Tampilkan postingan dengan label Kisah Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Islam. Tampilkan semua postingan

Abang tukang sayur keliling

Namaku Rizky. Bukan Rizky Aditya, bukan pula Rizky Billar. Hanya Rizky.

Orangtuaku sedikit pelit memberiku nama yang panjang. Cuma Rizky. Mungkin orangtuaku berharap aku bisa menjadi sumber rejeki bagi mereka. Atau mungkin juga karena mereka tidak mau terlalu pusing memikirkan nama untuk anak mereka.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku berasal dari kampung dan sudah hampir tiga tahun merantau ke kota.

Di kota aku bekerja menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta. Kebetulan aku memang lulusan sebuah universitas jurusan keperawatan.

Sejak kecil aku memang bercita-cita menjadi seorang dokter, tapi karena kondisi ekonomi keluarga-ku yang pas-pasan, aku malah terjebak di universitas keperawatan.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku seorang laki-laki dan adikku perempuan.

Kakakku sudah menikah dan bekerja di kampung. Sebagai anak tertua kakakku memang hanya bisa sekolah hingga lulus SMA. Sementara adik perempuanku satu-satunya, saat ini sedang kuliah.

Aku tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di tengah-tengah kota sendirian.

Sebagai seorang perawat yang masih honor, aku memang belum mampu membeli rumah sendiri.

Di tempat aku tinggal ini terdapat banyak rumah kontrakan di sepanjang gang. Setiap rumah kontrakan yang ada di gang ini umumnya sudah ditempati. Jadi gang ini cukup ramai.

Rumah kontrakan ku berada di ujung gang. Jadi aku tidak terlalu terganggu oleh hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang.

Jadwal kerjaku juga kadang tidak menentu. Kadang aku masuk pagi, kadang masuk siang dan kadang juga masuk malam. Dan aku juga sering lembur menggantikan para perawat senior yang berhalangan datang.

Selain sebagai perawat, aku juga sangat hobi memasak. Kadang aku juga menerima orderan membuat kue dari para pelangganku. Setidaknya usaha sampinganku ini cukuplah membantu keuanganku.

Sebagian dari hasil kerjaku, aku kirimkan ke kampung untuk membantu ayah dan ibuku dan juga membantu biaya kuliah adikku.

Ayahku hanya seorang petani biasa, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga dan kakakku juga hanya bekerja sebagai seorang buruh. Jadi mau tidak mau aku memang harus ikut andil membantu perekonomian keluargaku.

Di gang tempat aku tinggal ini, memang sering sekali para pedagang masuk untuk menjajakan dagangannnya. Mulai dari pedagang pakaian, perabotan rumah tangga dan juga tukang sayur keliling serta para pedagang asongan lainnya.

Seorang tukang sayur keliling yang aku ketahui bernama bang Juned, sudah menjadi langgananku beberapa bulan terakhir ini.

Bang Juned sendiri merupakan tukang sayur keliling yang baru masuk ke gang kami. Karena tukang sayur keliling sebelumnya sudah pindah.

Bang Juned memiliki paras wajah yang biasa saja sebenarnya, tapi postur tubuhnya lumayan atletis dan terlihat sedikit gagah.

Aku dan bang Juned sudah sering ngobrol, terutama saat aku belanja sayur-sayuran padanya.

Bang Juned memang selalu lebih lama menghabiskan waktu saat di rumah kontrakanku, karena memang rumahku yang berada di ujung adalah tujuan terakhirnya di gang itu. Sekaligus untuk tempat ia beristirahat sejenak, sebalum ia akan memasuki gang selanjutnya.

Aku suka ngobrol sama bang Juned. Selain murah senyum, bang Juned juga cukup pandai bercerita.

Hampir setiap pagi aku dan bang Juned selalu bercerita. Aku jadi merasa punya teman untuk berbagi.

Aku juga sering memesang beberapa keperluanku untuk membuat kue kepada bang Juned.

Intinya aku dan bang Juned tiba-tiba saja menjadi akrab dan dekat.

Dari bang Juned aku tahu, kalau ia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Usia bang bang Juned memang sudah hampir kepala empat, tapi ia masih kelihatan muda. Mungkin karena bang Juned memang termasuk orang yang periang dan suka bercanda.

"hidup tak usah terlalu dipikirkan, Ky. Jalani aja apa adanya. Karena kebahagiaan itu bersumber dari hati, bukan dari kemewahan.." begitu salah satu kalimat bijak yang pernah diucapkan oleh bang Juned padaku.

Bang Juned memang orang yang sangat bijak dalam menyikapi persoalan hidup. Dan aku perlahan namun pasti, mulai mengagumi sosok bang Juned. Bukan karena tampangnya yang biasa saja, bukan juga karena postur tubuhnya yang sedikit atletis dan terlihat kekar.

Tapi terlebih karena bang Juned orang yang baik, dan juga selalu suka memberi nasehat-nasehat penting tentang kehidupan padaku. Ia juga selalu bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan curhatanku.

Berawal dari rasa kagum itulah, aku jadi semakin sering memikirkan bang Juned. Mengkhayalkan di hampir setiap malamku.

Tiba-tiba saja ada rindu. Tiba-tiba saja ada keinginan untuk selalu bertemu dengan bang Juned. Aku mulai merasa nyaman saat bersamanya.

Semakin sering ngobrol dengannya, aku semakin merasa tidak ingin berpisah darinya.

Aku selalu setia menanti bang Juned setiap pagi, untuk berbelanja sayuran. Meski pun sebenarnya aku menantinya hanya untuk bisa mengobrol dengannya, melihat senyumnya dan mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya yang manis.

Akh, terkadang aku jadi merasa malu sendiri. Mengingat bang Juned sudah punya istri dan anak. Tapi perasaanku tidak bisa di bohongi, aku memang telah jatuh cinta kepada laki-laki paroh baya itu. laki-laki si tukang sayur keliling itu.

Ingin rasanya aku mengungkapkan itu semua. Ingin rasanya mas Juned tahu tentang perasaanku padanya.

Tapi aku tidak mungkin mengungkapkan itu semua. Terlalu besar resiko yang harus aku tanggung, jika aku nekat berbicara jujur kepada bang Juned.

****

Berbulan-bulan aku masih terus memendam perasaan cintaku kepada bang Juned. Berbulan-bulan aku masih belum berani untuk jujur padanya.

Sampai pada suatu malam, saat itu aku lagi sendirian di rumah karena aku memang tidak ada jadwal kerja malam itu.

Tiba-tiba bang Juned muncul di rumahku. Ia datang dengan motor bututnya yang biasa ia bawa untuk jualan sayur. Tapi kali ini ia datang tanpa membawa keranjang sayur. Dan tumbennya ia datang malam-malam.

"istriku lagi pulang kampung bersama anak-anak, ada keluarga yang mengadakan pesta pernikahan di kampung. Jadi aku hanya sendirian di rumah untuk beberapa hari ke depan.." jelas bang Juned menjawab keherananku, ketika ia akhirnya aku persilahkan masuk.

"karena merasa suntuk sendirian di rumah, saya kepikiran untuk mencari teman ngobrol, kebetulan tiba-tiba saya ingat kamu, Ky. Jadi saya putuskan untuk datang ke sini dan berharap kamu tidak kerja malam ini.." lanjut bang Juned lagi.

Kamu ngobrol di ruang tengah rumah kontrakanku yang kecil. Kami hanya duduk di lantai, karena memang rumah kontrakanku tidak ada kursi tamu.

Aku menyuguhkan minuman putih dan beberapa cemilan, untuk kami nikmati selagi kami mengobrol.

Bang Juned datang sekitar jam delapan malam. Ia hanya memakai baju kaos oblong dan celana training lusuhnya. Meski pun berpenampilan sesederhana itu, bang Juned selalu terlihat keren di mataku.

Lama kami ngobrol. Hingga jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bang Juned berniat untuk pamit pulang.

Tapi ...

"kenapa gak sekalian nginap di sini aja, bang?" tanyaku menawarkan.

Untuk sesaat bang Juned terdiam. Ia terlihat berpikir sejenak.

"emangnya boleh kalau saya nginap sini?" tanya bang Juned akhirnya.

"boleh aja sih, bang. Kalau abang mau tidur di rumah kontrakan yang berantakan ini.." jawabku.

"saya sih mau aja, Ky. Tapi nanti jam dua aku harus ke pasar untuk belanja sayuran. Takutnya malah merepotkan kamu, harus bangun jam dua dini hari.." balas bang Juned.

"gak apa-apa, bang. Gak merepotkan, kok. Justri saya senang kalau abang mau nginap di sini.." ucapku jujur.

Aku memang sangat ingin bang Juned menginap di rumahku. Setidaknya dengan begitu, aku jadi punya kesempatan untuk bisa tidur di dekat bang Juned, lelaki yang sangat aku dambakan tersebut.

"ya udah. Saya masukan motor dulu ya.." ucap bang Juned selanjutnya, sambil ia mulai berdiri untuk memasukan motornya ke dalam rumah kontrakanku.

Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam kamarku. Di dalam kamar hanya ada satu buah ranjang kecil.

Dengan perasaan yang berdebar-debar, aku berbaring di samping tubuh gagah bang Juned. Apa lagi saat itu, bang Juned sudah melepas bajunya dan hanya memakai celana pendek.

Tubuh kekarnya semakin terlihat jelas di mataku. Membuat jantungku semakin berdebar hebat.

Untuk pertama kalinya aku bisa melihat langsung dada bidang bang Juned.

"kamu kok melihat saya seperti itu, Ky?" tanya bang Juned tiba-tiba, yang membuatku sedikit kaget.

"ah, gak apa-apa, bang. Suka aja melihat tubuh bang Juned yang kekar.." jawabku polos.

"kalau suka jangan cuma dilihat dong. Peluk, kek.." imbuh bang Juned dengan nada sedikit bercanda, yang membuatku jadi salah tingkah.

"emangnya bang Juned mau di peluk?" tanyaku cukup berani.

"kalau dipeluknya sama kamu, saya pasti mau lah, Ky. Jangankan cuma di peluk di apa-apain sama kamu saya juga mau, kok.." balas bang Juned di luar dugaanku.

Aku menatap bang Juned setengah tak percaya. Aku tatap matanya, mencari setitik kejujuran dari kalimatnya barusan.

"yakin bang Juned mau?" tanyaku sedikit berbisik.

"udah.. kamu gak usah malu. Saya tahu, kalau kamu suka sama saya, Ky. Jadi jangan sia-siakan malam ini ya.." ucapan bang Juned membuat aku semakin yakin, kalau ia memang serius.

Akh, aku tak menyangka kalau bang Juned akan sebegitu mudahnya bersedia melakukan hal tersebut denganku.

"aku hanya penasaran, sih. Gimana rasanya melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Dan karena saya tahu, kamu suka sama saya. Makanya gak ada salahnya kan, kalau saya ingin mencobanya bersama kamu.." ucap bang Juned lagi.

"sebenarnya sudah lama saya tahu, kalau kamu sering memperhatikan saya diam-diam. Saya pun menyimpulkan kalau kamu memang tertarik sama saya. Karena itu, kebetulan istri saya lagi tidak di rumah, saya mencoba datang ke sini." bang Juned melanjutkan.

Aku terdiam kembali. Mencoba mencerna setiap kalimat yang di ucapkan bang Juned. Jadi selama ini bang Juned sudah tahu, kalau aku menyukainya?

Dan dia ingin melakukannya hanya karena penasaran, bukan karena ia juga tertarik padaku.

Tapi kenapa juga aku harus memikirkan apa alasan bang Juned mau melakukannya denganku? Jika ia mau, kenapa tidak aku manfaatkan saja kesempatan ini?

Terlepas dari apa pun alasannya, bang Juned sudah memberi aku kesempatan untuk melakukan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

"kok diam? Kamu mau gak nih?" suara bang Juned kembali mengagetkanku.

"iya... aku .. mau, bang. Tapi apa abang yakin?" balasku dengan nada ragu.

"abang yakin, Ky. Tapi abang gak tahu mesti ngapain. Jadi kamu aja yang memulainya.." jawab bang Juned.

Antara ragu dan sangat menginginkannya, aku pun mulai melakukan aksiku terhadap bang Juned.

Lelaki yang aku cintai dan selalu aku lamunkan setiap malam itu, sekarang benar-benar nyata berada di depanku.

Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus bisa menikmati malam ini dengan laki-laki yang sudah menghiasi fantasi-ku selama beberapa bulan ini.

Aku merasa bahagia malam ini. Laki-laki yang bahkan menurutku tidak akan mungkin bisa aku miliki, kini telah dengan begitu pasrah menyerahkan dirinya padaku.

"bang Juned sangat gagah. Aku sangat menyukai bang Juned. Aku sayang dan cinta sama bang Juned.." ucapku kemudian, sesaat sebelum aku benar-benar beraksi.

Bang Juned terlihat tersanjung mendengar pujiaku. Ia tersenyum manis.

Pelan namun pasti, bang Juned pun mulai menikmati setiap permainanku.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya bang Juned pun bercocok tanam denganku.

Sungguh sebuah pengalaman yang sangat indah bagiku.

Sebuah pengalaman yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Kini laki-laki gagah si tukang sayur keliling itu, akhirnya mampu aku miliki dan aku taklukan.

Aku ingin memberi kesan yang mendalam kepada bang Juned, sehingga nantinya aku berharap, bang akan kembali datang untukku.

Aku tidak ingin cintaku kepada bang Juned hanya berakhir dalam satu malam, aku ingin memilikinya selamanya.

Bang Juned terlalu gagah, ia terlalu perkasa dan tangguh. Aku semakin menyukainya.

*****

Dan sesuai harapanku, sejak malam itu, bang Juned memang semakin rajin mengunjungiku untuk bercocok tanam kembali.

Kami melakukannya bukan hanya di malam hari, tapi kadang di pagi hari, saat bang Juned datang membawa dagangannya, ia akan menyempatkan diri untuk mampir dirumah kontrakanku.

Dengan alasan ingin beristirahat sebentar, bang Juned masuk ke kamarku dan kami pun melakukannya.

Sepertinya bang Juned memang terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya, sehingga ia menjadi ketagihan untuk bercocok tanam denganku.

Dan hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan. Hubunganku dengan bang Juned semakin dalam dan parah.

Kami selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk bisa menikmati kebersamaan kami.

Hari-hariku terasa menjadi indah. Hidupku terasa lengkap.

Bang Juned mampu membuatku merasa bahagia. Ia membuatku semakin mencintainya. Dan aku berharap, bang Juned juga bisa mencintaiku.

Namun harapanku kemudian sirna.

Setelah berbulan-bulan, tiba-tiba bang Juned menghilang.

Ia tak pernah lagi datang ke rumahku. Ia tak lagi berjualan sayuran. Ia menghilang.

Aku sudah coba untuk menghubunginya, tapi nomornya tak pernah aktif.

Karena penasaran aku pun mencoba mendatangi rumahnya.

Namun yang aku temukan hanyalah sebuah kepahitan.

Dari istri bang Juned, aku akhirnya tahu, kalau bang Juned sekarang sedang berada di penjara.

Bang Juned ditangkap karena ia ternyata adalah seorang pecandu obat-obatan terlarang.

"saya sudah berusaha mengingatkan bang Juned, untuk berhenti mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Tapi bang Juned malah memarahiku. Hingga akhirnya ia ditangkap, karena sudah lama menjadi incaran pihak polisi." begitu sebagian penjelasan dari istri bang Juned.

Aku merasa terpukul mengetahui hal itu semua. Aku merasa terpukul karena harus kehilangan bang Juned, laki-laki yang telah membuat aku ketagihan.

Tapi aku semakin terpukul, ketika mengetahui, kalau bang Juned ternyata adalah seorang pecandu.

Pantas saja, ia dengan begitu mudah memberi aku kesempatan untuk bisa bercocok tanam dengannya. Mungkin saja selama ini, ia melakukan hal tersebut denganku, karena ia dalam pengaruh obat-obatan tersebut.

Mungkin saja selama ini istrinya tidak bersedia melayaninya, jika ia dalam keadaan pengaruh obat-obatan, sehingga bang Juned menumpahkannya justru padaku.

Dan aku dengan polos dan bodohnya selalu saja bersedia bercocok tanam dengannya. Karena aku memang tidak tahu, kalau bang Juned adalah seorang pecandu.

Aku memang tidak bisa membedakan, kapan saat seseorang dalam pengaruh obat-obatan dan kapan ia dalam keadaan normal.

Mungkin juga karena aku terlalu mencintai bang Juned, sehingga aku tidak menyadari kelakuan bang Juned yang di luar batas kewajaran.

Aku terlalu menikmati kebersamaanku dengannya. Aku terlena dengan segala permainan indahnya.

Hingga aku tidak sadar, kalau semua itu bang Juned lakukan, hanya pada saat ia dalam pengaruh obat-obatan.

Dan terlepasa dari semua itu, pengalamanku bercocok tanam dengan bang Juned, merupakan salah satu hal terindah yang pernah terjadi dalam perjalanan hidupku.

Apa pun alasannya, bang Juned tetap mampu membuatku terkesan dan tak mudah melupakannya.

Aku akan selalu mengingatnya, sebagai salah satu bagian terindah dalam perjalanan hidupku.

****

Selesai....

Islam-kan saya karena Allah ....

Nama saya Baskoro, orang-orang biasa memanggil saya Bas.
Saya adalah seorang penganut Katholik. Saya seorang Katholik karena kedua orang tua dan seluruh keluarga saya merupakan penganut Katholik secara turun temurun.
Namun kedua orang tua saya bukanlah Katholik yang taat, mereka jarang sekali beribadah seperti penganut Katholik pada umumnya.
Mereka juga orang-orang yang modern, dimana agama bukan lagi menjadi tolak ukur dalam kehidupan.
Mereka tidak pernah memberatkan kami, anak-anaknya, dalam hal beribadah.
Jadi saya pun tumbuh dengan tidak begitu mengenal agama. Saat kecil dulu, ayah dan ibu, sering mengajak saya untuk datang ke gereja setiap minggu. Namun setelah menjadi dewasa, saya hampir tak pernah lagi datang ke gereja.


Saya lulus kuliah saat masih berusia sekitar 23 tahun. Mengambil jurusan pendidikan, membuat saya akhirnya menjadi seorang guru.
Pada suatu waktu saya mencoba mengikuti tes CPNS yang diselenggarakan secara umum oleh pemerintah. Saya pun lulus dengan hasil memuaskan.
Singkat cerita, saya pun akhirnya ditugaskan disebuah desa yang cukup jauh dari kota. Saya ditugaskan menjadi seorang guru SD di sana.
Awalnya kehadiran saya di desa itu, tidak bisa diterima dengan baik oleh penduduk disana, karena saya yang seorang Katholik. Penduduk desa tersebut seratus persen menganut agama Islam. Mereka orang-orang yang taat.
Kehadiran saya, yang non muslim, benar-benar sesuatu yang baru bagi mereka.
Mereka tidak terima, jika saya harus mengajarkan anak-anak mereka di sekolah. Mereka takut saya akan mengajarkan sesuatu yang diluar agama mereka, kepada anak-anak mereka.
Namun dengan drama yang cukup panjang, dan tentu saja penjelasan yang panjang lebar dari kepala desa dan juga orang-orang yang berpendidikan disana, akhirnya mereka bisa mengerti dan menerima kehadiran saya. Meski tentu saja tidak sepenuh hati, dan tidak semua masyarakat bisa menerima semua penjelasan tersebut.

Sebagai seorang guru dari luar daerah, saya memang diharuskan tinggal dan menetap disana. Sebuah perumahan guru tersedia disana. Saya tinggal di salah satu perumahan guru tersebut. Selain saya, ada empat orang guru lainnya yang tinggal disana, mereka juga berasal dari daerah lain. Mereka sudah menetap disana selama bertahun-tahun. Mereka juga telah berkeluarga. Selain itu, ada tiga orang guru lagi yang merupakan penduduk setempat.
Secara ekonomi, kehidupan penduduk disana, cukup sejahtera. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Karena memang desa tersebut berada tidak jauh dari sungai. Sebagian lagi ada yang menjadi petani dan bekerja di kebun-kebun sawit milik para pengusaha.
Masyarakat disana sangat taat beragama, banyak kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan untuk memperingati hari-hari besar Islam.

Disana terdapat sebuah mesjid yang cukup megah. Mesjid tersebut selalu ramai setiap harinya, terutama pada hari jum'at.
Pada hari jum'at, biasanya semua penduduk meliburkan diri dari bekerja. Kecuali bagi mereka yang bekerja di pemerintahan, termasuk guru tentunya.
Bagi mereka, hari jum'at adalah hari dimana mereka bisa berkumpul dengan keluarga dan bercengkerama dengan tetangga dan sanak saudara.
Selain itu, biasanya mereka pada hari jum'at, melaksanakan kegiatan semacam majelis ta'lim. Dimana setiap jum'at-nya secara bergiliran, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk, untuk membaca surat yasin bersama dan melakukan kegiatan ibadah ringan lainnya.
Kegiatan rutin ini terbagi dalam tiga kelompok, yakni ada kelompok wirid yasin remaja putri, ada kelompok wirid yasin ibu-ibu dan ada juga kelompok wirid yasin pemuda dan bapak-bapak.
Kegiatan-kegiatan seperti itu memang sangat sering mereka lakukan.

Hampir setahun tinggal disana, saya mulai mengenal beberapa orang, terutama rekan-rekan guru. Saya mulai hafal rutinitas kegiatan masyarakat disana. Mengenal beberapa orang penduduk disana dan juga para pemuda dan pemudinya.
Saya sering ikut kegiatan pemuda disana, karena memang usia saya masih tergolong muda.
Meskipun kegiatan pemuda disana lebih sering dilakukan di Mesjid, saya tetap mencoba berbaur dengan mereka.
Dari situlah saya akhirnya berkenalan dengan seorang gadis, yang dua tahun lebih muda dari saya. Dia gadis yang cantik, namanya Aisyah, anak salah seorang tokoh agama yang cukup disegani. Aisyah lulusan sebuah pesantren, namun ia tidak kuliah. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan dan juga Aisyah lebih memilih untuk merawat kedua orangtuanya yang memang sudah tua, serta untuk mengabdikan diri ke masyarakat, dalam mengajarkan ilmu agama melalui kegiatan majelis ta'lim.

Mengenal Aisyah, membuat saya seperti menemukan hal baru dalam hidup. Gadis yang selalu berhijab itu, telah mampu mengetuk pintu hati saya. Sikapnya yang sopan, ramah dan pintar, menumbuhkan rasa kagum saya yang besar padanya.
Namun Aisyah sendiri selalu menjaga jarak dengan saya. Saya tahu, itu semua karena latar belakang kepercayaan kami yang berbeda.
Sebagai satu-satunya orang yang berbeda agama disana, tentu saja, tindakan yang bisa saya lakukan sangat terbatas. Saat berkumpul pun, saya lebih memilih untuk banyak diam. Karena pembicaraan mereka yang lebih sering membahas soal agama mereka.
Meski sebenarnya, sebagian besar dari mereka, lebih terbuka menerima kehadiran saya disana. Karena selama tinggal disana, sikap saya cukup baik terhadap mereka.
Mereka juga memperlakukan saya dengan cukup baik.

**********

Dua tahun saya berada disana, saya belajar banyak hal. Terutama tentang Islam. Saya jarang sekali pulang ke kota, karena saya merasa sangat nyaman berada di desa tersebut.
Orang tua saya tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Seperti yang pernah saya ceritakan, orang tua saya telah memberikan kebebasan penuh kepada saya, untuk memilih jalan hidup saya sendiri.
Lagi pula, di kota, masih ada adik dan kakak saya yang tinggal dan bekerja disana.
Adik laki-laki saya, masih kuliah, dia masih tinggal bersama orang tua kami.
Kakak saya yang perempuan, sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah orang tua kami.
Sementara kakak sulung saya, laki-laki, juga sudah menikah dan bekerja disebuah perusahaan.
Jadi Ayah dan Ibu saya, tidak terlalu mempersoalkan, jika pun saya sampai berbulan-bulan tak pulang.

Dua tahun berada di desa tersebut dan mengenal Aisyah, perlahan telah membuka hati saya untuk mengenal Islam lebih dalam. Diam-diam, saya mencoba mendatangi seorang ustadz yang berada di desa tersebut. Namanya ustadz Salman, beliau merupakan salah seorang ustadz yang senior di desa tersebut, usianya sudah hampir enam puluh tahun. Namun beliau masih terlihat segar dan energik. Ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi.
Saya mendatangi beliau, mencoba bertanya-tanya tentang Islam lebih dalam.
Saya pun membeli dan membaca beberapa buah buku tentang Islam.
Sampai akhirnya, hati saya merasa terbuka, untuk menerima Islam sebagai agama yang benar.
Ajaran Islam terasa sangat masuk akal bagi saya.
Apa lagi selama ini, saya sering ngobrol dengan Aisyah, meski hanya melalui telepon genggam. Aisyah banyak mengajarkan saya tentang nilai-nilai kebaikan dalam ajaran Islam.
Kedekatan saya dengan Aisyah semakin membuka hati dan pikiran saya.
Kecerdasan Aisyah dalam menyampaikan ilmu-ilmu Islam mampu membuat saya terkagum-kagum.
Dan sejujurnya harus saya akui, kalau Aisyah telah mampu mencuri hati saya. Aisyah telah benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya.

Tak sanggup memendam semua perasaan cinta tersebut, saya pun dengan cukup berani mengungkapkannya kepada Aisyah.
"maaf, Bang. Dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran atau pun cinta-cintaan. Kami hanya mengenal istilah taaruf..." ucap Aisyah dari telepon genggamnya. Setelah dengan susah payah saya mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan perasaan saya.
"taaruf? apa itu?" tanya saya penasaran.
"taaruf itu, semacam kegiatan perkenalan diri dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan juga sebaliknya. Taaruf harus dilakukan di dalam rumah, dan harus di depan kedua orang tua atau pun keluarga." jelas Aisyah.
Saya terdiam, mencoba memahami hal tersebut.
"nanti jika kedua belah pihak sudah saling kenal dan saling suka, baru lah lamaran bisa dilakukan. Jadi gak ada yang namanya pacaran..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tidak terlalu mengerti dengan apa yang Aisyah jelaskan barusan. Saya hanya menyimpulkan, bahwa jika saya memang mencintai Aisyah, saya harus segera melamarnya.
Namun bagaimana mungkin saya bisa melamar Aisyah. Sementara saya bukan seorang muslim. Sudah jelas saya akan ditolak mentah-mentah oleh keluarga Aisyah.
Sekalipun Aisyah juga mencintai saya, dia jelas tidak akan bisa menerima kehadiran saya yang bukan seorang Islam.
Menyadari hal tersebut, saya pun lebih mendalami Islam. Belajar lebih banyak, baik dari Ustadz maupun dari Aisyah sendiri, dan juga dari buku-buku yang sengaja saya beli.
Sampai akhirnya, saya pun memutuskan untuk memeluk Islam secara utuh.
Saya menyampaikan niat tersebut kepada kedua orang tua saya dan keluarga saya, mereka tidak keberatan dan mengizinkan saya untuk melakukan apa yang terbaik buat saya.

Saya pun segera menemui ustadz Salman, ustadz yang selama ini mengajarkan saya tentang Islam, untuk memintanya membantu saya memeluk agama Islam.
Tentu saja dengan senang hati ustadz Salman bersedia untuk membantu dan meng-Islam-kan saya. Hal ini pun saya ceritakan kepada Aisyah, sebagai salah satu bukti keseriusan saya padanya.

******
Bersambung ...

Islam-kan saya karena Allah (Part 2)

Setelah masuk Islam, saya merasa lebih tenang, sebuah ketenangan yang selama ini belum pernah saya rasakan. Saya merasa lebih percaya diri, terutama dalam pergaulan saya dengan masyarakat. Saya semakin rutin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, pengajian-pengajian dan juga majelis ta'lim. Saya rutin melaksanakan sholat lima waktu di mesjid. Masyarakat desa sangat terbuka menerima saya sebagai seorang muslim yang baru. Saya semakin mengenal Islam lebih baik.
Apa lagi dengan terang-terangan, Aisyah mendukung dan memberikan motivasi kepada saya. Kami semakin sering ngobrol, meski tentu saja hanya lewat telepon genggam.
Kami jarang bertemu, kecuali ada kegiatan-kegiatan pemuda di desa tersebut. Namun hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta saya pada Aisyah, meski Aisyah sendiri tidak pernah benar-benar terbuka dengan perasaannya.


Setelah hampir enam bulan menjadi seorang mu'alaf, akhirnya saya memberanikan diri untuk datang menemui kedua orang tua Aisyah. Saya memberanikan diri untuk menyatakan keinginan saya, untuk melamar Aisyah, kepada orang tua Aisyah.
Mereka cukup kaget mendengar hal tersebut, namun mereka tak segera menjawab. Mereka meminta waktu kepada saya selama beberapa hari, untuk bisa memberikan jawaban.
Saya pun memakluminya dan segera mohon izin pulang.
Setelah beberapa hari kemudian, orang tua Aisyah pun meminta saya untuk datang kerumahnya. Saya pun dengan sedikit tak sabar segera menuju kesana. Saya hanya ingin tahu jawaban dari mereka.
"maaf, nak Bas.." begitu awalnya sang ayah memulai pembicaraan, setelah saya dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Disana hanya ada saya, ayah dan ibunya Aisyah.
"kami tahu, niat nak Bas baik. Namun kami harus berterus terang mengenai hal ini. Sebenarnya, Aisyah telah lama kami jodohkan dengan ustadz Lukman. Tentu saja atas permintaan dari ayah ustadz Lukman." lanjut sang ayah.
Saya pun tertunduk lesuh mendengar hal tersebut. Saya terhenyak!

Saya tahu ustadz Lukman. Dia anak dari kepala desa. Seorang sarjana agama lulusan dari Mesir. Ilmu agamanya sangat tinggi, orangnya juga shaleh dan taat. Selain tentu saja, ia memiliki kebun sawit yang sangat luas, warisan dari orang tuanya yang memang cukup kaya.
Ustadz Lukman sosok yang ramah, baik dan rajin beribadah. Beliau sering memberi pengajian-pengajian di mesjid, bahkan sampai keluar desa.
Dibandingkan dengan saya, tentu saja Ustadz Lukman jauh lebih baik, bahkan dalam segala hal.
Saya yang baru saja memeluk Islam, tidak ada apa-apanya jika harus dibandingkan dengan ustadz Lukman yang sejak kecil memang sudah di didik tentang Islam, bahkan hingga kuliah ke Mesir.
Setelah merasa sedikit tenang, karena syok menyadari hal tersebut, saya pun pamit pulang.
Disepanjang jalan pulang, saya hanya menggerutu tak jelas. Saya sangat terpukul mendengar semua itu. Saya sangat mencintai Aisyah. Dan berharap bisa memilikinya.
Namun semua harapan saya hancur berantakan.
Saya merasa perjuangan dan usaha saya selama ini sia-sia, saya merasa putus asa. Saya telah berjuang begitu lama, untuk bisa mendapatkan Aisyah. Saya belajar Islam dan bahkan sampai memeluk Islam, hanya demi bisa mewujudkan mimpi saya tentang Aisyah.
Namun semuanya hanya sia-sia belaka.

"tidak ada yang sia-sia, nak Bas..." begitu ucap ustadz Salman, ketika akhirnya saya menceritakan hal tersebut padanya.
"semua tergantung dari segi mana kamu menilainya. Pertanyaannya adalah, apakah niat kamu untuk masuk Islam adalah murni dari hati nuranimu? Apakah kamu masuk Islam karena kamu benar-benar telah jatuh cinta pada Islam itu sendiri? Apakah kamu memeluk Islam hanya karena Allah semata? Atau justru kamu masuk Islam hanya karena kamu ingin menjadi suami dari Aisyah?" lanjutnya lagi.
Saya terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya membuat saya akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam.
"jika kamu masuk Islam karena Allah, maka kamu akan ikhlas menerima segala ketentuan Allah yang berlaku terhadapmu. Namun jika niatmu masuk Islam hanya karena kecintaanmu kepada ciptaan-Nya, saran saya, sebaiknya kamu perbaiki lagi niatmu itu..." ustadz Salman berujar lagi.

"lalu sekarang saya harus bagaimana ustadz?" tanya saya, dengan nada putus asa.
"Islam adalah agama yang benar, nak Bas. Dan Allah adalah sebaik-baiknya tempat minta petunjuk dan pertolongan. Memohonlah pada-Nya dengan ikhlas. Semoga Allah memberikan jalan terbaik dari persoalanmu." ustadz Salman menjawab ringan, "namun yang paling terpenting dari semua itu ialah, kamu harus bisa ikhlas menerima apa pun yang akan terjadi. Kamu harus percaya, bahwa jika memang kamu dan Aisyah ditakdirkan untuk berjodoh, maka Allah akan mempermudah segalanya. Namun jika tidak, maka kamu harus ikhlas. Karena Allah hanya akan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Mintalah yang terbaik kepada Allah, bukan sekedar meminta apa yang kamu inginkan.." kali ini ustadz Salman berbicara sambil menepuk-nepuk ringan pundak saya.
Entah mengapa saya merasa sedikit tenang setelah ustadz Salman melakukan hal tersebut.
Kalimat dan tepukannya itu seakan memberikan saya sebuah energi baru.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun izin pulang....

Saya kembali merenungi semua ucapan ustadz Salman. Saya kembali bertanya kepada hati saya sendiri. Benarkah saya masuk Islam hanya karena ingin mendapatkan cintanya Aisyah?
Saya telah belajar Islam begitu banyak, sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Saya mengagumi ajaran-ajaran Islam yang begitu indah dan sempurna. Kitab suci Al-Qur'an telah melukiskan keindahan Islam dengan begitu sempurna. Segala yang ada di bumi Allah ini, sudah tertulis jelas dalam Al-Qur'an. Segala ketentuan Allah adalah baik, kecuali bagi mereka yang tidak pandai bersyukur. Jodoh, maut dan rejeki adalah sebagian dari ketentuan-ketentuan Allah. Dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa merubah ketentuan tersebut, kecuali atas izin Allah.
Menyadari hal tersebut, saya pun mencoba menjalankan apa yang telah ustadz Salman sarankan.
Saya bangun tengah malam, berwudhu' dan melakasanakan sholat malam dengan khusyu', kemudian saya berdo'a dengan sepenuh hati. Meminta kepada Allah, agar saya diberi kesabaran dan keikhlasan, untuk bisa menerima segala ketentuan-Nya.

************

Siangnya, saya pun menghubungi Aisyah melalui telepon genggam. Saya hanya ingin meyakinkan, tentang bagaimana sebenarnya perasaan Aisyah kepada saya.
"saya tidak tahu pasti, apa yang saya rasakan terhadap bang Bas. Tapi sejujurnya, saya memang merasa nyaman, ketika berbicara dengan bang Bas. Saya kagum dengan perjuangan bang Bas untuk mempelajari Islam. Keingintahuan bang Bas tentang Islam. Hingga saya pun semakin kagum, ketika bang Bas memutuskan untuk memeluk Islam. Tapi saya tidak bisa mendefenisikan rasa kagum tersebut sebagai cinta. Karena cinta yang sesungguhnya hanyalah milik Allah." ucap Aisyah diujung telpon.
"jika bang Bas mencintai ciptaan Allah, maka mintalah pada-Nya. Karena sesungguhnya saya dan siapa pun itu, adalah milik Allah. Jika benar bang Bas mencintai saya, cintailah saya karena Allah. Mencintai makhluk Allah, sering membuat manusia terluka. Namun cinta karena Allah, tidak mengenal kata kecewa. Dan bang Bas harus meyakini hal itu..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tergugu mendengar semua itu. Sungguh sebuah kalimat yang luar biasa. Aisyah memang gadis yang shaleha. Akhlaknya sungguh membuat saya semakin mengaguminya.
"mengenai perjodohan saya dengan ustadz Lukman, sejujurnya saya sendiri tidak bisa menerimanya. Namun sebagai anak yang berbakti, saya juga tidak bisa menolaknya. Saya tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Sebagai anak, saya hanya ingin membuat kedua orang tua saya bahagia." Aisyah berbicara lagi, saat saya hanya terdiam.
"meski kamu harus mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri..?" tanyaku pelan.
Kudengar Aisyah menghembuskan napas berat,
"kebahagiaan adalah dambaan setiap orang. Namun apa arti kebahagiaan itu, jika harus menyakiti perasaan orang yang kita sayang. Jika kita melakukan sesuatu karena Allah, maka kebahagiaan itu akan mengikuti. Begitu juga ketika kita dengan ikhlas membuat orang lain bahagia, maka kebahagiaan itu juga akan hadir dalam hati kita..." jawaban Aisyah kian membuatku semakin terperangah.
Aisyah adalah contoh gadis yang memiliki akhlak yang mulia, pemikiran yang cerdas dan hati yang tulus.

Aisyah sudah sepatutnya untuk diperjuangkan. Bukan hanya karena ia gadis yang cantik secara fisik, tapi ia juga memiliki hati yang jauh lebih indah dari parasnya.
Tapi apa yang bisa kuperbuat saat ini?
Ustadz Lukman bukan laki-laki sembarangan. Ia juga memiliki akhlak yang indah, tutur bahasa yang sopan dan ilmu Islam yang tinggi. Tiba-tiba saya merasa, mereka adalah pasangan yang cocok. Mereka memang sudah ditakdirkan untuk bersama.
Tidak ada lagi yang harus saya perjuangkan. Saya hanya harus belajar ikhlas melepaskan sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untuk saya.
Tapi bagaimana dengan Aisyah sendiri. Akankah dia bahagia?
 
******
Bersambung ....

Islam-kan saya karena Allah (Part 3)

"apakah seseorang yang menikah karena terpaksa dan bukan karena cinta, juga bisa disebut jodoh, ustadz?" dalam sebuah kesempatan, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada ustadz Lukman. Kebetulan sekali pada saat itu, ustadz Lukman menjadi pemberi tausyiah atau ceramah singkat, pada suatu acara majelis ta'lim di rumah salah seorang warga. Dan kebetulan juga waktu itu, ia membahas tentang 'jodoh'.
Pada acara mejelis ta'lim seperti ini, kami sebagai peserta memang diberi kesempatan untuk bertanya. Saya sudah sering bertanya pada acara-acara seperti ini, namun selama ini saya hanya bertanya tentang sesuatu yang lebih umum.
Mendengar pertanyaan saya, ustadz Lukman spontan menatap saya, mata kami bertemu pandang beberapa saat. Namun segera ustadz Lukman mengalihkan pandangannya.
Saya pun melirik kesekeliling, beberapa pasang mata menatap saya tajam. Biar bagaimana pun, cerita tentang saya, Aisyah dan ustadz Lukman, sudah menjadi gosip hangat saat ini.
Tapi saya toh, tak perlu merasa bersalah. Pada saat-saat tertentu, pertanyaan saya adalah sesuatu yang normal. Saya juga tidak bermaksud menohok siapa pun. Terserah orang-orang menafsirkannya seperti apa.

Sebagai seseorang yang cukup profesional, tentu saja ustadz Lukman menjawab pertanyaan saya,
"ada tiga jenis jodoh yang kita kenal dalam Islam." suara ustadz Lukman cukup lantang, apa lagi dibantu oleh sebuah pengeras suara.
"yakni, yang pertama jodoh karena nafsu syetan. Yang artinya ialah ketika sepasang manusia bertemu, lalu saling tertarik, kemudian melakukan hubungan terlarang hingga hamil. Dan mau tidak mau mereka harus dinikahkan. Jodoh seperti ini ialah tidak baik, dan biasanya tidak akan bertahan lama. Sekalipun bisa bertahan lama, akan selalu banyak masalah dalam rumah tangganya.." ustadz Lukman menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan.
"yang kedua, jodoh karena bantuan Jin. Maksdunya ialah, ketika seseorang tertarik kepada orang lain, namun ternyata orang lain tersebut tidak tertarik padanya, atau lebih sering disebut cinta bertepuk sebelah tangan. Kemudian orang tersebut mengambil jalan pintas, dengan mendatangi dukun, agar orang yang ia inginkan tersebut, bisa tergila-gila padanya, hingga akhirnya mereka pun menikah. Jodoh seperti ini juga tidak baik."

"yang ketiga ialah jodoh karena Allah. Dan ini adalah yang terbaik. Ketika dua orang saling bertemu, lalu saling jatuh cinta, dan mereka berusaha menjaga pandangan dan perilaku mereka dari berbuat maksiat, sampai akhirnya mereka menikah. Jodoh seperti inilah yang dicintai oleh Allah.." ustadz Lukman mengakhiri kalimatnya.
Namun penjelasan tersebut, belum sepenuhnya menjawab pertanyaan saya. Ustadz Lukman sepertinya menyadari hal tersebut. Ia berpikir sejenak, lalu berujar lagi,
"tentang seseorang yang menikah tanpa dasar cinta, jika mereka berdua mampu menjaga hati dan pikirannya untuk tidak bermaksiat, hingga mereka menikah, artinya ini juga merupakan jodoh dari Allah. Mengenai ada atau tidaknya cinta diantara mereka, itu adalah kuasa Allah. Mereka akan tetap bahagia dan Allah akan menumbuhkan cinta diantara keduanya sepanjang perjalanan pernikahan mereka..."
"tapi bagaimana mungkin sebuah rumah tangga akan bahagia, bila tidak ada cinta di dalamnya? Dan tidak ada jaminan juga, bahwa pada akhirnya cinta itu akan tumbuh..." saya bertanya lagi, suara saya sedikit bergetar.

Ustadz Lukman berpikir lagi, kali ini sedikit lebih lama.
"cinta adalah rahasia Allah, seperti halnya jodoh. Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Kita juga tidak tahu, kapan kita akan jatuh cinta. Cinta adalah sebuah anugerah dari Allah. Jika Allah berkehendak, maka rasa benci pun bisa berubah menjadi cinta. Jadi tidak usah meragukan hal tersebut. Lagi pula kebahagiaan itu, tidak selalu tentang cinta..." jawaban ustadz Lukman kali ini cukup mengena hati saya.
Saya hanya terdiam.
"ada lagi yang ingin bertanya?" suara pembawa acara yang duduk tak jauh dari ustadz Lukman, memecahkan keheningan yang sempat tercipta beberapa detik.

**********

"sainganmu berat, bro.." celetuk pak Hasan, rekan guru saya yang senior.
Beliau satu-satunya tempat saya curhat selama ini, terutama soal Aisyah. Selain ustadz Salman sih.
"itu dia masalahnya pak..." balas saya dengan nada lemas. Kami ngobrol di salah satu kantin sekolah, saat itu jam istirahat. Saya dan pak Hasan memang sering ngobrol, saya dapat banyak pelajaran dari beliau. Terutama tentang cara menjadi guru yang baik.
Pak Hasan sudah dua puluh tahun menjadi guru, pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Usianya sekarang sudah mencapai 45 tahun. Tapi beliau punya semangat muda yang tinggi.
"tapi emang kamu yakin, kalau Aisyah juga suka sama kamu?" tanya pak Hasan dengan nada ragu.
"gak pasti juga sih, pak. Tapi kalau melihat dari cara dia memperhatikan dan memperlakukan saya selama ini, saya yakin kok, kalau Aisyah juga suka sama saya.."
"kalau memang Aisyah juga suka sama kamu, kenapa dia masih mau dijodohkan sama ustadz Lukman?"
"saya gak tahu, pak Hasan. Pusing saya..."

"udah, kamu tenang aja. Kalau jodoh mah gak bakal kemana. Yang penting kamu terus berdo'a dengan sungguh-sungguh, ya." kalimat pak Hasan yang energik, tak benar-benar memberikan saya semangat.
"ingat, bro. 'man saara ala darbi washala'...." sambungnya.
"apaan tuh?!" tanya saya sambil menatap wajah serius milik pak Hasan.
"siapa yang  berjalan di jalannya, akan sampai ditujuan..." balasnya, dengan nada seriusnya.
"gak ada hubungannya, pak Hasan..!!" suara saya meninggi. Saya mengalihkan pandangan.
Pak Hasan memang suka sekali membuat kalimat-kalimat yang aneh-aneh. Tapi saya tahu, ia hanya berniat ingin menghibur saya.
"emang gak ada, sih. Tapi minimal mendekatilah dengan kasusmu ini, bro." beliau memang suka menyebut anak muda jaman sekarang dengan panggilan sok akrabnya. Bro!
"tapi intinya, pokoknya kamu harus semangat, jangan putus asa, jangan menyerah. Kayak lirik lagu D'masiv, bro. Jangan menyerah! Jangan menyerah!..." pak Hasan berceloteh lagi dengan gaya guyon khasnya, sambil sedikit bernyanyi tentunya.

Kelakuan pak Hasan, terkadang memang cukup mampu membuat saya terhibur. Pak Hasan selalu punya cara membuat orang-orang disekelilingnya tertawa. Saya sudah menganggap beliau seperti ayah sendiri.
"kalau saya gak boleh menyerah, terus apa yang harus saya lakukan sekarang? Sebentar lagi mereka bakal nikah loh, pak Hasan." ucap saya lagi, setelah beberapa saat kami terdiam.
Pak Hasan terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius.
"bagaimana kalau kalian kawin lari saja..." ucapnya.
"ya Allah, pak. Saya serius ini..."
Pak Hasan terkekeh. Saya menatapnya tajam. Beliau menutup mulutnya segera, menahan tawa.
"oke, saya akan bantu kamu, bro. Tapi saya gak janji ini akan berhasil..." ucap pak Hasan, kali ini dengan nada yang benar-benar serius.

****************

"kamu benar..." ucap ustadz Lukman, beberapa hari kemudian. Kali ini tidak di depan publik. Hanya kami berdua. Ia mengundang saya untuk datang kerumahnya. Atas saran pak Hasan ternyata. Diam-diam pak Hasan mendatangi ustadz Lukman, dan meminta beliau untuk bertemu dengan saya.
'setidaknya kalian harus bersaing secara sehat dan sportif..' begitu bisik pak Hasan, sebelum saya berangkat ke ruman ustadz Lukman tadi.
"maksud ustadz apa ya..?" tanya saya kemudian.
"saya sangat mencintai Aisyah. Tapi saya juga tahu, kalau Aisyah tidak mencintai saya. Aisyah bersedia menikah dengan saya, hanya karena menghargai ayah saya dan juga ia menghormati keputusan orangtuanya." ustadz Lukman berucap lagi.
"lalu apa maksud ustadz mengundang saya kesini?" tanya saya lagi.
"hampir seminggu saya memikirkan hal ini. Kamu memang benar, tidak ada jaminan akan sebuah kebahagiaan untuk pernikahan yang tidak saling mencintai. Menyadari hal tersebut, saya pun mempertanyakan hal ini langsung kepada Aisyah. Tentang perasaannya. Tentang keinginannya yang sejujurnya. Aisyah menegaskan, bahwa ia akan tetap menikah dengan saya, dan akan belajar untuk mencintai saya.." jawab ustadz Lukman.

Untuk sesaat saya hanya terdiam, menunggu penjelasan ustadz Lukman selanjutnya.
"saya tahu ini tidak mudah. Saya juga tahu, kalau Aisyah tidak akan pernah mencintai saya, selama kamu masih ada di kampung ini.." ucap ustadz Lukman lagi.
"jadi maksud ustadz, saya harus pergi dari desa ini?" saya menelan ludah, suara saya sedikit serak.
"bukan! Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Saya tidak sepicik itu. Saya hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mencintai Aisyah. Bahwa kamu memang orang yang layak untuk Aisyah." ucapan itu sedikit membuat saya bingung.
"maksudnya?" saya bertanya lagi. Kening saya kembali berkerut.
"pernikahan saya dengan Aisyah tinggal menghitung hari. Sekarang semua tergantung saya, jika saya bersikeras untuk tetap menikah, maka pernikahan itu akan terjadi. Jika saya tidak ingin menikahi Aisyah, maka pernikahan kami akan dibatalkan. Kecuali...."
"kecuali apa?" tanya saya semakin penasaran.
"kecuali kalau kamu bisa membuktikan kepada saya dan juga Aisyah, bahwa kamu benar-benar mencintainya.."
"caranya?" kening saya berkerut dua kali lipat dari biasanya.

*****
Bersambung ....

Islam-kan saya karena Allah (part 4)

"assalamualaikum..." saya sedikit berteriak sambil mengetuk pintu rumah itu dengan pelan. Pintu itu terbuat dari kayu yang cukup keras. Sebuah rumah yang sangat sederhana. Seraut wajah tua laki-laki muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan tersebut.
"waalaikumsalam..." jawab laki-laki itu.
Saya tersenyum menatap laki-laki tua tersebut. Ini bukan pertama kalinya saya datang kesini. Namun tetap saja jantung saya berdegup sangat kencang.
Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum tipis.
"saya ingin bicara dengan Aisyah. Bisa?" tanya saya.
"ada apa lagi?" tanya laki-laki tua itu, yang tak lain adalah ayah Aisyah.
"Aisyah sudah tidak bisa keluar rumah lagi, ia sebentar lagi akan menikah..." lanjutnya
"yah, saya tahu.."
"lalu untuk apa bang Bas kesini?" suara itu tidak berasal dari laki-laki tersebut, tapi sebuah suara lembut milik seorang perempuan.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Aisyah sudah berdiri di belakang ayahnya.


Saya memasang senyum termanis saya, menatap gadis cantik itu. Aisyah hanya tersenyum tipis.
"bang Bas belum jawab pertanyaan saya.." ucap Aisyah lagi, sedikit membuat saya kaget.
"ah. oh, ya. Saya kesini hanya ingin memberikan ini..." saya berujar sambil menyerahkan sebuah kertas berlipat segi empat.
"apa ini?" tanya Aisyah, sambil mengambil kertas itu dari tangan saya, kali ini ia sudah berdiri di samping ayahnya.
"itu... itu dari ustadz Lukman.." suara saya tergagap.
"ustadz Lukman?" dengan penasaran Aisyah membuka kertas tersebut, di dalamnya terdapat beberapa kalimat tulisan tangan ustadz Lukman.
"surat apa itu?" kali ini ayah Aisyah yang ikut berbicara.
Aisyah tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Saya melihat, kalau Aisyah mencoba membaca surat itu sampai dua kali. Keningnya berkerut.

"apa isi suratnya?" ayah Aisyah bertanya lagi.
"ini surat dari ustadz Lukman. Ia meminta maaf karena harus pergi terburu-buru. Ia tidak sempat berpamitan. Ia juga minta maaf, jika harus membatalkan pernikahan kami. Katanya, ia akan melanjutkan kuliah S2 ke Madinah. Ia berangkat pagi tadi. Ia memberi saya kebebasan untuk memilih pasangan hidup yang saya inginkan. Saya tidak harus menunggunya. Katanya hal itu sudah ia sampaikan pada ayahnya. Intinya, pernikahan kami dibatalkan..." jawab Aisyah, tanpa melepaskan pandangannya dari tulisan tersebut.
"kok bisa?" tanya Aisyah, lebih kepada dirinya sendiri.
"saya bisa jelaskan. Tapi pertama, izinkan saya masuk dulu..." ucap saya menjawab kebingungan mereka berdua.
Serentak mereka menatap kearah saya. Saya memasang senyum manis lagi.

"jadi ceritanya begini.." ucap saya dengan gaya sok bijak, setelah mereka mempersilahkan saya duduk dan menyuguhkan segelas air putih. Jadilah. bathin saya.
Kedua wajah kebingungan itu menatap saya dengan penuh tanda tanya.
"seminggu yang lalu, saya diundang oleh ustadz Lukman untuk datang kerumahnya. Mulanya saya merasa enggan untuk datang, karena biar bagaimana pun beliau adalah rival saya." saya tersenyum nyengir, "namun mengingat yang mengundang adalah seorang ustadz, saya akhirnya memutuskan untuk datang. Meski dengan berat hati tentunya." saya menghela napas.
"sesampai disana kami pun berbicara dari hati ke hati, sebagai sesama laki-laki yang sudah dewasa. Dan tentu saja sebagai sesama laki-laki yang mencintai gadis yang sama." saya nyengir lagi.
Sepertinya mereka berdua mulai jengah melihat saya.
"ustadz Lukman tahu, kalau Aisyah tidak mencintainya. Tapi ustadz Lukman sangat mencintai Aisyah. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Aisyah. Ustadz Lukman seorang laki-laki terhormat dan sangat bijak. Ia tahu, kalau saya juga mencintai Aisyah. Namun ia tidak yakin, kalau saya akan bisa menjadi imam yang baik untuk Aisyah..." kali ini saya manarik napas lagi, dua kali.

"beliau khawatir, kalau Aisyah salah dalam memilih jodoh. Apa lagi kalau orangnya itu saya. Karena seperti kita semua tahu, saya baru menjadi Islam belum sampai setahun. Beliau tidak yakin, kalau saya bisa menjadi muslim yang taat. Untuk itu kemudian beliau hendak menguji saya. Beliau meminta saya untuk menghafal salah satu surah dalam Al-Qur'an, yakni surah Yasin. Jika dalam waktu satu hari, saya bisa menghafal surah Yasin, maka beliau akan yakin, bahwa saya benar-benar tulus mencintai Aisyah." saya berhenti sejenak, menghembuskan napas lagi.
"karenaaa..." saya meninggikan suara, ketika saya lihat Aisyah hendak membuka mulutnya untuk berbicara, "menurut beliau, jika saya memang serius untuk mempersunting Aisyah, maka saya pasti bisa menghafal surah Yasin tersebut, bahkan tidak sampai dalam waktu sehari...." lanjut saya lagi.
"dan?" kali ini ayah Aisyah yang mengeluarkan suara.
"dan ternyata, karena saya memang benar-benar mencintai Aisyah dengan tulus, atas izin Allah, alhamdulillah saya sudah hafal surah Yasin tersebut. Sekali lagi ustadz Lukman adalah laki-laki terhormat, ia menepati janjinya. Seperti yang tertulis di surat yasin eh surat itu, maksud saya," sambil menunjuk ke surat yang masih dalam genggaman tangan lembut milik Aisyah.

"kira-kira sampai disini kalian paham gak?" tanya saya dengan gaya kocak seorang guru di depan murid-muridnya. "kalau kurang paham akan saya ulangi dari awal..." lanjut saya masih dengan gaya yang sama.
"gak..gak... gak usah..." jawab mereka hampir serempak.
Laki-laki tua itu menghempaskan napas beratnya. Entah karena kecewa atau karena lega, saya juga kurang yakin.
Sementara Aisyah menggigit bibirnya sendiri. Saya juga tidak tahu, mengapa Aisyah melakukan hal itu di depan saya. Mungkin dia geram. Saya membathin.
"jadi sekarang gimana?" tanya saya akhirnya, setelah sejenak kami hanyut dalam lamunan kami masing-masing.
"gimana apanya?" tanya Aisyah, sambil melepaskan gigitan bibirnya.
"lamaran saya diterima gak..?" kali ini saya bertanya dengan nada terdengar benar-benar serius.
Mereka berdua terdiam, saling pandang.
"saya terserah ayah..." suara Aisyah terdengar sangat pelan, seakan berbisik. Kepalanya tertunduk.

***********
"saya terima nikahnya, Aisyah Nurmala binti Akmal Hadi, dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai..." akhirnya saya mengucapkan kalimat itu dengan benar, setelah lebih dari lima kali diulang.
Kemudian para hadirin yang hadir pun berteriak serempak. Sah!!!
Yah. Saya dan Aisyah akhirnya menikah, setelah melewati drama yang sangat panjang. Sebuah pernikahan yang sederhana. Dilaksanakan dirumah Aisyah, yang hanya dihadiri oleh keluarga dekat kami saja.
"yang penting itu ijab kabulnya, bukan pestanya..." begitu alasan orangtua Aisyah, ketika saya mengusulkan untuk membuat acara resepsi sederhana.
Tapi itu tidak jadi masalah sekarang bagi saya. Yang terpenting dari semuanya, saya akhirnya bisa menikah dengan gadis yang selama ini saya impikan. Dengan izin Allah tentunya.

Ternyata kekuatan do'a itu sangat luar biasa. Saya jadi semakin mencintai Islam karenanya. Saya mencintai Islam, bukan karena Aisyah yang cantik. Atau karena seorang ustadz Lukman yang sungguh terhormat, saya begitu menghargai beliau.
Saya mencintai Islam, karena saya memang telah jatuh cinta padanya. Saya mencintai Islam karena Allah. Saya memeluk Islam karena Allah.
Seperti yang Aisyah pernah ucapkan, "ketika kita ikhlas, maka kebahagiaan akan mengikuti kita".
Atau seperti pepatah pak Hasan, "man saara ala darbi washala..."
Akhirnya saya menemukan jawabannya, ternyata kalimat tersebut pak Hasan ambil dari sebuah buku karya penulis terkenal, A. Fuadi. Kalau tidak salah buku tersebut berjudul 'Rantau satu muara', salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.

Sekian ...

Kisah Si Badui yang hendak menghisab Allah Swt...

Pada zaman dahulu kala, zaman dimana baginda Rasulullah Saw masih hidup.
Terdapatlah sebuah kisah tentang seorang Badui yang baru saja memeluk agama Islam.
Si Badui ini, diceritakan dalam sejarah, adalah berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kehidupan ekonominya sangat terbatas, dan ia tinggal sangat jauh dari Madinah.
Si Badui belum pernah bertemu secara langsung dengan Nabi Muhammad Saw.
Ia memeluk Islam dan belajar tentang Islam dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran dari baginda Rasulullah Saw.
Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, si Badui mampu menjadi seorang mukmin yang taat, dan bahkan ia sangat mencintai Rasulullah Saw, meski ia belum pernah berjumpa.
Ia sangat mengagumi sosok Rasulullah Saw, dan ia berharap suatu saat kelak ia bisa bertemu langsung dengan baginda Rasulullah Saw.
Selama ini si Badui hanya mendengar tentang kehebatan Rasulullah dari cerita-cerita kaum muslimin lainnya.

Pada suatu ketika si Badui mengikuti rombongan kabilahnya yang melaksanakan ibadah umroh ke Mekkah. Sebagai seorang yang baru saja memeluk Islam, si Badui belum mengetahui dengan benar bagaimana cara pelaksanaan ibadah umroh sesuai ajaran Nabi Saw.
Untuk itu ia mencoba memisahkan diri dari rombongannya, dan membaca satu-satunya dzikir yang ia hafal, berulang-ulang.
"yaa Kariim, yaa Kariim, yaa Kariim...." tasbihnya terus-menerus.
Dia berdzikir sendirian, sengaja menjauh dari orang-orang lainnya.

Si Badui memang bukanlah seorang yang cerdas, sehingga ia belum mampu menghafal dengan tepat do'a atau dzikir yang seharusnya orang-orang baca ketika thawaf.
Ia hanya membaca dzikir 'ya Kariim' berulang-ulang dengan sangat khusyu'.
Saat ia sedang berdzikir sendirian itulah, tiba-tiba seorang laki-laki berjalan mengikutinya dari belakang, sambil mengucapkan juga dzikir, "yaa Kariim... yaa Kariim..." berulang-ulang seperti yang dilakukan si Badui.
Mendengar hal tersebut, si Badui pun berpindah dan menjauh dari orang tersebut, sambil terus melafadzkan dzikirnya. Si Badui mengira orang tersebut hanya memperoloknya.
Namun laki-laki tersebut terus saja mengikutinya kemana pun si Badui berjalan dan menghindar.
Laki-laki itu masih saja mengikuti si Badui sambil terus mengucapkan dzikir yang sama.

*****

Merasa terus diperolok-olok, si Badui menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya menghadap laki-laki tersebut. Ia melihat seorang laki-laki dengan wajah sangat cerah dan berbadan sangat tegap.
Dengan sedikit tergagap si Badui pun berucap,
"wahai orang yang berwajah cerah, apakah anda sedang memperolok saya? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu saja saya sudah mengadukan kamu kepada kekasihku...."
Laki-laki yang berdiri di hadapan si Badui pun tersenyum sambil berkata,
"wahai saudaraku, siapakah kekasihmu itu?"
"ia adalah Nabiku, Muhammad Rasulullah Saw..." balas si Badui dengan suara lantang.

Mendengarkan ucapan si Badui barusan, laki-laki tersebut semakin melebarkan senyumannya.
"wahai saudaraku Badui, apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan kekasihmu itu..?" laki-laki itu bertanya lagi, suaranya begitu lembut.
"tentu saja belum..." si Badui menjawab pelan.
"bagaimana mungkin kamu bisa mencintai seseorang yang bahkan engkau belum mengenalnya dan belum bertemu dengannya? Bagaimana bisa engkau mengimaninya?" tanya laki-laki itu lagi.
Si Badui berpikir sejenak, lalu dengan tegas menjawab,
"saya beriman atas kenabiannya, meski saya belum pernah melihatnya. Saya membenarkan kerasulannya meski saya belum pernah bertemu dengannya..."

Laki-laki itu tersenyum lagi dan menatap si Badui cukup lama.
"wahai saudaraku orang badui, saya inilah orang yang engkau cintai tersebut. Saya inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat padamu di akhirat kelak..." laki-laki itu berkata dengan penuh kelembutan.
Si Badui menatap tajam laki-laki itu, ia sempat berpikir kalau laki-laki tersebut hanya memperoloknya lagi. Tapi melihat penampilan dan cara berbicara laki-laki dihadapannya, si Badui sangat yakin bahwa orang tersebut ialah baginda Rasulullah Saw yang sangat dirinduinya selama ini.
Lelaki yang berdiri dihadapan orang Badui tersebut memanglah sosok Nabi Muhammad Saw, yang juga sedang melaksanakan ibadah umroh saat itu. Baginda Rasulullah sengaja mengikuti si Badui, karena melihat tingkahnya yang unik dan polos, menyendiri, tetapi tampak begitu khusyu' melafadzkan dzikirnya.

Si Badui masih menatap Rasulullah Saw setengah tak percaya, matanya berkaca penuh keharuan. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang selama ini sangat ia kagumi. Sambil menahan haru si Badui pun berjalan dengan pelan mendekati Rasulullah, ia menunduk dan hendak mencium tangan Nabi Muhammad Saw. Namun Rasulullah segera memegang pundak si Badui dan beliau pun berkata,
"wahai saudaraku, jangan perlakukan saya sebagaimana orang-orang asing memperlakukan para rajanya, karena sesunggunya saya diutus oleh Allah bukanlah sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Allah mengutus saya dengan kebenaran, sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di syurga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) ..."

Si Badui masih menatap penuh kekaguman, hatinya begitu gembira bisa bertemu dengan baginda Rasulullah Saw.
Saat itulah tiba-tiba malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah Swt kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau untuk menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut.
Rasulullah pun menyampaikan kalimat tersebut kepada si Badui,
"hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah ; yaa Kariim) bisa memperdayakan. Dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, baik yang sedikit ataupun yang banyak, yang kecil maupun yang besar..."
Mendengar ucapan Rasulullah tersebut, si Badui pun bertanya...
"ya Rasulullah, apakah Allah Swt akan menghisab saya?"
"iya. Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki..." jawab Rasulullah.

Si Badui tiba-tiba berucap sesuatu yang tak disangka-sangka,
"demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya...!"
Nabi Muhammad Saw tersenyum kembali mendengar ucapan si Badui tersebut, beliau pun bersabda,
"dengan apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai Badui saudaraku?"
"jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfiroh-Nya, jika Dia menghsiabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Allah menghisabku karena kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya..." ucap si Badui lagi.

Nabi Muhammad Saw sangat terharu mendengar jawaban si Badui, sampai beliau menangis meneteskan air mata yang membasahi jenggotnya. Jawaban yang sangat sederhana, namun mencerminkan betapa 'akrabnya' si Badui Sang Pencipta-nya, betapa tinggi tingkat ma'rifatnya kepada Allah, padahal ia belum pernah mendapatkan didikan langsung dari baginda Rasulullah Saw.
Sekali lagi malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata,
"wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman : kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab kami dan kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di syurga..."
Rasulullah pun dengan segera mengusap air matanya. Beliau tersenyum menatap kagum kepada sosok si Badui yang masih berdiri di depannya.

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate