Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Ibu ku hanya seorang buruh cuci keliling, sedangkan ayah ku adalah seorang pengangguran, yang tak punya pekerjaan tetap. Selain itu, ayah ku juga suka berjudi.
Saat usia ku 15 tahun, ayahku akhirnya harus melanjutkan hidupnya di penjara, karena kasus judi dan juga KDRT. Ternyata selama ini, uang hasil kerja keras ibu ku, sebagian besarnya di minta paksa oleh ayahku, yang ia gunakan untuk berjudi.
Dan ternyata selama ini, ibu ku juga kerap mendapatkan perlakuan kasar dari ayah ku, yang membuat ibu ku akhirnya memutuskan untuk melaporkan ayah ku ke pihak berwajib.
Sejak saat itu, aku pun hidup tanpa sosok seorang ayah. Meski pun aku tidak tahu bedanya dimana, antara masih hidup bersama ayah tapi tak pernah diperhatikan, atau hidup tanpa ayah. Semuanya terasa sama bagi ku.
Sejak saat itu pula, ibu ku berusaha sendiri untuk memperbaiki kehidupan ku. Ia berusaha agar aku bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Meski aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut. Karena aku memang tidak suka sekolah.
Sebagai anak tunggal, aku memang berwatak sedikit keras. Hal itu tidak terlalu mengherankan, karena aku tercipta dari sosok seorang ayah yang hampir tidak punya hati nurani. Dan hal itu pula lah, yang membuat aku jadi tidak punya keinginan untuk sekolah, dan juga tidak punya cita-cita.
Keinginan ku cuma, aku ingin menjadi orang kaya. Karena aku sudah capek hidup miskin. Dan orangtua ku tidak mampu memenuhi keinginan ku tersebut.
Aku sekolah, hanya sampai tamat SMA. Meski pun ibuku bersikeras agar aku bisa kuliah, tapi aku dengan sangat terpaksa harus menolak keinginan ibu tersebut. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin ibu membuang-buang uangnya, untuk membiayai aku kuliah, sementara aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut.
Setelah lulus SMA, aku pun akhirnya terjerumus pada sebuah pergaulan bebas. Aku mulai mengenal dunia hitam. Aku mulai mabuk-mabukan. Aku jadi jarang berada di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulan ku.
Sudah teramat sering ibu ku menasehati ku, dan meminta aku untuk segera berubah menjadi laki-laki baik. Tapi aku selalu mengabaikannya. Karena sejujurnya, aku merasa kecewa dengan kehidupan ini.
Aku kecewa, terlahir dari keluarga miskin dan banyak masalah. Aku kecewa punya ayah seorang pengangguran dan penjudi, bahkan akhirnya di penjara. Aku kecewa karena tidak bisa memenuhi keinginan ibu ku.
Hingga pada akhirnya, saat usia ku beranjak 22 tahun, ibu ku pun akhirnya meninggal. Ibu ku meninggal karena sakit jantung yang ia derita. Dan sejak saat itu, dunia ku pun hancur lebur. Kekecewaan ku terhadap hidup semakin mendalam. Aku benci hidup ku.
Ayah ku sudah keluar dari penjara, tapi ia memilih untuk menghilang dari hidup ku. Ia bahkan tidak pernah berusaha untuk menemui ku lagi. Aku memang tak pernah dianggap ada oleh ayah ku.
****
Setelah kepergian ku ibu ku, hidup ku terasa semakin hancur. Aku kehilangan pegangan. Aku merasa sangat kesepian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan hal itu mampu membuat ku merasa putus asa.
Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi merantau ke kota besar. Aku ingin melarikan semua kesedihan ku, dan aku juga ingin melupakan semua kenangan masa lalu ku. Aku harus terbiasa hidup dengan kesendirian ku.
Sesampai di kota, aku mulai melakukan banyak pekerjaaan, dari jadi tukang parkir, buruh angkut, sampai buruh bangunan. Semua itu aku lakukan, hanya untuk bertahan hidup.
Sampai akhirnya aku bertemu mbak Yuni. Seorang wanita yang sudah berusia 40 tahun lebih, dan mempunyai seorang putri yang masih berusia 16 tahun waktu itu.
Mbak Yuni adalah seorang wanita karir yang sukses. Ia memiliki usaha kuliner yang cukup maju, dan sudah mempunyai banyak cabang. Mbak Yuni mengelola usahanya sendiri, karena memang mbak Yuni adalah seorang janda.
Ia bercerai suaminya sejak lebih dari lima tahun yang lalu. Karena suaminya memilih untuk menikah lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda darinya. Setidaknya begitulah cerita mbak Yuni pada ku waktu itu.
Aku mengenal mbak Yuni, karena kebetulan aku sempat bekerja di salah satu kafe nya jadi pelayan. Entah mengapa aku bisa menjadi pusat perhatian mbak Yuni waktu itu. Sehingga ia nekat untuk mengajak aku mengobrol berdua dengannya.
Semakian hari, mbak Yuni semakin penuh perhatian padaku. Aku merasa di istimewakan olehnya. Bahkan ia jadi sering mengajak aku makan malam berdua.
Awalnya mbak Yuni hanya sekedar mengobrol biasa dengan ku. Menceritakan semua kisah hidupnya padaku. Aku juga menjadi sangat terbuka padanya. Aku bahkan juga menceritakan perjalanan hidupku pada mbak Yuni. Hal itu justru membuat ia merasa iba padaku.
****
Setahun mengenal mbak Yuni dan menjadi dekat dengannya, membuat hidup ku jadi lebih punya makna. Segala perhatian mbak Yuni padaku, membuat aku merasa berharga. Merasa di penting.
Hingga akhirnya pada suatu kesempatan...
"saya mau ngomong sesuatu yang serius sama kamu, Shapta..." begitu ucap mbak Yuni awalnya, saat kami untuk kesekian kalinya, makan malam berdua di sebuah restoran mewah.
"mbak Yuni mau ngomong apa?" tanya ku setenang mungkin.
"sejak awal melihat kamu, saya sudah merasa tertarik sama kamu, Shapta. Karena itulah saya selalu berusaha untuk mendekati kamu. Saya tahu, saya sudah tidak muda lagi, tapi saya masih punya perasaan. Saya masih seorang wanita normal, yang punya rasa ketertarikan pada laki-laki..." ucap mbak Yuni.
"dan entah mengapa, semakin mengenal kamu, saya semakin suka sama kamu, Shapta. Saya merasa nyaman saat bersama kamu. Dan harus saya akui, kalau saya memang telah jatuh cinta sama kamu." mbak Yuni menarik napas sejenak.
"saya sayang sama kamu, Shapta. Apa kamu mau menjadi suami ku?" mbak Yuni mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan, yang membuat aku merasa jadi serba salah.
Aku memang terlahir dari keluarga miskin dan juga urakan, tapi aku juga pernah jatuh cinta dan pacaran. Aku pernah pacaran beberapa kali. Namun selama itu, selalu aku yang memulai duluan. Meski pun pada akhirnya, kisah cinta ku selalu kandas.
Tapi kali ini rasanya berbeda. Selain karena mbak Yuni jauh lebih tua dari ku, ia juga seorang janda yang sudah punya satu orang anak. Dan mbak Yuni juga yang memulai semuanya. Bahkan ia yang mengungkapkan perasaannya duluan.
Dan bukan cuma itu, mbak Yuni bukan hanya sekedar mengungkapkan perasaannya padaku, ia juga mengajak untuk menikah dengannya. Tentu saja hal itu, cukup membuat kaget dan merasa tak percaya.
Aku memang merasa nyaman saat bersama mbak Yuni, apa lagi dengan segala perhatiannya padaku selama ini. Mbak Yuni juga masih terlihat cantik dan seksi, meski sudah berusia kepala empat. Dan jujur saja, aku memang sering menjadikan mbak Yuni sebagai salah satu bahan fantasi ku selama ini.
Tapi untuk menikah dengannya, hal itu masih belum pernah terlintas di benak ku. Aku hanya tidak menduga, kalau mbak Yuni akan menawarkan hal tersebut. Aku benar-benar belum siap.
"kamu gak harus jawab sekarang kok, Shapta. Saya tahu, kamu pasti belum siap dengan semua ini..." ucap mbak Yuni kemudian, setelah melihat aku hanya terdiam.
"iya, mbak... Saya... saya masih butuh waktu untuk memikirkannya..." balasku akhirnya, dengan suara sedikit tergagap.
****
Sejak saat itu, aku pun mulai mempertimbangkan hal tersebut. Aku mulai mempertimbangkan semuanya.
Mbak Yuni adalah sosok wanita yang baik dan penuh perhatian. Dan yang paling penting dari semua itu, ia adalah wanita sukses yang kaya raya.
Bukankah sejak dulu, aku memang ingin sekali menjadi orang kaya?
Dan mungkin inilah kesempatan ku.
Karena itulah, akhirnya aku pun memutuskan untuk menerima tawaran mbak Yuni untuk menikah dengannya.
"tapi... apa anak mbak Yuni sudah mengizinkannya?" tanya ku, setelah menyatakan persetujuan ku pada mbak Yuni, saat seminggu kemudian kami bertemu lagi.
"iya... Gladis sudah mengizinkannya. Meski pun awalnya ia merasa keberatan, karena mengingat jarak usia kita yang sangat jauh. Tapi saya berhasil meyakinkannya..." balas mbak Yuni dengan raut bahagianya.
Gladis, anak tunggal mbak Yuni, yang saat itu sudah berusia 17 tahun tersebut, pernah beberapa kali bertemu dengan ku. Sepertinya ia gadis yang baik dan sopan.
"baiklah, mbak. Kalau begitu saya sudah siap untuk menikah dengan mbak Yuni. Mengenai waktu, tempat dan semuanya, saya serahkan sepenuhnya kepada mbak Yuni, karena saya tidak punya keluarga di kota ini.." ucapku kemudian.
"kalau untuk itu, kamu tenang aja, Shapta. Saya sudah mengatur semuanya." balas mbak Yuni tegas.
****
Aku dan mbak Yuni pun akhirnya menikah. Dan setelah menikah aku pun tinggal serumah dengan mereka. Mbak Yuni dan juga anaknya, Gladis.
Setelah menikah, mbak Yuni juga mempercayakan salah satu cabang kafe nya untuk aku kelola. Setidaknya untuk menutupi, kalau aku ini bukan seorang pengangguran.
Kalau ditanya apa aku bahagia? Yah.. aku bahagia.
Hidup di rumah mewah, dengan perabotan mewah. Semuanya sudah di siapkan oleh pembantu. Punya mobil mewah, dan istri yang baik. Bukankah hal itu sudah aku impikan sejak lama?
Meski pun sebagai laki-laki, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena semua kemewahan ini bukan milik ku. Aku hanya hidup dalam kemewahan orang lain. Tapi aku coba untuk tidak peduli. Selama aku bisa melakukan apa pun yang aku suka, gak salahnya untuk menjalani semua ini.
Yang penting aku merasa bahagia, dan aku tidak perlu lagi harus bekerja keras hanya untuk bisa bertahan hidup. Aku mendapatkan semua yang aku inginkan. Meski pun di mata orang-orang agak terlihat sedikit aneh, saat aku harus pergi berdua dengan istri ku.
Biar bagaimana pun perbedaan usia kami sangatlah jauh. Tapi sekali lagi, aku pun mengabaikannya.
****
Setahun pernikahan berjalan. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Hubungan ku dengan mbak Yuni, istri ku, terjalin dengan baik. Tidak pernah ada masalah yang berarti diantara kami. Mbak Yuni juga masih mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri. Aku juga berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.
Sekarang Gladis, anak tiriku, sudah berusia 18 tahun. Ia juga sudah mulai kuliah. Dan ia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik.
Sebagai seorang laki-laki muda, yang masih berusia 25 tahun, aku masih punya jiwa muda yang penuh gejolak. Aku masih punya rasa ketertarikan pada gadis yang lebih muda dari ku. Dan terkadang aku tidak bisa menutupi hal tersebut.
Gladis, yang hampir setiap hari bertemu dengan ku, salah satu gadis yang berhasil menyentuh jiwa muda ku. Aku mulai merasa kagum dengannya. Aku mulai sering memikirkannya. Dan tanpa aku sadari, aku telah jatuh cinta padanya.
Yah... perasaan itu tumbuh begitu saja, tanpa aku rencanakan dan tanpa bisa aku cegah. Aku jatuh cinta pada Gladis, anak tiri ku.
Sekuat mungkin aku berusaha memendam semua perasaan itu. Aku tidak ingin terlarut di dalamnya. Biar bagaimana pun, Gladis adalah anak tiri ku. Aku tidak mungkin bisa memilikinya.
Tapi... takdir ternyata berkata lain.
Gladis, yang sejak remaja sudah kehilangan sosok seorang ayah, sudah kehilangan kasih sayang seorang ayah, dan sudah kehilangan sosok laki-laki panutan dalam hidupnya. Membuat ia cukup membuka diri kepada ku.
Kami menjadi cepat dekat dan akrab. Dan sebagai seorang ayah, aku juga berusaha untuk memberi perhatian dan kasih sayang kepada Gladis.
Semua perhatian dan kasih sayang yang aku berikan kepada Gladis, ternyata menjadi bumerang dalam hubungan kami berdua. Gladis jadi salah paham akan semua itu. Ia mulai merasa nyaman menghabiskan waktu bersama ku. Ia selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian dari ku.
Karena sering menghabiskan waktu bersama, dan sama-sama merasa tertarik. Hal yang paling aku takutkan itu pun akhirnya terjadi. Aku dan Gladis saling jatuh cinta. Kami juga sudah saling terbuka akan perasaan kami masing-masing.
Sampai akhirnya, kami pun sepakat untuk menjalin hubungan diam-diam. Bahkan lebih parahnya lagi, aku pun berhasil merenggut sesuatu yang paling berharga milik Gladis. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Dan hubungan kami sudah sangat melampaui batas.
****
Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Kami masih mampu menyimpan semua rahasia itu. Kami masih mampu bertemu secara diam-diam, tanpa sepengetahun siapa pun, terutama mbak Yuni.
Apa lagi mbak Yuni, orang yang sangat sibuk, membuat ia hampir tidak punya waktu, untuk mencurigai hubungan ku dan Gladis. Hal itu membuat kami jadi semakin merasa leluasa, untuk melakukannya.
Tapi... sepandai apa pun tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh juga.
Begitulah yang terjadi diantara kami. Sepandai apa pun aku dan Gladis menyembunyikan hubungan kami, pada akhirnya ketahuan juga.
Yah... mbak Yuni, istri ku, akhirnya menyadari akan kedekatan kami yang sudah di batas kewajaran. Karena merasa sudah mulai curiga, mbak Yuni pun diam-diam mulai meminta salah seorang orang kepercayaannya, untuk mengawasi kami. Sampai akhirnya kami benar-benar ketahuan, dengan segala bukti yang tidak bisa kami pungkiri lagi.
Mbak Yuni tentu saja sangat marah. Ia mengusirku dari rumahnya.
Aku dengan sangat terpaksa, harus pergi dari rumah tersebut. Aku tidak bisa membela diri lagi. Aku memang bersalah. Meski pun aku melakukan semua itu, karena Gladis juga memberikan kesempatan padaku.
Namun biar bagaimana pun, apa yang aku lakukan tersebut, bukanlah sesuatu yang bisa di maklumi. Apa yang kami lakukan, jelas adalah sebuah kesalahan besar, yang tidak bisa lagi di maafkan.
Kini aku harus menerima akibat dari semua perbuatan ku tersebut. Aku harus kehilangan Gladis, aku harus kehilangan istriku, dan aku juga harus kehilangan kehidupan mewah yang beberapa tahun ini telah aku nikmati.
Kini aku harus memulai hidupku yang baru. Meski aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku kembali kehilangan semangat. Aku kembali kehilangan tujuan. Aku benar-benar tidak tahu lagi, harus melakukan apa.
Aku hanya berharap, semoga ke depannya aku bisa jadi lebih baik. Semoga aku tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Yah... semoga saja..
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar