Cukup lama Sarita menatap Abe tanpa berkedip. Menatapnya lekat-lekat, tanpa bersuara. Abe jadi salah tingkah diperlakukan begitu. Dan ia lebih dahulu menunduk, menghindari tatapan Sarita.
“Maaf, Sar…” ucap Abe pelan. Ucapan yang lebih tepat dinamakan keluhan.
“alasanmu ga’ masuk akal, Be…” Akhirnya Sarita bersuara. Jauh lebih keras dari pada suara Abe.
“Ga’ masuk akal gimana?” Abe kembali mendongak untuk menentang tatapan Sarita. “semua yang aku utarakan justru serba masuk akal. Ini semua demi kamu juga.”
“Demi aku?” Sarita menyipitkan matanya. “Bicaramu kok jadi berbelit-belit begini, sih? Demi aku gimana? Apa bukan demi gengsi kamu?”
“Ah?!” “Kamu merasa jatuh gengsi jika kita tetap seperti biasanya. Karena sekarang kita berbeda? Iya, kan?”
“Itu yang ingin aku utarakan ke kamu, Sar. Harusnya kamu lebih menyadarinya, bahwa kita emang beda!”
“Dari dulu kita emang beda!” potong Sarita, “ingat, Be. Dari dulu juga, kamu yang dulu mempersalahkan soal status. Padahal, demi Tuhan, sejak pertama kenal kamu, aku ga’ pernah mempermasalahkan perbedaan status kita. Kamu aja yang selalu mengingatkannya. Sejak aku menerima cinta kamu, perbedaan itu makin ga’ ada bagiku.”
Abe menghela nafas panjang. Sedikit pun ia memang gak pernah meragukan ucapan Sarita. Hampir dua tahun pacaran, rasanya Abe sudah mengerti, seperti apa warna hati Sarita. Tapi … “tapi sekarang, perbedaan kita makin tajam, Sar…” Abe menunduk.
“nah, tuh, kamu yang mulai lagi!” suara Sarita meninggi.
“sekarang bukan lagi hanya latar belakang keluarga kita yang beda, tapi juga status kita sendiri. Kamu kuliah diperguruan tinggi hebat. Sedangkan aku?!” Abe berhenti sebentar mengatur nafasnya yang tersengal. “aku sekarang bukan cuma anak miskin, tapi juga pengangguran.”
“sepicik itu pikiranmu? Kamu pikir dengan tidak diterima di perguruan tinggi, masa depan mu lantas berakhir begitu saja? Abe… aku ga’ rela kamu berpikiran seperti itu!”
Abe kembali menunduk, bak anak kecil bersalah yang dimarahi mama.
“lalu apa hubungannya semua itu dengan keputusanmu menyudahi hubungan kita?”
“karena makin lama hubungan kita akan semakin ….”
"perbedaan lagi!” Sarita menjerit.
Ada langkah tergesa menghampiri mereka. Papa dan mama Sarita muncul secara bersamaan.
“kok ribut, sih? Berantem, ya?!” Tanya mama sambil mengulum senyum.
“rugi amat, malam minggu secerah ini digunakan untuk berantem. Bukannya lebih asyik kalian pergi nonton? Pakailah mobil papa…”
Sarita menghampiri papanya dan bergelayut manja dilengannya. “papa ga’ usah kuatir. Biasa, Cuma beda pendapat.”
Papa dan mama saling mengerling dan berlalu dari ruangan tamu tanpa berkomentar lagi.
“tuh, kan?” Sarita mencolek hidung Abe. “dirumah ini ga’ ada seorang pun yang mengusik kita. Ga’ ada yang mikirin bahwa kamu berbeda dengan aku.”
Abe sekali lagi mengakui kebenaran itu di dalam hatinya. Ya, Sarita teramat beruntung memilikki kedua orang tua yang begitu bijaksana.
Tapi….
“aku ga’ sanggup, Sar…”
“ngurusin hubungan kita? Menyudahi semua yang telah kita lewati bersama?”
Abe mengangguk.
“pasti kamu tengah kacau, Be. Ku sarankan, kamu pulang aja. Mungkin besok-besok pikiranmu lebih jernih. Ya?!”
“Keputusanku udah bulat, Sar. Lebih baik kita saling melupakan. Di dunia ini masih sangat banyak cowok lain yang lebih pantas mendampingimu. Mendampingi seorang cewek yang sebaik kamu.”
“Abe…” suara Sarita mulai tergetar.
“harusnya kamu bisa memahami alasanku. Sulit bagiku untuk berjalan sejajar denganmu.”
“karena kamu ga’ kuliah? Masih ada tahun depan, Be. Tahun depan kamu bisa mendaftar lagi. Test lagi...”
“dan gagal lagi?” sela Abe.
“kamu bisa bekerja. Apa salahnya? Banyak remaja yang bisa meraih sukses dengan bekerja. Ga’ harus kuliah.”
“kerja?” Abe tersenyum getir. “kerja apa? Dengan mengandalkan ijazah SMU … orang cuma bisa jadi kuli.”
“biarin!”
“kamu mau punya pacar yang cuma kuli? Omong kosong. Kamu bisa aja bilang persetan. Tapi orang tua kamu? Papa dan mama? Lalu teman gedongan kamu itu? Yang kuliah naik BMW itu? Mustinya kamu yang lebih dahulu membuka mata, Sar. Cinta ga’ boleh buta. Cinta harus realistis. Kamu ini siapa, aku ini siapa. Jangan pernah mentiadakan kenyataan itu!”
“papa mengerti siapa kamu…”
“tapi sejauh apa? Apakah papa mengerti bahwa saya ngotot mendaftar ke teknik meski sebenarnya tahu ga’ bakalan lolos? Aku cuma ingin mengejarmu, Sar. Karena kamu mendaftarkan di kedokteran. Seharusnya aku menuruti nasehat Ibu. Di fakultas pendidikan persaingan mungkin lebih ringan dari pada teknik. Tapi apa pantas kamu punya pacar yang…”
Sarita mencengkeram lengan Abe.
“aku ga’ ingin nyudutin kamu. Ga’ bermaksud nyalahin kamu pula, Sar. Aku sendiri yang terlalu memaksa diri. Karena…. Selama ini aku selalu mengejar bayang-bayang mu. Karena… aku ingin menitiskan jurang perbedaan kita.”
Cengkeraman Sarita makin kuat. Abe merasakan tangannya makin perih.
“mungkin kamu ga’ ngerti. Mungkin karena selama ini aku ga’ jujur sama kamu. Tapi sekarang mengertilah bahwa aku mulai lelah mengejar kamu. Aku ga’ sanggup lagi.”
Suara langkah kaki itu membuat Sarita melepaskan cengkeramannya.
“sudah jam tujuh, kalian ga’ jalan juga? Mumpung masih sore, dan mumpung mobilnya belum masuk garasi..” papa menyembulkan kepalanya dibalik pintu.
Abe memberikan senyum kepada papa, meski hatinya terasa amat pedih.
“lihatlah, Sar. Jika jalan, sepantasnya kamu naik mobil. Mobil bagus. Dan karena aku gak punya apa-apa, aku harus pakai mobil papamu.”
“cukup, Be. Kamu jangan salah mengartikan sikap papa.”
“gak ada yang salah. Aku ngerti, papa tulus. Beliau sungguh baik terhadapku. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?”
kali ini Sarita yang tertunduk dan lama tak bersuara. Abe bersyukur dalam hati. Ada secercah harapan, Sarita mulai bisa memahami maksudnya.
“mungkin benar, cinta tak harus bersatu. Demi Tuhan, sampai detik ini aku masih mencintai kamu.” Abe menelan ludah pahit. “tapi kita harus jujur. Aku harus jujur dan realitis, Sar. Diantara kita memang ada jurang perbedaan, yang teramat lebar. Dan aku gak sanggup membangun jembatan diatasnya. Mengertikah kamu?”
Sarita mulai terisak. Abe ingin sekali mendekap tubuh mungil itu, dan menenggelamkannya ke dadanya. Ingin ia mengusap titik air mata itu dan menggantinya dengan secercah tawa penuh canda. Tapi hati kecilnya melarang. Ingin ia berbicara lebih banyak, tapi yang keluar dari mulutnya yang kering hanyalah. “kuharap kamu bisa mengerti ….”
*********
Selama tiga bulan sejak Abe gagal UMPTN, ia memang jarang sekali berbincang-bincang lagi dengan Bapaknya. Tak ada lagi diskusi kecil, seperti saat-saat sekolah dulu. Abe kuatir, sebuah percakapan hanya akan membangkitkan kembali kekecewaan Bapak. Hanya akan dijadikan pembukaan bagi penyesalan Bapak atas dirinya. Selama tiga bulan terakhir ini, sikap Bapak memang tak semanis dulu lagi. Kegagalan demi kegagalan itu seolah telah membuat hati Bapak membatu.
Tapi malam itu Abe tidak bisa menahan diri, untuk berbicara dengan Bapak dengan khusus.
“pak…” sapa Abe hati-hati di dekat Bapak yang tengah membaca Koran yang dibawanya dari kantor, tempatnya bekerja sebagai satpam.
Bapak cuma mendengus pendek, tanpa menoleh. Matanya tetap tertancap dihalaman Koran basi itu.
“pak…. Saya besok mulai bekerja.”
“yang benar saja! Emangnya udah beli dasi dan sepatu kulit?”
Abe tersenyum getir. Ia tahu, Bapak mulai menyudutkannya. Ah, Bapak memang pantas untuk tak percaya.
“saya serius.”
“memangnya ada kantor orang-orang gila yang mau mempekerjakan anak tolol sepertimu?” kali ini Bapak menurunkan korannya dan menatap Abe dengan tatapan tajamnya.
“saya kerja ikut mang Rohim.”
“mang Rohim? Mang Rohim yang mana? Pialang saham?”
“pengrajin sepatu itu, saya akan membantunya dan belajar darinya cara membuat sepatu.”
“hahaha…” diluar dugaan Bapak tidak terkejut, melainkan justru tertawa lebar. “pasti dengan pikiran nanti kamu bisa mendirikan pabrik sepatu? Iya, kan?”
Abe menggeleng. “entahlah … yang penting saya ingin bekerja dan melepaskan diri dari predikat pengangguran. Sedih, tiga bulan gak ngapa-ngapain.”
“mana boleh begitu? Calon Insinyur Teknik kok cuman jadi buruh sepokat. Gengsi, dong!”
“terserah Bapak, jika ingin meledek saya terus-terusan.”
“kamu serius?”
Abe mengangguk.
“lalu gimana dengan putri tercinta-mu itu? Apa gak malu cuma punya pacar yang cuma buruh sepatu? Kamu sendiri gak turun harga?”
“saya sudah memutuskan hubungan dengan Sarita.”
“lho?” Bapak melotot.
Abe menunduk. “karena saya telah sadar, bahwa saya gak mungkin mengejar bayangnya. Dia terlalu tinggi untuk saya capai seutuhnya. Untuk nekat menggapainya, saya bisa jatuh.”
“omongan macam mana itu?” Bapak mencibir. “tapi… selamat! Kamu telah mampu berpikir dewasa. Bekerjalah dengan baik. Mang Rohim itu orangnya tekun, kamu bisa belajar dari dia.”
Abe menerima uluran tangan Bapak dan menjabatnya erat-erat. Ketika Abe meninggalkan Bapak, ia tak mengerti bahwa Bapak menatapnya lama, dengan kelegaan yang luar biasa.
“tak cukup hanya cinta, anakku…….” bisik Bapak tak terdengar oleh siapa-siapa.
************
Mang Rohim mencolek pundak Abe yang tengah mengecat lembaran kulit.
“ada yang nyari kamu, Be.”
“siapa? Pemesan yang kemarin?”
“bukan. Cewek imut, ngakunya teman kamu. Siapa? Pacar kamu, ya?”
Tanpa menjawab, Abe segera berdiri, meletakkan kuas cat dan berlari keluar. Diluar, ia menjumpai seorang gadis menenteng tas plastik hitam.
“Sarita?” tak sadar Abe melangkah mundur dua langkah. “ngapain sampai kemari?”
Gadis itu, Sarita, melebarkan senyumnya.
“pasti orang rumah yang mengatakan bahwa aku ada disini. Ada apa?” Abe gelisah.
“salah!” Sarita menggerakkan jarinya membuat tanda silang di udara.
“sudah cukup lama aku ngerti kamu kerja disini. Hindun yang bilang.”
“Hindun teman sekolah kita?” Abe merasa bodoh dengan ucapannya.
Sebenarnya ia mulai mengerti rentetannya. Ternyata sebelum ia bekerja di tempat mang Rohim ini, Hindun sudah sering memesan sepatu disini. Dan beberapa minggu yang lalu Hindun datang untuk memesan sepatu untuk cheerleaders asuhannya. Sekarang Hindun melatih anak-anak SMP.
“lalu buat apa kamu kemari?” Tanya Abe tanpa menunggu jawaban Sarita. “mau ngeliat kesengsaraanku?
“salah satunya,” Sarita tersenyum lebar. “yang kedua, ngantar apel merah ini. Kamu suka apel merah, kan?” Sarita mengacungkan tas plastiknya.
Abe terpukau. Yang dipandangnya bukan warna merah transparan dibalik plastik itu, melainkan sepasang bola mata Sarita.
“dan yang ketiga…”
Abe masih menatap sepasang mata itu tanpa berkedip. “yang ketiga, apa?” Abe tak sabar.
“papa dan mama kangen kamu, Be…”
Sepasang mata itu menghindari tatapan Abe. Tapi Abe merasa tak mungkin keliru. Ia melihat dimata itu masih ada begitu banyak cinta.
Cinta?
Abe menepuk pipinya sendiri keras-keras. Ia berharap semua ini bukan mimpi belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar