Aku melangkah sendirian dalam cahaya remang malam. Aku melangkah menuju
rumah sakit. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, karena mataku
enggan terpejam. Pikiranku merasa sangat tidak tenang.
Sesampai di
rumah sakit, aku melihat Ibu sudah tertidur di ranjang. Sementara kedua
adikku terbaring di lantai, mereka terlihat lelah. Aku semakin terenyuh
melihat itu semua. Sungguh hatiku terasa terhiris-hiris. Begitu
pedih....
Aku duduk di ruang tunggu rumah sakit yang mulai sepi,
sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan saat ini. Sampai sebuah
suara lembut mengagetkanku,
"siapa yang sakit?" suara itu
berasal dari seorang wanita yang kuperkirakan sudah berumur tiga
puluhan, ia duduk tak jauh di sampingku. Wanita itu memakai pakaian yang
cukup elegan dengan dandanan wajah yang sedikit mencolok, menurutku.
"Ibuku..." jawabku lemas, dengan sedikit menyunggingkan senyum.
"oh.." wanita itu membulatkan bibirnya. "sakit apa?" tanya wanita itu selanjutnya.
Aku
menceritakan tentang penyakit Ibuku kepada wanita yang baru pertama
kali aku lihat itu. Aku mungkin memang butuh teman untuk bercerita,
sekedar mengurangi sedikit beban yang tiba-tiba terasa begitu berat aku
rasakan.
Wanita itu terlihat ramah dan perhatian. Meski tentu saja,
aku tidak menceritakan tentang kesulitan uang yang sedang aku alami.
Rasanya hal itu tidak harus aku ceritakan, terutama kepada orang yang
belum aku kenal.
"namaku Maya...." wanita itu memperkenalkan diri, seakan berusaha untuk terlihat akrab.
"namaku
Diko, tante.." balasku sedikit sungkan. Aku hanya berusaha menghargai
tante Maya yang seakan butuh teman untuk sekedar bercerita.
"jangan
panggil tante lah, apa saya terlihat sebegitu tuanya ya..?" balas tante
Maya membuatku sedikit tersipu. "kamu umur berapa?" tanya tante Maya
melanjutkan.
"dua puluh tahun, tan..." jawabku jujur.
"oh, masih
muda, ya. Tapi gak usah panggil tante, panggil mbak aja gak apa-apa.."
ucap tante eh mbak Maya dengan sedikit mengulum senyum.
Secara fisik
mbak Maya memang terlihat masih cantik, meski dandanannya sedikit
mencolok. Badannya juga masih bagus dan masih terlihat ramping, walau
pun, menurut saya, mbak Maya pasti sudah bersuami dan punya anak.
"mbak Maya nungguin siapa disini?" tanyaku setelah kami terdiam beberapa saat.
"suami
saya. Dia mengalami gagal ginjal dan harus melakukan transplantasi
ginjal. Saya sudah lebih seminggu disini. Kami sedang berusaha mencari
pendonor ginjal yang cocok buat suami saya..." jelas mbak Maya dengan
suara getir.
Aku tergugu mendengar cerita mbak Maya barusan. Untuk sesaat saya hanya terdiam.
"kasihan
suami saya, dia harus melakukan cuci darah dua minggu sekali. Sementara
anak kami masih kecil, dia baru berusia empat tahun. Rasanya dia belum
siap kehilangan seorang ayah. Untuk itulah kami dan keluarga sedang
berusaha mencari orang yang mau mendonorkan ginjalnya, agar suami saya
bisa pulih kembali dan tak perlu lagi melakukan cuci darah..." mbak Maya
melanjutkan ceritanya dengan sesekali tersenyum pahit. Wajahnya yang
tadi terlihat ceria, tiba-tiba menjadi kian murung.
"maafkan saya, mbak..." ucap saya pelan, dengan perasaan bersalah tiba-tiba.
"kenapa kamu harus minta maaf?" tanya mbak Maya dengan kening berkerut.
"karena telah membuat mbak Maya menjadi sedih..."
Mbak
Maya tertawa kecil, setetes air mata tergenang dimatanya. Perlahan mbak
Maya mengusap pipinya sendiri. Ia menarik napas cukup dalam.
"Ibumu kapan akan dioperasi?" tanya mbak Maya mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku
terdiam lagi, kali ini cukup lama. Ada rasa perih menggores hatiku
kembali, mengingat kondisi Ibu saat ini. Terlebih karena saya merasa
tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Ibu.
"saya belum punya biaya untuk operasi Ibu, mbak..." jawabku akhirnya dengan suara tertekan.
Kulihat mbak Maya memalingkan wajahnya menatapku. Aku tiba-tiba tertunduk lesuh.
"saya
sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu. Ayah sudah lama
meninggal. Adik-adik saya masih kecil-kecil. Saya tidak punya sanak
saudara di kota ini. Saya tidak tahu lagi harus melakukan apa, agar bisa
mendapatkan uang dengan cepat untuk biaya operasi Ibu...." suaraku
terdengar lirih. Aku merasakan mataku mulai berkaca. Kutarik napasku
perlahan, sekedar menenangkan hatiku.
Tiba-tiba suasana terasa
begitu sunyi. Kulirik jam di dinding ruang tunggu, sudah hampir jam dua
belas malam. Aku melirik mbak Maya yang terlihat sedang berpikir keras.
Beberapa orang masih terlihat sibuk lalu lalang di teras luar rumah
sakit.
"saya mau menawarkan sesuatu sama kamu..." tiba-tiba mbak Maya membuka suara.
Aku hanya melirik beberapa saat, kemudian mengalihkan pandanganku ke depan.
"tawaran apa?" tanyaku sedikit penasaran.
Mbak Maya menatapku sesaat, kemudian menarik napas lagi.
"saya
akan bantu kamu untuk mendapatkan biaya operasi Ibu kamu. Dan bahkan
jika kamu bersedia, kamu bisa dapatkan uang dengan jumlah yang besar.
Bisa buat operasi Ibumu dan juga sisanya bisa buat kamu buka usaha..."
ucap mbak Maya terdengar bersungguh-sungguh. "tapi tentu saja ada
syaratnya.."
"syarat? syarat apa?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"tapi
ini jika kamu mau ya. Saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus
pikirkan Ibumu, Diko." mbak Maya berbicara lagi, kali ini ia memutar
tubuhnya menghadapku.
"saya akan bantu biaya operasi Ibu kamu,
dan bahkan saya akan kasih kamu uang lebih banyak lagi. Jika kamu
bersedia menjadi pendonor ginjal bagi suami saya...." pelan suara mbak
Maya berucap, namun ucapannya itu, yang lebih terdengar sedikit memohon,
membuat saya cukup terkesima. Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika
mbak Maya yang baru saja aku kenal, bisa berpikiran demikian dan bahkan
menawarkan hal tersebut kepadaku.
Tiba-tiba saja aku menjadi
bimbang. Hatiku cukup tersentuh untuk mempertimbangkan tawaran tersebut.
Biar bagaimanapun aku memang sedang membutuhkan banyak uang, terutama
untuk operasi Ibu. Tapi apa harus dengan menjual ginjalku? tanyaku
membathin.
"sebenarnya kita saling bantu, Diko. Saya bantu kamu untuk
biaya operasi Ibumu, kamu bantu saya untuk mendonorkan ginjal buat
suami saya..." mbak Maya berucap lagi berusaha meyakinkan.
Bagi
saya, apa pun istilahnya, tetap saja itu artinya saya harus menjual
ginjal saya untuk mendapatkan sejumlah uang. Saya pernah dengar tentang
seseorang yang rela menjual organ tubuhnya untuk mendapatkan uang. Namun
saya tidak pernah terpikir, jika hal itu akan terjadi dalam kehidupan
saya.
"kamu bisa pikirkan lagi hal ini, Diko. Dan jika kamu sudah
punya keputusan, kamu tahu harus mencari saya dimana..." setelah berucap
demikian, mbak Maya pun berdiri, lalu melangkah dengan pelan
meninggalkan saya sendirian.
**********
Malam itu mataku
semakin enggan terpejam. Semua kisah perjalanan hidupku seakan melintas
jelas dipikiranku. Kembali aku teringat tentang beasiswa-ku yang akan
segera dihentikan, tentang Ibu yang terbaring lemas yang harus segera
dioperasi. Dan tentang tawaran dari mbak Maya.
Aku melangkahkan
kakiku mencari warnet yang masih buka malam itu. Aku berniat mencari
informasi tentang donor ginjal. Aku ingin mencari tahu, hal apa yang
akan menimpaku jika aku harus mendonorkan salah satu ginjalku.
Perlahan
aku pun mengetik beberapa kalimat di menu pencarian google pada layar
komputer warnet. Sebuah website pertama yang muncul ialah tentang larangan agama mengenai menjual ginjal. Saya membuka website itu beberapa saat. Dari awal saya tahu, jika hal itu memang salah, terlepas dari apapun alasannya.
Tapi
saat ini, dalam pikiranku, hanya itu satu-satunya jalan keluar dari
persoalan yang sedang aku hadapi. Terlepas dari hal itu diperbolehkan
atau tidak.
Aku mencari-cari lagi tentang donor ginjal di komputer
tersebut. Ada banyak resiko yang bisa saja terjadi padaku, jika tetap
melakukan donor ginjal. Diantaranya mungkin, menurunnya stamina saya
secara signifikan.
Tapi bukannya mbak Maya menjanjikan saya sejumlah
uang yang banyak. Dengan uang itu, selain bisa saya gunakan untuk
operasi Ibu, tentu saja sisanya bisa saya gunakan untuk membuka usaha.
Dengan begitu saya juga tidak harus bekerja terlalu keras lagi.
Berdasarkan
hal tersebut, saya pun akhirnya menemui mbak Maya pada malam
berikutnya. Bagi saya semakin cepat Ibu dioperasi, tentunya akan semakin
baik untuk kesehatannya.
"saya bersedia, mbak.." ucapku dengan nada
penuh keyakinan. "tapi saya ingin melakukan pendonoran, setelah Ibu saya
selesai dioperasi.." lanjutku lagi.
"oke! saya setuju.." balas
mbak Maya dengan senyum mengembang, "saya akan sampaikan hal ini pada
pihak keluarga." lanjutnya. "tapi dalam hal ini, kamu harus mengaku
kepada pihak rumah sakit, bahwa kamu adalah salah satu anggota keluarga
dari suami saya..."
"yap!" saya mengangguk setuju, "tapi saya minta
hal ini dirahasiakan, terutama kepada Ibu dan adik-adik saya.." saya
melanjutkan dengan suara pelan.
Mbak Maya pun menjabat tanganku erat.
Aku hanya tersenyum getir. Aku sadar betul, apa yang aku lakukan adalah
sebuah kesalahan dan sangat beresiko. Namun semua ini hanya demi Ibu
dan adik-adikku. Apa pun akan aku lakukan untuk mereka. Meski pun nyawa
taruhannya.
******
Setelah semua kesepakatanku
dengan mbak Maya, dan dengan rencana yang diatur sekian rupa. Ibu
akhirnya menjalani operasi. Aku tahu Ibu pasti bertanya-tanya, dari mana
aku mendapatkan uang untuk operasinya. Tapi aku berusaha meyakinkan Ibu
bahwa hal itu tidak harus ia pikirkan.
Operasi Ibu berjalan dengan
lancar. Setelah beberapa hari, Ibu pun sudah diperbolehkan pulang. Aku
tersenyum bahagia melihat Ibu sudah pulih kembali. Meski tetap saja,
kata dokter, Ibu tidak boleh bekerja terlalu keras lagi.
Sesuai
perjanjian, setelah beberapa hari Ibu dirumah, aku pun melakukan
transplantasi ginjal untuk suami mbak Maya. Butuh beberapa hari sih,
makanya aku beralasan sama Ibu, kalau aku sedang ada tugas kuliah keluar
daerah selama beberapa hari.
Pendonoran ginjalku dengan suami
mbak Maya berjalan lancar. Suami mbak Maya mulai membaik. Aku pun merasa
cukup baik, meski awal-awalnya aku merasa selalu lemas dan mudah merasa
lelah. Namun semakin hari, aku semakin terbiasa dengan kondisi tubuhku
yang baru.
Mbak Maya menepati janjinya. Ia memberiku sejumlah uang,
yang menurutku sangat banyak. Dengan uang itu, aku mulai membuka usaha
di rumah. Aku menambah besar bagian depan rumahku, untuk tempat usaha
baruku. Aku mencoba membuka usaha warung bakso dengan mempekerjakan
beberapa orang pekerja. Biar bagaimana pun aku dan Ibu sudah tidak bisa
melakukan pekerjaan yang berat.
Dan Ibu, tentu saja beliau tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"saya
dapat proyek besar bareng teman. Dan keuntungannya bisa buat biaya
operasi Ibu dan juga buat buka usaha ini...." ucapku beralasan pada Ibu,
ketika beliau akhirnya mempertanyakan hal tersebut.
Ibu hanya
tersenyum simpul. Aku tahu Ibu tidak sepenuhnya percaya. Namun aku juga
tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Biar bagaimanapun Ibu tidak
boleh tahu...
Kecuali, kelak suatu saat aku harus menerima semua efek samping dari kesalahanku tersebut......
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar