Islam-kan saya karena Allah (Part 3)

"apakah seseorang yang menikah karena terpaksa dan bukan karena cinta, juga bisa disebut jodoh, ustadz?" dalam sebuah kesempatan, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada ustadz Lukman. Kebetulan sekali pada saat itu, ustadz Lukman menjadi pemberi tausyiah atau ceramah singkat, pada suatu acara majelis ta'lim di rumah salah seorang warga. Dan kebetulan juga waktu itu, ia membahas tentang 'jodoh'.
Pada acara mejelis ta'lim seperti ini, kami sebagai peserta memang diberi kesempatan untuk bertanya. Saya sudah sering bertanya pada acara-acara seperti ini, namun selama ini saya hanya bertanya tentang sesuatu yang lebih umum.
Mendengar pertanyaan saya, ustadz Lukman spontan menatap saya, mata kami bertemu pandang beberapa saat. Namun segera ustadz Lukman mengalihkan pandangannya.
Saya pun melirik kesekeliling, beberapa pasang mata menatap saya tajam. Biar bagaimana pun, cerita tentang saya, Aisyah dan ustadz Lukman, sudah menjadi gosip hangat saat ini.
Tapi saya toh, tak perlu merasa bersalah. Pada saat-saat tertentu, pertanyaan saya adalah sesuatu yang normal. Saya juga tidak bermaksud menohok siapa pun. Terserah orang-orang menafsirkannya seperti apa.

Sebagai seseorang yang cukup profesional, tentu saja ustadz Lukman menjawab pertanyaan saya,
"ada tiga jenis jodoh yang kita kenal dalam Islam." suara ustadz Lukman cukup lantang, apa lagi dibantu oleh sebuah pengeras suara.
"yakni, yang pertama jodoh karena nafsu syetan. Yang artinya ialah ketika sepasang manusia bertemu, lalu saling tertarik, kemudian melakukan hubungan terlarang hingga hamil. Dan mau tidak mau mereka harus dinikahkan. Jodoh seperti ini ialah tidak baik, dan biasanya tidak akan bertahan lama. Sekalipun bisa bertahan lama, akan selalu banyak masalah dalam rumah tangganya.." ustadz Lukman menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan.
"yang kedua, jodoh karena bantuan Jin. Maksdunya ialah, ketika seseorang tertarik kepada orang lain, namun ternyata orang lain tersebut tidak tertarik padanya, atau lebih sering disebut cinta bertepuk sebelah tangan. Kemudian orang tersebut mengambil jalan pintas, dengan mendatangi dukun, agar orang yang ia inginkan tersebut, bisa tergila-gila padanya, hingga akhirnya mereka pun menikah. Jodoh seperti ini juga tidak baik."

"yang ketiga ialah jodoh karena Allah. Dan ini adalah yang terbaik. Ketika dua orang saling bertemu, lalu saling jatuh cinta, dan mereka berusaha menjaga pandangan dan perilaku mereka dari berbuat maksiat, sampai akhirnya mereka menikah. Jodoh seperti inilah yang dicintai oleh Allah.." ustadz Lukman mengakhiri kalimatnya.
Namun penjelasan tersebut, belum sepenuhnya menjawab pertanyaan saya. Ustadz Lukman sepertinya menyadari hal tersebut. Ia berpikir sejenak, lalu berujar lagi,
"tentang seseorang yang menikah tanpa dasar cinta, jika mereka berdua mampu menjaga hati dan pikirannya untuk tidak bermaksiat, hingga mereka menikah, artinya ini juga merupakan jodoh dari Allah. Mengenai ada atau tidaknya cinta diantara mereka, itu adalah kuasa Allah. Mereka akan tetap bahagia dan Allah akan menumbuhkan cinta diantara keduanya sepanjang perjalanan pernikahan mereka..."
"tapi bagaimana mungkin sebuah rumah tangga akan bahagia, bila tidak ada cinta di dalamnya? Dan tidak ada jaminan juga, bahwa pada akhirnya cinta itu akan tumbuh..." saya bertanya lagi, suara saya sedikit bergetar.

Ustadz Lukman berpikir lagi, kali ini sedikit lebih lama.
"cinta adalah rahasia Allah, seperti halnya jodoh. Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Kita juga tidak tahu, kapan kita akan jatuh cinta. Cinta adalah sebuah anugerah dari Allah. Jika Allah berkehendak, maka rasa benci pun bisa berubah menjadi cinta. Jadi tidak usah meragukan hal tersebut. Lagi pula kebahagiaan itu, tidak selalu tentang cinta..." jawaban ustadz Lukman kali ini cukup mengena hati saya.
Saya hanya terdiam.
"ada lagi yang ingin bertanya?" suara pembawa acara yang duduk tak jauh dari ustadz Lukman, memecahkan keheningan yang sempat tercipta beberapa detik.

**********

"sainganmu berat, bro.." celetuk pak Hasan, rekan guru saya yang senior.
Beliau satu-satunya tempat saya curhat selama ini, terutama soal Aisyah. Selain ustadz Salman sih.
"itu dia masalahnya pak..." balas saya dengan nada lemas. Kami ngobrol di salah satu kantin sekolah, saat itu jam istirahat. Saya dan pak Hasan memang sering ngobrol, saya dapat banyak pelajaran dari beliau. Terutama tentang cara menjadi guru yang baik.
Pak Hasan sudah dua puluh tahun menjadi guru, pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Usianya sekarang sudah mencapai 45 tahun. Tapi beliau punya semangat muda yang tinggi.
"tapi emang kamu yakin, kalau Aisyah juga suka sama kamu?" tanya pak Hasan dengan nada ragu.
"gak pasti juga sih, pak. Tapi kalau melihat dari cara dia memperhatikan dan memperlakukan saya selama ini, saya yakin kok, kalau Aisyah juga suka sama saya.."
"kalau memang Aisyah juga suka sama kamu, kenapa dia masih mau dijodohkan sama ustadz Lukman?"
"saya gak tahu, pak Hasan. Pusing saya..."

"udah, kamu tenang aja. Kalau jodoh mah gak bakal kemana. Yang penting kamu terus berdo'a dengan sungguh-sungguh, ya." kalimat pak Hasan yang energik, tak benar-benar memberikan saya semangat.
"ingat, bro. 'man saara ala darbi washala'...." sambungnya.
"apaan tuh?!" tanya saya sambil menatap wajah serius milik pak Hasan.
"siapa yang  berjalan di jalannya, akan sampai ditujuan..." balasnya, dengan nada seriusnya.
"gak ada hubungannya, pak Hasan..!!" suara saya meninggi. Saya mengalihkan pandangan.
Pak Hasan memang suka sekali membuat kalimat-kalimat yang aneh-aneh. Tapi saya tahu, ia hanya berniat ingin menghibur saya.
"emang gak ada, sih. Tapi minimal mendekatilah dengan kasusmu ini, bro." beliau memang suka menyebut anak muda jaman sekarang dengan panggilan sok akrabnya. Bro!
"tapi intinya, pokoknya kamu harus semangat, jangan putus asa, jangan menyerah. Kayak lirik lagu D'masiv, bro. Jangan menyerah! Jangan menyerah!..." pak Hasan berceloteh lagi dengan gaya guyon khasnya, sambil sedikit bernyanyi tentunya.

Kelakuan pak Hasan, terkadang memang cukup mampu membuat saya terhibur. Pak Hasan selalu punya cara membuat orang-orang disekelilingnya tertawa. Saya sudah menganggap beliau seperti ayah sendiri.
"kalau saya gak boleh menyerah, terus apa yang harus saya lakukan sekarang? Sebentar lagi mereka bakal nikah loh, pak Hasan." ucap saya lagi, setelah beberapa saat kami terdiam.
Pak Hasan terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius.
"bagaimana kalau kalian kawin lari saja..." ucapnya.
"ya Allah, pak. Saya serius ini..."
Pak Hasan terkekeh. Saya menatapnya tajam. Beliau menutup mulutnya segera, menahan tawa.
"oke, saya akan bantu kamu, bro. Tapi saya gak janji ini akan berhasil..." ucap pak Hasan, kali ini dengan nada yang benar-benar serius.

****************

"kamu benar..." ucap ustadz Lukman, beberapa hari kemudian. Kali ini tidak di depan publik. Hanya kami berdua. Ia mengundang saya untuk datang kerumahnya. Atas saran pak Hasan ternyata. Diam-diam pak Hasan mendatangi ustadz Lukman, dan meminta beliau untuk bertemu dengan saya.
'setidaknya kalian harus bersaing secara sehat dan sportif..' begitu bisik pak Hasan, sebelum saya berangkat ke ruman ustadz Lukman tadi.
"maksud ustadz apa ya..?" tanya saya kemudian.
"saya sangat mencintai Aisyah. Tapi saya juga tahu, kalau Aisyah tidak mencintai saya. Aisyah bersedia menikah dengan saya, hanya karena menghargai ayah saya dan juga ia menghormati keputusan orangtuanya." ustadz Lukman berucap lagi.
"lalu apa maksud ustadz mengundang saya kesini?" tanya saya lagi.
"hampir seminggu saya memikirkan hal ini. Kamu memang benar, tidak ada jaminan akan sebuah kebahagiaan untuk pernikahan yang tidak saling mencintai. Menyadari hal tersebut, saya pun mempertanyakan hal ini langsung kepada Aisyah. Tentang perasaannya. Tentang keinginannya yang sejujurnya. Aisyah menegaskan, bahwa ia akan tetap menikah dengan saya, dan akan belajar untuk mencintai saya.." jawab ustadz Lukman.

Untuk sesaat saya hanya terdiam, menunggu penjelasan ustadz Lukman selanjutnya.
"saya tahu ini tidak mudah. Saya juga tahu, kalau Aisyah tidak akan pernah mencintai saya, selama kamu masih ada di kampung ini.." ucap ustadz Lukman lagi.
"jadi maksud ustadz, saya harus pergi dari desa ini?" saya menelan ludah, suara saya sedikit serak.
"bukan! Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Saya tidak sepicik itu. Saya hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mencintai Aisyah. Bahwa kamu memang orang yang layak untuk Aisyah." ucapan itu sedikit membuat saya bingung.
"maksudnya?" saya bertanya lagi. Kening saya kembali berkerut.
"pernikahan saya dengan Aisyah tinggal menghitung hari. Sekarang semua tergantung saya, jika saya bersikeras untuk tetap menikah, maka pernikahan itu akan terjadi. Jika saya tidak ingin menikahi Aisyah, maka pernikahan kami akan dibatalkan. Kecuali...."
"kecuali apa?" tanya saya semakin penasaran.
"kecuali kalau kamu bisa membuktikan kepada saya dan juga Aisyah, bahwa kamu benar-benar mencintainya.."
"caranya?" kening saya berkerut dua kali lipat dari biasanya.

*****
Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate