Sebuah Cerpen Jadul " KEPERGIANMU"

Echa duduk termangu, di kursi teras depan rumahnya. Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Pandangannya kosong. Seolah tanpa makna. Sekali lagi, Echa menarik nafas panjang. Seperti ada benan yang ingin di hempaskannya melalui hembusan nafas itu.

Kembali terlihat kemurungan di wajah cantik itu. Kemurungan yang akan selalu datang, bila ia termenung sendiri. Echa sendiri tak tahu, apa yang menyebabkan ia bermuram durja. Echa hanya tahu, bahwa ia telah terluka. Tanpa ia sadari, luka itu telah membuatnya murung tak menentu.

Hampir setahun lamanya, Echa merasa menanti sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang ia sendiri malu untuk mengakuinya.

Am, cowok ganteng yang sederhana, yang ia kenal setahun yang lalu. Waktu pertama kalinya ia menginjakkan kaki nya di desa ini. Pertemuan yang tak sengaja.
Cowok itu yang membuat ia terluka. Tapi Am, gak salah. Bathin Echa.
Pikirannya kembali melayang ke masa itu, masa pertemuannya dengan Am.
"maaf! boleh numpang tanya?" kata-kata pertama yang di ucapkan Echa pada lelaki itu. Ketika ia dan mobil pengangkut barang-barangnya itu, sampai di sebuah gapura yang rusak.
Kebetulan saat itu, lelaki itu melintas dengan sepeda motor nya, berlawanan arah dengan mobil Echa. Setelah tadi Echa menyetop motor itu, bersama pengemudinya yang memakai helm tertutup.

Lelaki itu membuka helm-nya, ketika Echa bertanya padanya.
"oh, boleh." jawabnya. "ada yang bisa saya bantu?" tanya nya melanjutkan, sambil tersenyum dengan manis.
Sesaat Echa sempat gugup, karena pemuda di hadapannya penuh simpati.
"oh, eh... begini... a.. apa benar ini desa Mentulik?" tanya Echa dalam gugupnya, karena ia kira tadi pengemudi motor itu bukan seorang anak muda. Manis.
"ya, benar," jawab lelaki itu santai, "beberapa ratus meter lagi dari sini, akan kelihatan rumah-rumah penduduknya." sambung lelaki itu menjelaskan, sambil menunjuk ke arah desa yang akan di tuju Echa.
"kalau boleh tahu, kalian dari mana ya? dan ada perlu apa ke desa Mentulik?" lelaki itu bertanya lagi, sambil melihat ke arah mobil vekap kijang yang berisi alat-alat perabot rumah dan beberap barang lainnya.
"oh, iya. maaf! kenalkan nama saya Echa," ucap Echa, kemudian mengulurkan tangannya, yang disambut hangat oleh lelaki itu.
"Nama saya Amran, panggil saja Am..."
Setelah melepaskan tangannya, Echa berucap lagi, "saya dari Kabupaten. Saya di tugaskan untuk menjadi salah seorang guru SD di desa Mentulik." Echa berhenti sejenak, mengatur nafas. Pemuda itu masih menunggu penjelasannya. "dan mobil ini sengaja saya sewa untuk mengantar barang-barang saya ke perumahan guru di desa Mentulik, bersama sopirnya juga."
"oh, jadi saudari Echa seorang guru baru?" tanya Am sedikit diplomatis, sambil mengangguk paham.

Echa balas mengangguk, "Perumahan guru masih jauh dari sini?" tanya Echa kembali, agak sedikit kaku.
"gak juga, sih. Tapi... kalau buk guru gak keberatan, boleh saya ikut mengantarkan kesana?" balas Am lagi, menawarkan jasa.
"apa gak merepotkan?" Echa balik nanya, berusaha menolak dengan halus.
"oh, tidak apa-apa, kok. lagian saya lagi gak mau kemana-mana." jawab Am bersikeras.


Akhirnya Echa mengizinkan Am mengantarnya. Echa naik ke mobilnya kembali dan meminta sopirnya untuk mengikuti motor Am dari belakang.

Sekitar 5 menit, mereka pun akhirnya sampai di sebuah perumahan guru yang berada tidak jauh dari gedung sekolah tersebut. Mobil Echa parkir di depan salah satu rumah guru yang memang masih kosong. Terdapat empat buah rumah di situ, tiga buah rumah sudah berpenghuni.

Lumayan bagus. Bathin Echa, ketika ia sudah masuk ke dalam rumah itu. Ternyata tak seperti yang ia bayangkan, desa ini jauh lebih maju dan bersih dari apa yang ia pikirkan sepanjang perjalanan tadi.

"begini lah tempatnya!"  Am menghampiri Echa. Dan melanjutkan,"di sini hanya rumah ini yang masih kosong, yang lain sudah di tempati oleh guru-guru lain."
"apa semua guru disini, dari luar semua?" Echa bertanya lagi pada Am, sambil mulai mengangkat barang-barang nya turun dari mobil.
"gak juga. Ada beberapa yang asli orang sini."
"emang, berapa orang semua guru di sini?"
"Sembilan. jadi sepuluh sekarang..."
Echa mengangguk lagi. Di hatinya terlintas pertanyaan dan rasa kagum. siapa sebenarnya pemuda ini? Dia baik dan ramah. Bathin Echa.

"Oh, iya. rumah pak Kades dimana, ya?" tanya Echa lagi, sambil terus mengangkuti barang-barang nya ke dalam rumah, yang di bantu Am.
"gak jauh dari sini, kok. Nanti saya akan tunjukkan." sekali lagi Am menawarkan jasanya. Dan Echa tak kuasa menolak. Biar bagaimana pun Am-lah orang pertama yang ia kenal di desa ini. Dan ia butuh Am, sebagai pemandu. Lagi pula, ia ingin tahu siapa Am.

Selesai mengangkut barang-barangnya dan menyusun sekedar nya di dalam rumah itu. Dengan di bantu Am, pekerjaan itu jadi lebih mudah dan cepat. Echa kemudian membayar sejumlah uang, sesuai perjanjian kepada sopir tadi. Dan setelah mengucapkan terima kasih, sopir itu pun pamit pergi.

"makasih ya, Am. Kamu sudah sangat banyak membantu saya." ucpa Echa, mulai merasa akrab.
"oh, gak apa-apa, kok." jawab Am, singkat. kemudian melanjutkan, "Kamu jadi kan, ke rumah pak Kades?"
Echa pun mengangguk.

Am mengantar Echa ke rumah pak Kades, pakai motornya. Setelah semua urusannya dengan pak Kades selesai. Am mengantar Echa kembali ke perumahan guru. Lalu kemudian ia pamit untuk segera pulang ke rumahnya.

Itulah awal perkenalan Echa dan Am. Yang menghadirkan kesan tersendiri di hati Echa, mungkin juga di hati Am.

*****************************



"Am memang gitu, ia baik pada semua orang." Dian, seorang rekan guru Echa, yang asli dari desa Mentulik, menjelaskan kepada Echa. Setelah Echa mempertanyakan tentang pemuda itu.
"Am itu seorang yatim piatu. Sejak kecil kedua orang tua nya sudah meninggal. Selama ini ia tinggal bersama kakaknya. Ia bekerja sebagai nelayan di sungai, bersama rekan-rekan nya." Dian melanjutkan ceritanya.

Memang sudah hampir satu bulan Echa tinggal di desa ini. Ia jarang bertemu dengan Am. Kalau pun ketemu palingan cuma sebentar. Am akan tersenyum padanya, kemudian Echa akan membalas senyum Am. Cuma itu saja!

Echa belum juga tahu, siapa Am. Sampai ia kenal dengan Dian. Dan kebetulan Dian asli dari desa sini. Tentunya Dian tahu siapa Am. Makanya Echa berani bertanya pada Dian, tentang Am.
"setahu saya, Am itu belum pernah pacaran." jelas Dian, ketika Echa bertanya tentang Am lagi.
"Am dan saya dulu sempat dekat, sebelum saya menikah. Am teman yang baik... walau ia agak pendiam. Tapi ia sangat pengertian orangnya." lanjut Dian. "Setelah saya menikah, kami jarang bersama lagi. Am sudah jarang main ke rumah. Yah, saya bisa maklum, kok." cerita Dian waktu itu.

Melalui Dian lah, akhirnya Echa bisa dekat dengan Am. Tahu lebih banyak tentang Am. Walau Am lebih sering diam, jika lagi berdua dengan Echa.
Echa yang selalu buka cerita.
Echa merasa Am menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Entah apa itu, Echa tak bisa menebak.

Kadang-kadang Am datang ke rumah Echa sendirian. Seperti ada yang ingin ia bicarakan, namun kemudian tidak jadi. Echa jadi bingung sendiri di buatnya.
"kamu kenapa sih, Am?" tanya Echa suatu hari di rumahnya. "sudah hampir setahun kita saling kenal, tapi aku tak banyak tahu tentang kamu, kecuali dari Dian..."
"ah, gak apa-apa kok, Cha.." jawab Am sekenanya. Selalu begitu, pikir Echa. Am selalu menjawab begitu, tiap kali Echa bertanya sesuatu padanya.

Andai saja Am tahu, betapa Echa ingin Am bicara jujur padanya. Betapa Echa telah jatuh hati pada nya. Bahkan sejak kali pertama mereka bertemu dulu. Namun Am terlalu dingin bagi Echa. Ada apa dengan mu Am? Echa membathin penuh tanya.

"ternyata kita banyak persamaan ya Am" Echa membuka pembicaraan lagi. "sama-sama anak bungsu, tahun lahir kita pun sama. cuma beda tanggal dan bulannya saja..." Echa berhenti sesaat, menatap Am, yang pura-pura mengalihkan perhatiannya. Echa melanjutkan, "Tapi, masa sih. Di usia mu yang sudah hampir 24 tahun, kamu belum pernah pacaran?"
Am menatap Echa lagi, kemudian buru-buru menunduk. Tak berani membalas tatapan Echa lebih lama. "memang belum pernah, aku belum sempat memikir kan hal itu..." jawab Am akhirnya, sedikit acuh.

Am itu aneh, Echa menyimpulkan. Sekali waktu Am tampil di depan nya, penuh ceria dan humor. Lain waktu, Am akan diam tanpa bicara.

"mungkin Am, lagi ada masalah, Cha.." kata Dian, ketika Echa mempertanyakan hal itu.
"mungkin juga, sih. Tapi, Am kok gak mau cerita ya..."
"barangkali ia malu, Cha. Dulu saja, sama aku dia jarang cerita kok. Malahan dia yang sering mendengarkan cerita ku.." jelas Dian.

Lalu sampai kapan aku harus begini. Bathin Echa lagi. Harus kah aku menunggu Am? atau aku harus belajar untuk melupakan Am? Ah. itu tak mungkin. Aku tak bisa melupakan Am begitu saja. Se aneh apa pun Am, aku terlanjur menyayangi nya. Aku terlanjur berharap banyak pada nya...

************************

Sekarang sudah lebih dari satu tahun penantian ini, penantian yang tak pasti. Akh, Am ... tak mengertikah diri mu? Betapa aku membutuhkan mu! Echa membathin sendirin.
"Hai, Cha!" suara Dian mengagetkan Echa dari lamunannya. "melamun aja!"
"oh, kamu Dian! bikin saya kaget saja. Gak kok, saya gak lagi ngelamun..." jawab Echa dalam keterkejutannya.

"kamu gak ke rumah nya Am, Cha?" tanya Dian kemudian. Setelah ia duduk di samping Echa, tanpa pedulikan jawaban Echa barusan.
"ke rumah Am?" kening Echa mengernyit. "kenapa emang nya?" tanya Echa penasaran.
"Lho, kamu belum tahu ya, kalau Am lagi sakit?"
"gak..." jawab Echa menggeleng, "kamu tahu dari mana?" tanya nya kemudian.
"tadi pagi aku mampir ke rumah nya. Udah dua hari ini, Am terbaring sakit." Dian menjelaskan. Dan Echa terkejut mendengar berita itu. Pantas, udah beberapa hari ini dia gak kelihatan. Bathin Echa lagi.

Kebetulan hari ini minggu, Echa libur. Dan jarak rumah Am, gak terlalu jauh. Bisa di tempuh dengan jalan kaki. Echa datang sendirian ke sana.
Am terbaring lemah, di atas dipan ruang tamu kakaknya. Badan nya agak kurusan. Echa duduk di samping Am, yang menatapnya sesaat, kemudian seperti terpaksa Am tersenyum, lalu membuang muka.

Echa mengernyitkan kening. Am seperti menderita sakit yang sudah cukup lama. Tapi apa? penyakit apa yang bisa membuat seorang Am, yang kekar, menjadi lemah tak berdaya? Echa benar-benar tidak tahu.

"Am, sebenarnya sudah cukup lama menderita penyakit tumor pada paru-paru nya..." bang Rio, abang ipar nya Am menjelaskan pada Echa, ketika Echa duduk di kursi tamu agak jauh dari Am. Bang Rio dan istrinya, menyediakan air minum diatas meja sambil ngobrol sama Echa. Sementara itu, teman-teman Am lain, banyak yang berdatangan melihat keadaan Am.

"tapi kenapa gak di bawa ke dokter, bang?" tanya Echa kemudian. Prihatin.
"Am orang nya keras. Dia gak mau berobat. Dia juga gak mau dilarang melakukan pekerjaan yang berat-berat. Akibatnya ya itu, penyakitnya semakin parah. Sekarang ia pun gak mau di bawa ke rumah sakit, katanya hanya buang-buang uang saja..."
"Am kelihatan sudah pasrah dengan penyakitnya.." istri bang Rio menyambung kata-kata suami nya barusan.
Echa termenung beberapa saat, berbagai perasaan bercampuk aduk dalam pikiran nya. Antara putus asa, kecewa dan rasa iba berbaur di hatinya. Yang membuat Echa kian sakit.

************************

Keesokan harinya, Am di kabarkan meninggal dunia. Echa melihat dengan jelas, ketika jenazah Am di masukkan ke pembaringannya yang terakhir. Echa ingin menangis. Tapi ia berusaha menahan air mata nya, agar jangan tumpah saat itu juga.

Am, mengapa kamu hadir hanya sesaat, tapi telah mampu membuat ku kecewa berkepanjangan. Andaikan aku tahu sejak dulu, semua akan berakhir seperti ini. Aku tak akan pernah mengharapkan mu, Am! Rintih hati Echa.

"kamu harus kuat, Cha..." hibur Dian. "Am memang sangat baik, tapi kita harus bisa merelakan kepergiannya. Semua bukan kehendak kita, ini takdir yang kuasa.." kata-kata Dian sedikit memberikan kehangatan di hati Echa yang pedih.
"mungkin ini lah alasan nya, mengapa Am lebih banyak diam, lebih memilih sendiri tanpa pacaran, dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Karena ia tahu, ia tak bisa bertahan lebih lama lagi hidup di dunia ini..." ucap Dian menyimpulkan, yang  dijawab dengan anggukan kepala oleh Echa, bersama tangisnya yang akhirnya tumpah.

"maafkan aku, Cha..." terngiang kata-kata terakhir Am di telinga Echa. "sebenarnya dari awal, aku sudah suka sama kamu, Cha. Tapi aku takut mengakuinya, karena aku tahu, ini pasti akan berakhir dengan sangat menyakitkan..." suara Am terdengar sangat pelan di telinga Echa, namun mampu menembus relung hati Echa. Dan akhirnya, Am pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Echa sangat terpukul bila mengingat semua itu.

Kini Echa sadar, bahwa Am memang telah tiada. Ia harus kuat dan harus bisa merelakan kepergian Am, untuk selamanya.
Am pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan yang tak kan mudah untuk Echa lupakan.
Am pergi dengan meninggalkan cinta nya di hati Echa.
Kini, Echa hanya bisa pasrah. Karena Am akan tetap menjadi sejarah dalam perjalanan hidupnya.
Hanya satu hal yang pasti, Echa akan selalu menyayangi Am.
"aku juga sayang kamu, Am..." tegas hati Echa. Mantap!
******
Mentulik, 01 September 2005.
You always in my heart...
by,
Basri psyd..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate