Ketika sang Mentari Terbenam di Ufuk (part 3)

"apa itu benar?" tanya Nico dengan nada datar.
Arini hanya terdiam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya kepada Nico.
"jawab saya, Arini. Apa benar kalau kamu mendekati saya, karena permintaan Keyla?" Nico bertanya lagi, kali ini suaranya sedikit tinggi. "apa benar kamu mendekati saya hanya untuk membuat saya jatuh cinta, lalu kemudian akan kamu tinggalkan?" lanjutnya lagi.
Arini membersit hidungnya, badannya masih terasa kurang sehat. Namun Nico memaksanya untuk bertemu. Mereka bertemu di sebuah taman yang berada di kompleks perrumahan tersebut.
Arini sudah menduga, jika Keyla pasti akan menceritakan hal tersebut kepada Nico. Tapi ia tak menyangka, Keyla akan mengarang cerita yang membuatnya terpojok.
"apa yang dikatakan Keyla itu benar?" Nico mengulang pertanyaannya. Ia menatap Arini tajam.
Arini menarik napas, ia mengangguk pelan.

"tapi tidak semuanya, Nic. Ada bagian yang ditambah-tambahkan oleh Keyla..." ucap Arini cepat. Ia tidak ingin Nico salah paham. Biar bagaimana pun ia merasa cukup nyaman selama beberapa bulan jalan bareng Nico.
"saya ingin tahu, bagian mana dari cerita Keyla yang ia karang?" tanya Nico, setelah beberapa saat ia terdiam. Nico mencoba menahan hatinya yang bergejolak. Ia hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi.


Arini menarik napas lagi kemudian tertunduk. Perlahan ia pun menceritakan tentang apa yang ia sepakati dengan Keyla. Tentang bagaimana ia akhirnya terjebak karena permintaan Keyla.
"dan kamu menerimanya begitu saja?" tanya Nico, setelah mendengar penjelasan Arini.
"saya sudah berusaha menolak, Nic. Tapi kamu kan tahu sendiri, bagaimana watak Keyla..." balas Arini terdengar lemah. "kamu marah sama saya, Nic?" lanjutnya bertanya, sekedar meyakinkan dirinya sendiri kalau Nico bisa menerima semua penjelasannya.
Sesaat Nico terdiam, kemudian menggeleng ringan.
"gak. Saya gak bisa marah sama kamu. Saya terlanjur suka sama kamu, Rin. Saya sudah sayang banget sama kamu. Lagi pula, jika ceritamu benar, dalam hal ini kamu gak salah apa-apa.." ucapnya.
Arini menarik napas lega. Kemudian ia menyunggingkan senyum tipis.


"jadi apa sekarang kamu sudah punya jawabannya?" tanya Nico akhirnya setelah mereka terdiam beberapa saat.
"jawaban apa?" tanya balik Arini spontan.
"jawaban tentang...... apa kamu mau jadi pacar saya?" balas Nico dengan suara tertahan.
Arini menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.
"kamu terlalu sempurna buatku, Nic..." jawab Arini dengan suara yang sangat pelan, "kamu cowok baik, kaya dan populer di sekolah. Rasanya sangat tidak pantas jika kamu memilih saya untuk jadi pacarmu..." lanjutnya.
"apa itu artinya kamu gak suka sama saya?" tanya Nico lagi, matanya menatap lembut wajah gadis cantik yang duduk di depannya.

"saya suka sama kamu, Nic. Sejak dulu malah. Tapi seperti yang saya bilang, kamu itu terlalu sempurna buat saya. Saya takut nantinya akan membuat kamu kecewa, karena saya hanya cewek miskin...."
"bisa gak, kamu gak ngomong seperti itu." Nico memotong cepat, "dimata saya, kamu itu sempurna, Rin. Saya juga tidak peduli tentang status kamu. Yang saya tahu, saya jatuh cinta dengan semua kesederhanaanmu itu..."
"tapi apa kamu gak malu, punya pacar yang cuma anak seorang pembantu?"
"untuk apa saya harus malu? justru saya merasa sangat bahagia, jika bisa bersama kamu.."
"kamu bisa ngomong gitu, Nic. Tapi bagaimana dengan teman-teman kamu? dengan keluarga kamu? Apa mereka bisa menerima saya, seperti halnya kamu?"
"kamu gak usah pikirkan mereka, Rin. Jika kamu mau menerima saya, mereka juga harus bisa menerima kamu. Lagian saya juga tidak peduli dengan semua itu. Saya benar-benar mencintai kamu, Rin. Tak peduli orang-orang menyukainya atau tidak. Saya hanya ingin bersama kamu, Rin..."

Arini termangu. Sejujurnya ia merasa sangat bahagia mendengar semua yang Nico ucapkan. Namun tetap saja ia merasa semua itu terlalu berat untuk ia jalani. Bukan karena ia tidak mencintai Nico. Tapi justru karena ia terlalu sayang sama Nico, ia tidak ingin Nico akan menjadi bahan olok-olokan bagi teman-temannya. Karena biar bagaimana pun, Arini tahu, selama ini hampir seisi sekolah selalu memandang dirinya rendah.
"tapi tetap saja, saya merasa tidak pantas, Nic.." ucap Arini menahan napas.
"kamu kenapa sih, Rin? Kenapa kamu harus merendahkan dirimu sendiri seperti itu? Seolah-olah kamu wanita hina yang tidak pantas untuk dicintai. Padahal kamu adalah wanita yang istimewa. Kamu punya sesuatu yang tidak banyak dimiliki cewek lain. Kamu punya hati yang begitu lembut, kamu pintar, dan kamu juga cantik..." ucap Nico, mencoba memberi keyakinan kepada Arini.

Arini semakin bingung. Disatu sisi ia merasa bahagia karena Nico mencintainya. Namun di sisi lain, ia merasa taku. Ia takut, Keyla dan teman-temannya akan menyiksanya lagi. Ia takut, Keyla dan semua cewek-cewek yang menginginkan Nico akan memusuhinya. Ia takut, jika suatu saat keluarga Nico tahu tentang hubungannya dengan Nico, mereka tentunya tidak akan begitu saja menerimanya.
"akan begitu banyak rintangan yang harus kita hadapi, Nic. Jika saya tetap nekat untuk bersama kamu." Arini berujar lagi, setelah cukup lama mereka terdiam.
"saya hanya mencoba realistis, Nic. Kamu itu siapa, dan saya ini siapa. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan hal itu..."
"tapi saya mencintai kamu, Rin. Dan jika kamu juga mencintai saya, kita akan menghadapinya bersama-sama. Kita akan buktikan kepada orang-orang bahwa kita bisa bahagia, meski dimata mereka kita ini berbeda..."
"kenyataannya kita memang beda, Nic. Kamu jangan pernah mentiadakan hal itu. Kamu harusnya lebih membuka mata. Tidak semua hal itu harus selalu tentang kita. Kita juga harus memikirkan orang lain, terutama keluarga kamu." Arini berkata sambil sesekali memainkan jemarinya sendiri. Hatinya terasa perih. Ada beban berat yang tiba-tiba saja ia rasakan di pundaknya.

Arini masih ingat, pembicaraannya dengan Ibunya beberapa hari yang lalu.
"kamu pacaran sama Nico?" tanya Ibunya yang sedang berbaring di sampingnya.
Arini menatap wajah tua Ibunya sekilas, lalu ia menggeleng ringan.
"emang kanapa, Bu? kalau saya pacaran sama Nico?" tanya Arini penasaran.
"bukan kenapa-kenapa. Ibu hanya takut, kalau kamu pacaran sama orang kaya, kamu pasti akan direndahkan oleh keluarganya. Gak ada orang kaya yang bisa menerima orang miskin seperti kita, masuk di dalam keluarganya. Kita memang miskin, Rin. Tapi kita jangan sampai kehilangan harga diri.." jawab Ibunya sambil sesekali mengusap rambut panjang Arini.

"Ibu ingin kamu menjaga jarak dengan Nico, Rin." ucap Ibunya lagi.
"kenapa, Bu?" Arini mengerutkan kening.
"karena Ibu gak mau kamu mengalami apa yang pernah Ibu alami, Rin." ujar Ibunya terdengar lemah, matanya menerawang.
"maksud Ibu apa?" Arini semakin penasaran.
"mungkin sudah saatnya kamu tahu, Rin." ucap Ibunya, sambil ia berusaha duduk.
"dulu Ibu pernah pacaran dengan anak juragan kaya di desa. Namanya Mas Seno. Kami saling mencintai, dan berjanji akan tetap bersama, walau apa pun yang akan terajdi." sang Ibu menghela napas, "namun semuanya tak berjalan seindah yang Ibu harapkan. Ketika akhirnya keluarga mas Seno tahu tentang hubungan kami, dengan serta mereka pun datang ke rumah dan meminta Ibu untuk meninggalkan mas Seno."

"Ibu pun mencoba menuruti keinginan keluarga mas Seno. Namun mas Seno tidak bisa menerimanya. Ia terus saja berusaha meyakinkan Ibu, jika ia akan membujuk keluarganya." Ibu menarik napas lagi, matanya terlihat berkaca.
"Tapi yang terjadi selanjutnya, justru orangtua mas Seno mengusir Ibu dari kampung. Mereka menghina dan mencaci maki Ibu, di depan keluarga Ibu. Mereka menganggap kalau Ibu hanya mengharapkan harta mas Seno, padahal Ibu sangat mencintai mas Seno. Orangtua Ibu tidak bisa berbuat apa-apa, biar bagaimana pun keluarga mas Seno adalah orang yang sangat berpengaruh di kampung." Ibu mengusap wajahnya sendiri, mencoba menguatkan hatinya.
"akhirnya dengan sangat terpaksa Ibu harus pergi dari kampung sendirian. Tanpa tujuan, tanpa uang..." kali ini sebulir air mata jatuh di pipi sang Ibu.

"Ibu tidak tahu harus pergi kemana. Ibu hanya terus melangkah tanpa tujuan, sampai akhirnya Ibu sampai di kota ini. Namun sesampai di kota, Ibu justru jadi korban......" bulir-bulir air mata Ibu semakin banyak. Arini mendekati Ibunya, lalu mendekapnya dari samping.
"Ibu.... ibu.... diperkosa oleh segerombolan preman.... kemudian mereka meninggalkan Ibu begitu saja. Ibu merasa sangat terpukul... hingga Ibu akhirnya tidak sadarkan diri..." sang Ibu mengusap lagi air matanya. Ia membersitkan hidung beberapa kali. Bertahun-tahu ia mencoba melupakan hal tersebut. Mencoba menguburnya sedalam-dalamnya. Ia tak ingin lagi mengingat semua itu. Namun malam itu, semua bayangan pahit di masa lalu melintas kembali.

"saat Ibu sadar, Ibu sudah berada di rumah ini. Yah, ternyata pak Abdul, papanya pak Baskoro, menemukan saya tergeletak di pinggir jalan. Karena merasa kasihan beliau membawa Ibu pulang ke rumahnya. Setelah berhari-hari Ibu pun menceritakan semuanya kepada pak Abdul. Beliau sangat perihatin melihat Ibu, lalu kemudian beliau pun mempekerjakan Ibu di rumahnya. Sejak saat itu Ibu mulai bekerja dengan pak Abdul dan Istrinya. Namun setelah tiga bulan, Ibu baru tahu, kalau Ibu telah hamil akibat perkosaan tersebut." sang Ibu menghembuskan napas berat,
"Ibu semakin terpukul, dan sempat hendak menggugurkan kandungan Ibu. Tapi pak Abdul dan istrinya segera mencegah Ibu. Beliau ingin Ibu tetap menjaga kandungan Ibu dan melahirkannya. Dan beberapa bulan kemudian kamu pun lahir, Rin....." tangis sang Ibu pun pecah saat mengakhiri ceritanya.

Arini hanya terpaku. Ia tidak ingin percaya dengan semua yang barusan ia dengar. Ia mendekap Ibunya semakin erat. Air matanya pun ikut tumpah.

"kita harus mencobanya, Rin..." suara lantang Nico membuyarkan lamunan Arini tiba-tiba.
"gak! saya gak bisa, Nic. Maaf! Tapi saya benar-benar tidak bisa..." suara Arini terbata, matanya tiba-tiba berkaca.
Nico terbengong. Dahinya berkerut. Namun sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Arini sudah berdiri dan berjalan tergesa meninggalkannya.
"saya pulang, Nic. Dan mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu..." ucap Arini sambil terus melangkah.
Nico yang masih sangat heran melihat tingkah Arini, spontan berdiri. Ia hendak mengejar Arini, saat ia tiba-tiba melihat Ibu Arini berdiri tak jauh dari tempat mereka mengobrol. Tatapan mata sang Ibu begitu tajam, membuat Nico merasa jengah.

Nico menghembuskan napasnya. Ia tatap langit sore itu. Sang mentari masih terlihat, meski cahayanya mulai meredup. Nico tahu, sesaat lagi sang Mentari akan meninggalkan senja. Ia pergi bersama kegelapan. Namun Nico yakin, sang mentari dan senja akan kembali bertemu. Walau dengan suasana yang berbeda.

*****

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate