Sejak masuk ke sekolah ini aku sudah mulai mengenal Rara. Dia cewek pertama yang aku kenal di SMA ini. Setahun sudah aku mengenalnya. Rara seorang gadis yang baik, manis dan cerdas serta penuh perhatian.
Dari awal aku sudah mulai suka padanya. Aku pun sudah pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Waktu itu, sudah hampir satu semester kami berteman.
"Rey, untuk saat ini, mungkin lebih baik kita berteman saja." ucap Rara waktu itu, "aku belum siap menjalani hubungan percintaan dengan siapa pun, karena aku ingin fokus dengan sekolah ku saat ini." lanjutnya.
"dan aku harap kamu mau mengerti. Cobalah cari gadis lain yang mungkin juga menyukai kamu." Rara melanjutkan lagi.
Aku sempat kecewa waktu itu, mendengar penolakan Rara. Namun biar bagaimana pun, harus bisa menerima kenyataan bahwa Rara tidak menyukai ku. Meski pun entah mengapa, aku selalu merasa yakin, kalau Rara sebenarnya juga menyukai ku. Hanya saja sepertinya, ada banyak hal yang ia coba sembunyikan dari ku.
Sejak saat itu, aku tidak berharap banyak lagi kepada Rara, kecuali hanya sebagai teman.
Sampai saat ini, sudah lebih dari enam bulan berlalu, sejak Rara menolak cinta ku, aku masih belum bisa menemukan gadis lain, seperti yang di sarankan Rara. Karena sebenarnya, aku masih selalu mencintai Rara. Aku tak bisa melupakannya, apa lagi mencari gadis lain.
Selama enam bulan ini, hubungan kami biasa-biasa saja. Aku pun tak pernah mengungkit lagi tentang perasaan ku pada Rara. Meski pun sejujurnya, aku masih berharap, suatu saat nanti Rara mau membuka hatinya untukku.
Sebagai seseorang yang selalu mencintai Rara, aku sering merasa cemburu saat melihat Rara dekat dengan cowok lain. Namun aku selalu berusaha untuk menekan semua rasa cemburu ku itu. Karena aku tidak ingin kehilangan Rara, meski hanya sebagai teman.
Aku tahu, sampai saat ini Rara memang belum punya pacar. Seperti yang ia katakan dulu, kalau ia ingin fokus dengan sekolahnya.
****
Hingga pada suatu saat, aku kembali nekat untuk mengungkapkan perasaan ku pada Rara. Aku sengaja datang ke rumahnya diam-diam. Saat itu malam minggu.
Meski kaget, Rara tetap mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.
"kamu sendirian di rumah?" tanyaku memulai pembicaraan.
"berdua sama bi Asih." jawab Rara, "mama dan papa sedang menghadiri acara pesta di kantor tempat papa kerja." lanjutnya menjelaskan.
"kamu gak ikut?" tanya ku.
"aku gak suka acara pesta seperti itu." balas Rara lemah.
"oh, ya. Kamu ada apa datang ke sini malam-malam?" tanya Rara tiba-tiba, seolah mencoba mengalihkan pembicaraan.
"aku lagi suntuk aja di rumah, Ra. Jadi aku kepikiran untuk datang ke sini. Dan... sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan sama kamu." balas ku apa adanya.
"soal apa?" tanya Rara.
"setelah enam bulan berlalu, jujur, aku masih mencintai kamu, Ra. Aku tidak bisa melupakan kamu. Aku harap kamu mau memberikan aku kesempatan." ucapku dengan suara berat.
"maaf, Rey. Kalau soal itu, sampai saat ini jawabanku masih sama." balas Rara.
"kenapa sih. Ra? Kenapa kamu tidak mau memberikan aku kesempatan?" tanya ku penuh hiba.
"karena percuma, Rey." balas Rara.
"percuma kenapa?" tanyaku heran.
"kamu gak bakal ngerti, Rey." balas Rara lagi.
"kalau kamu gak pernah cerita gimana aku mau ngerti? Kamu jangan membuat aku semakin penasaran, Ra." ucapku sedikit tertahan.
"aku gak tahu bagaimana menjelaskannya sama kamu, Rey. Namun yang pasti, aku gak bisa. Aku harap kamu ngerti." balas Rara serak.
"terserah kamu, Ra. Mungkin aku yang salah. Aku yang terlalu berharap." suaraku lemah.
Setelah berkata demikian aku pun pamit.
"aku pulang, Ra. Semoga saja kamu bisa menemukan laki-laki yang benar-benar kamu suka." ucapku sambil mulai melangkah keluar.
*****
Seminggu kemudian Rara tiba-tiba menghilang. Dia menghilang tanpa kabar. Teman-temannya di sekolah juga tidak ada yang tahu kemana Rara. Aku kehilangan jejaknya.
Karena penasaran, aku pun mencoba mendatangi rumahnya. Namun rumah itu kosong. Menurut keterangan dari salah seorang tetangganya, Rara dan keluarga sudah pindah beberapa hari yang lalu.
Namun tidak seorang yang tahu, kenapa dan kemana Rara dan keluarganya pindah.
Aku mencoba menelan kepahitan itu. Meski pun aku merawa kecewa karena penolakan Rara, namun sebagai temannya, aku tetap merasa kehilangan. Aku tak bisa melihat wajah cantik itu lagi setiap hari di sekolah. Aku tak bisa melihat senyum manis itu lagi.
Kemana Rara sebenarnya? Dan kenapa ia pergi?
Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku.
Sampai suatu malam, sebuah pesan masuk ke email ku. Aku melihat pesan itu berasal dari email milik Rara. Dengan rasa penasaran, aku pun membuka email tersebut.
Teruntuk Rey, temanku.
Maaf, kalau aku pergi tiba-tiba. Maaf, kalau aku pergi tanpa memberitahu kamu. Seperti yang aku katakan, aku sulit menjelaskannya, Rey.
Namun setelah aku pergi, aku pikir kamu berhak tahu, karena itu aku pun nekat mengirimkan email ini.
Saat ini aku sedang berada di Singapur, Rey. Aku harus menjalani pengobatan.
Aku sakit, Rey. Leukimia stadium akhir. Kanker darah ini sudah merasuki ku sejak aku masih SMP.
Mama dan papa sudah berusaha keras untuk bisa mengobatiku. Berbagai pengobatan telah aku jalani, Rey. Namun semuanya tidak ada yang berhasil.
Sampai seorang kenalan papa, merekomendasikan sebuah rumah sakit di Singapur. Karena itu kami pun pindah, untuk pengobatan ku.
Meski pun sebenarnya harapan untuk aku sembuh sangat tipis, namun papa dan mama tidak pernah putus asa. Papa bahkan rela ikut pindah kerja ke Singapur, agar aku bisa menjalani pengobatan dengan rutin.
Maafkan aku, karena tidak jujur padamu dari awal. Tapi aku memang tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitku. Aku tak ingin di kasihani, Rey.
Dan aku juga minta maaf, kalau aku tidak bisa menerima cintamu. Bukan karena aku tidak suka sama kamu, Rey. Tapi karena aku tidak ingin, saat aku pergi, kamu akan semakin merasa kehilangan.
Sejujurnya aku bahagia bisa mengenal kamu. Ak bahagia bisa dekat sama kamu, Rey. Dan sebenarnya, aku juga cinta sama kamu. Namun aku tidak ingin hubungan kita semakin dalam. Karena itu pada akhirnya akan menyakiti kita berdua.
Aku harap kamu bisa melupakan aku, Rey. Dan sekali lagi, maafkan aku....
Begitulah kira-kira isi email dari Rara tersebut. Dan aku tanpa sadar pun meneteskan air mata saat membacanya. Hatiku terasa perih. Kepala ku sakit.
Rasanya jauh lebih sakit, ketika Rara menolak cintaku. Dan aku semakin merasa sakit, saat tahu, kalau Rara sebenarnya juga mencintai ku.
Kami saling mencintai, tapi Rara memilih untuk tidak menyatukan cinta kami. Karena ia tahu, dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
Dan sebulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Rara akhirnya meninggal. Pengobatan yang ia lakukan, hanyalah sebuah usaha terakhir orangtuanya, untuk menyelematkan anak mereka.
Pada akhrinya Rara benar-benar pergi. Aku merasa sangat kehilangan. Bukan saja sebagai teman dekatnya, tapi juga sebagai orang yang mencintainya.
Biar bagaimana pun Rara adalah cinta pertama ku. Dan aku tidak akan pernah melupakannya.
Itulah pengalaman pertama ku yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Cinta yang rumit.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar