Bapak kost

Namaku Nirmala, dan aku seorang mahasiswi tingkat awal. Aku baru berusia 18 tahun saat ini. Aku berasal dari kampung. Selulus dari SMA, aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sebuah kampus ternama di kota.

Karena kota tempat aku kuliah berada sangat jauh dari kampung tempat aku tinggal selama ini, aku terpaksa mengambil sebuah kamar kost, untuk tempat aku tinggal selama aku kuliah.

Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Penghasilan mereka jauh dari cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Apa lagi aku masih punya dua orang adik yang saat ini masih bersekolah.

Sebenarnya aku enggan untuk melanjutkan kuliah, namun karena dorongan dari kedua orangtua ku dan juga karena aku mendapatkan beasiswa, aku pun memutuskan untuk tetap kuliah, meski ekonomi keluarga ku sangat kekurangan.

Orangtua ku berusaha keras, untuk dapat mengirimkan uang padaku setiap bulannya, untuk membayar kost dan juga untuk biaya hidup ku sehari-hari. Meski pun untuk biaya kuliah ku sendiri, aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya apa-apa.

Tapi, untuk bisa hidup di kota besar ini, aku tetap saja masih membutuhkan biaya, terutama untuk membayar kost dan untuk makan ku sehari-hari.

Lima bulan pertama, semuanya berjalan dengan lancar, meski aku harus sangat berhemat karena uang yang dikirimkan orangtua ku tidaklah pernah cukup. Biaya hidup di kota besar ini sangat tinggi.

Aku juga sudah berusaha untuk mencari pekerjaan paroh waktu, agar aku bisa meringankan beban orangtua ku. Namun sampai saat ini, tidak ada satu pun pekerjaan yang bisa aku dapatkan.

Memasuki bulan keenam, orangtua ku tidak bisa lagi mengirimkan uang untuk ku, karena pendapatan mereka menurun, dan juga  kedua adik-adik ku sedang butuh biaya banyak untuk sekolah mereka.

Dengan sangat terpaksa, aku benar-benar harus berhemat. Aku hanya bisa makan sekali sehari, itu pun dengan lauk seadanya. Dan sudah dua bulan pula aku menunggak uang kost.

Buk Ros, pemilik kost, sudah beberapa kali mendatangi ku, dan meminta uang kost. Aku berusaha untuk meminta pengertiannya. Meski pun buk Ros, masih memberi aku waktu untuk bisa melunasi uang kost ku tersebut, namun tetap saja, aku harus segera mendapatkan uang untuk bisa melunasinya.

Aku masih tetap berusaha untuk mencari pekerjaan setiap harinya. Namun, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan paroh waktu di kota besar ini.

Sampai pada suatu waktu, pak Dadang, suami buk Ros, pemilik kost ini, datang menemui ku.

"aku dengar kamu sudah dua bulan belum bayar uang kost.." ucap pak Dadang terdengar santai.

Aku tahu, buk Ros pasti udah cerita pada suaminya, tentang hal tersebut.

Buk Ros dan pak Dadang memang sepasang suami istri yang memiliki usaha kost ini, dan juga sebuah toko harian di depan rumah mereka. Setahu ku, mereka berdua sudah lama menikah, tapi belum mempunyai anak.

Kalau aku perkirakan, pak Dadang mungkin sudah berusia 45 tahun lebih, sedangkan buk Ros sendiri sudah lebih dari 42 tahun usianya. Dan rasanya sudah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk bisa memiliki anak.

"iya, pak. Dan saya sudah minta waktu pada buk Ros, mungkin minggu depan akan saya bayar, pak.." ucapku akhirnya, membalas ucapan pak Dadang barusan.

"kamu yakin, bisa melunasi sampai minggu depan?" tanya pak Dadang kemudian.

Kali ini aku terdiam. Karena sebenarnya aku tidak yakin, akan bisa melunasinya hanya dalam waktu seminggu. Apa lagi, orangtua ku sudah memastikan kalau untuk bulan depan, mereka masih belum bisa mengirimkan uang untuk ku.

"pasti saya usahakan, pak.." balasku setengah ragu.

Pak Dadang terdiam sesaat, tatapannya tajam menatapku.

Pak Dadang memang sering menggantikan buk Ros untuk meminta uang kost kepada kami para anak kost, apa bila buk Ros sibuk dengan kegiatan lainnya.

"kalau ternyata kamu tidak bisa melunasinya sampai minggu depan, bagaimana? Apa kamu udah siap untuk di usir dari sini?" ucap pak Dadang selanjutnya.

"tolong jangan usir saya, pak. Orangtua saya lagi banyak kebutuhan lain di kampung, jadi saya mohon pengertiannya.." balasku sedikit menghiba.

"saya bisa mengerti kesulitan kamu. Dan saya juga bisa bantu kamu, kalau kamu mau.. Tapi ada syaratnya.." suara pak Dadang sedikit bergetar.

"maksudnya, pak?" tanyaku heran.

"saya bisa melunasi semua tunggakan kost kamu selama dua bulan ini, tapi kamu harus mau memenuhi keinginan saya.." balas pak Dadang terdengar blak-blakan.

"keinginan bapak?" tanyaku, kening ku sedikit berkerut.

"iya... kamu pasti ngerti maksud saya apa.." balas pak Dadang.

"saya benar-benar tidak mengerti, pak. Apa yang bapak inginkan dari saya?" suara ku sedikit tercekat, aku mulai memahami kemana arah pembicaraan pak Dadang.

"kamu hanya perlu melay4.ni saya satu kali saja, dan semua tunggakan kost kamu saya anggap lunas.." ucap pak Dadang tegas.

Dan aku benar-benar tercekat mendengar semua itu. Sungguh aku tidak pernah menyangka, kalau pak Dadang akan menawarkan hal tersebut padaku.

"maaf, pak. Saya bukan perempuan mur4han seperti itu. Saya masih punya harga diri. Saya belum pernah melakukan hal tersebut seumur hidup saya.." suara ku sedikit parau berucap demikian.

"yah... terserah kamu sih. Saya hanya coba membantu. Lagi pula, kalau mau hidup di kota besar ini, kamu harus mau sedikit berkorban.." balas pak Dadang.

"itu bukan pengerbonan yang sedikit, pak. Itu pengorbanan yang sangat besar. Saya masih suci. Dan saya hanya akan memberikannya pada suami saya kelak..." ucapku lagi.

"lagi pula, apa bapak gak takut, kalau buk Ros tahu, dia pasti akan sangat marah.." lanjutku.

"buk Ros tidak perlu tahu, selama kamu tidak buka mulut. Dan kalau pun kamu coba-coba cerita pada buk Ros, kamu bakal tahu akibatnya. Lagi pula, dia pasti tidak akan percaya akan hal tersebut.." balas pak Dadang lagi.

Kali ini aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Kalau pun aku cerita pada buk Ros tentang kelakuan pak Dadang tersebut, aku pasti akan dianggap mengada-ngada, demi untuk bisa membayar tunggakan kost.

"oke... saya akan kasih kamu waktu seminggu lagi, untuk memikirkan hal tersebut. Dan jika dalam waktu seminggu, kamu tidak bisa melunasinya, kamu mestinya tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap pak Dadang lagi.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun pergi meninggalkan aku sendirian.

Sementara aku sendiri hanya bisa menangis mengingat semua itu.

Mengapa aku harus mengalami semua ini?

Mengapa pilihan hidupku begitu sulit?

Haruskah aku mengorbankan segalanya, hanya untuk bisa bertahan hidup di kota besar ini?

Ah.. aku benar-benar dilema.

****

Seminggu ini, aku mencoba bertahan dengan keadaan uang seadanya. Aku masih berusah untuk mencari pekerjaan. Bahkan aku juga berusaha untuk meminjam uang kepada teman-teman kuliah ku. Tapi mereka tidak bisa membantu banyak.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya perjalanan hidupku memang harus seperti ini.

Ingin rasanya kau berhenti kuliah, tapi aku takut orangtua kecewa. Aku juga tidak ingin, beasiswa yang diberikan padaku jadi sia-sia.

Dan seminggu pun berlalu, tanpa aku bisa berbuat apa-apa untuk hidupku.

Malam itu, aku termangu sendiri di kamar ku. Meratapi perjalanan hidupku yang malang.

Hingga ku dengar suara ketukan di pintu. Aku mencoba melangkah untuk membuka pintu kamar kost tersebut. Di depan pintu telah berdiri pak Dadang, dengan senyum seringainya.

"udah seminggu, kamu udah punya uangnya?" suara pak Dadang tegas.

"maaf, pak. Saya bisa minta waktu beberapa hari lagi?" aku membalas dengan sedikit memelas.

"sesuai perjanjian kita dari awal, waktu kamu hanya seminggu. Sekarang kamu hanya punya dua pilihan, pergi dari kost ini malam ini juga, atau... kamu bisa terima tawaran saya..." ucap pak Dadang masih dengan suara tegas.

"saya gak mungkin pergi dari kost ini, pak. Saya tidak punya tempat lain di kota ini.." suaraku mulai serak.

"kalau begitu, kamu bisa pilih pilihan kedua.. gampang kan.." balas pak Dadang.

"saya... saya... gak mungkin melakukan hal itu sama pak Dadang, bagaimana kalau buk Ros tahu?" ucapku kemudian.

"udah... kamu tenang aja, buk Ros lagi ke pasar malam, dan dia gak bakal tahu.." balas pak Dadang lagi.

"tapi.. pak...." suara ku terputus.

"kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus pergi malam ini juga dari sini..." pak Dadang kembali berucap tegas.

Aku terdiam. Hening.

Tiba-tiba pak Dadang masuk dan langsung menutup pintu kamar.

"bapak mau apa?" tanyaku bergetar.

"kamu udah gak punya pilihan lain, Nirmala. Kamu harus menerima tawaran saya. Jika kamu tidak ingin di usir dari kost ini. Dan saya yakin, kamu juga tidak ingin berhenti kuliah, hanya karena tidak bisa membayar kost.." pak Dadang berucap, sambil terus mendekat.

"oke..." jawabku akhirnya, "saya mau, tapi... semua tunggakan kost saya harus lunas. Dan bapak harus memberi saya uang tambahan. Karena saya sangat butuh uang saat ini.." lanjutku.

"uang tidak masalah bagi saya, Nirmala. Kamu tenang aja, kalau kamu mau, kamu bebas kost disini selama apa pun yang kamu mau, dan saya akan beri kamu uang tambahan setiap kali kamu bisa memenuhi keinginan saya tersebut.." balas pak Dadang penuh semangat.

"tapi... saya hanya mau melakukan semua itu, selama saya belum dapat pekerjaan. Jika saya sudah dapat pekerjaan, saya tidak sudi lagi melakukannya. Dan saya akan pindah kost dari sini.." ucapku lagi.

"itu semua terserah kamu, tapi selama kamu belum punya uang untuk bayar kost, kamu harus mau memenuhi keinginan saya, kapan saya menginginkannya. Dan jangan coba-coba ceritakan hal tersebut kepada siapa pun, terutama kepada istri saya..." balas pak Dadang kemudian, dengan nada sedikit mengancam.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun mulai melakukan aksinya. Sementara aku hanya bisa terdiam. Terpaku. Dan pasrah.

Aku biarkan semuanya terjadi begitu saja. Meski rasa perih begitu tajam menggores hatiku. Aku menangis. Tapi pak Dadang tak pedulikan hal itu. Ia tetap saja melakukan aksinya.

Hingga akhirnya malam itu, pak Dadang pun berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku. Sesuatu yang berusaha aku pertahankan selama ini.

****

Keesokan harinya, aku terbangun dengan perasaan penuh kesedihan dan rasa penyesalan. Aku menangis lagi, untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi semua kenyataan ini.

Pagi itu, aku bertemu buk Ros, dan dia dengan penuh senyum menyapa ku.

"terima kasih ya, Nirmala..." ucapnya pelan.

"terima kasih... untuk apa, buk?" tanyaku ragu.

"terima kasih karena tadi malam kamu sudah melunasi semua tunggakan kost kamu, dan bahkan kamu juga sudah membayarnya untuk bulan depan..." ucap buk Ros menjelaskan.

"oh.." aku hanya membulatkan bibir, dan berusaha untuk tersenyum, walau rasa pedih masih menggores di hatiku.

Pak Dadang memang menepati janjinya. Untuk melunasi semua tunggakan kost ku, dan juga memberi aku uang tambahan. Tapi aku tidak menyangka, kalau ia juga membayar uang kost ku untuk bulan depan.

Namun apa pun itu, begitulah kehidupan yang harus aku jalani saat ini. Kehidupan yang tidak pernah aku inginkan sama sekali.

Aku tidak menyangka, kalau aku akan jadi korban dari bapak kost ku sendiri. Meski pun akhirnya aku tahu, aku bukan satu-satunya yang pernah jadi korban pak Dadang. Ia sudah terbiasa melakukan hal tersebut, kepada anak kost lainnya. Terutama bagi mereka, yang memiliki ekonomi rendah seperti ku.

Aku mencoba menerima semua itu. Mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Setidaknya, untuk saat ini, aku tidak perlu lagi memikirkan tentang bagaimana caranya memdapatkan uang untuk membayar kost.

Sejak kejadian itu juga, pak Dadang semakin sering mendatangi ku. Ia semakin sering meminta 'jatah' padaku, terutama saat aku belum juga mendapatkan uang untuk membayar kost.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Aku tidak pernah bisa untuk menghindarinya. Aku merasa terjebak dengan semua itu. Orangtua ku memang sudah mulai kembali mengirimkan uang padaku, tapi jumlah uang yang mereka kirim jauh lebih sedikit dari biasanya.

Aku masih mencoba mencari pekerjaan yang layak. Aku masih terus berusaha memperbaiki hidupku. Tapi sepertinya, nasib memang tidak pernah memihak padaku. Dan aku harus menerima semua itu. Meski hatiku hancur karenanya.

Entah sampai kapan semua ini harus aku jalani. Entah sampai kapan, aku hidup seperti ini. Aku benar-benar hanya bisa pasrah.

Aku hanya berharap, aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Aku hanya berharap, semua ini cepat berlalu. Agar aku tidak lagi menjadi korban seorang laki-laki seperti pak Dadang.

Semoga saja, aku kuat menjalani semua ini. Semoga saja, ada keajaiban yang datang padaku, untuk bisa mengubah nasib ku.

Yah... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Anak tiri ku 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate