Aku menelan ludah pahit. Kerongkonganku serasa kering. Ucapan terakhir Bunda masih terngiang jelas di telingaku. Aku memejamkan mata sambil menarik napas panjang.
"bunda ingin kamu menjaga adik-adikmu dengan baik, Nur. Merawat mereka... Maafkan Bunda, ya. Bunda belum bisa menjadi Ibu yang baik untuk kalian..."
Setelah berucap demikian, mata Bunda pun terpejam. Perlahan nafasnya mulai melambat. Tak lama kemudian, aku pun menjerit, melepaskan kepergian Bunda untuk selama-lamanya.
Kupeluk kedua adikku, yang ikut terisak. Mereka mungkin belum begitu paham, apa yang terjadi. Namun melihat aku yang histeris, mereka juga ikut menangis.
Kaum kerabat dan para tetangga, mulai menenangkanku.
Ini bukan pertama kalinya aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Enam tahun yang lalu, ayahku juga telah meninggal dunia. Beliau meninggal karena mengalami kecelakaan di tempat kerja.
Sejak saat itu, otomatis Bunda menjadi satu-satunya tempat tumpuan kami adik beradik.
Bunda yang hanya seorang penjahit, berusaha keras untuk bisa membiayai hidup kami sekeluarga.
Sebagai anak sulung, tentu saja, aku harus ikut banting tulang membantu Bunda. Sepulang sekolah, aku harus ikut membantu Bunda, menjahit beberapa pakaian. Pesanan jahitan Bunda memang tidak seberapa, namun Bunda masih mampu menyekolahkanku hingga lulus SMA.
Dua adikku masih kecil. Adik laki-laki ku, sekarang sudah kelas dua SMP, sedangkan adik bungsu perempuanku sekarang sudah kelas lima SD.
Setelah kepergian Bunda, tentu saja mereka sekarang menjadi tanggungjawabku.
Aku sekarang bekerja menjadi seorang kasir, di sebuah mini market. Upah yang kuperoleh tidaklah seberapa. Sementara adik-adikku masih butuh biaya besar, terutama untuk sekolah mereka.
Sudah dua bulan semenjak Bunda pergi. Aku mulai merasa beban ini semakin berat. Tidak ada warisan apa pun yang Bunda atau pun Ayahku tinggalkan, kecuali sebuah rumah kecil.
Di rumah kecil inilah kami tinggal dan tumbuh. Ayah membelinya secara kredit, sejak mereka baru setahun menikah. Dan Alhamdulillah, dua tahun yang lalu, rumah ini sudah lunas dan sudah resmi menjadi milik kami.
Namun untuk bertahan hidup dan juga untuk biaya sekolah adik-adikku, aku harus bekerja keras.
Sebagai seorang perempuan dan juga hanya lulusan SMA, tentu saja tidak banyak hal yang bisa aku lakukan. Bekerja di mini market, tidaklah cukup untuk biaya hidup kami. ditambah lagi, saat Bunda sakit, kami sempat meminjam uang pada pihak Bank, dengan menggadaikan surat tanah kami. Sekarang, aku harus membayar angsuran pinjaman setiap bulan.
"kak, baju putih saya sudah lusuh. Bajunya juga sudah kekecilan. Ini kan baju yang Bunda beli saat saya masih kelas satu..." ucap Lala, adik bungsuku.
"saya juga kak, sepatu saya sudah tidak bisa lagi dipakai, karena sudah bolong-bolong..." Andi, adik laki-lakiku ikut menimpali. Yang membuatku semakin getir.
"sabar ya, dik. Nanti jika kakak udah punya uang lebih, pasti kakak belikan, ya. Sekarang kalian pakai aja apa yang ada. Kalian juga harus ngerti, sekarang kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kakak hanya berusaha sendiri, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.." balasku, dengan suara yang tertekan.
Mendengar hal itu, kedua adikku hanya terdiam. Sebenarnya aku sangat kasihan melihat mereka, namun hingga saat ini, aku belum bisa berbuat apa-apa.
Mereka berdua sekarang adalah tanggungjawabku, sesuai dengan pesan terakhir Bunda.
*********
Waktu terus berlalu, dengan kehidupan kami yang masih saja sama.
"saya mau berhenti sekolah saja, kak Nur. Saya mau bantu kakak cari uang.." ucap Andi, adik laki-lakiku, suatu hari.
Aku terhenyak mendengarkannya. Aku tahu, alasan Andi untuk berhenti sekolah, bukan sekedar karena ingin membantuku. Namun karena ia merasa malu, harus pergi ke sekolah dengan memakai sepatu yang sudah tidak layak pakai lagi. Andi mungkin juga tidak tahan, karena setiap hari harus menahan diri untuk tidak jajan. Aku memang tidak punya uang yang cukup untuk memberi jajan kedua adikku.
Mereka ke sekolah hanya membawa bekal ala kadarnya dari rumah, dan tentu saja mereka akan mendapat cibiran dari teman-teman sekolahnya.
"maafkan kak Nur ya, Ndi. Kak Nur tahu apa yang kamu rasakan. Tapi kamu harus sabar. Kamu harus kuat, apa lagi kamu seorang laki-laki. Kamu belajar aja yang rajin, biar nanti bisa jadi orang sukses.." aku berbicara dengan lembut, berusaha membuat Andi mengerti.
"tapi Andi malu, kak..." ucap Andi lagi, dengan wajah murung.
"kamu gak usah malu. Yang penting kita gak minta-minta. Jangan terlalu kamu pikirkan ucapan teman-teman kamu. Suatu saat mereka pasti bakal ngerti, kok..."
"terkadang mereka juga keterlaluan, kak. Andi gak sanggup lagi..."
Aku menahan napas, kemudian menghembuskannya dengan berat. Aku tahu, betapa beratnya ini semua bagi adik-adikku. Terutama bagi Andi, ia sudah tumbuh remaja.
Rasanya aku ingin menjerit mengingat itu semua.
"kita harus sabar. Kita tidak boleh menyerah. Perbanyaklah berdo'a dan jangan pernah kamu tinggalkan sholat, ya.." ucapku akhirnya, lebih kepada diriku sendiri.
"kalian harus saling jaga, saling menguatkan.." kata-kata Bunda terngiang lagi. "jangan pernah berhenti berdo'a. Dan yakinlah, bahwa kelak, do'a-do'a kalian akan dikabulkan..."
Aku meneteskan air mata lagi. Rasa kangenku kepada Bunda, benar-benar sudah tidak bisa aku bendung. Ingin rasanya aku mengadukan ini semua kepada Bunda, bercerita padanya. Aku rindu belaian lembut bunda, rindu ingin bersandar dibahunya.
Segera kutarik napas, kemudian mengambil wudhu'. Disaat-saat seperti ini, aku hanya bisa berdo'a. Meratap dalam sujud.
***************
Setahun lebih kepergian Bunda. Aku berkenalan dengan seorang pemuda, namanya Yudhi Burnama. Dia laki-laki yang baik. Kami berkenalan, karena Yudhi adalah seorang tukang parkir baru di mini market tempat aku bekerja. Yudhi tiga tahun lebih tua dariku, saat ini usianya sudah 23 tahun.
Berawal dari kenalan, kemudian sering ngobrol, membuat kami semakin dekat.
Aku merasa nyaman bersama Yudhi. Aku menyukai sosok Yudhi, bukan hanya karena wajahnya yang tampan. Aku menyukai keterbukaannya padaku, sikapnya yang ramah dan sangat baik.Namun tentu saja, aku tidak berani berharap lebih padanya.
Aku takut, harapanku justru akan membuatku terluka. Meski tidak bisa aku pungkiri, ada getar-getar aneh saat aku bersamanya.
Menurut cerita Yudhi, ia pernah pacaran beberapa kali, namun hubungan cintanya selalu kandas.
"susah mencari perempuan yang benar-benar bisa menerima saya apa adanya. Saat mereka tahu, keadaan saya seperti ini, mereka pun mundur dan menjauh..." ucap Yudhi, saat kutanyakan alasan apa yang membuat hubungannya selalu kandas.
"kamu sendiri gimana?" tanya Yudhi melanjutkan.
"gimana apanya?" tanyaku balik. Aku meneguk minuman dingin yang kami beli di warung tadi. Kami berjalan beriringan di sebuah gang menuju rumahku, saat itu kami baru saja pulang kerja. Seperti biasa Yudhi berniat hendak mengantarku pulang.
Yudhi sangat baik padaku dan juga adik-adikku. Ia sering membelikan adik-adikku beberapa jajanan. Meski ia hanya seorang tukang parkir, namun Yudhi sangat menikmati hidupnya.
Saya tidak tahu pasti latar belakang keluarga Yudhi. Ia tidak terlalu terbuka tentang keluarganya padaku. Namun hal itu tidaklah begitu penting bagiku. Yudhi mungkin punya alasan sendiri, untuk sedikit menutupi tentang keluarganya.
"kamu pernah pacaran?" tanya Yudhi memperjelas pertanyaannya padaku.
Aku terdiam sesaat, lalu menghela napas.
"saya belum pernah pacaran..." jawabku jujur, "dengan kondisi kehidupan saya seperti ini, pacaran bukanlah merupakan suatu prioritas bagiku..." lanjutku.
Yudhi menyunggingkan senyum tipis, yang aku sendiri tidak tahu apa maksudnya.
"kamu cantik, baik dan juga seorang gadis yang mandiri. Pasti banyak laki-laki yang ingin dekat sama kamu.." ucap Yudhi kemudian, yang membuatku sedikit tersipu.
"gak juga, kok. Seperti katamu, susah nyari orang yang benar-benar bisa menerima kita apa adanya. Tidak ada laki-laki yang mau dekat dengan cewek miskin seperti saya..."
"siapa bilang? Ada, kok. Misalnya saya...?" potong Yudhi menyela ucapanku.
"bedalah..." balasku sekenanya.
"beda apanya? Saya kan juga seorang laki-laki. Saya mau kok dekat sama kamu. Merasa sangat senang malah, bisa dekat dengan gadis secantik kamu.." Yudhi berujar, sambil memainkan bola matanya melirikku.
"ah, kamu bisa aja..." ucapku, kali ini benar-benar tersipu. Aku yakin, mukaku memerah saat itu.
*************
Kedekatanku dengan Yudhi, telah menumbuhkan rasa indah yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Hingga akhirnya Yudhi-pun memintaku untuk menjadi pacarnya.
"aku belum bisa jawab sekarang, Yud.." ucapku bergetar.
"kenapa?"
"saya butuh waktu, Yud. Seperti yang pernah saya katakan, pacaran bukanlah hal utama bagiku saat ini...." jawabku.
"oke. Gak apa-apa, kok. Saya akan tunggu sampai kamu benar-benar siap. Tapi kita tetap bisa bertemankan?"
Aku spontan mengangguk. Biar bagaimana pun, Yudhi adalah sosok cowok yang baik. Aku memang menyukainya. Namun untuk menjalin hubungan yang lebih serius, aku merasa takut untuk memulainya. Aku takut, Yudhi tak benar-benar bisa menerima segala kekuranganku. Walaupun sebagian besar, Yudhi sudah tahu, bagaimana kisah kehidupanku. Tapi tetap saja, aku merasa belum siap.
****
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar