kisah cowok kampung part 7 (jadi pacar sewaan)

Tubuhku terasa sangat letih karena telah berjalan seharian. Perutku melilit menahan lapar. Badanku terasa sakit semuanya.

Aku memang sudah cukup jauh meninggalkan kota dan mulai memasuki sebuah kawasan perkebunan sawit di jalan lintas menuju kota berikutnya.

Cerpen gay sang penuai mimpi

Aku sudah bertekad untuk mengadu nasib atau lebih tepatnya melarikan diri ke kota lain, setelah peristiwa tragis yang aku alami di kota sebelumnya.

Bagaimanakah perjalanaku kali ini?

Akankah aku bisa menemukan kebahgiaanku?

Atau kah aku akan terjerumus lagi ke dalam lumpur penuh dosa?

Lalu bagaimana dengan masa depanku sendiri? Akankah tetap menakutkan seperti hantu, sebagaimana yang aku percayai selama ini?

Simak kisahku kali ini sampai selesai ya..

Dan bagi yang baru bergabung, silahkan simak kisah sebelumnya di channel ini atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Jangan lupa juga bagi yang baru mampir untuk subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya di channel ini.

Buat seluruh subscriber setia saya, terima kasih atas kesetiaannya, terima kasih atas segala masukan, saran, dukungan dan motivasinya selama ini.

Terima kasih udah mampir, terima kasih juga udah subscribe, udah like, udah komen and udah share.

Selamat menikmati dan semoga terhibur...

****

Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Kalimat itu terus mengganggu pikiranku. Sehingga tubuhku yang memang sudah kelelahan jadi terhuyung-huyung di sepanjang perjalanan.

Karena sudah tidak bisa mengontrol keseimbangan tubuhku, aku tiba-tiba terhuyung ke tengah jalan. Saat itu sebuah mobil sedan mewah lewat, dan mobil itu hampir menabrakku, jika saja sang sopir mobil itu tidak segera membanting stirnya ke kanan. beruntunglah saat itu jalanan sedang sepi.

Tubuhku pun terjerembab ke pinggiran jalan, karena berusaha menghindari mobil tersebut.

Aku melihat mobil sedan itu pun berhenti beberapa meter di depanku.

Seorang lelaki parlente keluar dari pintu depan mobil. Aku perkirakan laki-laki itu lah yang menyetirnya.

"kamu gak apa-apa?" tanya laki-laki itu dengan suara serak.

Aku sedikit menengadah untuk menatap pria tersebut. Pria itu memakai kaca mat hitam, yang menambah ketampanan pada wajahnya.

Aku menggeleng ringan, sambil berusaha bangkit. Pria berkaca mata hitam itu pun segera membantuku untuk berdiri.

"kamu yakin gak apa-apa?" tanya pria itu lagi.

Sekali lagi aku hanya menggeleng ringan menjawab pertanyaannya.

"tubuh kamu terlihat lemah. Bagaimana kalau aku antar kamu ke rumah sakit? Setidaknya untuk menebus kesalahanku barusan yang hampir saja menabrak kamu.." ucap pria itu kemudian.

"gak usah, bang. Saya gak apa-apa, kok. Lagian tadi bukan salah abang. Saya yang berjalan terlalu ke tengah.." balasku akhirnya.

"iya.. tapi kalau seandainya tadi saya menyetirnya lebih fokus, pasti hal itu gak bakal terjadi.." balas pria itu bersikeras.

"udahlah, bang. Abang gak usah merasa bersalah seperti itu. Saya baik-baik saja, kok." ucapku ringan, sambil berusaha sedikit tersenyum.

"ya udah.. kalau gitu saya pamit dulu.." pria itu berujar kembali, setelah ia terdiam beberapa saat sambil menatapku.

Setelah berkata demikian, pria itu segera memutar tubuhnya untuk kembali ke mobilnya.

Namun setelah beberapa langkah, ia kembali memutar tubuhnya dan menatapku.

"emangnya kamu mau kemana?" tanyanya sedikit lantang mengimbangi suara mobil yang lewat.

Aku berusaha tersenyum membalas pertanyaan pria tersebut.

"saya mau ke kota selanjutnya, bang.." jawabku, sekedar memuaskan pertanyaan pria tersebut. Aku berharap setelah itu ia akan segera pergi meninggalkanku.

Tapi di luar dugaanku, pria dengan tubuh yang gagah itu, justru kembali melangkah mendekatiku.

"kalau begitu, bagaimana kalau kamu ikut sama saya aja ke kota selanjutnya? Kebetulan saya juga mau kesana.." ucapnya setelah ia berdiri kembali di hadapanku.

Aku bukannya tidak senang mendengar tawaran tersebut, namun kondisiku saat ini, benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku merasa risih harus dekat-dekat dengan orang yang tidak aku kenal. Karena aku sudah beberapa hari tidak mandi, pasti bau badanku sangat tidak enak.

Aku juga harus menahan rasa sakit yang melilit perutku karena lapar.

Selain itu, aku juga takut kalau orang ini akan mengenali wajahku, dan akan mengetahui peristiwa memalukan yang baru saja aku alami di kota sebelumnya.

"terima kasih, bang. Tapi..." kalimatku terhenti.

"ayolah.. gak apa-apa, kok. Saya juga sendirian di mobil, jadi butuh teman juga untuk ngobrol. Lagian jarak dari sini ke kota selanjutnya cukup jauh, loh. Masa' iya, kamu mau jalan kaki ke sana?!" pria itu berujar, sambil ia mulai menarik tanganku dengan sedikit memaksa.

Meski pun merasa sangat sungkan, aku pun akhirnya mengikuti langkah pria itu menuju mobilnya.

Pria itu pun segera mempersilahkan aku masuk ke dalam mobilnya yang mewah itu.

"tapi pakaianku kotor, bang. Badanku juga bau.." ucapku sambil masih berdiri di samping mobil tersebut.

"gak apa-apa. Masuk aja!" pinta pria itu akhirnya.

Melihat kesungguhan lelaki berwajah tampan itu, aku pun akhirnya masuk ke mobil tersebut. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memasuki mobil semewah itu.

"nama kamu siapa?" tanya pria itu, sambil mulai menjalankan mobilnya.

"Sabri, bang.." balasku ringan.

"saya Yopi Burnama, panggil bang Yopi aja.." ucap pria itu penuh percaya diri.

Kalau aku perkirakan pria yang sekarang duduk di sampingku tersebut, mungkin sudah berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya sudah terlihat matang. Dan sepertinya dia memang orang kaya.

"oh, ya. Usia kamu berapa?" tanya laki-laki itu lagi.

"26 tahun, bang.." jawabku jujur.

"kamu ke kota selanjutnya mau ngapain? Kerja atau ke tempat saudara atau ada keperluan lain?" laki-laki itu, bang Yopi, bertanya kembali.

Pertanyaan itulah yang aku takutkan sejak tadi. Karena aku pasti tidak akan bisa menjawabnya.

"saya.. .saya.. ingin mencari pekerjaan di sana, bang.." jawabku akhirnya.

"emangnya sebelum ini kamu kerja dimana?' bang Yopi bertanya kembali. Ia sepertinya memang berusaha mengakrabkan diri. Seperti yang ia katakan tadi, kalau ia juga butuh teman untuk mengobrol.

Aku pun menceritakan sedikit tentang beberapa pekerjaanku sebelumnya. Mulai dari bekerja serabutan di kampung, jadi pelayan di supermarket, menjadi sopir angkot sampai juga berjualan pisang crispy.

Aku tiba-tiba menarik napas mengingat semua itu. Setiap pekerjaan yang pernah aku jalani sebelumnya, selalu berakhir dengan kejadian yang tragis.

Tapi tentu saja aku tidak menceritakan hal tersebut kepada bang Yopi, yang baru aku kenal itu.

"bang Yopi sendiri kerja apa?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"saya seorang desainer.." jawab bang Yopi singkat dan jelas.

Melihat dari penampilan dan mobil mewah yang ia kendarai ini, bang Yopi pastilah seorang desainer terkenal dengan upah yang sangat mahal.

Aku pun tak berani bertanya lebih lanjut lagi. Untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam.

Sampai tiba-tiba bang Yopi memutar stirnya menuju sebuah rumah makan.

"kita istirahat makan siang dulu ya di sini.." ucapnya, sambil ia mengikuti gerakan tukang parkir rumah makan di luar.

Meski pun aku setuju dengan tindakan bang Yopi, karena perutku yang memang sudah lapar sejak tadi, tapi aku menjadi sedikit ragu-ragu untuk turun. Karena aku sadar, aku tidak punya uang sepersen pun.

"ayok turun." ajak bang Yopi, "saya yang traktir, kok." lanjutnya melihat keragu-raguanku.

"atau kamu mau mandi dulu boleh. Di belakang ada tas saya, kamu bisa pakai handuk saya dan juga pakaian yang ada di dalam tas itu.." ucap bang Yopi selanjutnya, yang membuatku semakin merasa tidak enak hati.

Aku memang pergi dengan tidak membawa apa-apa, kecuali sebuah dompet lusuh yang hanya berisi kartu tanda pengenalku. Semua pakaianku tertinggal di ruko bang Salman.

Dengan sedikit berat, aku pun menerima tawaran bang Yopi. Aku mengambil sebuah handuk dan sepasang pakaian di dalam tas bang Yopi tersebut.

Lalu aku pun keluar dari mobil dan segera menuju ke belakang rumah makan itu, untuk mandi.

Sehabis mandi dan berganti pakaian yang di pinjamkan bang Yopi, aku pun segera menuju meja makan tempat bang Yopi sudah menunggu ku sejak tadi.

"kamu keren juga ya, sehabis mandi dan memakai pakaian itu.." ucap bang Yopi, saat aku sudah duduk di hadapannya.

Bang Yopi sudah memesan beberapa makanan, dan sepertinya ia sengaja menunggu ku untuk makan.

Aku semakin merasa tidak enak hati, akan semua kebaikan bang Yopi. Padahal ia baru saja mengenalku, tapi ia sudah memberikanku banyak hal, yang membuatku jadi merasa berhutang budi padanya.

Tapi hal seperti ini, bukan sekali dua kali terjadi padaku. Orang-orang yang aku temui sebelumnya juga sangat baik padaku awalnya. Tapi ujung-ujungnya mereka juga akhirnya yang membuatku hancur.

Semoga saja bang Yopi tidak! bathinku berharap.

"mari makan.." tawar bang Yopi akhirnya, dengan senyum yang mengembang. Ia sudah tidak memakai kaca mata hitamnya, tapi wajahnya tetap terlihat tampan.

*****

"aku punya penawaran buat kamu.." ujar bang Yopi, saat kami sudah berada di jalan kembali.

Mendengar kalimat itu aku merasa mulai curiga. Jangan-jangan bang Yopi juga sama dengan orang-orang yang aku kenal sebelumnya.

Menawarkanku pekerjaan, kemudian memanfaatkanku.

"tawaran apa?" tanyaku akhirnya tanpa selera.

"kamu mau gak jadi pacarku?" balas bang Yopi terdengar to the point, yang membuatku cukup kaget.

Meski pun aku sudah menduganya tadi, tapi pernyataan itu aku rasa terlalu cepat.

"bukan pacar sungguhan..." bang Yopi berucap lagi. Aku jadi semakin kaget.

"maksudnya, bang?" tanyaku tanpa sadar.

"saya ingin kamu pura-pura jadi pacarku. Semacam pacar bayaran, atau pacar sewaan. Gak lama, kok. Hanya untuk beberapa minggu aja. Kalau kamu mau, saya akan bayar kamu sepuluh juta.." ucap bang Yopi menjelaskan.

Aku merasa kaget kembali. Bukan saja karena mendengar tentang pacar sewaan, tapi juga karena uang yang ia tawarkan juga sangat banyak.

"kenapa bang Yopi harus punya pacar pura-pura atau pun pacar bayaran?" tanyaku, kali ini aku benar-benar ingin tahu.

"panjang ceritanya, Sab. Tapi kamu kalau bersedia, saya akan ceritakan semuanya dari awal.." balas bang Yopi, sambil sesekali ia melirikku.

Uang sepuluh juta bukanlah uang yang sedikit. Lagi pula hanya sekedar menjadi pacar pura-pura, apa susahnya? Ya kan? ucap hatiku membathin, mempertimbangkan tawaran bang Yopi tersebut.

"kalau bayarannya sebesar itu, saya mau aja, bang.." aku berucap juga akhirnya, setelah berpikir cukup lama.

"oke!" balas bang Yopi, "tapi sebelumnya, saya ingin kamu mengetahui beberapa hal." lanjutnya.

"saya ingin kamu berpura-pura jadi pacarku hanya di depan satu orang. Dan kamu harus mengaku kalau kamu adalah seorang pengusaha pada orang tersebut. Segala biaya hidup kamu mulai dari sekarang sampai nanti saya menyatakan selesai, saya yang tanggung."

"saya akan sewakan sebuah apartemen mewah untuk kamu tinggal selama menjadi pacar pura-pura saya, supaya orang yang saya maksud, percaya bahwa kamu adalah seorang pengusaha." bang Yopi mulai menjelaskan.

"sebenarnya siapa sih orang tersebut, bang? Kok abang sampai segitunya?"  tanyaku.

Ku lihat bang Yopi menarik napas dalam, kemudian ia menghembuskannya perlahan.

"namanya Reki. Ia adalah mantan pacar saya. Kami sudah pacaran lebih dari lima tahun. Namun tiba-tiba Reki meminta putus tanpa alasan yang jelas." bang Yopi memulai ceritanya.

"dan beberapa minggu setelah kami putus, saya memergoki Reki bersama pria lain. Saya nekat menghampirinya, dan mengatakan kalau ia adalah seorang pengkhianat. Reki tidak terima saya mencacinya di depan pacar barunya."

"ia pun mengatakan kalau pacar barunya itu jauh lebih tajir dari pada saya, karena itu ia memilihnya. Saya merasa sakit mendengar perkataannya tersebut. Karena itu saya bertekad untuk mencari pacar yang jauh lebih kaya dari pacarnya itu."

"namun setelah berbulan-bulan, saya tidak juga menemukan orang yang saya maksud. Sementara Reki terus saja memanas-manasi ku dengan pacar barunya. Sampai ia berkata, kalau aku akan jomblo seumur hidup, karena tidak bisa move on darinya." cerita bang Yopi panjang lebar.

Aku pun mulai paham, maksud dari bang Yopi untuk menyewaku. Hanya saja aku merasa bayarannya terlalu mahal, kalau hanya sekedar untuk memamerkan aku pada mantan pacarnya.

Tapi mungkin karena bang Yopi adalah orang kaya, dan ia juga sepertinya sudah putus asa untuk mencari pengganti pacarnya itu, karena itulah ia tidak merasa berat untuk membayarku mahal.

*****

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, bang Yopi pun mengatur semuanya dengan baik.

Ia menceritakanku beberapa hal tentang dirinya, agar aku terdengar lebih mengenalnya.

Beberapa hari kemudian, bang Yopi pun mengatur waktu untuk mengadakan pertemuan dengan mantan pacarnya itu.

Pertemuan yang terasa kaku bagiku itu, akhirnya pun terjadi.

Bang Yopi memperkenalku kepada Reki sebagai pacar barunya.

Reki terlihat tidak senang mendengarnya, ia juga dengan ogah-ogahan menjabat tanganku berkenalan.

Sementara bang Yopi terus memanasinya dengan menceritakan beberapa kelebihanku, yang tentu saja hanya ia karang.

"saya tidak percaya kalau kalian pacaran.." ucap Reki pada akhirnya mengungkapkan kecurigaannya.

"emang kamu perlu bukti apa lagi, agar kamu percaya kalau kami memang pacaran?" tantang bang Yopi.

"saya ingin kalian berciuman.." ucap Reki tegas.

"kamu jangan gila ya, Rek. Ini tempat umum." balas bang Yopi cepat.

"saya gak minta kalian berciuman di sini, kok. Tapi saya minta kalian merekam saat kalian bercinta, kemudian perlihatkan video itu pada saya." balas Reki.

"kalau kalian sudah melakukan itu, saya baru percaya. Lagian kalau kalian memang pacaran, itu gak berat, kan?" lanjut Reki lagi.

"oke.. Nanti malam saya akan merekamnya, dan besok pagi kita bertemu lagi disini, saya akan memperlihatkan video tersebut pada kamu.." balas bang Yopi sengit.

Setelah berkata demikian, bang Yopi segera menarik tanganku untuk segera berlalu dari situ.

"saya akan tambahkan bayarannya lima juta lagi, kalau kamu mau melakukan seperti yang dikatakan Reki tadi.." ucap bang Yopi saat kami sudah berada di dalam mobilnya.

"ini bukan masalah bayarannya, bang. Tapi masa' iya harus direkam?" protesku cepat.

"lalu kamu mau nya gimana? Emangnya kamu mau, kalau Reki menyaksikan langsung saat kita melakukan hal tersebut?" balas bang Yopi.

"tapi apa itu perlu?" tanyaku, "bukankah tadi Reki sudah mulai merasa tidak senang melihat kita? Aku rasa itu sudah cukup." balasku lagi.

"ingat ya, Sab. Perjanjiannya adalah Reki harus benar-benar percaya kalau kita ini memang benar-benar pacaran. Jika Reki belum mengaku dan percaya, berarti bayarannya juga tidak berlaku.." bang Yopi berujar, sambil ia menatapku tajam.

Akh, aku menarik napas berat. Aku bukannya tidak mau melakukan hal tersebut dengan bang Yopi. Secara fisik bang Yopi juga menarik, dan aku juga sudah sering melakukan hal tersebut. Ditambah lagi uang yang akan aku terima juga sangat banyak.

Tapi...

Bukankah aku pergi dari kota sebelumnya adalah karena hal itu?

Bukankah aku sudah bertekad untuk berubah?

****

Malam itu, bang Yopi sengaja mengajakku untuk menginap di sebuah hotel. Ia juga sudah mempersiapkan sebuah kamera untuk merekam kegiatan kami bercocok tanam malam itu.

Aku meski dengan perasan berat dan sedikit risih, akhirnya hanya bisa pasrah dan membiarkan bang Yopi melakukan apa pun yang ia inginkan pada ku malam itu.

Malam itu dengan di saksikan sebuah kamera, kami pun melakukan ritual bercocok tanam, hanya untuk membuktikan kepada Reki, bahwa kami benar-benar pacaran. Dan bagi ku, itu semua aku lakukan ialah untuk mendapatkan sejumlah uang.

Aku memang sangat membutuhkan uang saat ini, dan cara yang aku temukan saat ini, ya cuma ini.

Walau pun sebenarnya semua itu bertentangan dengan hati nurani ku.

Keesokan harinya, kami pun kembali menemui Reki, untuk memperlihatkan video hasil rekaman kami bercocok tanam semalam.

Setelah lebih setengah jam Reki menyaksikan video tersebut dengan seksama, akhirnya ia pun bisa mengakui kalau kami memang berpacaran.

"kamu harus memperlihatkan kesungguhan kamu melakukan semua ini.." terngiang kembali ucapan bang Yopi tadi malam, sesaat sebelum kami melakukan hal tersebut.

"Reki pasti akan memperhatikan setiap deteil gerakan pada rekaman tersebut. Jadi jangan sampai ia merasa curiga, kalau kamu terlihat tidak berminat untuk melakukannya. Kamu harus terlihat seperti benar-benar menginginkannya.." lanjut bang Yopi lagi.

Mendengar kalimatnya itu, aku pun harus berusaha keras, agar terlihat seperti orang yang sedang dimabuk asmara bersama bang Yopi. Meski pun hal itu tidaklah mudah, tapi setidaknya usahaku tidak sia-sia. Terbukti Reki langsung mempercayainya.

Selesai menonton video tersebut, Reki terlihat menyunggingkan senyum aneh menurutku. Senyum itu sulit aku artikan. Entah ia merasa marah, kecewa, atau malah bahagia.

Namun yang pasti setelah itu, aku dan bang Yopi segera meninggalkan Reki sendirian dan berlalu dari sana.

"kalau begitu tugasku udah selesai kan, bang Yopi?" tanyaku di perjalanan kami menuju pulang.

"Reki bukan orang yang bodoh, Sab. Ia pasti belum seratus persen percaya. Ia pasti akan terus memperhatikan kita diam-diam. Jadi untuk sementara, kita harus tetap terlihat seperti berpacaran." balas bang Yopi.

"tapi, bang. Bukankah tadi Reki sudah terlihat sangat percaya.." ucapku.

"tapi ia belum mengatakan apa-apa, kan. Itu artinya ia belum benar-benar percaya. Lagian apa susahnya sih, Sab. Tinggal menunggu beberapa hari lagi, kamu pasti akan menerima uangnya, kok. Dan lagi pula selama status adalah pacar sewaan saya, maka semua biaya hidup kamu saya yang akan tanggung.." jelas bang Yopi yang membuatku kembali terdiam.

Sebenarnya gak ada salahnya juga sih, menunggu beberapa hari lagi. Dan lagi pula seperti kata bang Yopi semua biaya hidupku ia yang tanggung. Aku juga tingal di apartemen mewah dan juga punya barang-barang mewah saat ini.

Jadi aku akan tetap mengikuti permainan bang Yopi, sampai ia mengatakan bahwa semua ini sudah selesai. Dan yang paling penting, bang Yopi pasti akan membayarku sesuai perjanjiannya.

*****

"saya mau bicara sama kamu!" tegas suara Reki, sambil ia menatapku tajam.

Sore itu Reki tiba-tiba datang ke tempatku, yang membuatku sedikit kaget.

"bang Reki mau bicara soal apa?" tanyaku pura-pura acuh.

"sebenarnya saya dan Yopi sedang taruhan." ucap Reki membalas.

"taruhan apa?" tanyaku mulai tertarik.

"saya dan Yopi sudah berteman selama bertahun-tahun." Reki memulai ceritanya.

"teman? Bukankah kalian dulunya pacaran?" tanyaku memotong dengan kening mengerut.

"kami tidak pernah pacaran, sekali pun kami bisa saling tertarik, tapi kami berada di posisi yang sama, yang artinya kami jelas tidak mungkin menjalin hubungan asmara. Jadi kalau Yopi mengatakan kalau kami pernah berpacaran, itu berarti ia berbohong." jawab Reki.

Mendengar hal tersebut, aku mulai merasa ada yang aneh. Kenapa juga bang Yopi harus berbohong padaku?

"sejak mulai berteman, saya dan Yopi memang sering berpetualang di dunia gay bersama. Mencari pasangan untuk di pakai hanya satu malam." Reki memulai ceritanya kembali.

"kami memang punya komitmen untuk tidak akan pernah berpacaran dengan siapa pun. Kami hanya mencari kesenangan sesaat, bukan untuk sebuah ikatan. Sampai suatu saat, kami pun bertemu seorang laki-laki gagah yang justru membuat kami sama-sama jatuh cinta."

"nama laki-laki itu Donald. Aku dan Yopi sama-sama mencintai Donald. Kami pun sepakat untuk bersaing untuk mendapatkan Donald. Mulanya persaingan kami cukup sehat, namun lama kelamaan persaingan kami mulai tidak baik. Hubungan pertemanan kami pun muali retak."

"sampai akhirnya, kami harus sama-sama menelan kepahitan, karena Donald ternyata sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Donald dengan terang-terangan menolak kami berdua. "

"sejak saat itu saya dan Yopi mulai saling menyalahkan. Sampai Yopi mengatakan kalau aku adalah penyebab kenapa Donald menolaknya. Saya pun menantang Yopi untuk taruhan. Siapa diantara kami yang akan mendapat pacar duluan, maka ia akan mendapatkan uang lima puluh juta dari orang yang kalah."

"tentu saja kriteria pacar yang kami maksud disini adalah seorang pria yang memiliki wajah diatas rata-rata." Reki terus menjelaskan dengan panjang lebar.

Aku hanya terdiam mendengar hal tersebut. Jadi kesimpulannya, bang Yopi menyewaku bukan untuk membalas dendam kepada Reki, tapi hanya untuk memenangkan taruhan tersebut.

"lalu untuk apa bang Reki menceritakan hal ini padaku?" tanyaku akhirnya.

"pertama, saya hanya ingin memastikan bahwa kalian memang berpacaran, bukan hanya pura-pura pacaran. Kedua, saya hanya sekedar mengingatkan kamu, bahwa jika kalian benar-benar pacaran, kamu harus hati-hati, karena bisa saja Yopi pacaran dengan kamu hanya sekedar untuk memenangkan taruhan tersebut, bukan untuk menjalin hubungan yang serius. Jadi bisa saja ia akan meninggalkan kamu, saat ia sudah mendapatkan uangnya." jawab Reki panjang lebar lagi.

Sebenarnya aku juga tidak peduli dengan semua cerita yang di ungkapkan Reki. Tak ada bedanya bagiku, jika pun bang Yopi menyewaku hanya untuk memenangkan taruhan tersebut, juga tidak masalah. Toh, aku juga tetap akan di bayar. Meski itu artinya bang Yopi untung lebih banyak.

Dan  jika sudah mendapatkan uangnya, justru aku yang akan meninggalkan bang Yopi.

****

Beberapa hari kemudian, bang Yopi pun menemuiku di apartemen. Ia kemudian memberikan uang sejumlah lima belas juta rupiah padaku.

"semuanya sudah selesai, Sab. Kamu boleh pergi sekarang, dan pergunakanlah uang itu dengan baik.." begitu ucap bang Yopi sambil menyerahkan uang tersebut.

Aku pun menerima uang itu dengan perasaan senang. Terlepas dari apa pun alasan bang Yopi melakukan semua ini, aku setidaknya sekarang jadi punya modal untuk memulai hidupku dari awal lagi.

Aku berencana menggunakan uang tersebut, untuk membuka sebuah usaha kecil-kecilan, setidaknya untuk aku bisa bertahan hidup di kota baru ini.

Meski pun aku mendapatkan uang tersebut dengan cara yang tidak baik, tapi setidaknya aku tidak merugikan siapa pun, dan tidak merampas hak orang lain.

Setelah mengemasi beberapa barang ku, yang sebenarnya adalah pemberian dari bang Yopi, aku pun segera keluar dari apartemen tersebut, dan mencoba mencari tempat kost, agar aku bisa tinggal untuk sementara, sebelum aku memulai usaha baruku.

Di kota baru ini, aku ingin memulai hidupku lagi. Memulai semuanya dari awal.

Aku berharap aku bisa berubah, dan tidak lagi akan terjerumus dalam dunia penuh dosa itu.

Apa lagi aku saat ini tidak perlu lagi merasa berhutang budi dengan siapa pun.

Semoga saja aku bisa berubah dan bisa meraih masa depan yang lebih baik.

Ya, semoga saja...

****

Selesai...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate