Cinta lelaki bodoh ..

"kamu serius, Nik?" suara Alan terdengar pelan.

Aku hanya mengangguk ringan. Karena menurutku apa yang barusan aku sampaikan sudah sangat jelas dan juga sangat serius.

"tapi aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu, Nik. Kecuali perasaan sebagai sahabat. Maaf ya, Nik. Dan mungkin setelah ini kita gak usah bertemu dulu. Saya masih belum siap.." Alan berucap lagi, suaranya cukup datar.

Aku merasa sakit sebenarnya mendengar kalimat Alan barusan. Tapi jauh sebelum aku memberanikan diri untuk jujur pada Alan tentang siapa aku dan bagaimana perasaanku padanya, aku sudah mempersiapkan hatiku untuk terluka.

Namun setidaknya aku sekarang merasa cukup lega, karena sudah berani untuk berterus terang kepada Alan. Meski pada akhirnya aku akan kehilangan Alan sebagai sahabat. Dan aku juga sudah siap untuk itu.

Namaku Niko, dan Alan adalah sahabatku sejak kecil. Sejak SD kami sudah berteman, hingga sekarang kami mulai kuliah. Kami selalu bersama-sama, selain karena rumah kami yang satu kompleks, kami juga punya hobi yang sama.

Sejak SD hingga SMA, kami selalu sekolah di tempat yang sama. Rumah Alan sudah menjadi rumah kedua bagiku, demikian juga sebaliknya. Aku sangat dekat orangtua Alan, begitu juga Alan, ia sudah seperti anak sendiri bagi ayah dan ibuku.

Kebetulan aku anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami, kedua adikku perempuan. Dan Alan sendiri merupakan anak tunggal.

Sejak aku SMP, aku mulai mengagumi sosok Alan. Alan anak yang cerdas, supel dan juga ramah. Selain itu, Alan juga tampan dan bertubuh atletis.

Perlahan dari rasa kagum, lalu tumbuh rasa cinta. Ya, aku jatuh pada Alan, pada sahabatku sendiri.

Aku sendiri tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja aku jatuh hati pada Alan. Padahal aku sendiri tahu, kalau Alan seorang laki-laki sama sepertiku. Tapi rasa itu tumbuh begitu saja.

Namun selama bertahun-tahun, aku hanya mampu memendamnya. Dan terkadang merasa sakit, saat alan justru berpacaran dengan perempuan. Tapi sebagai sahabat aku tetap berusaha untuk selalu ada buat Alan.

Hingga akhirnya kami lulus SMA dan mulai memasuki jenjang kuliah. Alan memilih untuk tidak satu jurusan denganku, meski kami tetap kuliah di kampus yang sama.

Karena berbeda jurusan aku dan Alan jadi sedikit jarang bertemu. Meski kami masih sering menghabiskan waktu berdua.

Cintaku kepada Alan kian hari justru kian membesar, dan aku sudah tidak sanggup lagi memendamnya.

Karena itulah aku pun menghimpun keberanianku untuk mengungkapnya pada Alan sore itu. Meski aku tahu, Alan pasti akan menolakku dan juga pasti akan menjauhiku. Namun aku hanya ingin Alan kalau aku sangat menyayanginya.

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Lan.." begitu ucapku awalnya.

"mau ngomong apa sih, Nik. Kok keliatannya serius banget.." balas Alan ringan.

"aku .. aku mau ngomong... kalau aku.. aku... aku suka.. sama kamu, Lan.." ucapku terbata.

"aku.. jatuh cinta sama kamu, bahkan sejak kita masih SMP.." lanjutku.

Alan terlihat terperangah, ia seperti tak percaya kalau aku akan berucap demikian.

Dan itulah jawaban Alan selanjutnya yang membuatku merasa terluka dan patah.

****

"tapi aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu, Nik. Kecuali perasaan sebagai sahabat. Maaf ya, Nik. Dan mungkin setelah ini kita gak usah bertemu dulu. Saya masih belum siap.." terngiang kembali ucapan Alan tempo hari.

Ya, setelah mendengar jawaban Alan tersebut, aku pun langsung pamit dengan perasaan yang sangat kecewa.

Kini jelas Alan sangat jijik melihatku, setelah ia tahu siapa aku sebenarnya. Aku mencoba menabahkan hatiku, menguatkan perasaanku dan berusaha menjalani hari-hariku meski tanpa ada Alan lagi.

Alan benar-benar menjauhiku dan bahkan ia selalu menghindar dariku. Tapi setidaknya aku yakin, Alan tidak mungkin menceritakan hal tersebut kepada siapa pun.

Berbulan-bulan hal itu terjadi, aku dan Alan semakin terasa jauh.

Namun pada suatu saat aku mendapat kabar dari papanya Alan kalau Alan masuk rumah sakit.

Sebagai sahabat aku mencoba menjenguknya. Dan disana aku melihat tubuh Alan yang terbaring lemas di kamar rumah sakit.

"Alan mengalami gagal ginjal, Nik. Ia butuh perawatan intensif..." keterangan dari papa Alan membuatku benar-benar syok.

"kata dokter hanya ada dua pilihan pengobatan untuk Alan. Yang pertama ia harus rutin cuci darah, Nik." cerita papa Alan lagi.

"dan pilihan kedua Alan harus melakukan transplantasi atau pencangkokan ginjal, tapi untuk itu ia butuh pendonor ginjal. Namun tidak mudah mencari orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya.." lanjut papa Alan lagi.

Aku semakin syok mendengar itu semua. Bagaimana mungkin di usianya yang masih muda dan dengan bentuk fisiknya yang atletis, Alan bisa mengalami penyakit tersebut.

"om akan bersedia membayar berapa saja, kalau seandainya ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya untuk Alan, Nik.." suara papa Alan terdengar lagi, suara itu semakin serak.

Aku tahu, betapa sayangnya papa dan mama Alan kepadanya, karena Alan adalah anak mereka satu-satunya. Mereka pasti sangat takut akan kehilangan Alan.

Dan terlepas dari itu semua, aku juga sangat takut kehilangan Alan. Meski akhir-akhir ini, Alan justru menjauhiku.

*****

"kamu yakin, Nik? mau melakukan ini semua?" tanya papa Alan, keningnya mengerut.

"saya yakin, Om. Asal om mau berjanji tidak akan menceritakan ini semua kepada siapa pun, terutama kepada Alan dan juga orangtuaku. Alan adalah sahabat baikku sejak kecil, Om. Dia juga sangat baik padaku selama ini. Mungkin ini saatnya aku membalas semua kebaikannya.." jawabku dengan sedikit beralasan.

"tapi kamu nantinya akan hidup dengan satu ginjal loh, Nik.." ucap papa Alan lagi.

"iya, aku tahu, Om. Mungkin resikonya cukup besar. Tapi saya siap, Om. Kata dokter kedua ginjalku cukup sehat. Jadi sekalipun nantinya aku hanya hidup dengan satu ginjal, aku masih tetap sehat kok, Om..." jelasku yakin.

"pengorbanan kamu terlalu besar, Nik. Om gak tahu bagaimana cara membalas ini semua.." suara papa Alan bergetar.

"om gak perlu memikirkan hal itu sekarang. Saat ini yang penting Alan bisa pulih kembali, Om.." balasku ringan.

Aku memang sudah bertekad untuk mendonorkan ginjalku untuk Alan. Aku sangat mencintai Alan. Apa pun akan aku lakukan agar Alan bisa pulih kembali. Meski aku tidak bisa memilikinya, tapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu yang penting untuknya.

"jika kamu memang bersikeras, Nik. Om akan mengatur semuanya dan menjadikan hanya rahasia kita berdua.." ucap papa Alan akhirnya.

Dan setelah kesepakatan kami tersebut, kami pun mengatur waktu untuk melakukan transplantasi ginjal pada Alan.

Aku sengaja izin kepada ayah dan ibu, untuk pergi ke luar kota, karena ada tugas kuliah. Karena menurut dokter, setelah operasi pendonoran dilakukan, aku harus istirahat selama seminggu.

Meski sebenarnya aku hanya bermalam dan tinggal di sebuah hotel, tentu saja atas bantuan dari papa Alan yang telah mengatur semuanya.

Semuanya diatur dengan baik, sehingga hanya aku, papa Alan dan dokter yang mengetahui hal tersebut. Sementara papa Alan sudah meyakinkan dokter tersebut, untuk menyembunyikan siapa orang yang telah mendonorkan ginjal untuk Alan.

*****

Sebulan kemudian, aku kembali melakukan rutinitasku seperti biasa. Kuliah seperti biasa.

Aku juga tahu, kalau Alan sudah mulai kuliah kembali. Keadaannya sudah membaik. Operasi yang dilakukan memang berjalan lancar dan tanpa ada kendala.

Aku merasa senang melihat Alan bisa pulih kembali. Meski aku tidak berani untuk mendekatinya lagi. Biar bagaimana pun Alan sudah pasti tidak menyukaiku, walau hanya sekedar sahabat.

Ya, siapa yang ingin punya sahabat seorang laki-laki gay seperti saya. Tapi setidaknya aku merasa cukup bahagia masih bisa terus melihat Alan.

Hari-hari kembali berlalu, waktu masih terus berputar. Dan aku masih terus memikirkan Alan setiap malamnya.

Mencintainya dalam diam, menyayanginya sepenuh hati dan menjadikannya satu-satunya orang yang mampu memberikan aku semangat setiap harinya. Meski pun aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan.

Cintaku untuk Alan terlalu besar. Aku tak akan pernah bisa menghapusnya.

Aku tak berharap bisa memilikinya. Aku hanya ingin bahagia, meski bukan denganku.

Aku mencintainya secara sederhana, seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh kayu kepada api yang menjadi abu. Seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh angin kepada hujan yang menjadi butiran mutiara di dasar lautan.

Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti mentari yang selalu setia menanti pagi.

Cinta adalah sebuah perasaan yang unik. Cinta terkadang tidak bisa wakilkan dengan kalimat apa pun, ia terlalu indah untuk tidak dinikmati. Dan mencintai tidak harus selalu memiliki.

Karena cinta sejati, selalu punya kekuatan untuk memberi tanpa keinginan untuk berharap.

Dan begitulah cintaku untuk Alan. Memberi tanpa menerima, berkorban tanpa mengharap apa pun.

Dan aku cukup bahagia dengan semua itu.

****

"kenapa kamu harus melakukan semua itu untukku, Nik?" tanya Alan dengan suara sedikit tinggi.

"melakukan apa?" tanyaku balik, dengan nada pelan.

"kamu gak usah pura-pura lagi, Nik. Saya sudah tahu semuanya.." balas Alan, kali ini suaranya mulai memelan.

"saya tahu, kalau kamu sudah mendonorkan ginjalmu untukku. Saya tahu semuanya dari papa. Saya yang memaksa papa untuk cerita.." lanjut Alan lagi, yang membuatku sedikit kaget.

Aku ingin sedikit protes, tapi Alan segera berucap lagi.

"kamu gak usah menyalahkan papa, karena udah cerita padaku. Saya tahu perjanjian kalian, tapi papa juga tahu kalau persahabatan kita sudah tidak seperti dulu."

"karena itu papa memaksa saya untuk kembali menjalin persahabatan dengan kamu, Nik. Tapi saya selalu menolak, karena saya merasa sudah tidak nyaman saat bersama kamu."

"hingga akhirnya papa pun menceritakan semuanya. Beliau menceritakan hal tersebut, hanya supaya saya tidak lagi menjaga jarak dari kamu. Agar saya bisa selalu berteman dengan kamu, Nik." cerita Alan panjang lebar.

"hanya saja saya tidak habis pikir, kalau kamu akan melakukan hal tersebut.." lanjutnya pelan.

"kita sudah bersahabat sejak kecil, Lan. Kamu juga sudah sangat baik padaku selama ini. Jadi sudah sewajarnya aku melakukan hal tersebut.." balasku akhirnya.

"tapi bagiku itu tetap bukan sesuatu yang wajar, Nik. Bagiku itu berlebihan untuk alasan sebuah persahabatan. Aku tahu, kamu melakukan itu semua, hanya karena kamu ingin membuktikan bahwa kamu benar-benar mencintaiku.." ucap Alan tajam.

Aku terkesima. Aku melakukan hal itu memang karena aku sangat mencintai Alan.

Tapi apa itu salah?

Apa aku salah berkorban untuk orang yang aku cintai?

"dengan melakukan semua itu, kamu justru membuatku menjadi bingung, Nik. Aku tak mungkin bisa mencintaimu, seperti yang kamu harapkan, tapi aku juga bukan orang yang tidak tahu terima kasih.." Alan berujar lagi, suaranya sedikit serak.

"sejujurnya aku melakukannya memang karena aku mencintai kamu, Lan. Tapi bukan berarti aku berharap kamu bisa membalas cintaku. Aku juga tidak ingin kamu tahu. Aku hanya mencoba melakukan sesuatu untuk orang yang aku sayangi dan untuk sahabatku sendiri. Apa itu salah?" suaraku bergetar, menahan perasaanku sendiri.

"gak. Kamu gak salah. Apa yang kamu lakukan juga tidak salah. Hanya saja kamu melakukannya untuk orang yang salah. Aku bukanlah orang yang tepat untuk menerima semua pengorbananmu itu, Nik." suara Alan semakin serak.

"hanya orang bodoh yang rela mengorbankan ginjalnya untuk orang yang egois seperti saya, Nik..." lanjutnya semakin serak, kulihat matanya mulai berkaca.

"aku memang bodoh, Lan. Aku memang bodoh karena terlalu mencintai kamu. Tapi aku bahagia dengan semua itu, Lan. Aku bahagia bisa melihat kamu pulih kembali. Dan bagiku apa yang aku lakukan tersebut, belum sebanding dengan besarnya rasa cintaku padamu.." suaraku ikut terdengar serak, mataku pun ikut berkaca.

"tapi apa yang bisa kamu dapatkan dari semua pengorbananmu itu, Nik. Aku bahkan tetap tak bisa mencintai kamu.." ucap Alan.

"kebahagiaan, Lan. Sebuah kebahagiaan yang hanya aku yang bisa merasakannya. Aku tak peduli betapa sakitnya tak bisa memiliki orang yang aku cintai. Tapi semua rasa sakit itu akan musnah ketika melihat orang yang aku cintai tersenyum bahagia. Meski aku sadar senyumnya itu bukan untukku dan bukan karena-ku.." aku berucap pelan, bak seorang penyair kesepian.

"dan hal itulah yang membuat aku semakin merasa bersalah, Nik. Aku tetap tak bisa mencintai kamu seperti kamu mencintaiku. Tapi aku juga tidak akan pernah sanggup melihat kamu terluka karena aku." balas Alan lagi.

"aku menyayangi kamu sebagai sahabat, Nik. Aku juga sangat menghargai segala pengorbanan kamu. Tapi aku tidak bisa mencintai kamu..." lanjutnya.

"kamu tak perlu mencintaiku, Lan. Kamu tak perlu melakukannya. Kamu hanya harus bahagia, Lan. Dan hal itulah yang membuatku juga bahagia.." aku membalas, suaraku lirih.

"tapi bagaimana aku bisa bahagia, sementara aku tahu bahwa cintamu terlalu besar untukku, Nik." ucap Alan lagi.

"jadi sekarang kamu inginnya bagaimana, Lan? sekarang justru aku yang jadi bingung.." keluhku kemudian.

"aku ingin kita bersahabat lagi seperti dulu, Nik. Dan aku akan pelan-pelan belajar untuk mencintai kamu..." balas Alan.

"kamu tak perlu melakukan itu, Lan. Kamu tak harus melakukannya, hanya karena kamu merasa berhutang budi padaku.." timpalku cepat.

"aku bukan hanya berhutang budi padamu, Nik. Tapi kita memang sudah bersahabat sejak lama. Aku ingin kita tetap terus bersahabat seperti dulu, dan biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.." ujar Alan, sambil ia merangkul pundakku.

****

Sejak saat itu, aku dan Alan dekat kembali. Persahabatan kami yang sempat terputus, kini kembali terjalin.

Aku tahu, butuh waktu bertahun-tahun untuk Alan bisa mencintaiku. Atau bahkan ia tidak akan pernah bisa mencintaiku. Aku juga tidak peduli dengan hal itu saat ini. Yang penting bagiku, aku bisa selalu bersama Alan. Menghabiskan waktu berdua dengannya.

Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersama Alan lagi. Meski tetap saja hanya sebatas hubungan persahabatan.

Aku hanya berharap, meski apa pun yang akan terjadi nanti, semoga aku tetap bisa terus bersama Alan.

Terlepas hanya sebagai sahabat atau bukan, Alan adalah hal terindah yang pernah hadir dalam perjalanan hidupku.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate