaimana pun, pada akhirnya kita memang harus menjalankan hidup sesuai dengan takdir dan kodrat kita sebagai seorang laki-laki." ucap bang Agus.

"jika kita memang saling mencintai, bang. Aku rasa kita tidak butuh tempat yang bisa menerima hubungan kita. Namun kita tetap bisa bersama, karena cinta itu tumbuhnya di hati, bang. Cinta bukan sesuatu yang harus di umbar. Biarkan cinta kita tetap hanya menjadi rahasia. Biarkan hubungan kita, hanya kita berdua yang tahu dan bisa merasakannya." balasku lagi.

"dan lagi pula, menurutku, kita tak perlu mencemaskan masa depan yang belum tentu terjadi, bang. Labih baik kita nikmati saja saat ini. Kita nikmati saja setiap kesempatan yang ada." ucapku melanjutkan.

"iya. Kamu benar, Wisnu. Mungkin karena aku pernah merasakan sakitnya berpisah dengan orang yang aku cintai, membuatku menjadi sedikit berlebihan dalam hal ini. Aku hanya tidak ingin merasakan rasa sakit itu lagi, Wisnu. Tapi aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa bersama orang yang aku cintai, yaitu kamu Wisnu." ucap bang Agus penuh perasaan.

Perlahan kami pun mendekat. Saling tatap. Lalu kemudian saling tersenyum penuh makna.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Agus pun menjalin hubungan asmara. Hampir setiap malam, bang Agus selalu datang ke rumahku, bahkan ia pun sering menginap di tempat ku.

Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan di cintai oleh orang yang aku cintai.

"aku bahagia, akhirnya bisa bersama kamu, Wisnu. Aku harap kamu tak akan pernah meninggalkan ku." bisik bang Agus suatu malam padaku.

"aku juga sangat bahagia, bang. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan bang Agus, walau dengan alasan apa pun." balasku ikut berbisik.

Cinta adalah sesuatu yang indah, ia hanya bisa dirasakan oleh dua hati yang telah menyatu.

Bang Agus begitu tampan, dia sangat gagah. Dan aku sangat mencintainya.

Namun mungkinkah hubungan kami dapat bertahan selamanya?

Mungkinkah cowok gagah si penjual bakso keliling itu bisa aku miliki selamanya?

Atau mungkin pada akhirnya hubungan kami harus berakhir?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaach...

****

Part 3 (Pertemuan di sawah)

Hubungan ku dengan bang Agus terus berjalan dengan indah. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Mencintai bang Agus adalah keindahan dan memilikinya adalah sebua anugerah bagi ku.

Berbulan-bulan bahkan hingga setahun lebih kami bersama. Hampir setiap malam kami menghabiskan waktu berdua, di rumah ku.

Bang Agus si penjual bakso keliling itu, sungguh mampu membuat ku terlena dengan cintanya yang  sempurna. Sesempurna lukisan maha karya keindaha dari raut wajahnya yang tampan, tubuhnya yang gagah dan atletis.

Aku begitu mengaguminya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tidak ingin melepaskannya, walau dengan alasan apa pun.

Aku hanya berharap, semoga cinta kami tetap utuh selamanya.

Namun biar bagaimana pun, hubungan seperti hubungan kami ini, akan selalu banyak batu sandungan yang akan menghalanginya.

Akan banyak rintangan yang harus kami hadapi.

Lalu mungkinkah kami akan tetap bertahan dengan segala rintangan tersebut?

Mampukah kami tetap bersama mempertahankan cinta kami?

Simak kelanjutan kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling selanjutnya ya..

Namun sebelumnya ... bla... bla...

*****

Bulan berganti, tahun pun berlalu, hingga sudah hampir dua tahun aku dan bang Agus menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan yang indah, meski hanya kami berdua yang tahu.

Kami menikmati setiap kebersamaan kami. Merajut kasih dengan penuh kemesraaan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami bisa bertahan selama itu. Selama dua tahun ini, hubungan kami baik-baik saja. Tanpa ada persoalan yang berarti.

Namun hubungan indah kami, pada akhirnya harus merasakan sebuah kepahitan.

Berawal dari bang Agus yang meminta izin padaku untuk pulang kampung selama beberapa hari.

"aku sudah lebih dari dua tahun tidak pulang kampung, Wisnu. Lagi pula aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sedang sakit parah saat ini, jadi aku harus pulang sekarang juga." ucap bang Agus.

"iya, bang. Aku ngerti. Abang juga gak harus minta izin seperti pada ku. Asalkan bang Agus kembali lagi kesini untukku, aku rela melepaskan bang Agus untuk pulang." balasku sendu.

Sebenarnya aku merasa sangat berat harus berpisah dengan bang Agus, meski hanya untuk sementara. Aku sudah terlanjur biasa melewati malam bersamanya. Aku pasti akan sangat merindukannya.

"aku pasti akan sangat merindukanmu, Wisnu." ucap bang Agus, seakan bisa membaca pikiranku.

"aku juga, bang." balasku lirih.

"tapi ini hanya untuk sementara, Wisnu. Hanya beberapa hari. Aku pasti akan kembali lagi kesini untukmu, Wisnu." ucap bang Agus parau.

"iya, bang. Aku juga pasti akan menunggu bang Agus di sini." balasku.

Beberapa saat kemudian, kami pun saling mendekat. Aku mendekap tubuh kekar bang Agus. Aku mendekapnya erat, seakan tak ingin melepaskannya.

Mungkin beberapa malam ke depan, bang Agus tak ada lagi disini. Aku pasti akan merasa kesepian. Karena itu, malam ini, aku tak ingin melewatkannya begitu saja. Aku ingin menghabiskan malam ini hanya berdua bersama bang Agus.

Menikmati setiap detik kebersamaan kami. Keindahan raga bang Agus, bagai sebuah ukiran maha karya yang sempurna. Setiap centinya. Setiap hembusan napasnya.\

Aku terlena dalam cinta yang begitu sempurna. Aku terbuai dalam lautan keindahan penuh warna.

Hingga pagi pun datang, meninggalkan kelamnya malam.

Dan aku merasa berat saat akhirnya aku harus melepas bang Agus untuk pergi meninggalkan ku pagi itu.

Entah mengapa aku merasa kalau kepergian bang Agus kali ini, akan terasa sangat lama bagiku.

Bahkan mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi.

****

Seminggu bang Agus pergi. Dia belum juga kembali.

Meski dia masih rutin memberi aku kabar melalui ponselnya. Dia mengabarkan kalau dia belum bisa pulang, karena penyakit ibunya semakian parah.

Aku mencoba bersabar menunggunya. Mencoba menjalani hari-hari sepi ku, tanpa bang Agus.

Namun hingga hampir sebulan, tiba-tiba aku kehilangan kontak dengannya. Nomor bang Agus tidak bisa aku hubungi lagi.

Aku merasa cemas, takut dan bimbang. Entah apa yang terjadi dengan bang Agus di kampung halamannya.

Mungkinkah dia baik-baik saja? bathin ku penuh tanya.

Dua bulan, tiga bulan dan hampir setengah tahun berlalu. Aku benar-benar kehilangan kabar dari bang Agus. Aku benar-benar telah kehilangan dia.

Karena penasaran, aku pun nekat untuk mendatangi desa bang Agus.

Dan setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh empat jam naik motor, aku pun sampai di desa bang Agus.

Aku bertanya kepada beberapa orang yang aku temui di jalan, untuk mengetahui di mana rumah bang Agus.

Hingga akhirnya aku bisa sampai di rumahnya.

"cari siapa?" tanya seorang wanita muda menyambut kedatangan ku di rumahnya.

"maaf, apa benar ini rumah bang Agus?" tanyaku ragu.

"iya, benar. Kamu siapa? Dan ada perlu apa dengan bang Agus?" tanya wanita itu lagi.

"saya... saya teman bang Agus ketika di kota dulu. Apa bang Agus ada di rumah?" balasku bertanya.

"oh.." wanita itu membulatkan bibir. "bang Agus sedang berada di sawah sekarang. Jika kamu gak keberatan kamu bisa nunggu di rumah." lanjut wanita itu.

"kira-kira bang Agus masih lama pulangnya?" tanyaku lagi.

"biasanya sih sore. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa susul dia ke sawah. Letaknya gak jauh kok dari sini, hanya sekitar satu kilo lagi." balas wanita itu.

"iya, gak apa-apa. Saya susul dia aja." ucapku kemudian memutuskan.

"tapi maaf, kalau boleh tahu, mbak ini siapa nya bang Agus?" lanjutku bertanya.

"saya istrinya. Kami baru menikah sekitar dua bulan yang lalu. Mungkin bang Agus belum cerita sama kamu." jelas wanita yang berparas cukup cantik itu.

Aku bagai mendengar suara petir siang itu. Sungguh tidak aku sangka kalau bang Agus telah menikah diam-diam, tanpa memberitahuku.

Dengan perasaan terluka aku pun pamit pada wanita itu.

Ingin rasanya saat itu aku menangis. Ingin rasanya aku segera kembali ke kota. Aku tak ingin menemui bang Agus lagi. Tapi aku butuh penjelasan.

Untuk itu, aku menuju sawah tempat bang Agus bekerja.

Sesampai di sana, bang Agus pun menyambutku dengan wajah penuh keterkejutan.

Aku yakin, dia tak menyangka kalau aku akan sampai ke kampungnya.

"Wisnu?" ucapnya, "kenapa kamu bisa sampai kesini?" tanyanya.

"itu gak penting, bang. Yang penting sekarang bang Agus harus menjelaskan semuanya padaku." ucapku dengan nada lemah.

"apa yang harus aku jelaskan, Wisnu?" tanya bang Agus.

"bang Agus gak usah pura-pura lagi. Aku sudah tahu kalau bang Agus sudah menikah." ucapku.

"aku tak masalah sebenarnya, kalau bang Agus menikah. Tapi kenapa bang Agus tak menceritakannya padaku. Bahkan bang Agus sengaja tak pernah menghubungiku, berbulan-bulan. Aku menunggu bang Agus dengan penuh harap, bang. Tapi kenyataannya bang Agus tak pernah kembali."

"dan saat aku nekat datang kesini, aku justru mendapatkan kabar yang sangat menyakitkan. Kenapa bang Agus setega itu padaku? Padahal bang Agus sendiri tahu, betapa aku sangat mencintai bang Agus. Dan bang Agus sendiri juga sudah berjanji, kalau abang pasti akan kembali untuk ku lagi." ucapku lagi dengan nada pilu.

"maafkan aku, Wisnu. Aku tak berdaya dengan semua ini. Aku terpaksa menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Itu merupakan permintaan terakhir dari ibuku, sebelum akhirnya beliau meninggal." ucap bang Agus membalas.

"tapi setidaknya abang bisa memberi aku kabar, bang. Bukan malah menghilang seperti ini." ucapku.

"aku takut memberi kabar padamu, Wisnu. Aku takut kamu kecewa." balas bang Agus.

"lalu apa abang pikir dengan begini, aku tidak kecewa?" tanya ku sedikit sengit.

"maaf, Wisnu. Aku tak berpikir kalau kamu akan nekat datang kesini. Aku pikir, kamu pasti akan bisa melupakanku, beriring berjalannya waktu." balas bang Agus.

"aku tak akan pernah bisa melupakan bang Agus. Sekali pun saat ini aku tahu, kalau bang Agus sudah menikah." ucap ku lugas.

"tapi kita sudah tidak mungkin bersama lagi, Wisnu. Maafkan aku untuk semua itu. Lebih baik kalau kita saling melupakan.." ucap bang Agus dengan nada lemah.

"andai saja bang Agus jujur dari awal padaku, aku mungkin tidak perlu sampai kesini, bang. Abang bisa saja menjelaskan semuanya padaku melalui handphone." ucapku berat.

Aku benar-benar tidak tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Sakit, kecewa, marah, benci dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatiku.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada.

"sekali lagi aku minta maaf, Wisnu. Aku minta maaf untuk semuanya..." bang Agus berucap pelan.

"kamu boleh marah padaku, Wisnu. Kamu boleh membenciku. Tapi aku hanya manusia biasa, Wisnu. Aku juga tak berdaya menghadapi ini semua." lanjutnya.

Aku tidak tahu, apa aku harus marah pada bang Agus? Atau aku harus membencinya?

Semua tanya itu tak pernah bisa aku jawab.

Aku dan bang Agus memang saling mencintai. Tapi takdir dan kodrat, tidak akan pernah membiarkan kami menyatu.

Pada akhirnya aku hanya bisa merelakan. Merelakan orang yang aku cintai hidup bersama orang lain. Dan itu adalah tingkat tertinggi dari mencintai.

Aku pun pergi meninggalkan bang Agus, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Aku ingin segera kembali ke kota. Aku ingin melanjutkah hidupku lagi, meski tanpa bang Agus.

Bang Agus hanyalah serpihan dari kisah masa lalu ku. Dia hanya tinggal kenangan sekarang. Dan aku harus bisa melupakannya.

Setidaknya aku pernah merasakan bagaimana rasanya di cintai oleh orang yang aku cintai. Setidaknya aku pernah hidup bersama orang yang aku cintai.

Bang Agus, si penjual bakso keliling itu, akan tetap menjadi salah satu cerita termanis dalam perjalanan hidupku.

Demikian kisahku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaaachhh..

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate