"aku ingin kita putus, Mil..." ucapku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam. Aku menatap wajah cantik yang sejak tadi duduk di sampingku. Suara hiruk pikuk bunyi kendaraan di jalan terdengar semakin sibuk sore itu. Kami duduk disebuah bangku taman yang berada dipinggiran jalan raya.
Gadis itu, Mila, menoleh padaku. Mata kami bersirobok pandang. Tapi aku segera memalingkan wajah, menatap lalu lalang kendaraan. Aku merasakan tatapan Mila begitu tajam padaku.
"kamu kenapa, Don?" ucapnya, suaranya masih terdengar begitu lembut.
"aku? aku gak kenapa-kenapa. Aku hanya ingin kita mengakhiri semua ini.." balasku.
"iya. Tapi kenapa tiba-tiba kamu ingin putus? Dua tahun, Don. Dua tahun kita menjalin hubungan ini, tanpa ada masalah yang berarti. Sekarang tiba-tiba kamu ingin kita putus! Itu aneh, Doni.." kali ini suara Mila cukup lantang, matanya masih saja menatapku tajam.
"aku gak sanggup lagi, Mil..."
"melanjutkan hubungan kita?"
"yah..." desahku sangat pelan.
"aku butuh penjelasan, Don." Mila berujar lagi, kali ini matanya sudah tidak lagi menatapku.
"aku rasa semuanya sudah cukup jelas..."
"jelas apanya sih, Don. Jelas kalau kamu merasa tidak pantas denganku? Karena kamu hanya seorang pengamen?" Suara Mila meninggi.
Aku menarik napas, lalu berdiri.
"iya, Mil! Itu yang harusnya aku sampaikan sama kamu. Aku hanya seorang pengamen jalanan, sedang kamu adalah seorang putri. Kamu putri seorang pengusaha kaya, Mil. Sudah tidak ada lagi alasan apapun bagiku, untuk tetap bisa bersama kamu.." suaraku tertekan menahan gejolak. Hatiku sakit mendengar ucapanku sendiri.
Mila akhirnya ikut berdiri, ia melangkah mendekatiku. Kami hanya berjarak tak lebih dari setengah meter.
"lihat aku, Doni..." ucap Mila, melihat aku hanya tertunduk.
Aku mencoba mengangkat wajahku. Mata kami bertemu pandang lagi. Aku merasa jengah.
"aku tak menyangka kamu akan sepicik ini, Don. Bukankah dari awal, aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku tak peduli dengan status kamu. Mau kamu pengamen, kek. Pemulung, kek. Itu tidak akan mengubah apa pun. Aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu. Selama kamu tidak membuat aku sakit, itu sudah lebih dari cukup bagiku." suara Mila terdengar sedikit serak.
Aku terdiam. Tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya pada Mila. Hubungan kami mungkin sudah terlalu dalam. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami saling mendalami perasaan masing-masing. Aku memang mencintai Mila, bahkan sangat mencintainya. Aku masih ingat, ketika awal-awal kami bertemu dulu. Bagaimana dengan begitu gigihnya Mila berusaha mendekatiku. Setelah kami berjumpa tak sengaja di dalam sebuah bis umum. Saat itu aku sedang melakukan pekerjaanku sebagai seorang pengamen. Aku biasa menaiki bis-bis yang rutin melewati jalan raya, untuk sekedar mengamen demi mendapatkan sejumlah rupiah hanya untuk bertahan hidup.
Aku hidup sebatang kara di kota ini, ayah ibuku sudah lama meninggal, sejak aku masih sangat kecil. Aku hidup di jalanan, dan mengamen adalah keahlianku.
"suara kamu bagus.." ucap Mila waktu itu, setelah ia berhasil membuntutiku saat turun dari salah satu bis yang ia tumpangi.
Aku menatap gadis cantik itu cukup lama, mencoba mengenalinya.
"kamu siapa?" tanyaku pelan.
Mila tersenyum manis, tubuh jangkungnya berbalut pakaian putih abu-abu.
"aku Karmila. Panggil aja Mila. Aku sekolah di situ.." balasnya sambil menunjuk kearah sebuah gedung sekolah yang megah.
"aku Doni.." balasku, aku menyodorkan tangan. Mila menyambut tanganku dengan lembut.
"aku belum pernah lihat kamu sebelumnya di bis.." aku berujar lagi, setelah Mila melepaskan tangannya.
"iya. Biasanya aku diantar sopir. Tapi hari ini sopirku pulang kampung, aku terpaksa naik bis ke sekolah.."
"oh.." aku membulatkan bibir.
"tapi kayaknya mulai hari ini aku bakal naik bis terus deh, ke sekolah..." ucap Mila lagi.
"kenapa?" tanyaku, keningku berkerut.
Mila tidak menjawab, ia hanya tersenyum tersipu. Mukanya memerah.
Sejak saat itu aku hampir setiap hari bertemu Mila. Awalnya kami hanya ngobrol biasa, namun kian hari, Mila kian terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku. Hingga akhirnya dengan cukup berani, Mila mengungkapkan keinginannya untuk menjalin hubungan yang serius denganku.
"aku hanya seorang pengamen, Mil. apa kamu gak malu?" ucapku, mencoba memberi Mila pengertian.
"gak. ngapain malu. Justru aku merasa nyaman jalan bareng kamu..." balas Mila meyakinkanku.
Aku pun mencoba mengabaikan perbedaan yang ada diantara kami. Mencoba menerima kehadiran Mila untuk menghiasi hari-hariku. Mila gadis yang baik, ramah dan juga lembut.
Meski hati kecilku selalu saja meronta. Biar bagaimana pun, aku merasa cukup sadar diri, bahwa diantara kami berdua jelas sangat berbeda. Namun cinta Mila mampu membuatku kuat dan tetap bertahan hingga dua tahun hubungan kami.
Dua tahun hubungan kami, semuanya terasa indah. Kehadiran Mila benar-benar telah memberiku motivasi dan semangat dalam menjalani hari-hariku yang berat.
Dua tahun hubungan kami semuanya berjalan baik-baik saja. Meski aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk Mila. Tapi Mila bisa menerima semuanya, Mila bisa menerima semua kekuranganku.
Perbedaan diantara kami tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap bahagia.
Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, aku bertemu dengan pak Teddy, papanya Mila. Tentu saja diluar sepengetahuan Mila.
"saya Teddy, papanya Mila.." begitu pak Teddy memulai pembicaraannya denganku.
Mendengar hal itu aku cukup kaget, namun aku hanya terdiam.
"Mila anak gadis saya satu-satunya. Saya hanya ingin dia bahagia. Saya hanya ingin ia mendapatkan laki-laki yang sepadan dengannya, punya masa depan yang jelas. Bukan seorang pengamen seperti kamu..." suara itu terdengar kasar di telingaku. Bahkan terasa sangat menusuk hatiku.
Aku tetap saja diam, dan pak Teddy-pun beranjak pergi meninggalkanku.
Berhari-hari aku memikirkan ucapan pak Teddy, memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hubunganku dengan Mila. Aku sadar sekali, apa yang dikatakan pak Teddy adalah sebuah kenyataan yang tak bisa aku hindari. Meski hatiku tercabik karenanya. Aku tak ingin tersinggung, tak ingin marah juga. Pak Teddy pantas berkata demikian. Biar bagaimanapun, sebagai seorang ayah, wajar rasanya ia menginginkan yang terbaik buat putrinya. Dan bersama denganku bukanlah yang terbaik. Untuk itu, aku akhirnya mengajak Mila bertemu, untuk mencoba menjelaskan semuanya. Mencoba untuk membuat Mila mengerti, bahwa hubungan kami tidak mungkin lagi bisa dipertahankan. Meski kami masih saling mencintai. Tentu saja, aku tidak akan menceritakan tentang pertemuanku dengan papanya. Mila tidak harus tahu hal itu.
"tidak ada yang harus aku jelaskan lagi, Mila. Aku tak sanggup meneruskan ini. Aku ingin kita mengakhirinya. Kita jalani hidup kita masing-masing.." aku berucap juga akhirnya, setelah cukup lama aku terdiam dalam tatapan tajam Mila.
"oh.." Mila hanya mendesah kecil, matanya sedikit berkaca kulihat. Namun dengan segera aku memalingkan wajah. Kuputar tubuhku membelakanginya, lalu melangkah pelan.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti dan memutar tubuhku kembali.
"aku sudah tidak mencintaimu lagi, Mila. Aku harap kamu mengerti, dan jangan pernah mencoba menemuiku lagi..." ujarku, kemudian dengan tergesa kembali memutar tubuhku, lalu melangkah menjauh.
Hatiku terasa teriris oleh perkataanku sendiri. Aku tahu, Mila juga merasakan sakit. Sekilas kulihat air matanya mulai bergenang. Tapi rasanya ini jauh lebih baik, dari pada aku mencoba mempertahankan sesuatu yang memang bukan diciptakan untukku.
Mila mungkin akan membenciku seumur hidupnya. Menganggap aku sebagai laki-laki jahat. Separoh hatiku tak rela, namun aku tak ingin membuat semuanya semakin rumit. Hubungan kami memang tidak akan pernah bisa dipertahankan. Sampai kapanpun, papa Mila, tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata wayangnya hidup menderita bersama seorang pengamen seperti diriku.
Mungkin semua memang harus seperti ini, kami dipertemukan, lalu saling jatuh cinta. Namun kemudian takdir akhirnya memisahkan kami. Takdirku sebagai seorang pengamen, dan takdir Mila sebagai seorang putri yang kaya raya. Kenyataan seperti itu, memang tidak bisa dipungkiri. Sebesar apa pun cinta yang kami miliki, tidak akan membuat sebuah realita menjadi lebih baik.
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar