Aku jatuh cinta pada orang yang salah .... (part 2)

"aku menikah dengan pak Anggo hanya karena terpaksa..." suara Resti tertahan. "aku tak pernah mencintainya, dan tak berniat juga untuk mencintainya." lanjutnya, ia menarik napas sejenak.
"Ayahku punya hutang yang sangat banyak pada pak Anggo. Ayah sudah tidak sanggup lagi membayarnya, apa lagi Ayah sudah sering sakit-sakitan. Begitu juga Ibu. Mereka hanya petani biasa. Ayah berhutang karena harus membiayai operasi Ibu. Dan jalan satu-satunya untuk melunasi hutang Ayah, ialah dengan menerima lamaran pak Anggo..." kali ini Resti berkata dengan mata berkaca.
Aku hanya terdiam dan menatap penuh hiba. Tak kusangka Resti berani jujur padaku. Ceritanya sungguh membuatku merasa sangat tersentuh.

"aku anak tertua dari keluarga kami. Tiga adik-adikku masih sekolah. Aku dengan sangat terpaksa memenuhi permintaan Ayah. Adik-adikku butuh biaya untuk sekolah, Ayahku butuh biaya untuk berobat. Aku sendiri tidak punya pekerjaan, karena aku hanya lulusan SMA." Resti terus bercerita dengan suara bergetar. Air matanya jatuh menetes.
Aku merasa kasihan melihatnya. Ingin rasanya aku menghapus tetesan air mata itu. Tapi aku tak sanggup. aku hanya terdiam dan tertunduk. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu juga harus berbuat apa.

Beberapa saat kemudian, kulihat Resti mengusap air matanya sendiri lalu ia berdiri.
"aku kesini hanya ingin mengungkapkan perasaanku padamu, Zam. Aku tak peduli kamu suka atau tidak. Tapi setidaknya kamu sudah tahu sekarang.." ucapnya pelan. Ia menatapku tajam.
Aku sedikit tengadah, memberanikan diri menatap mata indah milik Resti.
"aku...." suaraku terbata.
"kamu tak perlu mengatakan apa pun, Zam. Kamu tak harus menjawabnya.." Resti memotong ucapanku cepat.
"kenapa?" tanyaku.
"aku takut. Aku takut mendengar jawabanmu..."
"aku belum menjawab apa-apa.."
"iya. Apa pun jawabanmu, pasti akan membuatku sakit..." suara Resti terdengar lemah, ia masih berdiri menatapku.

"aku juga suka sama kamu, Res.." kali ini aku berkata dengan tegas. Aku tak ingin menutupi perasaanku sendiri. Kalau Resti berani untuk jujur, kenapa aku tidak. Karena terus terang aku memang menyukai Resti sejak pertama kali kami saling kenal. Hanya saja selama ini aku berusaha memendam rasa itu, karena aku sadar itu semua adalah sebuah kesalahan. Meski hampir setiap malam aku memikirkan Resti. Membayangkan senyumnya yang begitu manis. Kadang aku merasa bersalah dengan semua itu, tapi aku begitu menikmati perasaanku pada Resti. Dan sekarang aku tahu, kalau Resti juga punya perasaan yang sama denganku.
Meski tetap saja, ini semua adalah sebuah kesalahan.

Resti masih berdiri membisu. Ia seakan tak percaya dengan ucapanku.
"aku serius. Aku juga suka sama kamu, Res.." ulangku lagi, hanya untuk meyakinkan Resti tentang perasaanku.
Resti menyunggingkan senyum, "kamu tahu ini sebuah kesalahan kan, Zam?" ucapnya.
Aku mengangguk, "yah, aku tahu. Untuk itu selama ini aku hanya diam, meski aku sangat ingin mengungkapkannya.." suaraku parau.
Resti menatapku lagi. Tiba-tiba ia duduk kembali.
"lalu sekarang gimana?" tanyanya.
"aku... aku gak tahu, Res. Kamu yang memulainya...."
"awalnya aku kesini, hanya sekedar mengungkapkan perasaanku. Hanya sekedar ingin kamu tahu. Aku pikir kamu akan mengabaikanku, karena statusku. Tapi sekarang aku tahu perasaan kamu. Aku... aku seperti punya sedikit harapan..." Resti berujar dengan sedikit terbata.

***************

"akan banyak resiko dan halangan yang akan kita hadapi ke depannya, Res. Jika kita tetap memaksakan diri untuk menempuh jalan ini..." ucapku kepada Resti, tiga minggu kemudian. Tiga minggu setelah akhirnya kami memutuskan untuk bersama, meski kami tahu itu sebuah kesalahan. Kami memutuskan untuk mencobanya. Kami saling mencintai. Resti sudah ketiga kalinya datang ke barak sendirian untuk menemuiku.
"cepat atau lambat, orang-orang akan tahu tentang hubungan kita, Res..." lanjutku lagi.
Resti meremas jemariku lembut, kami duduk di bangku barak seperti biasa.
"aku tahu." suara Resti ringan, "aku hanya sedang berusaha mencari jalan keluar terbaik dari semua ini, Zam. Aku tak ingin menyakiti siapa pun. Terutama orang tuaku." lanjutnya, sambil dengan pelan ia melepaskan tanganku.

"untuk apa semua ini, Res. Jika setiap kali kita bertemu hanya akan menimbulkan rasa bersalah yang berkepanjangan..."
"terdengar egois sih, Zam. Tapi bukankah kita merasa bahagia saat bersama seperti ini. Aku merasa bahagia, Zam. Saat berada dekat dengan kamu. Aku hanya ingin merasakan bahagia. Lalu salahkah aku? Tak berhakkah aku?" Resti berkata sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Aku merasa pilu. Sejujurnya aku memang merasa bahagia saat bersama Resti. Tapi rasa takut dan rasa bersalah lebih sering menghantuiku.

"tapi sampai kapan kita akan seperti ini, Res?" tanyaku lirih, lebih kepada diriku sendiri.
Resti hanya menggeleng, ia sibakkan rambutnya keatas.
"entahlah, Zam. Seandainya saja aku tidak membiarkan pintu hatiku terbuka begitu saja. Mungkin semua ini tidak perlu terjadi.."
"dan kamu membiarkan dirimu sendiri hidup menderita dengan pernikahan yang tak pernah kamu inginkan?"
"yah. Itu mungkin lebih baik. Setidaknya aku tidak menyakiti siapa pun..."
Aku terdiam kembali. Rasanya sangat sulit menemukan jalan keluar dari semua ini.
"aku yakin, pada akhirnya kita memang harus saling melupakan, Res. Tapi setidaknya kita sudah mencoba..."
"yah. aku tahu..." Resti berdiri, "aku akan pikirkan lagi hal ini. Sekarang aku pamit.." lanjutnya sambil melangkah menuju mobilnya.

*****

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate