Hari ini, tanggal 7 Mei 2005. Hari ulang tahunku. Dan itu berarti usiaku genap 23 tahun. Usia yang cukup matang. Harusnya aku sudah cukup dewasa.
Sore itu Laura benar-benar pergi. Aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Entah apa? Kebersamaan memang indah. Tapi bila semuanya harus berakhir, terasa sakit. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi.
“Hai, Rian!” Suara Dhea mengagetkanku tiba-tiba. “Ngelamun aja sih, sedih ya ...?! Gadisnya udah pergi ...” lanjutnya, sengaja mengolokku. Tapi bagaimana lagi, kenyataannya aku memang sedih. “ Nih!” Dhea mengulurkan sebuah amplop surat kepadaku.
“Dari siapa?” tanyaku, seraya mengambil surat itu dari tangan Dhea.
“Laura titip surat ini buatmu, sebelum dia berangkat tadi ..”
“Oh, makasih ya ..! Tapi apa isinya?”
“Tau ah, baca aja ndiri ..” ucap Dhea sambil berlalu pergi.
Akhirnya kubuka dan kubaca juga surat itu. Aku tak tahu, setelah membacanya apa aku harus bahagia atau sebaliknya.
Tapi yang pasti aku ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.
********
Hari ini, tanggal 07 Mei 2005. Setahun sudah berlalu, sejak aku berkenalan dengan Laura. Hampir setahun pula, kami tak pernah bertemu. Namun selama ini tak ada kabar apapun tentang Laura.
“Aku juga tidak tahu, semenjak pulang waktu itu, Laura tak pernah kasih kabar lagi kepadaku ...” jawaban Dhea, ketika hal itu kupertanyakan kepadanya.
“Apa kamu tahu alamatnya yang baru ?”
“Gak. Semenjak ia pindah rumah, aku gak pernah ada komunikasi lagi sama dia ..”
“Gimana dengan neneknya?”
“Neneknya udah gak ada lagi disini. Kata pamanku neneknya juga ikut kekota, karena disini tidak ada yang mengurusnya ...”
Malam ini, tiba-tiba aku teringat Laura. Kangen dengan tawanya yang manja. Walau aku sudah berjanji dalam hati, untuk melupakannya. Tapi rasanya sulit. Sudah setahun, aku masih juga mengingatnya bahkan mungkin merindukannya. Dan aku tahu, Laura tak mungkin lagi kembali kesini, karena disuratnya Laura sudah menjelaskan semuanya. Aku buka lagi surat itu, dan untuk kesekian kalinya aku membacanya.
Aku jadi ingat setahun yang lalu. Pada tanggal dan bulan yang sama. Aku pernah berkenalan dengan seorang gadis, yang berlibur di rumah neneknya, disebuah desa tak jauh dari desa tempat aku tinggal.
Desa tersebut hanya dibatasi oleh sebuah sungai, dengan desaku. Diatas sungai itu dibangun sebuah jembatan yang menghubungkan antara desa kami.
Aku ingat, waktu itu aku melihat seorang gadis manis, berjalan bersama temanku sekaligus tetanggaku, Dhea. Mungkin itu temannya Dhea, bathinku waktu itu. Rumah Dhea bersebelahan dengan rumah kakakku, tempat aku tinggal selama ini. Jadi aku bisa melihat kedatangan mereka dengan jelas, saat itu aku duduk diteras depan rumahku.
Aku juga ingat, waktu itu Dhea yang memanggilku untuk datang kerumahnya. Aku langsung aja datang. Karena aku dan Dhea sudah seperti saudara. Dan lagi pula, aku sudah sering datang kerumah Dhea. Jadi ga’ terlalu jadi masalah kurasa, kalau saat itu, aku datang menghampiri Dhea dan temannya itu.
“ Laura....” begitu ia menyebut namanya padaku, saat kami saling berjabat tangan. Setelah Dhea mempersilahkan kami berkenalan.
“ Rian ...” balasku tersenyum.
“ Laura ini adalah teman baruku, Yan..” Dhea ikut berbicara menjelaskan kepadaku. Yang membuatku menatapnya penuh tanda tanya.
“ Kalau mau tahu lebih jelasnya, tanya aja langsung sama Laura.” Dhea bicara lagi, kemudian melanjutkan, “ Aku mau pergi ke pasar dulu, ya. Sebentar, kok. Kalian ngobrol aja dulu di sini.” Tiba-tiba Dhea ngeloyor pergi, meninggalkan kami berdua diteras rumahnya. Orang tua Dhea juga tak di rumah, pergi ke kebun kali. Biasalah, kerjaan rutin. Bercocok tanam..!!
“ Masih sekolah?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang tercipta sesaat setelah Dhea pergi tadi. Aku duduk disebuah kursi, Laura juga. Ada meja kecil yang membatasi kursi kami. Dari samping, aku bisa melihat kesempurnaan gadis ini. Cantik. Bathinku. Apalagi rambutnya yang dibiarkan terurai panjang, mencerminkan seorang wanita yang keibuan. Kulitnya putih.
“ Aku udah kuliah disalah satu Universitas dikota, disana aku tinggal bersama orangtuaku. Saat ini aku lagi liburan dirumah nenekku, didesa seberang.
“ Ooh...” aku mengangguk mengerti. “ jadi, kamu ketemu Dhea dimana?” tanyaku.
“ Nenekku tinggal sendirian didesa seberang, dan kebetulan pamannya Dhea rumahnya bersebelahan dengan rumah nenekku.” Ucapnya sopan. Lalu tersenyum padaku. Manis.
“ Jadi kamu ketemu Dhea, dirumah nenekmu?” tebakku.
“ Ya...” Jawabnya sambil mengangguk. “ Kebetulan tadi malam Dhea tidur dirumah pamannya, kami berkenalan dan berbagi cerita. Kemudian Dhea mengajakku kesini..” jelasnya, yang membuatku jadi mengerti, kenapa ia sampai kesini.
“ Kalau boleh tahu, berapa lama liburannya?..”
“ Satu bulan..” jawabnya singkat.
Beberapa saat kami terdiam. Dhea belum juga kembali. Tampaknya ia memang sengaja, membiarkan kami berdua ngobrol lebih lama. Sialan juga!
“ Kalau kamu?” tiba-tiba Laura membuka suara lagi, “ boleh dong, aku tahu? Yaa... setidak-tidaknya sedikit tentang kamu, aku pengen tahu ... kalau kata Dhea sih, kamu orang yang baik. Tapi aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu, bolehkan..?” tanyanya, cukup panjang lebar menurutku. Yang membuatku, terdiam sesaat. Ternyata Dhea udah cerita lebih dulu, tentang aku pada Laura. Mungkin itu sebabnya Laura datang kerumah Dhea, karena Dhea udah pasti mempromosikan aku pada Laura. Karena beberapa hari sebelumnya, aku pernah minta tolong sama Dhea, untuk dicariin pacar. Padahal waktu itu, aku Cuma bercanda ...
“ Oh, ya... kamu mau tahu ceritaku bagian yang mana dulu, nih ..? tanyaku, mencoba sedikit akrab.
“ Ya... hmm..” sesaat Laura terdiam seperti berpikir. “ oke, aku pengen tahu, kamu tuh kuliah dimana? Kegiatan sehari-harinya apa aja...? “ ucapnya, yang membuatku semakin merasa akrab.
“ Jadi, dulu tu aku sempat sekolah Cuma sampai kelas dua SMA, kemudian aku terpaksa berhenti, karena udah gak ada biaya.” Sejenak aku menarik nafas, lalu mencoba melanjutkan, “ sejak berhenti sekolah, aku mulai kerja seperti layaknya kebanyakan penduduk disini, kalau gak cari ikan disungai, ya kerja dikebun.”
“ Sampai sekarang?” tanyanya lagi.
“ Yap..!” jawabku.
Kemudian Laura menatapku sejenak, kemudian berkata, “ maaf sebelumnya, kalau boleh tahu, orangtua kamu dimana?”
“ Ibuku meninggal, pada saat aku masih berumur enam tahun, dua tahun kemudian ayahku menyusul.” Aku berhenti sejenak, “ sejak saat itu, aku tinggal bersama kakakku yang paling tua, sampai sekarang ...”
“ Oh, maaf ya..” katanya seperti merasa bersalah.
“ Ouh, gak apa-apa kok, lagian itu udah sangat lama, aku udah terbiasa..” ujarku lagi, sambil kuberanikan diri untuk menatap matanya, yang menurutku sangat indah. Dia balik menatapku juga, kemudian kami sama-sama tersenyum.
Itulah awalnya. Awal pertemuan kami dan juga awal perasaan sukaku hadir.
************
Hampir satu bulan, setelah pertemuan itu. Kami sering bersama-sama. Laura sering datang ketempatku, sekedar cerita-cerita atau juga jalan-jalan disekitaran sungai di desa kami. Kemudian kami pergi makan bakso diwarung ujung desa. Saling mengenal pribadi masing-masing, membuat kami semakin dekat.
Sadar atau tidak, aku mulai merasakan kenyamanan yang selama ini sempat hilang dalam hidupku. Hari-hariku bersama Laura, terasa indah dan penuh makna. Dan entah mengapa, aku juga yakin bahwa Laura juga merasakannya.
“ Aku bahagia bisa mengenal kamu, Ri..” ucap Laura, waktu itu kami sedang duduk-duduk ditepi sungai, sambil menyaksikan anak-anak kecil berlarian dipinggiran sungai.
“ Aku juga ....” kataku jujur.
“ Kamu pernah pacaran, Ri?” tanyanya tiba-tiba, yang membuatku kaget.
“ Dulu ...” kataku sedikit berat, “ aku pernah pacaran, sekitar dua tahun yang lalu. Gadis sini juga, sekarang dia udah menikah dengan pria pilihan orang tuanya, ibunya tak merestui hubungan kami ...” ceritaku saat itu.
Aku melihat Laura tiba-tiba tertunduk. Diam. Wajahnya tiba-tiba muram. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Laura? Apa kata-kataku tadi menyinggungnya? Aku tak berani bertanya. Aku biarkan kami larut dengan pikiran masing-masing.
****************
Ini hari terakhir Laura berada dikampung neneknya. Sore nanti ia akan pulang kekota. Kerumah orang tuanya, ketempat dimana teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya udah pasti menanti kehadirannya. Dan aku akan merasa kehilanga.
Laura datang pagi tadi kerumah Dhea.
“ Jadi kamu pulang, Ra?” tanyaku membuka pembicaraan. Ketika kami hanya duduk berdua di teras rumah Dhea.
“ Ya ...” jawabnya ringan.
“ Aku pasti akan sangat merindukanmu ...” kataku jujur.
Karena meskipun hubungan kami hanya sebatas teman biasa, tapi bagiku Laura itu istimewa. Laura yang baik, manis, ramah dan juga pintar. Jujur, aku juga sempat berharap hubungan kami lebih dari sekedar teman biasa. Namun aku sengaja mengubur harapan itu, karena aku cukup tahu ada perbedaan yang dalam diantara kami. Laura adalah gadis terpandang, yang tak mungkin begitu saja menyerahkan hatinya untuk orang biasa seperti aku. Dan kalaupun hal itu mungkin, aku yakin orang tuanya akan sangat menentang hubungan kami. Aku yakin akan hal itu.
Untuk alasan itulah aku berusaha kuat memendam rasa yang sudah terlanjur hadir direlung hatiku. Karena bagiku, menjadi temannya saja itu sudah cukup membuatku bahagia.
“ aku rasa setelah aku pergi, kamu akan melupakanku. Kamu mungkin saja akan sibuk dengan teman-temanmu dan juga dengan pacarmu tentunya ... “ ucapnya kemudian, setelah tadi sesaat kami terdiam.
“ siapa bilang aku punya pacar ..” jawabku.
“ ya, setidaknya mungkin ada seseorang yang diam-diam menyukai kamu, seperti ... Dhea misalnya .”
“ aku dan Dhea cuma berteman, lagi pula Dhea udah punya cowok...” selaku menjelaskan.
Kemudian kami terdiam, entah mengapa kami jadi kaku. Padahal kami selama beberapa minggu ini, sudah sangat dekat.
“ atau mungkin kamu yang akan sibuk dengan cowok kamu disana...? “ ucapku kemudian, mencoba menebak apa yang ada dalam pikirannya.
“ udah lama aku gak punya cowok ..”
“ tapi banyak kan, cowok yang suka sama kamu ?”
“ ah, gak juga ..., kalau pun ada, aku tak pernah terlalu menghiraukannya. Saat ini, aku lebih mementingkan studyku..” ungkapnya tegas.
“ oh ya, ngomong-ngomong kapan kamu kesini lagi ?” tanyaku kemudian.
“ gak tahu ....” jawabnya lemah.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat kesedihan dari matanya yang indah. Sedih? Benarkah Laura juga sedih dengan perpisahan ini? Atau hanya perasaan ku saja? Ah, sudahlah, aku tak ingin untuk berharap. Aku diam.
*****
Desa tersebut hanya dibatasi oleh sebuah sungai, dengan desaku. Diatas sungai itu dibangun sebuah jembatan yang menghubungkan antara desa kami.
Aku ingat, waktu itu aku melihat seorang gadis manis, berjalan bersama temanku sekaligus tetanggaku, Dhea. Mungkin itu temannya Dhea, bathinku waktu itu. Rumah Dhea bersebelahan dengan rumah kakakku, tempat aku tinggal selama ini. Jadi aku bisa melihat kedatangan mereka dengan jelas, saat itu aku duduk diteras depan rumahku.
Aku juga ingat, waktu itu Dhea yang memanggilku untuk datang kerumahnya. Aku langsung aja datang. Karena aku dan Dhea sudah seperti saudara. Dan lagi pula, aku sudah sering datang kerumah Dhea. Jadi ga’ terlalu jadi masalah kurasa, kalau saat itu, aku datang menghampiri Dhea dan temannya itu.
“ Laura....” begitu ia menyebut namanya padaku, saat kami saling berjabat tangan. Setelah Dhea mempersilahkan kami berkenalan.
“ Rian ...” balasku tersenyum.
“ Laura ini adalah teman baruku, Yan..” Dhea ikut berbicara menjelaskan kepadaku. Yang membuatku menatapnya penuh tanda tanya.
“ Kalau mau tahu lebih jelasnya, tanya aja langsung sama Laura.” Dhea bicara lagi, kemudian melanjutkan, “ Aku mau pergi ke pasar dulu, ya. Sebentar, kok. Kalian ngobrol aja dulu di sini.” Tiba-tiba Dhea ngeloyor pergi, meninggalkan kami berdua diteras rumahnya. Orang tua Dhea juga tak di rumah, pergi ke kebun kali. Biasalah, kerjaan rutin. Bercocok tanam..!!
“ Masih sekolah?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang tercipta sesaat setelah Dhea pergi tadi. Aku duduk disebuah kursi, Laura juga. Ada meja kecil yang membatasi kursi kami. Dari samping, aku bisa melihat kesempurnaan gadis ini. Cantik. Bathinku. Apalagi rambutnya yang dibiarkan terurai panjang, mencerminkan seorang wanita yang keibuan. Kulitnya putih.
“ Aku udah kuliah disalah satu Universitas dikota, disana aku tinggal bersama orangtuaku. Saat ini aku lagi liburan dirumah nenekku, didesa seberang.
“ Ooh...” aku mengangguk mengerti. “ jadi, kamu ketemu Dhea dimana?” tanyaku.
“ Nenekku tinggal sendirian didesa seberang, dan kebetulan pamannya Dhea rumahnya bersebelahan dengan rumah nenekku.” Ucapnya sopan. Lalu tersenyum padaku. Manis.
“ Jadi kamu ketemu Dhea, dirumah nenekmu?” tebakku.
“ Ya...” Jawabnya sambil mengangguk. “ Kebetulan tadi malam Dhea tidur dirumah pamannya, kami berkenalan dan berbagi cerita. Kemudian Dhea mengajakku kesini..” jelasnya, yang membuatku jadi mengerti, kenapa ia sampai kesini.
“ Kalau boleh tahu, berapa lama liburannya?..”
“ Satu bulan..” jawabnya singkat.
Beberapa saat kami terdiam. Dhea belum juga kembali. Tampaknya ia memang sengaja, membiarkan kami berdua ngobrol lebih lama. Sialan juga!
“ Kalau kamu?” tiba-tiba Laura membuka suara lagi, “ boleh dong, aku tahu? Yaa... setidak-tidaknya sedikit tentang kamu, aku pengen tahu ... kalau kata Dhea sih, kamu orang yang baik. Tapi aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu, bolehkan..?” tanyanya, cukup panjang lebar menurutku. Yang membuatku, terdiam sesaat. Ternyata Dhea udah cerita lebih dulu, tentang aku pada Laura. Mungkin itu sebabnya Laura datang kerumah Dhea, karena Dhea udah pasti mempromosikan aku pada Laura. Karena beberapa hari sebelumnya, aku pernah minta tolong sama Dhea, untuk dicariin pacar. Padahal waktu itu, aku Cuma bercanda ...
“ Oh, ya... kamu mau tahu ceritaku bagian yang mana dulu, nih ..? tanyaku, mencoba sedikit akrab.
“ Ya... hmm..” sesaat Laura terdiam seperti berpikir. “ oke, aku pengen tahu, kamu tuh kuliah dimana? Kegiatan sehari-harinya apa aja...? “ ucapnya, yang membuatku semakin merasa akrab.
“ Jadi, dulu tu aku sempat sekolah Cuma sampai kelas dua SMA, kemudian aku terpaksa berhenti, karena udah gak ada biaya.” Sejenak aku menarik nafas, lalu mencoba melanjutkan, “ sejak berhenti sekolah, aku mulai kerja seperti layaknya kebanyakan penduduk disini, kalau gak cari ikan disungai, ya kerja dikebun.”
“ Sampai sekarang?” tanyanya lagi.
“ Yap..!” jawabku.
Kemudian Laura menatapku sejenak, kemudian berkata, “ maaf sebelumnya, kalau boleh tahu, orangtua kamu dimana?”
“ Ibuku meninggal, pada saat aku masih berumur enam tahun, dua tahun kemudian ayahku menyusul.” Aku berhenti sejenak, “ sejak saat itu, aku tinggal bersama kakakku yang paling tua, sampai sekarang ...”
“ Oh, maaf ya..” katanya seperti merasa bersalah.
“ Ouh, gak apa-apa kok, lagian itu udah sangat lama, aku udah terbiasa..” ujarku lagi, sambil kuberanikan diri untuk menatap matanya, yang menurutku sangat indah. Dia balik menatapku juga, kemudian kami sama-sama tersenyum.
Itulah awalnya. Awal pertemuan kami dan juga awal perasaan sukaku hadir.
************
Hampir satu bulan, setelah pertemuan itu. Kami sering bersama-sama. Laura sering datang ketempatku, sekedar cerita-cerita atau juga jalan-jalan disekitaran sungai di desa kami. Kemudian kami pergi makan bakso diwarung ujung desa. Saling mengenal pribadi masing-masing, membuat kami semakin dekat.
Sadar atau tidak, aku mulai merasakan kenyamanan yang selama ini sempat hilang dalam hidupku. Hari-hariku bersama Laura, terasa indah dan penuh makna. Dan entah mengapa, aku juga yakin bahwa Laura juga merasakannya.
“ Aku bahagia bisa mengenal kamu, Ri..” ucap Laura, waktu itu kami sedang duduk-duduk ditepi sungai, sambil menyaksikan anak-anak kecil berlarian dipinggiran sungai.
“ Aku juga ....” kataku jujur.
“ Kamu pernah pacaran, Ri?” tanyanya tiba-tiba, yang membuatku kaget.
“ Dulu ...” kataku sedikit berat, “ aku pernah pacaran, sekitar dua tahun yang lalu. Gadis sini juga, sekarang dia udah menikah dengan pria pilihan orang tuanya, ibunya tak merestui hubungan kami ...” ceritaku saat itu.
Aku melihat Laura tiba-tiba tertunduk. Diam. Wajahnya tiba-tiba muram. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Laura? Apa kata-kataku tadi menyinggungnya? Aku tak berani bertanya. Aku biarkan kami larut dengan pikiran masing-masing.
****************
Ini hari terakhir Laura berada dikampung neneknya. Sore nanti ia akan pulang kekota. Kerumah orang tuanya, ketempat dimana teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya udah pasti menanti kehadirannya. Dan aku akan merasa kehilanga.
Laura datang pagi tadi kerumah Dhea.
“ Jadi kamu pulang, Ra?” tanyaku membuka pembicaraan. Ketika kami hanya duduk berdua di teras rumah Dhea.
“ Ya ...” jawabnya ringan.
“ Aku pasti akan sangat merindukanmu ...” kataku jujur.
Karena meskipun hubungan kami hanya sebatas teman biasa, tapi bagiku Laura itu istimewa. Laura yang baik, manis, ramah dan juga pintar. Jujur, aku juga sempat berharap hubungan kami lebih dari sekedar teman biasa. Namun aku sengaja mengubur harapan itu, karena aku cukup tahu ada perbedaan yang dalam diantara kami. Laura adalah gadis terpandang, yang tak mungkin begitu saja menyerahkan hatinya untuk orang biasa seperti aku. Dan kalaupun hal itu mungkin, aku yakin orang tuanya akan sangat menentang hubungan kami. Aku yakin akan hal itu.
Untuk alasan itulah aku berusaha kuat memendam rasa yang sudah terlanjur hadir direlung hatiku. Karena bagiku, menjadi temannya saja itu sudah cukup membuatku bahagia.
“ aku rasa setelah aku pergi, kamu akan melupakanku. Kamu mungkin saja akan sibuk dengan teman-temanmu dan juga dengan pacarmu tentunya ... “ ucapnya kemudian, setelah tadi sesaat kami terdiam.
“ siapa bilang aku punya pacar ..” jawabku.
“ ya, setidaknya mungkin ada seseorang yang diam-diam menyukai kamu, seperti ... Dhea misalnya .”
“ aku dan Dhea cuma berteman, lagi pula Dhea udah punya cowok...” selaku menjelaskan.
Kemudian kami terdiam, entah mengapa kami jadi kaku. Padahal kami selama beberapa minggu ini, sudah sangat dekat.
“ atau mungkin kamu yang akan sibuk dengan cowok kamu disana...? “ ucapku kemudian, mencoba menebak apa yang ada dalam pikirannya.
“ udah lama aku gak punya cowok ..”
“ tapi banyak kan, cowok yang suka sama kamu ?”
“ ah, gak juga ..., kalau pun ada, aku tak pernah terlalu menghiraukannya. Saat ini, aku lebih mementingkan studyku..” ungkapnya tegas.
“ oh ya, ngomong-ngomong kapan kamu kesini lagi ?” tanyaku kemudian.
“ gak tahu ....” jawabnya lemah.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat kesedihan dari matanya yang indah. Sedih? Benarkah Laura juga sedih dengan perpisahan ini? Atau hanya perasaan ku saja? Ah, sudahlah, aku tak ingin untuk berharap. Aku diam.
*****
Sore itu Laura benar-benar pergi. Aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Entah apa? Kebersamaan memang indah. Tapi bila semuanya harus berakhir, terasa sakit. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi.
“Hai, Rian!” Suara Dhea mengagetkanku tiba-tiba. “Ngelamun aja sih, sedih ya ...?! Gadisnya udah pergi ...” lanjutnya, sengaja mengolokku. Tapi bagaimana lagi, kenyataannya aku memang sedih. “ Nih!” Dhea mengulurkan sebuah amplop surat kepadaku.
“Dari siapa?” tanyaku, seraya mengambil surat itu dari tangan Dhea.
“Laura titip surat ini buatmu, sebelum dia berangkat tadi ..”
“Oh, makasih ya ..! Tapi apa isinya?”
“Tau ah, baca aja ndiri ..” ucap Dhea sambil berlalu pergi.
Akhirnya kubuka dan kubaca juga surat itu. Aku tak tahu, setelah membacanya apa aku harus bahagia atau sebaliknya.
Tapi yang pasti aku ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.
********
Hari ini, tanggal 07 Mei 2005. Setahun sudah berlalu, sejak aku berkenalan dengan Laura. Hampir setahun pula, kami tak pernah bertemu. Namun selama ini tak ada kabar apapun tentang Laura.
“Aku juga tidak tahu, semenjak pulang waktu itu, Laura tak pernah kasih kabar lagi kepadaku ...” jawaban Dhea, ketika hal itu kupertanyakan kepadanya.
“Apa kamu tahu alamatnya yang baru ?”
“Gak. Semenjak ia pindah rumah, aku gak pernah ada komunikasi lagi sama dia ..”
“Gimana dengan neneknya?”
“Neneknya udah gak ada lagi disini. Kata pamanku neneknya juga ikut kekota, karena disini tidak ada yang mengurusnya ...”
Malam ini, tiba-tiba aku teringat Laura. Kangen dengan tawanya yang manja. Walau aku sudah berjanji dalam hati, untuk melupakannya. Tapi rasanya sulit. Sudah setahun, aku masih juga mengingatnya bahkan mungkin merindukannya. Dan aku tahu, Laura tak mungkin lagi kembali kesini, karena disuratnya Laura sudah menjelaskan semuanya. Aku buka lagi surat itu, dan untuk kesekian kalinya aku membacanya.
Dear, Rian yang baik .....
Hampir satu bulan lamanya kita bersama. Aku hampir mengenali dirimu seutuhnya. Kamu orang yang sabar, perhatian dan cakep lagi. Andai aku membuka hatiku lebih dalam lagi, andai masih ada waktu ... aku yakin, aku takkan sanggup lagi menahan perasaanku padamu.
Namun aku sadar, sekalipun perasaan kita sama. Takkan ada hal yang bisa membuat kita bisa bersatu.
Rian, aku minta maaf. Selama ini aku tak berani berterus terang padamu. Namun aku juga tak mau membuat berharap.
Sebenarnya jauh sebelum kita berkenalan, aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku, dengan anak rekan bisnisnya. Aku tak bisa menolak, aku tak ingin mengecewakan orangtuaku. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti.
Sekali lagi, maafkan aku ....
Kebersamaan kita yang singkat, mampu membuatku sangat bahagia. Dan aku sadar, aku mulai mencintaimu. Namun kita tak mungkin bersatu.
Selamat tinggal, Rian....
Semoga kamu temukan gadis yang pantas untukmu, gadis yang jauh lebih baik dari pada aku. Gadis yang bisa membuatmu bahagia.
Mungkin dalam tahun ini, aku akan menikah. Dan aku takkan mengundangmu, karena itu akan sangat menyakitkan bagi kita, terutama bagi diriku. Aku mungkin takkan pernah lagi datang ke desamu. Aku harap kamu bisa mengerti, posisi ku saat ini ...
Lupakan aku, lupakan tentang kita.
Aku tahu, ini egois. Tapi jika kita tetap memaksakan diri untuk tetap bersama, akan ada orang-orang yang kita kecewakan.
Untuk itu, aku ingin kamu tidak lagi mengaharapkan apapun dariku. Karena kisah tentang kita, hanyalah sebuah warna. Yang akan pudar oleh waktu ...
Sekali lagi, selamat tinggal ...
Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang lain. Meski tidak denganku...
Wassalam,
Temanmu,
LAURA
Hampir satu bulan lamanya kita bersama. Aku hampir mengenali dirimu seutuhnya. Kamu orang yang sabar, perhatian dan cakep lagi. Andai aku membuka hatiku lebih dalam lagi, andai masih ada waktu ... aku yakin, aku takkan sanggup lagi menahan perasaanku padamu.
Namun aku sadar, sekalipun perasaan kita sama. Takkan ada hal yang bisa membuat kita bisa bersatu.
Rian, aku minta maaf. Selama ini aku tak berani berterus terang padamu. Namun aku juga tak mau membuat berharap.
Sebenarnya jauh sebelum kita berkenalan, aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku, dengan anak rekan bisnisnya. Aku tak bisa menolak, aku tak ingin mengecewakan orangtuaku. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti.
Sekali lagi, maafkan aku ....
Kebersamaan kita yang singkat, mampu membuatku sangat bahagia. Dan aku sadar, aku mulai mencintaimu. Namun kita tak mungkin bersatu.
Selamat tinggal, Rian....
Semoga kamu temukan gadis yang pantas untukmu, gadis yang jauh lebih baik dari pada aku. Gadis yang bisa membuatmu bahagia.
Mungkin dalam tahun ini, aku akan menikah. Dan aku takkan mengundangmu, karena itu akan sangat menyakitkan bagi kita, terutama bagi diriku. Aku mungkin takkan pernah lagi datang ke desamu. Aku harap kamu bisa mengerti, posisi ku saat ini ...
Lupakan aku, lupakan tentang kita.
Aku tahu, ini egois. Tapi jika kita tetap memaksakan diri untuk tetap bersama, akan ada orang-orang yang kita kecewakan.
Untuk itu, aku ingin kamu tidak lagi mengaharapkan apapun dariku. Karena kisah tentang kita, hanyalah sebuah warna. Yang akan pudar oleh waktu ...
Sekali lagi, selamat tinggal ...
Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang lain. Meski tidak denganku...
Wassalam,
Temanmu,
LAURA
Kulipat lagi surat itu, surat yang penuh dengan makna bagiku. Aku bahagia, bahwa ternyata Laura juga mencintaiku. Namun aku sedih, karena Laura harus menikah dengan orang yang tidak ia inginkan. Mungkin memang harus begini. Cinta tak selalu harus menyatu.
Aku hanya ingin tahu, apakah Laura sudah menikah sekarang? Apakah dia bahagia? Aku tak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu ... Namun satu yang pasti, Laura akan menjadi kenangan paling manis sepanjang perjalanan hidupku.
Jujur, aku masih berharap bisa bertemu dengan Laura. Sekali saja! Meskipun itu hanya dalam mimpi terindahku ...
Oh, Laura ...!!
Mentulik, 03 Agustus 2005
Aku hanya ingin tahu, apakah Laura sudah menikah sekarang? Apakah dia bahagia? Aku tak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu ... Namun satu yang pasti, Laura akan menjadi kenangan paling manis sepanjang perjalanan hidupku.
Jujur, aku masih berharap bisa bertemu dengan Laura. Sekali saja! Meskipun itu hanya dalam mimpi terindahku ...
Oh, Laura ...!!
Mentulik, 03 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar