"assalamualaikum..." saya sedikit berteriak sambil mengetuk pintu
rumah itu dengan pelan. Pintu itu terbuat dari kayu yang cukup keras.
Sebuah rumah yang sangat sederhana. Seraut wajah tua laki-laki muncul
dari balik pintu yang terbuka perlahan tersebut.
"waalaikumsalam..." jawab laki-laki itu.
Saya
tersenyum menatap laki-laki tua tersebut. Ini bukan pertama kalinya saya
datang kesini. Namun tetap saja jantung saya berdegup sangat kencang.
Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum tipis.
"saya ingin bicara dengan Aisyah. Bisa?" tanya saya.
"ada apa lagi?" tanya laki-laki tua itu, yang tak lain adalah ayah Aisyah.
"Aisyah sudah tidak bisa keluar rumah lagi, ia sebentar lagi akan menikah..." lanjutnya
"yah, saya tahu.."
"lalu
untuk apa bang Bas kesini?" suara itu tidak berasal dari laki-laki
tersebut, tapi sebuah suara lembut milik seorang perempuan.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Aisyah sudah berdiri di belakang ayahnya.
Saya memasang senyum termanis saya, menatap gadis cantik itu. Aisyah hanya tersenyum tipis.
"bang Bas belum jawab pertanyaan saya.." ucap Aisyah lagi, sedikit membuat saya kaget.
"ah. oh, ya. Saya kesini hanya ingin memberikan ini..." saya berujar sambil menyerahkan sebuah kertas berlipat segi empat.
"apa ini?" tanya Aisyah, sambil mengambil kertas itu dari tangan saya, kali ini ia sudah berdiri di samping ayahnya.
"itu... itu dari ustadz Lukman.." suara saya tergagap.
"ustadz
Lukman?" dengan penasaran Aisyah membuka kertas tersebut, di dalamnya
terdapat beberapa kalimat tulisan tangan ustadz Lukman.
"surat apa itu?" kali ini ayah Aisyah yang ikut berbicara.
Aisyah
tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Saya melihat, kalau Aisyah
mencoba membaca surat itu sampai dua kali. Keningnya berkerut.
"apa isi suratnya?" ayah Aisyah bertanya lagi.
"ini surat
dari ustadz Lukman. Ia meminta maaf karena harus pergi terburu-buru. Ia
tidak sempat berpamitan. Ia juga minta maaf, jika harus membatalkan
pernikahan kami. Katanya, ia akan melanjutkan kuliah S2 ke Madinah. Ia
berangkat pagi tadi. Ia memberi saya kebebasan untuk memilih pasangan
hidup yang saya inginkan. Saya tidak harus menunggunya. Katanya hal itu
sudah ia sampaikan pada ayahnya. Intinya, pernikahan kami dibatalkan..."
jawab Aisyah, tanpa melepaskan pandangannya dari tulisan tersebut.
"kok bisa?" tanya Aisyah, lebih kepada dirinya sendiri.
"saya bisa jelaskan. Tapi pertama, izinkan saya masuk dulu..." ucap saya menjawab kebingungan mereka berdua.
Serentak mereka menatap kearah saya. Saya memasang senyum manis lagi.
"jadi
ceritanya begini.." ucap saya dengan gaya sok bijak, setelah mereka
mempersilahkan saya duduk dan menyuguhkan segelas air putih. Jadilah.
bathin saya.
Kedua wajah kebingungan itu menatap saya dengan penuh tanda tanya.
"seminggu
yang lalu, saya diundang oleh ustadz Lukman untuk datang kerumahnya.
Mulanya saya merasa enggan untuk datang, karena biar bagaimana pun
beliau adalah rival saya." saya tersenyum nyengir, "namun mengingat yang
mengundang adalah seorang ustadz, saya akhirnya memutuskan untuk
datang. Meski dengan berat hati tentunya." saya menghela napas.
"sesampai
disana kami pun berbicara dari hati ke hati, sebagai sesama laki-laki
yang sudah dewasa. Dan tentu saja sebagai sesama laki-laki yang
mencintai gadis yang sama." saya nyengir lagi.
Sepertinya mereka berdua mulai jengah melihat saya.
"ustadz
Lukman tahu, kalau Aisyah tidak mencintainya. Tapi ustadz Lukman sangat
mencintai Aisyah. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Aisyah. Ustadz
Lukman seorang laki-laki terhormat dan sangat bijak. Ia tahu, kalau saya
juga mencintai Aisyah. Namun ia tidak yakin, kalau saya akan bisa
menjadi imam yang baik untuk Aisyah..." kali ini saya manarik napas
lagi, dua kali.
"beliau khawatir, kalau Aisyah salah dalam memilih jodoh. Apa lagi kalau orangnya itu saya. Karena seperti kita semua tahu, saya baru menjadi Islam belum sampai setahun. Beliau tidak yakin, kalau saya bisa menjadi muslim yang taat. Untuk itu kemudian beliau hendak menguji saya. Beliau meminta saya untuk menghafal salah satu surah dalam Al-Qur'an, yakni surah Yasin. Jika dalam waktu satu hari, saya bisa menghafal surah Yasin, maka beliau akan yakin, bahwa saya benar-benar tulus mencintai Aisyah." saya berhenti sejenak, menghembuskan napas lagi.
"karenaaa..." saya meninggikan suara, ketika saya lihat Aisyah hendak membuka mulutnya untuk berbicara, "menurut beliau, jika saya memang serius untuk mempersunting Aisyah, maka saya pasti bisa menghafal surah Yasin tersebut, bahkan tidak sampai dalam waktu sehari...." lanjut saya lagi.
"dan?" kali ini ayah Aisyah yang mengeluarkan suara.
"dan ternyata, karena saya memang benar-benar mencintai Aisyah dengan tulus, atas izin Allah, alhamdulillah saya sudah hafal surah Yasin tersebut. Sekali lagi ustadz Lukman adalah laki-laki terhormat, ia menepati janjinya. Seperti yang tertulis di surat yasin eh surat itu, maksud saya," sambil menunjuk ke surat yang masih dalam genggaman tangan lembut milik Aisyah.
"kira-kira sampai disini kalian paham gak?" tanya saya dengan gaya kocak seorang guru di depan murid-muridnya. "kalau kurang paham akan saya ulangi dari awal..." lanjut saya masih dengan gaya yang sama.
"gak..gak... gak usah..." jawab mereka hampir serempak.
Laki-laki tua itu menghempaskan napas beratnya. Entah karena kecewa atau karena lega, saya juga kurang yakin.
Sementara Aisyah menggigit bibirnya sendiri. Saya juga tidak tahu, mengapa Aisyah melakukan hal itu di depan saya. Mungkin dia geram. Saya membathin.
"jadi sekarang gimana?" tanya saya akhirnya, setelah sejenak kami hanyut dalam lamunan kami masing-masing.
"gimana apanya?" tanya Aisyah, sambil melepaskan gigitan bibirnya.
"lamaran saya diterima gak..?" kali ini saya bertanya dengan nada terdengar benar-benar serius.
Mereka berdua terdiam, saling pandang.
"saya terserah ayah..." suara Aisyah terdengar sangat pelan, seakan berbisik. Kepalanya tertunduk.
***********
"saya terima nikahnya, Aisyah Nurmala binti Akmal Hadi, dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai..." akhirnya saya mengucapkan kalimat itu dengan benar, setelah lebih dari lima kali diulang.
Kemudian para hadirin yang hadir pun berteriak serempak. Sah!!!
Yah. Saya dan Aisyah akhirnya menikah, setelah melewati drama yang sangat panjang. Sebuah pernikahan yang sederhana. Dilaksanakan dirumah Aisyah, yang hanya dihadiri oleh keluarga dekat kami saja.
"yang penting itu ijab kabulnya, bukan pestanya..." begitu alasan orangtua Aisyah, ketika saya mengusulkan untuk membuat acara resepsi sederhana.
Tapi itu tidak jadi masalah sekarang bagi saya. Yang terpenting dari semuanya, saya akhirnya bisa menikah dengan gadis yang selama ini saya impikan. Dengan izin Allah tentunya.
Ternyata kekuatan do'a itu sangat luar biasa. Saya jadi semakin mencintai Islam karenanya. Saya mencintai Islam, bukan karena Aisyah yang cantik. Atau karena seorang ustadz Lukman yang sungguh terhormat, saya begitu menghargai beliau.
Saya mencintai Islam, karena saya memang telah jatuh cinta padanya. Saya mencintai Islam karena Allah. Saya memeluk Islam karena Allah.
Seperti yang Aisyah pernah ucapkan, "ketika kita ikhlas, maka kebahagiaan akan mengikuti kita".
Atau seperti pepatah pak Hasan, "man saara ala darbi washala..."
Akhirnya saya menemukan jawabannya, ternyata kalimat tersebut pak Hasan ambil dari sebuah buku karya penulis terkenal, A. Fuadi. Kalau tidak salah buku tersebut berjudul 'Rantau satu muara', salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.
Sekian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar