"kamu sudah 36 tahun Jhon. Teman-teman sebayamu sudah momong anak semuanya. Bahkan adik-adik kamu juga sudah berkeluarga. Kamu kapan?" Emak mengomel lagi. Kali ini sambil mencuci piring kotor yang barusan kami pakai. Aku duduk termangu di lantai dapur kecil rumah kami.
Aku hanya tinggal berdua dengan Emak, karena semua adik-adik ku sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Meski masih ngontrak.
Ayah sudah lama meninggal.
Emak sudah terlalu sering mengomel seperti itu, sudah tidak ke hitung. Tapi aku hanya selalu diam. Aku capek jika harus berdebat dengan Emak, soal jodoh.
"kamu tunggu apa lagi sih, Jhon? Kamu juga sudah kerja." lanjut Emak lagi.
Bukan cuma Emak yang sering ngomong seperti itu. Teman-teman, adik-adik dan rekan kerja ku juga sering membicarakan hal itu. Aku biasanya hanya menanggapinya dengan senyum.
"tampang oke. Gaji lumayan. Tapi masih belum laku.." celetuk Doni, salah satu teman kerja ku.
"bukan tak laku, Don. Tapi Jhon memang terlalu pemilih." balas Rika dari meja kerjanya.
"iya. Saya sudah kenalkan dengan beberapa orang teman cewekku, tak ada satu pun yang membuat Jhon tertarik.." Dila ikut menimpali.
Aku hanya pura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku sudah terbiasa mendengar semua itu. Meski harus aku akui kadang aku merasa kesal juga dengan ucapan-ucapan mereka.
Tapi kenyataannya sampai saat ini, aku memang masih belum laku. Aku tak bisa menyangkalnya. Tak ingin menyangkalnya juga.
"sudah! sudah! jangan ngeledek Jhon terus. Kalian gak tahu kisah cinta masa lalu Jhon, sih." kali ini Hendra angkat bicara.
Hendra sahabatku sejak kecil. Dia tahu sedikit banyak tentang cerita kehidupanku.
Aku pernah pacaran beberapa kali, bahkan beberapa kali juga pernah mencoba menjalani hubungan yang serius. Tapi semua kisah cintaku selalu kandas. Selalu berakhir dengan menyakitkan.
Pacar pertamaku namanya Dewi. Waktu itu kami masih sangat muda, masih SMA. Hubungan kami hanya bertahan enam bulan. Hubungan kami berakhir hanya karena masalah sepele. Hanya karena aku tidak bisa mengajak Dewi nonton di bioskop. Karena memang kondisi keuanganku saat itu tidak memungkinkan.
"aku tuh cari pacar, biar ada yang ngajak aku jalan-jalan, traktir aku makan, ngajakin nonton. Kalau cuma pacaran di taman kayak gini buat apaan.." ucap Dewi waktu itu.
Setelah itu Dewi tak mau lagi aku ajak ngomong. Dia bahkan dengan terang-terangan jalan berdua di depanku dengan pacar barunya yang memang tajir.
Waktu kuliah aku juga pernah pacaran. Namanya Nani. Gadis cantik dan lembut. Tapi hubungan kami harus kandas, setelah hampir dua tahun pacaran. Aku tak sengaja memergoki Nani selingkuh dengan pria yang jauh lebih dewasa.
Aku patah hati. Kecewa. Dan jadi sedikit takut mendekati wanita.
Namun sebagai manusia normal, aku tetap bisa kembali pulih. Bisa jatuh cinta lagi.
Aku jatuh cinta lagi dengan seorang gadis, namanya Juwita. Sesuai dengan namanya, orangnya memang cantik.
Aku dan Juwita pacaran kurang lebih tiga tahun. Kisah kasih kami sangat indah. Juwita gadis yang baik dan pengertian. Dia benar-benar mampu membuat aku bahagia. Semua terasa indah bagiku.
Namun apa hendak dikata, kami ternyata tidak berjodoh. Meski pun kami saling cinta.
Juwita dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang pengusaha kaya. Juwita tak kuasa menolak. Dia terpaksa menerima perjodohan tersebut, karena ingin membahagiakan orangtuanya. Yang mengakibatkan aku patah hati berkepanjangan. Setahun lebih aku menyendiri, setelah ditinggal nikah oleh Juwita.
Aku sibukkan diriku dengan bekerja. Aku hampir tak percaya pada yang namanya cinta sejati. Aku menikmati kesendirianku, merasa damai dengan sepiku.
Yang aku pikirkan hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja. Aku larut dengan kesibukkanku. Tanpa sadar usiaku sudah menginjak kepala tiga waktu itu.
Saat itulah aku bertemu Novi. Gadis manis nan seksi. Seorang gadis ramah yang mampu mengembalikan rasa percaya diriku yang sempat hilang.
Novi mampu membuatku bangkit dari kekecewaanku terhadap cinta. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi Novi punya pemikiran yang dewasa. Hubungan kami sangat serius, apa lagi mengingat usiaku yang tidak lagi muda. Kami bahkan sudah mendapat restu dari kedua keluarga kami.
"jadi kapan nih lanjut ke jenjang berikutnya?" tanya emak suatu hari.
"maksudnya apa sih, mak?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"kapan kamu nikahin Novi, Jhon.." balas emak, beliau memang yang paling bahagia dengan hubungan kami.
"Novi kan masih kuliah, mak. Ya, nunggu dia selesai kuliah dulu." jawabku ringan.
"udah! Nikah aja dulu, Jhon. Novi kan tetap bisa lanjut kuliah..." ucap Mak lagi.
Aku hanya terdiam. Aku memang pernah membicarakan hal tersebut dengan Novi. Tapi Novi tetap bersikeras untuk menyelesaikan kuliahnya. Aku pun setuju. Aku hanya harus sabar. Toh, kuliah Novi juga tinggal setahun lagi.
Namun semua tidak berjalan seindah yang kuharapkan. Belum sempat Novi menyelesaikan kuliahnya. Tiba-tiba Novi mengalami kecelakaan yang sangat fatal. Kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawanya. Merenggut kebahagiaanku. Merenggut semua harapanku.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Dunia seakan runtuh.
Aku sangat mencintai Novi. Tapi ternyata Tuhan lebih mencintainya. Dan aku kembali terpuruk. Meratapi bayang-bayang Novi yang tak pernah mau hilang dari benakku. Aku tenggelam dalam kesedihanku.
Bertahun-tahun aku larut dalam kesedihan yang mendalam.
*****
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar