Ku jual ginjalku demi Ibu.... (part 2)

Aku melangkah sendirian dalam cahaya remang malam. Aku melangkah menuju rumah sakit. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, karena mataku enggan terpejam. Pikiranku merasa sangat tidak tenang.
Sesampai di rumah sakit, aku melihat Ibu sudah tertidur di ranjang. Sementara kedua adikku terbaring di lantai, mereka terlihat lelah. Aku semakin terenyuh melihat itu semua. Sungguh hatiku terasa terhiris-hiris. Begitu pedih....
Aku duduk di ruang tunggu rumah sakit yang mulai sepi, sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan saat ini. Sampai sebuah suara lembut mengagetkanku,

"siapa yang sakit?" suara itu berasal dari seorang wanita yang kuperkirakan sudah berumur tiga puluhan, ia duduk tak jauh di sampingku. Wanita itu memakai pakaian yang cukup elegan dengan dandanan wajah yang sedikit mencolok, menurutku.
"Ibuku..." jawabku lemas, dengan sedikit menyunggingkan senyum.
"oh.." wanita itu membulatkan bibirnya. "sakit apa?" tanya wanita itu selanjutnya.
Aku menceritakan tentang penyakit Ibuku kepada wanita yang baru pertama kali aku lihat itu. Aku mungkin memang butuh teman untuk bercerita, sekedar mengurangi sedikit beban yang tiba-tiba terasa begitu berat aku rasakan.
Wanita itu terlihat ramah dan perhatian. Meski tentu saja, aku tidak menceritakan tentang kesulitan uang yang sedang aku alami. Rasanya hal itu tidak harus aku ceritakan, terutama kepada orang yang belum aku kenal.

"namaku Maya...." wanita itu memperkenalkan diri, seakan berusaha untuk terlihat akrab.
"namaku Diko, tante.." balasku sedikit sungkan. Aku hanya berusaha menghargai tante Maya yang seakan butuh teman untuk sekedar bercerita.
"jangan panggil tante lah, apa saya terlihat sebegitu tuanya ya..?" balas tante Maya membuatku sedikit tersipu. "kamu umur berapa?" tanya tante Maya melanjutkan.
"dua puluh tahun, tan..." jawabku jujur.
"oh, masih muda, ya. Tapi gak usah panggil tante, panggil mbak aja gak apa-apa.." ucap tante eh mbak Maya dengan sedikit mengulum senyum.
Secara fisik mbak Maya memang terlihat masih cantik, meski dandanannya sedikit mencolok. Badannya juga masih bagus dan masih terlihat ramping, walau pun, menurut saya, mbak Maya pasti sudah bersuami dan punya anak.

"mbak Maya nungguin siapa disini?" tanyaku setelah kami terdiam beberapa saat.
"suami saya. Dia mengalami gagal ginjal dan harus melakukan transplantasi ginjal. Saya sudah lebih seminggu disini. Kami sedang berusaha mencari pendonor ginjal yang cocok buat suami saya..." jelas mbak Maya dengan suara getir.
Aku tergugu mendengar cerita mbak Maya barusan. Untuk sesaat saya hanya terdiam.
"kasihan suami saya, dia harus melakukan cuci darah dua minggu sekali. Sementara anak kami masih kecil, dia baru berusia empat tahun. Rasanya dia belum siap kehilangan seorang ayah. Untuk itulah kami dan keluarga sedang berusaha mencari orang yang mau mendonorkan ginjalnya, agar suami saya bisa pulih kembali dan tak perlu lagi melakukan cuci darah..." mbak Maya melanjutkan ceritanya dengan sesekali tersenyum pahit. Wajahnya yang tadi terlihat ceria, tiba-tiba menjadi kian murung.
"maafkan saya, mbak..." ucap saya pelan, dengan perasaan bersalah tiba-tiba.
"kenapa kamu harus minta maaf?" tanya mbak Maya dengan kening berkerut.
"karena telah membuat mbak Maya menjadi sedih..."
Mbak Maya tertawa kecil, setetes air mata tergenang dimatanya. Perlahan mbak Maya mengusap pipinya sendiri. Ia menarik napas cukup dalam.

"Ibumu kapan akan dioperasi?" tanya mbak Maya mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku terdiam lagi, kali ini cukup lama. Ada rasa perih menggores hatiku kembali, mengingat kondisi Ibu saat ini. Terlebih karena saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Ibu.
"saya belum punya biaya untuk operasi Ibu, mbak..." jawabku akhirnya dengan suara tertekan.
Kulihat mbak Maya memalingkan wajahnya menatapku. Aku tiba-tiba tertunduk lesuh.
"saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu. Ayah sudah lama meninggal. Adik-adik saya masih kecil-kecil. Saya tidak punya sanak saudara di kota ini. Saya tidak tahu lagi harus melakukan apa, agar bisa mendapatkan uang dengan cepat untuk biaya operasi Ibu...." suaraku terdengar lirih. Aku merasakan mataku mulai berkaca. Kutarik napasku perlahan, sekedar menenangkan hatiku.

Tiba-tiba suasana terasa begitu sunyi. Kulirik jam di dinding ruang tunggu, sudah hampir jam dua belas malam. Aku melirik mbak Maya yang terlihat sedang berpikir keras. Beberapa orang masih terlihat sibuk lalu lalang di teras luar rumah sakit.
"saya mau menawarkan sesuatu sama kamu..." tiba-tiba mbak Maya membuka suara.
Aku hanya melirik beberapa saat, kemudian mengalihkan pandanganku ke depan.
"tawaran apa?" tanyaku sedikit penasaran.
Mbak Maya menatapku sesaat, kemudian menarik napas lagi.
"saya akan bantu kamu untuk mendapatkan biaya operasi Ibu kamu. Dan bahkan jika kamu bersedia, kamu bisa dapatkan uang dengan jumlah yang besar. Bisa buat operasi Ibumu dan juga sisanya bisa buat kamu buka usaha..." ucap mbak Maya terdengar bersungguh-sungguh. "tapi tentu saja ada syaratnya.."
"syarat? syarat apa?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"tapi ini jika kamu mau ya. Saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus pikirkan Ibumu, Diko." mbak Maya berbicara lagi, kali ini ia memutar tubuhnya menghadapku.

"saya akan bantu biaya operasi Ibu kamu, dan bahkan saya akan kasih kamu uang lebih banyak lagi. Jika kamu bersedia menjadi pendonor ginjal bagi suami saya...." pelan suara mbak Maya berucap, namun ucapannya itu, yang lebih terdengar sedikit memohon, membuat saya cukup terkesima. Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika mbak Maya yang baru saja aku kenal, bisa berpikiran demikian dan bahkan menawarkan hal tersebut kepadaku.
Tiba-tiba saja aku menjadi bimbang. Hatiku cukup tersentuh untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. Biar bagaimanapun aku memang sedang membutuhkan banyak uang, terutama untuk operasi Ibu. Tapi apa harus dengan menjual ginjalku? tanyaku membathin.
"sebenarnya kita saling bantu, Diko. Saya bantu kamu untuk biaya operasi Ibumu, kamu bantu saya untuk mendonorkan ginjal buat suami saya..." mbak Maya berucap lagi berusaha meyakinkan.

Bagi saya, apa pun istilahnya, tetap saja itu artinya saya harus menjual ginjal saya untuk mendapatkan sejumlah uang. Saya pernah dengar tentang seseorang yang rela menjual organ tubuhnya untuk mendapatkan uang. Namun saya tidak pernah terpikir, jika hal itu akan terjadi dalam kehidupan saya.
"kamu bisa pikirkan lagi hal ini, Diko. Dan jika kamu sudah punya keputusan, kamu tahu harus mencari saya dimana..." setelah berucap demikian, mbak Maya pun berdiri, lalu melangkah dengan pelan meninggalkan saya sendirian.

**********

Malam itu mataku semakin enggan terpejam. Semua kisah perjalanan hidupku seakan melintas jelas dipikiranku. Kembali aku teringat tentang beasiswa-ku yang akan segera dihentikan, tentang Ibu yang terbaring lemas yang harus segera dioperasi. Dan tentang tawaran dari mbak Maya.
Aku melangkahkan kakiku mencari warnet yang masih buka malam itu. Aku berniat mencari informasi tentang donor ginjal. Aku ingin mencari tahu, hal apa yang akan menimpaku jika aku harus mendonorkan salah satu ginjalku.
Perlahan aku pun mengetik beberapa kalimat di menu pencarian google pada layar komputer warnet. Sebuah website pertama yang muncul ialah tentang larangan agama mengenai menjual ginjal. Saya membuka website itu beberapa saat. Dari awal saya tahu, jika hal itu memang salah, terlepas dari apapun alasannya.

Tapi saat ini, dalam pikiranku, hanya itu satu-satunya jalan keluar dari persoalan yang sedang aku hadapi. Terlepas dari hal itu diperbolehkan atau tidak.
Aku mencari-cari lagi tentang donor ginjal di komputer tersebut. Ada banyak resiko yang bisa saja terjadi padaku, jika tetap melakukan donor ginjal. Diantaranya mungkin, menurunnya stamina saya secara signifikan.
Tapi bukannya mbak Maya menjanjikan saya sejumlah uang yang banyak. Dengan uang itu, selain bisa saya gunakan untuk operasi Ibu, tentu saja sisanya bisa saya gunakan untuk membuka usaha. Dengan begitu saya juga tidak harus bekerja terlalu keras lagi.

Berdasarkan hal tersebut, saya pun akhirnya menemui mbak Maya pada malam berikutnya. Bagi saya semakin cepat Ibu dioperasi, tentunya akan semakin baik untuk kesehatannya.
"saya bersedia, mbak.." ucapku dengan nada penuh keyakinan. "tapi saya ingin melakukan pendonoran, setelah Ibu saya selesai dioperasi.." lanjutku lagi.

"oke! saya setuju.." balas mbak Maya dengan senyum mengembang, "saya akan sampaikan hal ini pada pihak keluarga." lanjutnya. "tapi dalam hal ini, kamu harus mengaku kepada pihak rumah sakit, bahwa kamu adalah salah satu anggota keluarga dari suami saya..."
"yap!" saya mengangguk setuju, "tapi saya minta hal ini dirahasiakan, terutama kepada Ibu dan adik-adik saya.." saya melanjutkan dengan suara pelan.
Mbak Maya pun menjabat tanganku erat. Aku hanya tersenyum getir. Aku sadar betul, apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan dan sangat beresiko. Namun semua ini hanya demi Ibu dan adik-adikku. Apa pun akan aku lakukan untuk mereka. Meski pun nyawa taruhannya.

******
Setelah semua kesepakatanku dengan mbak Maya, dan dengan rencana yang diatur sekian rupa. Ibu akhirnya menjalani operasi. Aku tahu Ibu pasti bertanya-tanya, dari mana aku mendapatkan uang untuk operasinya. Tapi aku berusaha meyakinkan Ibu bahwa hal itu tidak harus ia pikirkan.
Operasi Ibu berjalan dengan lancar. Setelah beberapa hari, Ibu pun sudah diperbolehkan pulang. Aku tersenyum bahagia melihat Ibu sudah pulih kembali. Meski tetap saja, kata dokter, Ibu tidak boleh bekerja terlalu keras lagi.
Sesuai perjanjian, setelah beberapa hari Ibu dirumah, aku pun melakukan transplantasi ginjal untuk suami mbak Maya. Butuh beberapa hari sih, makanya aku beralasan sama Ibu, kalau aku sedang ada tugas kuliah keluar daerah selama beberapa hari.

Pendonoran ginjalku dengan suami mbak Maya berjalan lancar. Suami mbak Maya mulai membaik. Aku pun merasa cukup baik, meski awal-awalnya aku merasa selalu lemas dan mudah merasa lelah. Namun semakin hari, aku semakin terbiasa dengan kondisi tubuhku yang baru.
Mbak Maya menepati janjinya. Ia memberiku sejumlah uang, yang menurutku sangat banyak. Dengan uang itu, aku mulai membuka usaha di rumah. Aku menambah besar bagian depan rumahku, untuk tempat usaha baruku. Aku mencoba membuka usaha warung bakso dengan mempekerjakan beberapa orang pekerja. Biar bagaimana pun aku dan Ibu sudah tidak bisa melakukan pekerjaan yang berat.

Dan Ibu, tentu saja beliau tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"saya dapat proyek besar bareng teman. Dan keuntungannya bisa buat biaya operasi Ibu dan juga buat buka usaha ini...." ucapku beralasan pada Ibu, ketika beliau akhirnya mempertanyakan hal tersebut.
Ibu hanya tersenyum simpul. Aku tahu Ibu tidak sepenuhnya percaya. Namun aku juga tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Biar bagaimanapun Ibu tidak boleh tahu...

Kecuali, kelak suatu saat aku harus menerima semua efek samping dari kesalahanku tersebut......

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate