Sebuah CERPEN Jadul : Tak Ada Yang Berubah

Lampu merah lagi. Nana mengumpat kesal dalam hati. Diturunkannya kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas dimobil. Ia menggerutu panjang – pendek. Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu dia juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa ia mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.


“Majalah, Mbak!”
Nana tersentak kaget. Hampir saja memaki cowok penjual majalah dan koran dilampu merah itu. Kalau saja ia tidak melihat tampang cowok itu.
“Jeff...?” desisnya tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukan Nana.
Cowok itu menatapnya sesaat. Lalu tergesa meninggalkan Nana. Hal tersebut semakin meyakinkan Nana. Kalau cowok tersebut memang Jeff. Tapi, kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat. Dua tahun memang bukan waktu yang singkat, rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.
“Jeff! Jeff!” teriak Nana, mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menolehpun tidak. Justru langkahnya semakin lebar.
Sayang sudah lampu hijau. Kalau tidak, Nana akan nekat mengejar Jeff.

*******
Siang ini, Nana tidak ada kuliah. Diputuskannya untuk datang lagi keperempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja ia tak membawa mobil. Semalaman Nana tak bisa tidur. Pertemuannya dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang dengan susah payah ia timpah didasar hatinya. Tapi pertemuan tak terduga itu, telah mengobrak-abrik semuanya
Siapa sangka mereka justru bertemu disini; saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Bandung sudah ia jelajahi. Pantas tak ketemu. ‘Gak tahunya ia ada di Medan.
Nana berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Matanya jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada diatas kepala. Tapi Nana tak peduli, asal ia dapat bertemu dengan Jeff.
Nah, itu dia!

Langkah Nana lebar. Jeff berdiri dipinggir jalan dengan tumpukan majalah dan koran ditangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil begitu lampu kuning berganti merah.
Sekarang Jeff ada didepannya. Lampu merah. Nana urung memanggil. Diperhatikannya Jeff yang menawarkan dagangannya kebeberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.
Tak satupun dagangan yang terjual. Jeff mengusap peluh diwajahnya yang hitam. Tersentuh hati Nana. Ia tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.
“Jeff ...”
Jeff menatap Nana. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhi Nana.
Nana mengejar dari belakang. “Jeff!”
Disentuhnya pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapnya.
“Maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!”
“Kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?”
“Kurasa itu bukan urusan kamu,” ujarnya tanpa menatap Nana. Berbalik dan berjalan menjauh.
“Kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang, kamu pura-pura ‘gak kenal. Apa salahku?!” teriak Nana parau.
Diluar dugaan, Jeff berhenti, berbalik menatap Nana.
“Kamu ‘gak salah. Aku juga tak bersalah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi.” Perlahan suara Jeff. Mereka duduk dihalte tak jauh dari lampu merah tersebut.
“Berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.”
“Bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu.”
“Apa maksudmu?”
“Lupakan saja.”
“Jangan membuatku bingung, Jeff.”
“Tak ada gunanya, Na! Jika kukatakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.”
“Tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu pergi tanpa pamit.”
“Aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.”
Miris hati Nana mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff dirinya cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara dia selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari mereka kembali bertemu.
“Semudah itu kamu melupakanku?”
“Kita sudah jauh berbeda, Na! Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai putri raja.”
“Semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.”
“Waktu akan mengubah segalanya.”
“Takkan ada yang mampu merubahnya.”
Jeff menghela nafas. Mencintai Nana adalah hal yang sangat menyenangkan, dan memiliki cinta gadis itu merupakan hal terindah dalam hidupnya.
Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.

Bukan salah orangtua Nana jika menentang hubungan mereka. Juga bukan salah papa karena memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff menjadi hina dimata siapa saja.
Jeff tak berhak menghakimi papa. Sudah begitu banyak yang menghakimi papa. Apalagi papa sudah menebusnya dengan masuk bui. Lalu pergi jauh ke istana Tuhan karena tidak tahan hidup menderita didalam sel.
Juga bukan salah mama, jika memilih mengakhiri hidup dan meninggalkan Jeff sendirian, dari pada melarat dan malu.
Bukan salah siapa-siapa. Kalau ada yang harus disalahkan, mungkin cintanya yang salah berlabuh.
Dia dan Nana memang sudah tak sebanding. Tapi mereka mencoba mengabaikan itu. Hingga papa Nana merasa perlu turun tangan. Dengan wajah memelas memohon. “Tolong tinggalkan Nana. Dia anak om satu-satunya. Om ingin dia mendapat pria yang pantas dan sepadan dengannya.”
Jeff tak berhak tersinggung. Untuk sakit hati saja ia tak pantas. Karena benar yang dikatakan papa Nana. Tapi Jeff masih punya harga diri, dan dia harus menyelamatkannya, karena hanya itu yang ia punyai.
 
Kebersamaan memang kebahagiaan. Tapi jika mereka tetap bersama, Jeff hanya akan memberi kesedihan bagi Nana, disuatu hari nanti. Dan jika memang perpisahan membuat Nana kelak akan bahagia, Jeff memilih untuk pergi. Diam-diam. Tanpa ada kata perpisahan, juga penjelasan mengapa ia harus memilih jalan itu.
Semua sudah berakhir. Yang tersisa hanyalah setumpuk masa lalu yang terlalu sakit untuk dikenang, walau terlalu manis untuk dicampakkan.
“Aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.”
Jeff menggeleng dengan pandangan miris.
“Jangan ucapkan itu, Na. Terlalu sakit buatku.”
“Kenapa?”
Jeff menggeleng. Mundur tiga langkah, lantas berbalik dan berjalan tergesa meninggalkan Nana.
*************

Lebih seminggu Nana tak lagi pernah melihat Jeff berjualan dilampu merah tempatnya biasa berjualan.
Pikiran Nana mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.
“Kamu kenal Jeff?” Nana bertanya pada seorang penjual rokok dilampu merah itu.
“Yang hitam tinggi itu?”
“Yang agak kurusan,” tambah Nana. “Kamu ada liat dia?”
Remaja itu menggeleng.
“Kamu tahu rumahnya?”
“Dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu.”
“Bisa antar saya. Saya temannya di Bandung dulu.”
Remaja pria itu membulatkan bibir.
Mereka hanya berjalan kaki. Karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagipula jalannya sempit dan becek, hingga mobil takkan bisa masuk.
Mereka melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus dihidung saling berlarian.
“Masih jauh?”
“Itu rumahnya. Yang cat hijau.”
“Yang paling pinggir?” mengernyit kening Nana. Yang ditunjuk remaja itu merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya.
“Perlu saya tunggu, Mbak?”
Nana mengangguk. Ia merasa tak nyaman berada sendirian ditempat seperti ini.
“Assalamualaikum ..”
Tak ada sahutan. Nana mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.
Nana menoleh kebelakang. Ketempat remaja pria itu berdiri. “Benar ini rumahnya?”
“Benar, Mbak! Coba panggil lebih keras.”
“Assalamu .....”
“Cari siapa?” belum usai salam Nana, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.
“Ada Jeff, Bu?”
Wanita tua itu menatap Nana dengan mata memicing. Membuat Nana berdiri kian kikuk.
“Benar ini tempat kost Jeff, Buk?” ulang Nana memastikan.
“Jeff udah pergi seminggu yang lalu.”
Nana tercekat, “pergi kemana?”
“Ibu kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta.”
Lemas seluruh tubuh Nana. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya! Padahal, asanya yang selama ini sudah berkarat, baru saja diasahnya kembali. Tapi ternyata ...
Setelah mengucapkan kata permisi, Nana berbalik langkah. Sekuat hati, ia menahan agar tangisnya tak tumpah.
“Nak, tunggu dulu!” wanita tua itu menahan langkah Nana. “Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana,“ wanita itu terlihat berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.
“Kemari, nak!” panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff. Nana melangkah masuk. Matanya terbelalak. Photo-photonya yang ia berikan pada Jeff sewaktu di Bandung, tertempel disegala sisi.
“Ini photo-photomu, kan?”
Nana hanya mengangguk.
“Jeff pernah cerita, karena gadis diphoto inilah dia tetap semangat untuk hidup.”
“Tapi kenapa dia pergi lagi?” serak suaru Nana.
“Ibu juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika Ibu tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki gadis itu.”
Nana terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimatanya. Tak ada yang berubah, Jeff. Andai saja kamu terbuka padaku, rintih Nana dalam hati.

Sekian..

Mentulik, 27 April 2005
NB       :     Tetaplah menjadi yang terbaik, Meski tak lagi denganku ...

7 komentar:

Cari Blog Ini

Layanan

Translate