Kisah cinta gadis miskin (part 3)

"kamu kenapa sih, Nur?!" suara Yudhi terdengar cukup lantang di meja kasir, setelah akhirnya ia menerobos masuk, saat pelanggan sudah tidak terlalu ramai. Aku terkesiap, namun segera kutatap wajah Yudhi tajam.
"sudah seminggu kamu gak ngomong apa-apa. Kamu hanya diam dan murung. Kamu bahkan gak mau lagi aku antar pulang. Kamu marah sama aku? Atau kamu lagi ada masalah? Kamu cerita ya.." lanjut Yudhi dengan suara yang semakin pelan, melihat aku yang melotot menatapnya.


"tolong, Yud. Aku lagi kerja..." ucapku sangat pelan, memohon ia untuk segera keluar.
"tapi aku perlu bicara sama kamu, Nur. Aku mohon..." suara Yudhi memelas.
"aku lagi kerja, Yud. Aku gak mau dipecat, kalau pak Darman melihatku berbicara sama kamu saat sedang bekerja..." balasku.
"aku gak peduli. Aku hanya butuh penjelasan.." Yudhi berujar dengan sedikit sengit.
"kamu bisa gak peduli, Yud. Tapi kamu tahu, kalau aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Jadi aku mohon, kamu keluar sekarang.." kali ini aku memelas.
"aku akan keluar. Asal kamu janji, sepulang kerja nanti kita bicara..." Yudhi berkata dengan sedikit memohon.
Aku tak tega melihat wajah tampan milik Yudhi yang terlihat bersungguh-sungguh. Perlahan aku pun mengangguk.
Yudhi pun segera keluar dengan wajah penuh kemenangan.

"aku butuh penjelasan, Nur." ucap Yudhi, saat kami berjalan menuju gang tempat aku tinggal. Sebenarnya Yudhi mengajakku untuk mengobrol di sebuah kafe, namun segera aku menolaknya. Aku merasa enggan sebenarnya untuk berbicara dengan Yudhi saat ini. Rasa sakit yang aku rasakan karena kebohongannya, telah membuatku membencinya.
"aku yang seharusnya menuntut penjelasan sama kamu, Yud.." ucapku akhirnya, dengan nada sedikit ketus.
"maksud kamu?" kulihat Yudhi mengerutkan kening.
"oke! Aku akan ngomong, Yud." jawabku, aku menghentikan langkah.
"aku tahu, aku miskin. Tapi bukan berarti, kamu bisa membohongiku dengan seenaknya." suaraku bergetar menahan gejolak.
"membohongi kamu? kamu ngomong apa sih, Nur?"
"kamu gak usah berpura-pura lagi, Yud. Aku sudah tahu, siapa kamu sebenarnya. Aku tahu, kamu hanya berpura-pura jadi tukang parkir, kan? Aku tahu, kamu sebenarnya.... seorang yang kaya raya.." suaraku tiba-tiba terbata. Hatiku terlalu sakit bila mengingat itu semua.

Cukup lama Yudhi terdiam mendengar ucapanku. Ia seolah-olah terguncang, mukanya memerah. Mata kami bertemu pandang, namun Yudhi terlebih dulu menunduk.
"kamu tahu dari mana?" tanyanya, suaranya serak. Hatiku justru terasa makin sakit. Dengan bertanya demikian, itu artinya segala yang aku dengar dari gadis tak dikenal itu adalah benar. Sebenarnya aku sangat berharap Yudhi membantahnya, dan mengatakan kalau semua itu tidak benar. Tapi...
"itu tak penting, Yud. Dari siapa aku tahu, itu tidak penting. Yang jelas cerita itu benar, dan kamu telah membohongiku selama ini. Kamu telah merusak semua kepercayaanku. Aku kecewa sama kamu, Yud. Sangat kecewa. Aku ingin kamu pergi dari hidupku dan jangan pernah menemuiku lagi..." aku berkata sambil memutar tubuhku, hendak melangkah pergi. Sekuat mungkin aku menahan isakku.
"Nur. Tunggu!" Yudhi mencekal tanganku, "aku bisa jelaskan semua ini.."
"gak ada lagi yang ingin aku dengar dari kamu, Yud. Aku tidak tahu, entah bagian mana dari semua ceritamu yang masih bisa aku percaya.." kataku ketus, tanpa menoleh.
Yudhi memegang tanganku semakin erat, "aku mohon, Nur. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya. Setelah itu terserah kamu, mau menilai aku bagaimana.." suara Yudhi menghiba lagi.

Sebagian kecil hatiku tak tega mendengar suara penuh hiba itu. Tapi rasa sakit dihatiku segera meronta. Tanpa mengucap sekata pun, aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Yudhi, lalu melangkah dengan terburu meninggalkan Yudhi yang masih saja berusaha mengejarku.
"Nur! Dengarkan aku dulu!" suara Yudhi lantang, ia melangkah cepat mengikuti langkahku yang tergesa. "aku memang berbohong sama kamu, Nur. Tapi tidak tentang perasaanku padamu. Aku benar-benar mencintai kamu, Nur. Sebenarnya aku sudah berencana untuk menceritakan siapa aku sebenarnya sama kamu. Tapi aku takut, Nur. Aku takut kamu akan pergi setelah kamu tahu siapa aku..."
"sekarang semua sudah jelas, Yud. Apa pun caranya, aku memang harus pergi. Aku tak pantas buat kamu, dan yang paling penting aku tidak bisa terima semua kebohonganmu, apa pun alasannya!" aku berucap juga akhirnya, tanpa mengurangi laju langkahku.
"tapi aku mencintai kamu, Nur! Aku melakukan ini, hanya untuk memastikan bahwa kamu bisa menerima aku apa adanya...."
"maksud kamu?" kali ini aku menghentikan langkah, "kamu pikir aku sama dengan semua cewek yang pernah kamu dekati. Kamu pikir aku cewek matrealistis yang bakal tergila-gila dengan semua hartamu?" kataku tajam, mataku menghujam wajah merasa bersalah milik Yudhi. Tapi aku tak peduli, ucapan Yudhi barusan benar-benar telah membuatku tersinggung.

"justru itu, Nur. Kamu beda! Kamu membuatku telah menemukan arti cinta sejati. Arti cinta yang sesungguhnya. Aku menemukan ketulusan darimu, Nur." Yudhi memegang kedua lenganku, aku berusaha menepisnya. Namun Yudhi memegangnya sangat kuat.
"aku mohon, Nur. Jangan pergi. Aku sangat membutuhkanmu...." lanjutnya, pegangannya semakin erat.
"lepaskan aku, Yud.." aku meronta lagi. Saat ini rasanya kepercayaanku telah punah. Terutama untuk laki-laki seperti Yudhi. "biarkan aku pergi..."lanjutku sedikit memelas, tanganku terasa sakit.
Yudhi seperti tak tega melihatku yang hampir menangis, perlahan ia melepaskan tangannya. Segera aku memacu langkah kembali. Air mataku pun tumpah. Aku tak berani menoleh ke belakang. Namun aku tahu pasti, kalau Yudhi sudah tidak berusaha mengejarku.
Aku merasa lega, namun juga merasa sakit.

************

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan Bunda. Saat-saat seperti ini, aku begitu membutuhkannya. Air mataku mengalir tak henti. Hidupku terasa semakin berat, bahkan berlipat-lipat jauh lebih berat dari sebelum Yudhi hadir dalam hidupku.
Aku menghembuskan napas dan menghapus air mataku perlahan. Aku tak ingin berlarut-larut dalam kesedihanku. Apa yang telah Yudhi lakukan padaku, mungkin telah meninggalkan sebuah luka yang teramat dalam. Namun hidup akan terus bergulir. Aku percaya, bahwa waktu akan menyembuhkan semua luka. Rasa pahit itu telah mengajarkanku, untuk lebih kuat dan sabar.
Tidak mudah memang, tapi setidaknya aku akan berusaha menerima semuanya dengan lapang dada.

"kak, dua minggu lagi Lala sudah mulai ujian. Kata Bu guru, jika pembayaran sekolah belum lunas, Lala tidak bisa ikut ujian..." suara Lala mengagetkanku, ia masuk tanpa mengetuk pintu kamar. "ini ujian akhir sekolah lho, kak. Kalau Lala gak ikut ujian, Lala gak lulus..." lanjutnya dengan nada menghiba.
Hatiku semakin terhiris mendengar itu semua. Uang gajianku bulan ini, sudah kubayarkan untuk angsuran bank. Sisanya untuk belanja dapur. Aku hanya punya beberapa puluh ribu uang tersisa. Itu pun untuk pembayaran listrik bulan ini. Sebenarnya Lala sudah mengingatkanku sebulan yang lalu, namun banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Aku menghela napas lagi, "iya, La. Minggu besok kak Nur usahakan uangnya..." jawabku pelan.

Sekelebat bayangan senyum manis Yudhi melintas, biasanya dia yang akan menanggulangi keadaan darurat seperti ini. Dia selalu punya cara untuk bisa membantuku.
"aku gak bantu kamu, kok. Aku cuma mau bantu Lala dan Andi, adik-adik kamu itu..." ucap Yudhi beralasan, setiap kali aku berusaha menolak bantuannya.
"lagian apa salahnya sih, Nur. Kan kalau kita nikah nanti, aku juga ikut membiayai adik-adik kamu.." lanjutnya dengan pandangan menggoda. Spontan aku pun mencubit ringan lengannya.
Aku tersenyum kecut mengingat semua itu. Lalu dengan segera menepis segala bayangan yang justru terasa sakit saat aku mengingatnya.
Walau tak bisa aku pungkiri, jauh dari dasar hatiku, aku sangat membutuhkan Yudhi. Bukan saja karena aku mencintainya, tapi juga karena dia laki-laki yang baik.
Aku belum pernah pacaran sebelumnya, bahkan aku belum pernah begitu dekat dengan seorang laki-laki. Kehadiran Yudhi telah menumbuhkan kesan yang sangat dalam di hatiku.
Dan kini dia bukan siapa-siapaku lagi. Meski aku yakin, Yudhi belum menyerah. Dia pasti akan datang lagi. Kecuali jika sebenarnya ia tak benar-benar mencintaiku.

****

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate