Sebuah Cerpen Jadul ; BUKAN CINTA YANG SALAH

"Erik..!" begitu tegas ia menyebut nama nya padaku. Saat kami saling berjabat tangan, berkenalan.
"Wina..." balas ku sedikit pelan, sambil melepaskan tangan ku. Seorang teman mempertemukan dan memperkenalkan kami. Namanya Hesti, cewek manis itu yang berhasil membujuk ku, agar mau berkenalan dengan Erik.

Sebenar nya aku sudah tahu Erik, dari Hesti tentunya. Aku pun sudah pernah beberapa kali melihatnya, cuma memang kami belum saling berkenalan.
Mata sendu cowok itu, sudah beberapa kali berserobok pandang dengan ku. Dan aku selalu tertunduk, tak berani menatap tajamnya pandangan itu. Begitu juga saat ini, aku selalu menunduk menghindari tatapannya.

Jujur saja, sejak pertama kali melihat Erik, aku tahu aku mulai mengaguminya. Cowok tampan ini sudah menggugah hatiku. Tapi rasanya begitu sulit untuk membangun kepercayaan dalam hati ku.
"Nama yang bagus..." ucapan Erik selanjutnya, "cocok sama orangnya yang cantik..." kata-kata Erik berikutnya, yang membuat ku semakin tertunduk dan tersipu, sekaligus merasa tersanjung.

"ya, iyalah. Teman aku gitu loh..." Hesti yang sejak tadi memperhatikan kami angkat bicara.
Perlahan aku pun mengangkat wajah ku dan mencoba menatap cowok yang berdiri di hadapan ku, kulihat Erik tersenyum. Dan harus ku akui senyum itu terlalu indah untuk tidak di nikmati.

"aku boleh kan, menengenal kamu lebih jauh lagi, Wina..?" Tanya Erik kemudian.
Aku hanya terdiam. Aku gak tahu harus menjawab apa. Cowok seperti Erik, yang terkenal tampan dan kaya, mau berteman dengan gadis malang seperti aku? hatiku bimbang.
Erik hanya belum tahu saja, bagaimana kehidupan ku.

"aku ... pulang dulu.." kataku dalam kebimbangan, setelah suasana hening tercipta beberapa saat, "aku masih ada pekerjaan di rumah.." lanjut ku.
"boleh aku antar?" tanya Erik menawarkan jasa.
"tidak usah. Terima kasih.." balasku cepat. "aku pulang sendiri aja, mungkin lebih baik kamu mengantar Hesti saja." kataku lagi. Dan aku pun berlalu pergi dengan cepat, tanpa pedulikan Erik dan Hesti yang kelihatan bengong.
Aku tetap melangkah meninggalkan lapangan bola volly yang sudah kosong, karena orang-orang sudah pada pulang semua.

Seusai main volly sore tadi, Hesti memang sengaja menahanku, untuk tidak pulang duluan. Ternyata ia ingin memperkenalkan ku dengan Erik.
Erik dan Hesti memang sudah kenal sejak lama, mereka tetanggaan. Rumah mereka cukup jauh dari lapangan bola voli tempat biasa kami main. Sementara rumah ku sendiri, tidak begitu jauh dari situ, dengan arah yang berbeda.

Nama desa kami, desa Bangun Baru. Sesuai dengan namanya desa ini memang baru saja di bangun. Penduduknya adalah pindahan dari berbagai daerah. Desa Bangun Baru memang sengaja dibangun, sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kepadatan penduduk. Aku dan sekeluarga abang ku, ikut dalam perpindahan tersebut.

Abangku yang sulung, namanya Abas, sudah punya dua orang anak, cowok dan cewek. Dia dan istrinya hanya bercocok tanam di belakang rumahnya. Hasil kebun itulah yang membiayai hidup kami sekarang. Sebelum pindah ke desa ini, bang Abas hanya bekerja sebagai kuli di pasar.

Aku memang satu-satu nya anak perempuan, diatara kami empat bersaudara. Apa lagi aku anak bungsu. Abang-abang ku memang menyayangi ku.
Sejak kecil aku memang sudah tinggal bersama bang Abas. Karena kedua orang tua ku sudah tiada, semenjak aku lulus sekolah dasar. Sedangkan kedua abangku yang lain, tinggal di desa lain, mereka sudah berkeluarga dan bekerja di sana.

"kamu tamatan apa sih, Win...?" tanya Hesti suatu hari, padaku.
"sejak orang tua ku meninggal, aku hanya bergantung hidup sama bang Abas, ia hanya mampu membiayai sekolah ku sampai aku tamat SMP, setelah itu ia tak sanggup lagi.." jelasku.
"abang kamu yang lain...?"
"mereka sudah punya keluarga sendiri, penghasilan mereka pun pas-pasan. Lagi pula aku gak mau terlalu merepotkan mereka..." ucapku terus terang pada Hesti.

Sudah hampir enam tahun, aku tidak sekolah lagi. Aku hanya membantu isteri bang Abas memasak atau pun mencuci dan beres-beres rumah. Sampai kami ikut perpindahan penduduk ke desa ini, sekitar lima bulan yang lalu.
Di sini aku mulai berkenalan dengan teman-teman baru. Salah satunya adalah Hesti, yang paling dekat dengan ku. Mungkin karena kami punya hobi yang sama. Main voli...

*****************

Hari berikutnya, aku bertemu Erik lagi, setelah kami selesai main voli. Ketika aku hendak pulang, tiba-tiba ia mencegat ku.
"hei, Win. Mau pulang, ya..?!" tanya nya. Aku hanya mengangguk. Erik tersenyum, seperti biasa selalu terlihat manis. Dan aku tahu, aku takkan menyia-nyiakan senyuman itu.
"oh, iya" kataku kemudian. "kamu lihat Hesti gak hari ini?" tanyaku.
Sesaat kulihat Erik mengerutkan kening. Berpikir. Lalu menjawab, "tadi aku lihat Hesti ikut bersama orang tuanya, mungkin ke kebun."

"oh, pantas. Ia gak ikut main voli sore ini..." ujar ku pelan sambil sedikit manggut-manggut.
"mau ku antar pulang...?" tanya Erik, ketika aku hendak melangkahkan kaki pulang.
"gak usah, makasih.."
"Kenapa sih, Win. Kamu gak mau aku antar pulang. Kan biar kita bisa lebih saling kenal lagi.."
"gak apa-apa, kok. Aku lebih suka jalan kaki saja. Lebih santai..." jawabku beralasan.

Erik terdiam, mematung. Aku terus saja melangkah menuju rumah abang ku. Tapi hati ku sendiri sempat merasa bersalah terhadap Erik.


Esoknya Erik datang lagi. Tapi kali ini, ia tidak pakai motor gede nya lagi. Dia malah berjalan kaki, bareng Hesti. Usai main voli Hesti menahan ku dan kulihat Erik menghampiri kami.
Memang sejak aku pindah ke sini, setiap sorenya, aku dan beberapa teman-teman juga beberapa orang ibu rumah tangga yang hobi bermain voli, selalu bermain voli di sini. Dan tentu saja, banyak anak-anak cowok yang melihat kami main. Lapangan ini selalu ramai setiap sorenya.

"Hei, Wina. Hesti...!" sapa Erik, "masih belum pulang, nih.?" tanya nya melanjutkan..
"belum!" aku dan Hesti hampir berbarengan menjawab.
"bagaimana Wina? Boleh aku mengantarmu pulang sekarang?" Tanya Erik selanjutnya. Aku terdiam.

"ayolah, Win. sekali-kali gak apa-apa, kan..?" hasut Hesti pada ku. "hari ini, Erik sengaja gak pake sepeda motor nya, biar bisa mengantarkan mu pulang. Katanya kamu lebih suka jalan kaki. Makanya Erik mau mengantarmu pulang hanya berjalan kaki..." lanjut Hesti menjelaskan, bak seorang bintang iklan yang kebanyakan makan. Sehingga ngomongnya blepotan. hmm..

Dan karena di desak oleh Hesti dan juga Erik, aku akhirnya berjalan beriringan berdua dengan Erik. Setelah Hesti pulang duluan.

Aku pun menjadi tak karuan, dada ku berdebar lebih kencang dari biasanya. Perasaan ku tak menentu. Campur aduk.
Bayangkan, seorang kumbang desa yang tampan, anak seorang juragan kaya dan juga seorang sarjana pemuda, rela berjalan kaki hanya untuk mengantarkan aku pulang.
Sejujurnya ada rasa bangga di hatiku. Tapi juga takut. Takut berharap lebih. Karena aku dan Erik bak langit dan bumi, jelas sangat jauh berbeda.

"Kamu gak takut ada yang marah kita berjalan berdua seperti ini, Win..?" tanya Erik, sambil terus berjalan.
"Marah? siapa yang marah..?" tanya ku heran.
"ya... pacar kamu misalnya...?"
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Erik, "aku gak punya pacar..." timpal ku selanjutnya.

Sesaat Erik terdiam dan menatap ku lama. "masa' sih, cewek secantik kamu gak punya pacar.." ucapnya akhirnya.
"emang gak ada.." balas ku pelan, "lagian cowok mana sih, yang mau pacaran sama cewek seperti ku ini.." lanjutku lebih pelan lagi. Berharap Erik tak mendengarnya.

"lho, emangnya kenapa..?" Erik berkata, sambil mengalihkan pandangannya ke depan.
"aku hanya cewek miskin dan lagi pula yatim piatu.." ujarku sedikit sendu. Sambil sedikit menarik nafas pelan.
"tapi cinta tidak memandang hal seperti, Win.."
"yah... tapi tetap saja, aku harus realistis.."
"udahlah, Win!" suara Erik terdengar sedikit keras dari biasanya, "kamu gak harus ngomong seperti itu.." lanjutnya lebih lembut, "semua manusia itu di ciptakan sama. Tidak ada yang berbeda. Manusia di ciptakan sesuai dengan takdirnya. Miskin dan kaya bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan." Erik melanjutkan lagi, kata-katanya terdengar bijak. "Lagi pula, kamu itu cantik. Baik dan ramah. Pasti banyak cowok yang tertarik pada mu, Win.."

Untuk sesaat aku hanya terdiam, mencoba memahami semua ucapan Erik barusan. Di satu sisi, harus aku akui, apa yang di ucapkan Erik itu sepenuhnya benar. Tapi di sisi lain, aku tak bisa memungkiri, kalau aku memang hanya seorang gadis miskin dan yatim piatu. Di mata  Erik mungkin tidak ada perbedaannya. Tapi di mata orang-orang, realistis itu selalu ada.
Selalu ada perbedaan yang mendasar antara si miskin dan si kaya. Begitulah kenyataannya. Kenyataan yang tak bisa di pungkiri. Kenyataan yang kadang membuat ku sering menangis.

Aku memberanikan diri menatap ke arah Erik, yang berjalan cukup santai mengiringi langkah ku.
"tapi kenyataannya sampai saat ini aku memang belum punya pacar.." ucapku, seakan ingin menyakin Erik dengan status ku itu.
"ya, aku percaya kok. Hesti juga bilang begitu.." balas Erik, sambil tersenyum simpul.

Beberapa puluh meter lagi kami akan sampai ke depan rumah abangku, aku menahan langkah, Erik pun ikut berhenti.
Aku memberanikan diri untuk bertanya, "bagaimana dengan kamu. Apa gak ada yang cemburu kalau kamu dekat denganku..?"
Erik tersenyum lagi, kali ini lebih manis. "aku juga masih jomblo, kok. Jadi gak bakal ada yang akan cemburu.." ucapnya sambil menatap ke mata ku. Yang membuat aku tertunduk.
"tapi dulu ada, kan..?"
"ya. dulu aku memang pernah pacaran. Waktu aku masih kuliah. Tapi sekarang gadis itu sudah menikah dengan cowok lain." jawab Erik. "itu sudah cukup lama, tiga tahun lalu.." lanjutnya.
Aku melanjutkan langkah, Erik mengikuti. Dan akhirnya kami pun sampai di rumah abangku. Setelah aku mengucapkan terima kasih, Erik pun pamit. Senja pun datang, menjadi saksi kejadian sore itu.

************
Malam ini, bayangan Erik melintas lagi. Senyum manisnya menghiasi fantasi ku. Cowok tampan itu benar-benar telah membuat aku terlena. Bahkan mungkin sejak pertama kali aku melihatnya. Dan aku juga tahu, Erik diam-diam sering memperhatikanku, apa lagi saat aku lagi main voli.
Aku termangu ditepain tempat tidur ku, hatiku gelisah.

"dia itu cowok yang baik.." kata-kata Hesti terngiang kembali mempromosikan Erik padaku, beberapa hari yang lalu. "kayaknya, ia suka deh sama kamu.." lanjut Hesti.
"dari mana kamu tahu, kalau dia suka sama aku? kita kan baru saja saling kenal.."
"dia sering nanya-nanya tentang kamu.." jawab Hesti meyakinkan.
"dan kamu cerita apa aja, sama dia..?"
"ya, apa aja. Semua hal tentang kamu lah pokoknya.." jawab Hesti lagi sambil sedikit tersenyum.
"sialan kamu.." ucapku agak keras, dan menghadiahi cubitan kecil di lengan Hesti.
Hesti menjerit kecil dan menghindar beberapa langkah dariku. Lalu dengan suara sedikit di keraskan Hesti berujar, "tapi benar, kok! kalian itu pasangan yang serasi!"

Uuuhh, aku mendesah lagi. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Mencoba untuk menghapus bayangan itu. Tapi rasanya, aku sudah lelah, bayangan Erik sudah teramat lekat di anganku.

Aku memang menyukai Erik! ku akui hal itu. Tapi apakah aku ini pantas untuk mencintai dan di cintai oleh seseorang yang sempurna seperti Erik?
Erik terlalu sempurna untuk ku.
Tapi aku tidak bisa menghindar dari semua rasa kagum ku padanya.
Aku hanya berharap, semoga saja aku tidak bertepuk sebelah tangan, yang akan membuat aku kecewa pada akhirnya.

***************
Sudah dua bulan berlalu, sejak perkenalan ku dengan Erik. Dua bulan yang indah dalam perjalanan hidup ku.
Hari-hari ku lalui begitu penuh dengan semangat. Hampir setiap hari Erik selalu rutin mengantarkan aku pulang, sehabis main voli. Jalan kaki tentunya.
Kami menikmati kebersamaan kami, meski Erik sendiri belum benar-benar menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tahu, Erik juga suka padaku.
Semua itu terlihat dari cara dia memperlakukan ku. Aku bahagia bisa menjadi dekat dengan Erik.
Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamanya.

Namun itu semua ternyata tak berlangsung lama.

Suatu pagi, seperti biasa bang Abas dan isterinya pergi ke kebun, kedua ponakan ku sudah berangkat sekolah. Aku sedang membersihkan rumah.
"Assalamualaikum..." tiba-tiba ku dengar suara seseorang mengucapkan salam dari luar. Dari dapur aku bergegas ke pintu depan. Ketika pintu ku buka, seraut wajah tampan tersenyum pada ku.
Aku menjawab salam Erik dan segera ku palingkan wajah ku, menatap jalanan depan rumah, tanpa membalas senyuman Erik.

Tiba-tiba dadaku berdegup sangat kencang. Perasaan ku menjadi tak karuan. Sudah seminggu aku tak bertemu Erik. Sudah seminggu aku tak pernah lagi datang ke lapangan voli. Sudah seminggu aku hanya berdiam diri di rumah.
"boleh aku masuk..?" suara Erik mengagetkan ku.
Sesaat aku hanya terdiam. Berpikir.
Tapi aku tak mungkin menyuruh Erik pergi saat ini juga, untuk itu aku mempersilahkannya masuk. Meski dengan perasaan tidak enak.

"ada apa?" tanyaku akhirnya, setelah mempersilahkan Erik duduk di kursi reot ruang tamu kecil kami. Dan setelah aku ke dapur sebentar menenangkan diri, serta membawa kan segelas air minum putih untuk Erik. Aku duduk di hadapannya.

Erik meneguk air putih itu, lalu meletakkan gelas diatas meja. Kemudian ia menatap ku cukup lama.
"kata Hesti kamu sakit..." ucapnya. "sudah seminggu kamu gak lagi datang ke lapangan voli.." lanjutnya.
Hesti memang sempat datang beberapa hari yang lalu ke rumah, mengajak ku main voli seperti biasa. Tapi aku beralasan kalau aku sedang sakit.

"iya.." jawab ku singkat, "tapi sekarang udah baikan, kok.." lanjut ku, tak ingin membuat Erik merasa kuatir. Apa lagi sampai ia menawarkan ku untuk berobat.
"oh.." Erik membulatkan bibirnya, sambil manggut-manggut.
"aku mau ngomong, boleh..?" tanya Erik melanjutkan.

"iya, ada apa..?" tanyaku dengan nada datar.
"aku... aku sebenarnya suka sama kamu, Win. Bahkan sejak pertama aku melihat kamu di lapangan voli.." Erik berkata sambil menggenggam kedua tangannya. Aku mendongak menatapnya. "selama kita bersama, aku begitu merasa bahagia. Bunga-bunga cinta telah tumbuh di hatiku. Aku tak bisa memungkiri kalau aku sayang sama kamu, Win.." Erik melanjutkan, sambil terus menatapku.
Aku menundukkan kepala, tak berani lagi menatap mata tajam itu.
"aku cinta sama kamu, Win! Mau kah kamu untuk menjalin hubungan yang lebih serius denganku..?"
pertanyaan Erik membuatku menjadi sedikit gelisah. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja aku merasa belum siap mendengarnya. Apa lagi saat ini.

Lama aku terdiam. Mencoba mencari kalimat yang tepat, agar tidak membuat Erik terluka. Tapi..
"maaf, Rik... aku gak bisa.." suara ku terdengar lemah. Aku mencoba menatap kembali wajah itu. Aku melihat raut kecewa disana.
"kenapa?" tanya Erik akhirnya, karena aku tidak melanjutkan kalimat ku.
"karena kita berbeda, Rik.." jawab ku.
"berbeda maksudnya?" Erik mengerutkan kening.
"ya, kita berbeda.. bahkan dalam segala hal.."
"maksud kamu, karena kamu miskin dan yatim piatu..?"
"ya, itu salah satunya. Harusnya kamu lebih memahami nya.." potongku.
"aku mencintai kamu apa ada nya, Win. Terlepas dari semua perbedaan yang ada.."
"tapi kita harus realistis, Rik. Aku harus realistis. Aku harus sadar, kamu itu siapa dan aku ini siapa.."
"persetan dengan semua perbedaan itu, Win. Aku tak peduli!" suara Erik sedikit meninggi. "yang terpenting aku mencintai kamu, dan itu sudah jauh lebih dari cukup.."
"kamu mungkin bisa tak peduli. Tapi bagaimana dengan keluarga mu?"
"maksud kamu?" sekali lagi, Erik mengerutkan kening. Suaranya sudah mulai datar.
"ah, sudah lah, Rik.." ujarku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan, "aku jelaskan pun percuma, kamu gak bakal ngerti. Intinya aku gak bisa, Rik..." lanjutku dengan nada bergetar.

Aku melihat lagi raut kecewa itu. Aku sungguh tak tega melihatnya. Tapi aku benar-benar tidak bisa menerima cinta Erik, apa lagi untuk menjalin hubungan yang serius dengannya, meski aku begitu menginginkannya. Aku tak bisa, bukan karena aku tak mencintainya. Tapi...

Seminggu yang lalu, kedua orang tua Erik datang ke rumah. Mereka dengan memohon, meminta aku agar menjauhi Erik.
"Erik anak kami semata wayang. Kami ingin mendapatkan jodoh terbaik untuknya.." ucap Ayah Erik mengakhiri kalimatnya, setelah ratusan kalimat pahit lainnya mereka lontarkan. Mereka menyampaikan itu secara terbuka di depan abang dan kakak iparku.
Entah siapa yang mengabarkan tentang kedekatan kami, aku juga tak peduli. Tapi yang pasti aku masih punya harga diri. Untuk itu, aku setuju untuk memenuhi permintaan mereka.

"kamu harusnya bisa mengukur bayangmu sendiri, Win. Kamu harusnya menyadari kita ini siapa, mereka itu siapa. Kamu tak harus bergaul dengan orang-orang yang tak sederajat dengan kita. Abang tak ingin harga diri keluarga kita di injak-injak, hanya karena kamu bergaul dengan orang yang salah.." begitu ucapan bang Abas pada ku, setelah kedua orang tua Erik pulang.
Ucapan yang membuat aku menangis semalaman, ucapan yang membuat aku tidak pernah datang lagi ke lapangan voli selama seminggu ini. Ucapan yang membuat ku berbohong kepada Hesti, dengan mengatakan kalau aku sakit.

Ucapan yang membuat ku dengan sangat terpaksa harus menolak kehadiran Erik dalam hidupku, yang membuatku harus melukai orang yang aku sayang.

"mungkin kamu belum siap dengan semua ini, Win.." ucapan Erik menyadarkan lamunan ku. Aku tersentak. Cukup lama kami saling terdiam. "aku akan beri kamu waktu..."
"percuma, Rik!" kataku spontan, "sekarang atau sampai kapan pun, jawabanku tetap sama..."

Erik menarik nafas panjang. Kedua tangannya mengepal. Wajah nya menegang. Aku melihat gurat luka di matanya, "selama ini aku terlanjur berharap banyak pada mu, Win. Tapi ternyata.." Erik menghentikan kalimatnya, suara nya terdengar sedikit parau.
Aku tahu betapa kecewanya Erik padaku. Aku tahu Erik begitu terluka.
"maafkan aku, Rik.." bisik ku hampir tak terdengar siapa-siapa.

Erik sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Tangannya masih mengepal. Ia kemudian bangkit dan berdiri, lalu pergi tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

Aku termangu menatap kepergiannya, langkahnya gontai. Ingin rasa nya aku berlari mengejar dan memeluknya dari belakang, serta membisikan kalau aku juga mencintainya.
Tapi aku hanya terpaku. Tanpa sadar air mata ku jatuh menetes. Aku menangis lagi untuk yang kesekian kalinya.
Aku tahu Erik begitu terluka. Tapi seandainya ia tahu, kalau aku jauh lebih terluka, bila mengingat semua kalimat pahit yang di lontarkan orang tuanya kepada keluarga kami.

Bukan salahku, yang terlanjur jatuh cinta pada Erik, dan bukan salah Erik yang terlahir dari orang tua yang otoriter. Bukan salah siapa-siapa.
Mungkin memang sudah takdir perjalanan cinta kami yang harus kandas, bahkan jauh sebelum kami memulainya.
Ah, cinta. Dia yang begitu termasyhur begini menyakitkan kah?

Sekian,
Mentulik, 26 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate