Namanya mas Arifin. Dan dia adalah suami sahabatku, Dena.
Aku dan Dena memang sudah bersahabat sejak lama, setidaknya sejak kami sama-sama kuliah.
Kami bahkan akhirnya juga bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja Dena lebih beruntung, karena setelah setahun bekerja, dia pun di lamar oleh manager di perusahaan kami bekerja.
Setelah menikah dengan mas Arifin, si manager perusahaan tersebut, Dena pun memutuskan untuk berhenti bekerja. Dia lebih memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga biasa.
Selain karena itu merupakan permintaan dari suaminya, Dena juga sejak dulu memang tidak suka menjadi wanita karir.
Dena dan mas Arifin sudah memiliki seorang putra dari hasil pernikahan mereka.
Aku sendiri masih betah dengan status lajang ku. Aku masih ingin mengejar impian ku. Meski pun saat ini, usia ku sudah 28 tahun.
Sebenarnya ada banyak laki-laki yang berusaha untuk mendekati ku, tapi selama ini aku selalu menutup diri. Aku tidak suka terikat. Aku lebih suka kebebasan.
Meski pun sebagai wanita dewasa, aku juga kadang sering merasa kesepian hidup sendirian. Apa lagi di kota ini, aku hanya tinggal sendiri di sebuah apartemen sewaan.
Semua keluarga ku ada di desa, dan aku sangat jarang pulang ke kampung halamanku. Selain karena aku sudah merasa betah tinggal di kota, aku juga tidak suka pulang ke kampung ku, karena selalu di tanyakan tentang 'kapan nikah?' oleh keluarga ku.
Dan selain itu juga, kedua orangtua ku sebenarnya sudah lama meninggal. Jadi selain dua orang kakak ku yang ada di kampung, aku tidak punya banyak famili lain.
Meski pun sudah menikah dan punya anak, Dena masih sering mengajak aku ketemuan. Kami masih sering ngobrol, saling curhat dan saling telpon-telponan. Aku bahkan juga sering main ke rumahnya.
Kehidupan Dena memang di bilang cukup mewah. Tinggal di rumah gedongan, punya mobil mewah, dan punya beberapa orang pembantu di rumahnya.
Kadang aku merasa cukup iri dengan kehidupan Dena tersebut.
Apa lagi Dena memiliki seorang suami seperti mas Arifin. Selain mapan, mas Arifin juga seorang pria yang tampan dan gagah. Dena beruntung mendapatkan mas Arifin, demikian juga mungkin sebaliknya.
Dena memang cantik, sejak dulu dia selalu menjadi incaran banyak cowok. Dia selalu menjadi primadona di kampus maupun di tempat kerja. Sampai akhirnya mas Arifin mampu meluluhkan hatinya.
Aku dan mas Arifin sebenarnya cukup dekat. Selain karena ia adalah suami sahabatku, mas Arifin juga atasan ku di kantor.
Mas Arifin bahkan pernah beberapa kali mengantar ku pulang ke apartemen. Meski pun selama ini, pembicaraan masih seputar tentang pekerjaan dan hal-hal umum lainnya.
Hingga pada suatu saat. Untuk kesekian kalinya, mas Arifin mengantar ku pulang ke apartemen ku.
"kenapa masih betah hidup sendiri sih?" tanya mas Arifin di perjalanan menuju apartemen ku.
Aku cukup kaget mendengar pertanyaan itu. Karena sebelumnya mas Arifin belum bertanya hal-hal pribadi seperti itu.
"sebenarnya bosan juga hidup sendiri. Tapi nyari laki-laki yang mau bertanggung jawab itu susah. Dan lagi pula aku kan gak secantik Dena, jadi jarang ada laki-laki yang mau mendekat." balas ku apa adanya.
"kamu tuh cantik loh, Reni. Kamu cantik dengan caramu sendiri. Kamu juga manis dan seksi.." ucap mas Arifin dengan suara beratnya.
Jujur aku jarang sekali mendengar pujian seperti itu dari laki-laki. Dan hal itu cukup membuatku merasa tersipu. Muka ku memerah pastinya.
"ah mas Arifin bisa aja. Tapi nyata nya sampai saat ini aku masih jomblo. Itu artinya aku tidak terlalu menarik di mata laki-laki." balas ku berusaha menahan gejolak di hatiku.
"tapi bukannya kata Dena, kamu lebih memilih untuk berkarir dari pada cepat-cepat nikah?" ucap mas Arifin lagi.
"sebenarnya iya sih mas. Tapi sekarang ini, aku mulai lelah berkarir. Pengen juga ngerasain, jadi seorang istri dan jadi seorang ibu." timpalku pelan.
Untuk beberapa saat suasana pun hening. Hingga mobil kami pun sampai ke halaman parkir apartemen ku.
"mampir dulu mas." tawar ku seperti biasa. Dan biasanya mas Arifin selalu menolak.
"kalau kamu gak keberatan aku mampir." ucap mas Arifin, yang membuat aku sedikit tercekat.
Aku belum pernah sekali pun mengajak seorang laki-laki masuk ke apartemen ku. Dan tadinya aku hanya berbasa-basi pada mas Arifin. Tapi jika mas Arifin benar-benar ingin mampir, aku rasa aku tidak enak hati untuk menolaknya.
Selain karena dia adalah atasanku, juga suami sahabatku, aku juga merasa tidak enak hati karena berkali-kali di antarnya pulang.
"mas serius mau mampir?" tanya ku ragu, "apartemen ku jelek loh mas." lanjutku berusaha mencegah hal itu terjadi.
"iya, aku serius. Aku pengen lihat apartemen kamu. Dan lagi pula aku merasa sedikit haus." ucap mas Arifin, yang membuat ku tercekat lagi.
"ya .. udah... kalau begitu mari kita ke atas.." ajak ku akhirnya, setelah berusaha mengatur napasku yang tiba-tiba saja tersengal.
Apartemen ku memang berada di lantai dua gedung tersebut, dan untuk sampai ke sana, kami harus menaiki tangga manual. Karena apartemen tempat aku tinggal ini, hanyalah sebuah apartemen murah dengan fasilitas seadanya.
Sesampai di atas aku pun mempersilahkan mas Arifin untuk masuk dan duduk di ruang tamu.
"aku ambilkan minum dulu ya mas." ucapku memecah keheningan.
Tanpa menunggu persetujuan dari mas Arifin, aku pun segera melangkah ke dapur kecil apartemen ku tersebut.
Aku membawakan segelas air putih ke ruang tamu, dan menyerahkannya kepada mas Arifin.
"ini mas. Cuma ada air putih." ucapku, sambil ikut duduk di hadapan mas Arifin.
Mas Arifin segera menenggak minuman tersebut, kemudian menaruh gelas yang masih berisi separoh itu di atas meja tamu.
"sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, Reni. Sudah sejak lama sebenarnya aku ingin cerita. Tapi selama ini aku belum punya keberanian." mas Arifin berucap pelan.
"mas Arifin mau cerita tentang apa?" tanyaku penasaran.
"cerita tentang masa lalu sih. Tapi rasanya hal itu terus mengganjal di hatiku, jika aku tidak menceritakannya padamu." balas mas Arifin.
Aku diam. Menunggu mas Arifin memulai ceritanya.
"sebenarnya dulu, jauh sebelum aku menikah dengan Dena. Saat pertama kali kalian bekerja di perusahaan ku. Aku .... aku sebenarnya sudah suka sama kamu, Reni. Tapi waktu itu, ketika aku coba mendekati kamu, Dena pun cerita padaku, kalau kamu belum mau pacaran, karena masih mau fokus berkarir."
"karena itu, aku pun memilih untuk mundur. Aku masih mau menunggu sebenarnya, tapi karena aku dan Dena tiba-tiba saja menjadi dekat, aku malah jadi tertarik sama Dena. Hingga akhirnya kami pun pacaran dan menikah." cerita mas Arifin panjang lebar.
Aku tercekat lagi. Aku tidak tahu, apa mas Arifin berbicara jujur atau hanya sekedar menghiburku.
Namun yang pasti aku merasa tersanjung mendengar itu semua. Karena sejujurnya, sejak pertama kali melihat mas Arifin dulu, aku memang menyukainya.
Tapi karena aku merasa tidak pantas untuknya, dan karena memang aku lebih memilih untuk fokus pada karir dari pada pacaran, aku hanya bisa memendam semua itu.
Hingga pada akhirnya aku tahu, kalau mas Arifin dan Dena pacaran. Aku pun mengubur semua impian ku tentang mas Arifin.
"oh," desahku ringan, berusaha bersikap sewajar mungkin.
"lalu sekarang mas Arifin sudah merasa lega kan? Sudah cerita hal itu padaku?" ucapku akhirnya.
Mas Arifin menarik napas berat.
"jadi cuma itu? Cuma itu tanggapan kamu Reni?" tanya mas Arifin tiba-tiba.
"lalu mas Arifin maunya aku menanggapinya gimana?" tanyaku balik.
"aku juga gak tahu, apa yang aku inginkan sebenarnya dengan menceritakan hal tersebut. Tapi aku berharap, kamu punya reaksi lebih dari itu. Entah kenapa?" balas mas Arifin lemah.
"udahlah mas Arifin. Lagi pula itu semua kan sudah berlalu. Sekarang mas Arifin sudah bersama Dena. Jadi lupakan saja semua yang telah berlalu." ucapku membalas.
"tapi kalau seandainya, aku katakan, kalau sampai saat ini aku masih menyukai kamu?" ucap mas Arifin dengan nada tanyanya.
"ya tetap saja itu tidak mengubah apa pun mas. Kita tak mungkin kembali ke masa lalu kan? Dan sekali pun mas Arifin masih menyukai ku. Itu hak mas Arifin. Namun yang pasti sekarang ini, mas Arifin adalah seorang suami dan juga seorang ayah." ucapku berusaha sesantai mungkin.
"apa kamu tidak ingin mencobanya?" tanya mas Arifin lagi.
"mencoba apa mas?" tanyaku heran.
"mencoba menjalin hubungan denganku?" mas Arifin bertanya kembali.
"kamu jangan macam-macam mas. Dena adalah sahabatku. Aku tidak mungkin mengkhianatinya. Aku bukan tipe wanita seperti itu." ucapku tegas.
"tapi aku benar-benar menyukai kamu Reni. Aku ingin kamu menjadi istri kedua ku." balas mas Arifin dengan nada sedikit tinggi.
"aku gak mau mas. Apa lagi harus jadi istri kedua." balas ku tegas lagi.
"kalau kamu gak mau, aku akan pecat kamu dari perusahaanku." ucap mas Arifin dengan nada semakin tinggi.
Aku terdiam. Bukan karena aku takut akan ancamannya. Tapi aku tak menyangka kalau mas Arifin akan berkata seperti itu.
Itu seperti bukan mas Arifin yang aku kenal. Atau itulah sifat aslinya yang ia sembunyikan selama ini.
"pilihannya hanya dua Reni. Kamu menjadi istri kedua ku atau kamu aku pecat." mas Arifin berucap lagi. lebih tegas dan lebih kasar.
"aku tak sudi menjadi istri mas Arifin apa lagi menjadi istri kedua. Aku rela kehilangan pekerjaanku." balasku dengan nada bergetar menahan gejolak emosi di dadaku.
Tak aku sangka mas Arifin punya sifat seperti itu. Selama ini dia aku kenal sebagai laki-laki baik.
Aku pikir Dena beruntung bisa mendapatkannya, tapi ternyata...
"oke Reni. Jika itu pilihanmu, aku akan kabulkan. Dan aku harap kamu tidak akan pernah menyesal dengan pilihanmu itu." ucap mas Arifin lagi, lalu kemudian dia pun berdiri dan segera keluar dari apartemenku.
Aku terdiam. Aku merasa syok tiba-tiba.
****
Keesokan harinya, aku pun mendapat surat pemecatan.
Aku tidak bisa terima sebenarnya. Namun perusahaan itu adalah milik papanya mas Arifin, dan mas Arifin merupakan pewaris tunggal perusahaan tersebut.
Yang artinya, dia punya hak sepenuhnya untuk memecatku dengan alasan yang dia karang sendiri.
Aku pun akhirnya hanya bisa pasrah. Aku keluar dari perusahaan itu dengan perasaan campur aduk.
Aku tidak masalah sebenarnya berhenti bekerja dari perusahaan itu. Aku bisa cari kerja lain, atau sekurang-kurangnya, aku bisa kembali ke kampung halamanku dan memulai hidup baru.
Namun yang aku pikirkan adalah sahabatku, Dena. Betapa malangnya dia memiliki suami seperti mas Arifin.
Jika mas Arifin gagal mendapatkan ku, aku yakin akan ada wanita lain yang akan dia jadikan korban berikutnya.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk mengajak Dena ketemuan. Lalu kemudian aku pun menceritakan semuanya kepada Dena.
Tentu saja Dena tidak begitu saja percaya dengan ceritaku.
"kamu jangan ngarang deh Reni. Aku tahu, kamu iri kan melihat kebahagiaanku bersama mas Arifin." ucap Dena.
"tapi apa yang aku ceritakan adalah benar adanya Dena. Buktinya aku dipecat." balasku berusaha meyakinkan.
"kamu di pecat itu karena kesalahanmu sendiri Reni. Mas Arifin sudah minta pendapatku tadi malam tentang pemecatan kamu. Katanya kesalahan kamu sangat fatal, hingga tidak bisa ia pertahankan lagi." ucap Dena dengan nada yakin.
Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tentu saja Dena pasti akan lebih percaya kepada suaminya, dari pada aku, sekali pun aku ini adalah sahabatnya.
Karena itu aku pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi dengan Dena. Karena untuk saat ini, semua itu hanya percuma.
Aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku dan memulai hidup baru disana.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Dena selanjutnya. Mudah-mudahan dia cepat sadar, kalau suaminya bukanlah laki-laki yang baik.
Meski pun aku yakin, itu mungkin butuh waktu sangat lama. Tapi setidaknya sebagai sahabat, aku telah memperingatkannya dari awal.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar