Air Mata Dara

Lelaki itu menatap mata gadis yang duduk dihadapannya. Ia menatap mata itu, seakan mencari setitik kejujuran dari kalimat yang baru saja dilontarkan oleh gadis tersebut.

"aku ingin kita putus, Jo..." gadis itu mengulang kalimatnya.

Kali ini lebih tegas. Gadis itu mengulang kalimatnya, seakan berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya tersebut.

Gadis itu tahu, kalau kalimat tersebut sudah melukai hati lelaki yang masih menatapnya itu. Bahkan ia juga tahu, kalau kalimat tersebut juga melukai hatinya sendiri.

"kenapa?" lelaki itu mengeluarkan suara juga akhirnya.

"aku lelah, Jo. Sangat lelah...." balas gadis tersebut.

"lelah?" lelaki yang dipanggil Jo tersebut, sedikit mengerutkan dahinya, pertanda ia belum mengerti sepenuhnya.

"iya, Jo. Aku lelah mengejar bayang-bayang mu... Aku lelah berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Aku lelah untuk selalu berusaha, untuk tetap terlihat sepadan dengan mu..."

"maksud kamu apa sih, Dar?" lelaki itu, Jo, semakin mengerutkan dahinya.

Wanita itu, Dara, berusaha membalas tatapan penuh tanya milik Jo.

"kamu pasti ngerti maksud ku apa, Jo." ucapnya.

"karena kamu dari keluarga miskin? yatim piatu?" Jo berucap, sambil mengalihkan pandangannya menatapi jalanan yang mulai sepi.

"bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi membahas hal tersebut? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi mempermasalahkannya?" Jo menyambung kalimatnya.

"iya... aku tahu, tapi.... aku sudah tidak sanggup lagi, Jo. Kita terlalu jauh berbeda. Kamu adalah keturunan ningrat yang punya segalanya, sedangkan aku ...." Dara sengaja menggantung kalimatnya. Karena ia tahu, kalimat selanjutnya hanya akan membuat ia semakin sakit.

"aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, Dar. Bahkan sejak awal. Tapi kamu yang selalu mengungkitnya..."

"aku percaya hal itu, Jo. Tapi bagaimana dengan keluarga kamu?"

"mereka bisa menerima kamu apa adanya, kok. Buktinya, beberapa kali kamu aku ajak ke rumah, mereka semua menyambut kamu dengan baik.."

"iya... tapi dengan kalimat-kalimat sindiran yang mereka lontarkan, setiap kali aku berkumpul bersama keluarga mu, benar-benar membuat aku terluka, Jo. Belum lagi, kalau mereka semua, terutama kakak-kakak ipar mu, selalu membahas tentang kehidupan mereka yang mewah. Dan aku merasa bukan siapa-siapa diantara mereka.."

Kali ini, Dara menghempaskan napas berat.

Ingatannya kembali memutar semua memory yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun belakangan ini.

Jo, lelaki tampan yang ia kenal di kampus, yang mampu merebut hatinya, adalah seorang lelaki kaya, dari keluarga terpandang.

Jo, memiliki dua orang kakak laki-laki yang sudah menikah. Jo merupakan anak bungsu, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki.

Sementara Dara hanyalah seorang gadis miskin dan yatim piatu. Selama ini, Dara dibesarkan oleh pamannya yang hanya seorang pedagang keliling. Karena tidak memiliki anak, paman Dara cukup mampu untuk membiayai kuliah Dara. Meski kehidupan mereka sangat pas-pasan.

Setelah sama-sama salin jatuh cinta, Jo dan Dara, memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius.

Dara sangat mencintai Jo, begitu juga sebaliknya.

Bahkan bagi Jo, Dara sangatlah istimewa.

Setahun pacaran, Jo mulai berani memeperkenalkan Dara kepada keluarganya. Meski pun ia tahu, tidak akan mudah bagi keluarganya untuk menerima kehadiran Dara yang hanya gadis biasa.

Tapi Jo tetap bertekad untuk meyakinkan keluarganya, terutama orangtuanya, bahwa Dara adalah gadis yang terbaik untuknya.

Tapi bagi Dara, apa yang dilakukan Jo tersebut, justru membuatnya merasa terluka.

Dara merasa, ia tidak bisa berbaur dengan keluarga Jo yang mewah.

Namun selama tiga tahun Dara berusaha untuk tetap bertahan.

Dara berusaha untuk menjaga perasaan Jo dan juga perasaannya sendiri.

Selama tiga tahun, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Meskipun ia sadar, keluarga Jo tidak benar-benar menerimanya. Bahkan mereka sering dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat sindiran atas kemiskinannya.

Awalnya Dara mencoba untuk tidak peduli. Dia coba mengabaikannya. Demi Jo. Demi cinta mereka..

Tapi....

"kamu seharusnya sadar diri, Dara. Jo itu gak sebanding sama kamu. Apalagi Jo adalah anak bungsu kami. Kedua kakaknya sudah menikah dengan gadis yang tepat. Dan kami berharap, Jo juga akan mendapatkan gadis yang sepadan dengannya, terutama dari taraf kehidupanya secara ekonomi. Jadi tante harap kamu bisa mengerti, dan bisa meninggalkan Jo secepatnya..."

Begitu kalimat pahit yang diucapkan mama Jo kepada Dara, saat dengan sedikit memaksa, mama Jo meminta Dara untuk menemuinya di sebuah kafe mewah.

Sejak saat itu, Dara selalu berusaha untuk mencari cara agar bisa melepaskan Jo tanpa harus melukainya.

****

"kamu jangan mendramatisir keadaan ini dong, Dar..." kalimat Jo membuat Dara tersentak dari lamunannya.

"aku tidak mendramatisir, Jo. Aku berbicara fakta. Dan fakta itu tidak bisa kita pungkiri..."

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dara..."

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi kita berdua juga tahu, kalau persoalannya bukan disitu. Bukan di cinta kita..."

"lalu apa?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Jo.

"haruskah aku mengulanginya lagi?" Dara balas bertanya.

Kali ini Jo terdiam. Ia sangat mengerti apa yang Dara maksud.

Tapi mengapa Dara harus menyerah?

Mengapa ia harus memilih untuk putus?

"aku pamit, Jo. Mulai hari ini kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan aku harap, kamu jangan lagi menemui ku..."

Setelah berucap demikian, Dara bangkit dari duduknya. Lalu melangkah pergi. Meninggalkan Jo yang masih berusaha mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dibenaknya saat itu.

****

Dara meraih ponselnya, yang sudah berdering sejak tadi. Ia menatap layar ponsel tersebut, dan melihat sebuah nomor baru sedang melakukan panggilan padanya.

Dengan malas Dara mengangkatnya...

"hallo.." sapa Dara lembut.

"Dara... ini tante, mama Jo, tante harap kami bisa datang sekarang ke rumah sakit, Jo mengalami kecelakaan..." suara itu terdengar serak.

Dara terdiam sejenak. Ia benar-benar shock mendengar kabar tersebut. Hatinya merintih.

"rumah... rumah sakit.... mana...?" ucapnya akhirnya.

"nanti tante serlok, ya..." balas mama Jo pelan.

"iya... tante..." suara Dara sendiri mulai parau.

Dan setengah jam kemudian, Dara tiba di sebuah rumah sakit mewah. Ia disambut mama Jo dengan isak tangis.

"tadi malam Jo mengalami kecelakaan, sempat koma selama beberapa jam, dan pagi tadi ia sadar, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah nama kamu, Dara. Karena itu tante menghubungi mu. Tante berharap, kamu mau membantu Jo untuk sembuh. Setidaknya begitulah yang disarankan oleh dokter..." jelas mama Jo dalam isak tangisnya.

Dara masih tercenung. Terngiang kembali ucapan-ucapan pahit mama Jo yang dilontarkannya pada Dara. Jika mengingat semua itu, enggan rasanya Dara untuk menemui Jo. Karena Dara sudah bertekad untuk pergi selama-lamanya dari hidup Jo.

Tapi mengingat kondisi Jo saat ini, Dara harus menekan kuat-kuat ego-nya sendiri. Biar bagaimana pun, Jo adalah laki-laki baik. Jo adalah lakia-laki yang ia cintai.

Setidaknya, Dara akan berusaha untuk membantu Jo sembuh. Setelah itu, ia akan kembali pada keputusannya dari awal, yaitu pergi meninggalkan Jo untuk selamanya.

****

Seminggu di rumah sakit, keadaan Jo sudah membaik. Tentu saja, Dara selalu hadir disitu, menemani Jo melewati masa kritisnya.

Namun keadaan Jo yang membaik, tidak berlangsung lama. Benturan keras di kepala Jo akibat kecelakaan tersebut, ternyata belum sembuh sepenuhnya.

Di hari ke tujuh Jo dirawat, terjadi pendarahan di otaknya, yang membuat Jo kembali tidak sadarkan diri.

Dokter dan perawat berusaha memberikan pertolongan yang terbaik. Tapi takdir berkata lain, Jo justru menghembuskan napas terakhirnya saat itu.

Isak tangis nan histeris, bergema di ruang rumah sakit tersebut. Semua keluarga berduka. Semuanya. Tak terkecuali Dara.

"aku mohon padamu, Dar. Kamu jangan pergi dari hidupku. Aku sangat membutuhkan mu, aku.... aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dara..."

Terngiang kembali ucapan Jo di ingatan Dara.

Beberapa hari menemani Jo di rumah sakit, mereka memang punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua.

Dara selalu berusaha untuk menghibur Jo, agar ia bisa lekas sembuh.

Tapi kenyataannya, Jo justru pergi untuk selama-lamanya.

Dan kali ini Dara benar-benar terluka.

Meski pun Dara sudah ikhlas, untuk berpisah dengan Jo, dan tidak berharap untuk bisa memilikinya lagi.

Tapi tidak dengan cara seperti itu. Dara tidak bisa menerimanya. Dara belum siap kehilangan Jo dengan cara seperti itu. Tidak dengan cara seperti itu.

Cara yang membuat Dara terluka jauh lebih dalam, dari cara apa pun, yang ingin ia coba selama ini.

Lalu air mata Dara pun, tak kunjung berhenti menetes, meratapi kepergian Jo.

Ia merasa tidak sanggup lagi menjalani hari-hari selanjutnya, tanpa Jo...

****

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate