Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!
Terngiang kembali kalimat itu di pikiranku, saat aku kembali berada di jalanan.
Apa selanjutnya yang akan terjadi dalam perjalanan hidupku?
Bagaimanakah akhirnya aku bisa menemukan kembali semangat dalam hidupku?
Simak kisahku selanjutnya kali ini ya..
Dan seperti biasa, saya kembali ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh subscriber setia saya. Terima kasih atas kesetiaannya, terima kasih atas segala motivasi, dukungan, saran dan masukannya.
Terima kasih udah mampir, udah like, udah komen dan sudah share video ini.
Bagi yang baru mampir, jangan lupa untuk subscribe channel ini dan klik tanda lonceng, untuk menyaksikan video-video menarik lainnya.
Selamat menikmati dan semoga terhibur..
Salam sayang untuk kalian semua..
****
Aku melangkah gontai menelusuri trotoar. Hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang mengiringi langkahku.
Aku melangkah dalam kegelapan malam, tanpa arah dan tujuan. Aku tidak tahu harus kemana lagi.
Aku tidak punya banyak teman di kota ini. Ada beberapa teman kuliah dan juga teman kerja-ku, tapi aku tidak begitu dekat dengan mereka.
Satu-satunya yang ingin aku lakukan saat ini ialah mencari kost-kost-an untuk aku tinggal sementara waktu.
Beruntunglah uang simpanan ku masih cukup untuk aku bertahan hidup setidaknya satu atau dua bulan ke depan, sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan.
Aku tidak mungkin kembali ke kampung, ayah pasti akan memarahi ku habis-habisan, terlebih jika ia tahu kalau aku telah berhenti bekerja.
Aku harus tetap berjuang di kota ini, aku harus tetap kuliah. Aku harus tetap kuat, meski aku sendiri tidak tahu, bagaimana akhirnya kisah ku ini.
Karena sudah cukup larut, aku akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di teras sebuah ruko yang kosong. Aku berusaha menahan rasa laparku.
Meski aku masih punya uang untuk membeli makanan, namun aku harus belajar berhemat.
Karena merasa lelah dan juga karena pikiran ku yang kacau, aku akhirnya bisa tertidur. Walau aku lebih sering terbangun, karena banyak nyamuk yang mengganggu.
Hingga akhirnya pagi pun datang, aku memutuskan untuk pergi ke kampus dulu, baru nanti mencoba mencari tempat kost.
Di kampus aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, lalu kemudian pergi ke kantin untuk sarapan.
"kamu tahu ada tempat kost yang murah gak di dekat-dekat sini?" tanyaku pada Radit, salah seorang teman kampusku, sambil kami sarapan bersama.
"kalau yang dekat-dekat sini banya, Sab. Tapi kalau cari yang murah agak susah.." balas Radit.
"kalau pun ada yang murah, pasti fasilitasnya kurang lengkap dan juga terkesan jorok.." lanjut Radit lagi.
"saya gak masalah soal fasilitas atau pun kebersihannya, yang penting saya bisa tinggal sementara." ucapku kemudian.
Radit menatapku sekilas, lalu kemudian menyebutkan beberapa tempat kost murah yang berada di sekitaran kampus.
Sepulang kuliah, aku segera menuju tempat-tempat kost yang Radit sebutkan tadi.
Tempat pertama yang aku datangi memang cukup murah, tapi semua kamar terisi penuh.
Aku pun melanjutkan ke tempat berikutnya.
"ada sih satu yang kosong, tapi tempatnya paling pojok. Dan juga kamarnya sedikit kecil dari yang lain, tapi harganya murah, kok." ucap seorang ibu paroh baya, yang aku ketahui adalah pemilik kost tersebut.
"gak apa-apa, buk. Yang penting saya bisa tinggal di sini.." balasku ringan.
"ya udah, mari kita lihat kamarnya.." balas ibu itu.
Kami pun berjalan beriringan menuju kamar kost paling pojok tersebut. Kamar itu memang sedikit sempit, dan terkesan jorok, karena sudah lama tidak di tempati.
"beginilah kamarnya, Nak. Nanti saya minta suami saya untuk membersihkannya, kalau kamu memang bersedia tinggal di sini.." ibu itu berujar, sambil memungut beberapa sampah yang berserakan di dalam kamar itu.
"iya, buk. Saya mau.." balasku, meski hatiku sendiri tidak begitu yakin. Namun selain karena aku sudah tidak punya banyak pilihan, harga sewa kamar ini juga murah.
"baiklah, nak. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Nanti aku suruh suami ku datang ke sini, untuk membersihkannya.." ucap ibu itu lagi, lalu kemudian ia pun segera berlalu.
Sambil menunggu suami ibu tersebut datang, aku mencoba membersihkan kamar tersebut.
Dan beberapa menit kemudian, seorang bapak-bapak, yang ku perkirakan adalah suami ibu kost tadi, pun datang.
"nama kamu siapa?" tanya bapak tersebut, sambil ia mulai membantu ku membersihkan kamar tersebut.
"Sabri, pak." jawab ku singkat.
"Nama saya Alim, panggil aja pak Alim. Saya suami dari ibu pemilik kost ini. Kalau nama istri saya itu, biasa di panggil buk Rana.." ucap laki-laki itu cukup ramah.
"iya, pak." balasku berusaha sopan.
"sebenarnya kamar ini sudah sangat lama tidak di huni. Tapi kata ibuk, kamu sangat membutuhkan tempat kost dengan harga yang murah, makanya ia bersedia untuk menyewakan kamar ini.." jelas lelaki itu lagi.
Setelah hampir setengah jam, kamar itu pun akhirnya selesai kami bersihkan. Tak lama kemudian, buk Rana, si pemilik kost datang dengan membawa minuman dingin untuk kami.
"makasih, buk.." ucapku sambil menerima sebotol minuman dingin dari buk Rana.
Setelah memberikan minuman tersebut, buk Rana segera pamit dari situ. Sementara pak Alim, suaminya, masih terduduk di lantai kamar, sambil meminum minuman yang tadi di berikan istrinya.
Pak Alim kelihatan sangat lelah setelah membersihkan kamar tersebut.
Pak Alim memang sudah cukup tua, setidaknya kalau aku perkirakan usianya sudah mencapai 48 tahun.
Tapi ia masih kelihatan sehat dan bugar. Meski pun berperut sedikit buncit, namun tubuh pak Alim cukup kekar. Wajahnya juga masih kelihatan tampan.
"kamu kuliah atau kerja?" tanya pak Alim berbasa-basi.
"saya kuliah, pak. Tapi saya juga berencana ingin mencari pekerjaan paroh waktu, untuk biaya kuliah.." jawabku jujur.
"oh.." pak Alim membulatkan bibir, "jadi sebelumnya kamu kerja dimana?" tanyanya kemudian.
"saya sebelumnya sempat kerja di supermarket, pak. Tapi karena jadwal kerja saya yang selalu bentrok dengan jadwal saya kuliah, saya akhirnya di pecat.." jawabku sedikit berbohong.
Untuk selanjutnya pak Alim pun mempertanyakan beberapa pertanyaan basa-basi padaku. Ia pun sedikit bercerita tentang dirinya.
Ternyata pak Alim bekerja sebagai seorang sopir angkot. Namun saat ini, pekerjaannya tersebut sudah tidak bisa ia andalkan, karena sekarang orang-orang lebih memilih untuk memakai jasa ojek online atau pun taksi online.
"karena itu, sekarang saya lebih sering berada di tempat kost ini, untuk membantu istri saya.." ucap pak Alim terdengar lesuh.
"saya dan Rana, istri saya tersebut, sudah menikah lebih kurang dua puluh tahun. Tapi sampai saat ini kami belum punya keturunan.." cerita pak Alim lagi.
"sebenarnya tempat kost ini adalah milik orangtua istriku, tapi sejak kedua orangtuanya meninggal, istri ku lah yang mengelola tempat ini. kebetulan ia juga anak tunggal.." lanjutnya.
"rumah yang kami tempati sekarang juga rumah peninggalan orangtua istriku..." pak Alim terus saja bercerita.
Aku tidak tahu, kenapa pak Alim menjadi begitu terbuka padaku, padahal kami baru saja saling kenal.
Tapi aku juga merasa senang mendengar cerita pak Alim. Setidaknya aku jadi punya teman untuk bercerita.
Rumah pak Alim memang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kost ini. Tepatnya rumah itu berada di depan kost. Di rumah itu, pak Alim juga membuka usaha warung harian.
Karena tidak punya keturunan, sepertinya buk Rana dan pak Alim memang sengaja mencari banyak kesibukan. Padahal kalau hanya untuk biaya hidup mereka berdua, aku rasa uang hasil sewa kost ini sudah jauh lebih dari cukup.
Jumlah kamar kost milik buk Rana ada sekitar dua puluh kamar, dan semua kamar sudah terisi. Jelas penghasilannya juga lumayan banyak. Tapi pak Alim tetap menarik angkot, dan juga membuka warung harian.
*****
"kamu udah dapat pekerjaan?" tanya pak Alim beberapa hari kemudian. Sore itu tiba-tiba ia muncul di depan kamar kost-ku.
"belum, pak." jawabku terdengar lemah, sambil sedikit menggeleng.
"saya punya tawaran pekerjaan buat kamu, tapi itu pun kalau kamu bersedia.." ucap pak Alim kemudian, kami duduk di ambang pintu kamar kost tersebut.
"pekerjaan apa, pak?" tanyaku sedikit bersemangat. Tak ku sangkan kalau pak Alim akan begitu perhatian padaku.
"jadi saya sudah memutuskan untuk berhenti menarik angkot." ucap pak Alim pelan.
"sebenarnya sudah sejak lama istri saya meminta saya untuk berhenti menjadi supir angkot, tapi selama ini saya selalu menolak. Tidak mudah bagi saya melepaskan pekerjaan yang sudah puluhan tahun saya jalani."
"saya menjadi supir angkot sejak saya masih lajang. Tapi sekarang saya sudah tidak bisa lagi, karena selain penumpang sudah mulai sepi, juga karena mata saya sudah tidak awas lagi.." lanjut pak Alim.
"jadi saya setujui permintaan istri saya untuk berhenti. Karena saya ingat kamu butuh pekerjaan, makanya saya dan istri sepakat untuk memberikan angkot tersebut sama kamu. Hitung-hitung dari pada angkot tersebut, hanya nonggok di rumah aja.." jelas pak Alim lagi.
"kamu tak usah terlalu memikirkan soal setorannya. Yang penting kamu jaga dengan baik angkot tersebut. Kamu mau, kan?" lanjut pak Alim bertanya.
"iya, saya mau, pak. Tapi... saya belum punya SIM." jawabku akhirnya.
"gampang. Itu bisa di urus, yang penting kamu mau.." balas pak Alim.
"iya, pak. Saya mau.." balasku mengulang.
Aku memang merasa beruntung bisa bertemu orang sebaik pak Alim. Padahal aku sudah mulai bingung untuk mencari pekerjaan.
"kamu bisa menarik angkot sebelum berangkat kuliah dan juga setelah pulang kuliah, jadi kuliah kamu gak terganggu.." ucap pak Alim lagi.
"iya, pak. Makasih banyak ya, pak. Pak Alim sudah sangat baik padaku, padahal kita baru saling kenal.." ucapku kemudian.
"udah.. kamu santai aja. Karena kami tidak punya anak, kamu bisa anggap kami seperti orangtua sendiri. Anak-anak kost yang lain juga gitu, kok. Malahan ada beberapa anak kost yang gak segan-segan makan di rumah kami. Tapi kami senang, kok. Bisa dekat dengan anak-anak kost kami." pak Alim berucap sambil menyentuh pundakku.
"iya, pak. Sekali lagi terima kasih. Sampaikan juga ucapan terima kasih saya sama Buk Rana.." balasku terdengar sendu.
"iya, nanti bapak sampaikan." ucap pak Alim lembut, "nanti juga kalau kamu ada perlu apa-apa, kamu bilang aja sama bapak atau ibuk. Kalau kamu butuh pinjaman uang, kami pasti bantu, kok. Atau kalau kamu mau makan dan mandi di rumah kami juga boleh.." lanjut pak Alim, sambil perlahan ia menurunkan tangannya.
Terus terang saya merasa cukup terharu mendengar kalimat pak Alim barusan. Tak ku sangka aku akan bertemu dengan orang sebaik pak Alim dan buk Rana.
Aku memang sering melihat keakraban buk Rana mau pun pak Alim dengan para penghuni kost lainnya.
Meski pun semua penghuni kost ini adalah laki-laki, tapi suasana kekeluargaan sangat terlihat jelas, karena pak Alim dan buk Rana yang penuh perhatian kepada seluruh anak kost-nya.
Aku seakan menemukan sebuah keluarga baru di sini. Anak-anak kost yang lain juga sangat baik padaku.
****
Seminggu kemudian, aku pun mulai bekerja sebagai seorang supir angkot. Pak Alim sudah membantuku untuk mendapatkan SIM.
Walau aku merasa kagok awalnya, karena aku belum punya pengalaman apa-apa menjadi seorang supir. Tapi lama kelamaan aku pun mulai terbiasa melakukan hal tersebut.
Beruntunglah dulu waktu di kampung, salah seorang temanku yang punya mobil sempat mengajari ku untuk menyetir mobil.
Aku mulai terbiasa mengelilingi kota, untuk mencari penumpang, setidaknya setiap pagi sebelum kuliah dan siang sampai malam sepulang kuliah.
Meski pun tidak banyak penumpang yang aku dapatkan setiap harinya, tapi setidaknya aku masih punya penghasilan. Dan setiap kali aku ingin menyetor pendapatanku kepada pak Alim, ia selalu menolak.
"kamu gunakan aja uangnya untuk biaya kuliah kamu.." begitu selalu alasan pak Alim, menolak setoranku.
"lagian hasilnya juga gak seberapa kan? Kalau kamu harus nyetor juga, pasti uangnya tidak akan cukup buat biaya kuliah kamu..." lanjut pak Alim.
"terima kasih banyak ya pak Alim. Saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih pada pak Alim, saya tidak tahu bagaimana membalas semua ini.." ucapku akhirnya dengan nada lirih.
"kamu tidak usah terlalu memikirkan hal tersebut, yang penting kamu kuliah aja dengan baik, supaya nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.." balas pak Alim lagi.
Aku terdiam kembali. Aku merasa pak Alim dan istrinya sudah terlalu baik padaku. Aku tahu, karena mereka yang tidak punya anak, membuat mereka jadi perhatian padaku.
Tapi tetap saja aku merasa berhutang budi kepada mereka.
****
Dua bulan berlalu, aku semakin mahir memerankan peranku sebagai seorang sopir angkot. Penghasilan ku juga cukup lumayan. Setidaknya cukuplah untuk biaya aku hidup dan juga untuk biaya aku kuliah.
Hubunganku dengan pak Alim juga semakin dekat dan akrab. Hubungan kami sudah seperti anak dan ayah.
Namun beberapa hari belakangan ini, aku mulai merasa ada yang aneh dengan sikap pak Alim padaku.
Ia sering datang ke kost-ku malam-malam dengan membawa beberapa makanan ringan dan juga minuman.
Awalnya pak Alim hanya bercerita seperti biasa padaku.
Namun pada suatu malam, pak Allim tiba-tiba berucap padaku, "saya suka sama kamu, Sabri.."
Pelan suara itu, tapi mampu membuatku menatapnya tajam dengan tatapan penuh tanya.
"saya suka sama kamu. Saya sayang sama kamu. Bukan sebagai anak, tapi lebih dari itu. Aku mencintai kamu, Sabri. Apa kamu mau. menjalin hubungan cinta sama saya?" pak Alim melanjutkan, tanpa pedulikan reaksi keterkejutan saya.
Aku bak mendengar suara petir di siang hari, ketika mendengar semua itu. Meski pun aku juga seorang gay, dan bahkan sudah beberapa kali terlibat cinta sesama jenis. Tapi tetap saja aku merasa tidak percaya, kalau pak Alim akan berkata demikian.
Ini semua sungguh di luar dugaanku. Bagaimana mungkin pak Alim yang terlihat gagah itu ternyata adalah penyuka sesama jenis?
Lalu apa bedanya pak Alim dengan laki-laki yang pernah aku temui sebelumnya? Om Zainan? Pak Anwar? atau Indra, putra tunggal pak Anwar?
Kenapa aku selalu di pertemukan dengan laki-laki penyuka sesama jenis?
Padahal aku sudah bertekad dalam hatiku, kalau aku akan berubah. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam dunia pelangi itu.
Tapi sekarang aku justru di pertemukan dengan pak Alim. Laki-laki yang aku sangka awalnya, akan jadi penyelamatku, tapi ternyata ia hanya memanfaatkan keterpurukanku.
Untuk menolak pak Alim, jelas itu bukan hal yang mudah. Biar bagaimana pun, pak Alim sudah sangat banyak membantuku.
Tapi jika aku tetap menerimanya, itu artinya niatku untuk berubah tidak akan terwujud. Dan lagi pula aku takut, kejadian yang sama bisa terulang kembali.
Terlintas di benakku kejadian saat aku di pergoki tante Ratna sedang asyik-asyik dengan om Zainan, suaminya.
Bisa jadi kalau aku juga menjalin hubungan dengan pak Alim, nanti juga akan dipergoki oleh buk Rana, istrinya.
Bagaimana kalau hal itu terulang lagi? Kebetulan, nama mereka berdua juga hampir sama.
Ratna dan Rana.
Hal ini justru membuatku kian dilema.
Aku juga tidak ingin kehilangan pekerjaanku saat ini. Tidak mudah menemukan pekerjaan di kota ini. Di tambah lagi jika aku menolak keinginan pak Alim, aku pasti akan di usir dari tempat kost dengan berbagai alasan.
Ahk, aku jadi bingung. Aku harus bagaimana menghadapi semua ini?
Haruskah aku menerima tawaran dari pak Alim, dengan resiko yang sangat besar?
Atau haruskah aku menolaknya dengan resiko yang juga hampir sama besarnya?
Tunggu jawabannya di kisah selanjutnya ya..
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar