Gadis itu termangu sendiri, menatap kelamnya malam. Dia bingung dan sedih, namun hati nya meragu.
Ada segenap perasaan sakit di hatinya. Kejadian sore tadi masih berkelana dalam benaknya.
Keira, gadis itu, bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamarnya yang sekarang terasa membosankan baginya.
Dia ingin tidur. Dia ingin memejamkan mata, agar bayangan itu bisa pergi dari benaknya. Namun setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan itu selalu muncul. Lagi dan lagi.
Keira menangis kembali mengingatnya. Kejadian sore tadi, sore yang ingin Keira hapus dalam perjalanan hidupnya. Kejadiannya begitu jelas dan sangat menyakitkan bagi Keira.
Maruz, laki-laki yang ia cintai sudah hampir tiga tahun ini, dengan mudahnya memutuskan hubungan mereka. Tanpa alasan, tanpa penjelasan.
"aku ingin kita putus...!" tegas suara Maruz, ia berdiri menatap tajam ke arah Keira.
Sesaat Keira terperangah, ia tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Namun kata-kata itu cukup jelas. Tapi kemudian ia anggap itu hanya lelucon. Maruz emang suka bercanda, pikirnya.
"aku serius," suara Maruz lebih tegas, "aku sudah tak sanggup lagi menjalani semua ini..."
"maksud kamu?"
"yah, hubungan kita ini! Aku capek..."
"Iya. Tapi kenapa?" berkerut kening Keira, memikirkan kisah mereka. Seingatnya hubungan mereka baik-baik saja. Semua masih seperti biasa. Tapi mengapa tiba-tiba Maruz ingin hubungan mereka berakhir? Rintih bathin Keira.
"aku yakin pada akhirnya kamu akan mengerti..." suara Maruz mulai sedikit melemah.
"tidak. Mar. Aku tidak akan pernah dan tidak akan mau mengerti..." Keira menjawab hampir menjerit, tangan kanannya memegang keningnya sendiri. "kalau kamu memang lelah dengan hubungan ini, sebaiknya untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu," Keira melanjutkan dan mencoba menatap ke dalam mata Marus, mencari kejujuran di sana. "aku sarankan kamu pulang dulu, tenangkan pikiranmu. Nanti kita bicara lagi..."
"tidak, Kei. Keputusan ku sudah bulat. Aku sudah terlalu sering memikirkan ini.." Maruz berucap sambil mengalihkan pandangannya menghindari tatapan Keira. "dan lagi pula aku akan pergi jauh, keluar kota. Aku tak akan ada lagi di sini. Aku tak akan pernah kembali.." lanjutnya.
"kemana?!" spontan Keira bertanya.
"Kamu tidak harus tahu..."
"tapi, Mar. Meski pun kita jauh, kita masih tetap bisa berhubungan, kan? gak harus di akhiri seperti ini..." parau suara Keira, terasa ada yang terhiris di hatinya.
"Kei..." lembut suara Maruz, ia pegangi kedua pundak Keira. "bukan karena aku harus pergi, yang membuat kita harus putus. Tapi karena kita harus putus, makanya aku harus pergi..." lanjutnya, sambil melepaskan kedua tangannya.
Kening Keira berkerut kembali, "harus..? tidak ada yang mengharuskan kita putus, Mar! Ini hanya keinginan kamu saja, bukan..?" Keira bergetar, ia berusaha menahan air matanya sendiri. "atau mungkin karena ada yang lain?" tanya nya berusaha lebih tegar.
"tidak. Kei!" Maruz menjawab spontan. Sungguh ia tak tega melihat Keira seperti itu, hatinya hancur, "sumpah demi Tuhan, aku masih sangat mencintaimu sampai saat ini.." Maruz mengepalkan tangannya. "tapi aku tidak bisa dan tidak sanggup lagi meneruskan semua hubungan ini" suaranya semakin pelan.
Ingin rasanya Maruz, mengungkapkan semua yang terjadi, ingin ia mengungkapkan alasan mengapa ia harus mengakhiri hubungan indah mereka. Ingin rasanya ia berkata banyak, tapi yang keluar hanyalah, "aku harap kamu mengerti. Bagi ku semua nya sudah berakhir..."
Miris hati Keira mendengar semua itu. Hati nya benar-benar hancur. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Maruz memilih mengakhiri hubungan mereka. Setelah hampir tiga tahun mereka merajut kasih, tanpa ada masalah yang berarti. Semua nya baik-baik saja.
Keira masih ingat, ketika pertama kali ia bertemu dengan pemuda itu, Maruz. Di suatu sore, ketika mereka sama-sama terjebak hujan dan beteduh di sebuah halte. Saat itu, Keira baru saja selesai kuliah dan hendak pulang. Sopir yang biasa menjemputnya, tiba-tiba pulang kampung, karena ada kelurganya yang meninggal. Keira terpaksa harus naik busway hari itu.
Di sana ia bertemu Maruz, yang saat itu juga sedang berada di halte. Mereka hanya berdua disana.
Suara petir menggelegar di langit. Keira ketakutan. Ia memang selalu takut, setiap kali mendengar suara petir menyambar. Apa lagi sore itu, suara petir juga di iringi hembusan angin yang cukup kencang, membuat Keira semakin ketakutan.
"maaf.." ucapnya pada Maruz, waktu itu. Ketika tanpa sengaja ia memegang tangan Maruz, karena kaget. "saya takut petir..." lanjutnya meringis.
Pemuda itu tersenyum maklum. "tidak apa-apa.." ucapnya.
Keira tahu, pemuda itu orang baik. Dan karena hujan yang tak kunjung reda, sedangkan busway yang ia tunggu belum juga datang. Ia tak punya pilihan lain, selain tetap berada di dekat pemuda tersebut.
"apa masih lama?" Keira mulai agak tenang.
"apanya?" tanya pemuda itu balik..
"bus nya.."
"oh.. mungkin terjebak macet.."
Pemuda itu ternyata seorang petugas penjual karcis dan penjaga halte tersebut. Mereka pun berkenalan. Keira merasa nyaman. Pemuda itu cukup menarik perhatiannya. Seorang pemuda sederhana, yang mempunyai bentuk wajah yang lumayan tampan.
Sejak saat itu, Keira lebih rajin naik busway, ia tak mau lagi di antar sopirnya ke kampus.
Maruz benar-benar menarik perhatiannya. Pemuda itu mampu membuka hatinya dan perlahan membuat Keira jatuh cinta.
"aku hanya seorang penjual karcis..." untuk kesekian kali nya Maruz berusaha mengingatkan Keira akan status nya. Setelah mereka akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan asmara, "apa kamu tak akan menyesal..?" lanjutnya.
"ya. aku tahu. " jawab Keira santai. "tapi itu tidak akan mengubah perasaan ku padamu.."
"tapi kita juga harus realistis. Kamu siapa dan aku ini siapa.."
"aku tak peduli! yang aku tahu, kita saling mencintai. Terlepas dari semua perbedaan yang ada..."
"kamu bisa gak peduli. Tapi bagaimana dengan teman-teman kampus kamu? Bagaimana dengan keluarga dan orang tua kamu...?" Maruz masih berusaha, untuk membuat Keira sadar akan status dirinya.
"hatiku memilih kamu, Mar. Meski begitu banyak teman kuliahku yang menginginkan ku. Aku tak peduli. Aku memilih kamu, dan itu pilihanku. Tidak ada yang akan mampu mengubahnya. Dan tolong jangan ragukan hal itu.." Keira berusaha meyakinkan Maruz akan perasaannya.
"lalu bagaimana dengan keluargamu..? Orang tua kamu?"
"kita akan coba pelan-pelan, Mar. Yang penting kita berjuang bersama-sama. Aku yakin mama papa akan bisa memahaminya..."
Begitulah awalnya, hubungan mereka semakin indah dan serius. Maruz selalu berhasil membuat Keira merasa bahagia dan nyaman dengan segala kesederhanaannya. Sungguh Keira merasa beruntung, bisa bersama-sama Maruz. Cinta mereka terasa menakjubkan. Hingga mereka mampu bertahan hampir tiga tahun, meski hubungan mereka belum di ketahui oleh kedua orang tua Keira. Mereka tetap bersama dan merasa sangat bahagia.
Dan itu semua membuat hati Keira semakin sakit dan perih. Bagaimana mungkin hubungan mereka yang begitu manis, dengan begitu mudah Maruz akhiri sebelah pihak dan tanpa penjelasan apa pun.
Apa salahku? bathin Keira meringis. Mengapa Maruz menyakitinya? Ia tak bisa terima.
Pagi itu, Keira mencari Maruz ke tempat kerjanya, ia harus mendapatkan penjelasan. Tapi teman kerja Maruz bilang, kalau Maruz sudah berhenti dan mengundurkan diri. Keira coba datangi kost-nya, Namun teman kost-nya bilang kalau Maruz sudah pergi sehari yang lalu.
Keira semakin sakit. Maruz benar-benar pergi, tidak saja dari hatinya, tapi juga dari kehidupannya.
Keira nelangsa.
*******************************
Dua tahun berlalu, Keira tak lagi mengingat tentang Maruz. atau setidaknya ia berusaha untuk tidak mengingatnya. Terutama kejadian sore itu. Meski, tak bisa Keira pungkiri, kerap kali bayangan Maruz hadir dalam angannya. Namun kesibukannya sebagai aktivis, membuatnya hampir tak punya waktu untuk memikirkan Maruz.
Apa lagi saat ini, ada Zul, pemuda yang sudah sejak ia masuk kuliah, sudah menyukainya. Zul sangat baik, perhatian dan sangat menyayanginya. Meski Keira sendiri ragu dengan hatinya. Karena baginya Zul hanya sebatas sahabat, perasaan nya tak kian berkembang. Namun kebaikan Zul, membuat ia sulit untuk menolak, ketika akhirnya Zul memintanya untuk menjadi kekasihnya.
Hari-harinya dengan Zul memang tak seindah ketika ia bersama Maruz. Keira tak bisa merasakan bahagia yang utuh, seperti yang ia rasakan saat bersama Maruz.
Namun Keira harus akui, kalau Zul jauh lebih tegas dan jauh lebih pasti dari pada Maruz yang telah meninggalkannya tanpa sebab.
Hingga suatu pagi, ketika saat itu Keira merasa bosan dengan mata kuliah kewirausahaan yang di ikutinya. Keira memutuskan untuk duduk di kantin kampus sendirian.
Tak lama berselang, Keira di kejutkan oleh kehadiran seorang cowok yang ia benci namun juga ia rindui.
"Maruz?" katanya setengah tak percaya, kalau cowok yang berdiri di depannya adalah cowok yang telah meninggalkannya. "ngapain kamu kesini?" lanjutnya.
Cowok itu kemudian duduk di hadapannya, tanpa pedulikan pertanyaan Keira.
Maruz tersenyum kecut, suasana kantin di pagi itu memang masih sangat sepi.
"aku ingin minta maaf.." Maruz mulai membuka suara.
"setelah semua yang terjadi, lalu kamu menghilang tanpa kabar. Kemudian tiba-tiba kamu datang untuk maaf..?"
"yah, aku tahu aku salah dan ini sebenarnya sangat berat bagiku." jawab Maruz cepat, "namun aku harus menjelaskan semuanya. Aku tak ingin semua rasa bersalah ini, terus menerus menghantui ku setiap malam..." lanjutnya.
Kening Keira berkerut. Setiap malam?pikirnya. Berarti selama dua tahun ini Maruz masih memikirkannya? Lalu mengapa ia harus pergi?
Melihat Keira yang terdiam, Maruz akhirnya berbicara lagi, "waktu itu, aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sakit parah dan harus segera di operasi. Dan aku harus pulang.." Maruz menarik nafas agak lama, menunggu reaksi Keira. Namun Keira masih terdiam.
"aku tidak punya uang untuk biaya operasi ibu. Aku sudah coba cari pinjaman kemana-mana, namun tak ada satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya seseorang datang menemuiku. Ia menawarkan aku sejumlah uang melebihi dari yang aku butuhkan. Namun uang itu bukan pinjaman. Ia memberikan uang itu secara cuma-cuma, namun ada syarat yang harus aku lakukan.."
"apa syaratnya?" tiba-tiba Keira bereaksi.
"syaratnya aku harus pergi dari kehidupan kamu selamanya.."
Keira cukup kaget, ia menatap Maruz penuh tanya. "lalu kamu menerimanya?"
"aku sangat menyayangi Ibu ku. Apa pun akan aku lakukan, untuk menyelamatkan nyawanya. Dan saat itu aku tidak punya banyak pilihan. Ibu ku harus segera di operasi." Maruz menghela nafas lagi.
"siapa dia? maksud ku siapa orang yang telah memberi mu uang? dan kenapa?" Keira semakin penasaran. Ia meneguk minumannya.
"menurutku dia lelaki yang baik. Jika aku jadi dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia rela melakukan apa saja, asal kamu bahagia. Dan menurutnya, kebahagiaanmu bukanlah bersamaku. Kamu pantas mendapatkan lelaki yang layak dan sepadan denganmu. Di matanya aku bukanlah lelaki yang layak untuk bersamamu.." Maruz mengusap keringat di dahinya.
Keira hanya termangu. Ia mulai mengerti arah pembicaraan Maruz.
"aku harus memilih, Kei. Meski hatiku sakit karenanya.." Maruz berujar lagi.
"dan kamu pikir aku tidak merasa sakit?" lantang suara Keira. Seketika ia menatap sekeliling, kantin masih sepi.
"aku tidak punya apa-apa, Kei. Aku hanya punya harga diri. Dan aku harus menyelamatkan harga diriku." Maruz berujar, sambil sekali lagi menyeka keringat di wajahnya. "aku tahu kamu sakit dan kecewa padaku, karena itu aku datang lagi kesini. Aku hanya ingin minta maaf..."
"kenapa kamu tidak menceritakan semua ini padaku saat itu?'
"karena itu termasuk syarat. Kamu memang tidak boleh tahu..."
"dan sekarang?"
"dan sekarang aku sadar, aku tidak harus memenuhi syarat yang itu..."
"kenapa tidak?"
"maaf, Kei. Aku harus pergi. Kewajibanku hanya meminta maaf. Selanjutnya terserah kamu.." Maruz berdiri dan mulai melangkah.
"tunggu!" Keira berusaha mencoba menahan langkah Maruz, ia ikut berdiri."setidaknya katakan padaku, siapa laki-laki yang kamu maksud?"
Maruz terhenti dan kembali menatap Keira, "itu tidak penting lagi..."
"kenapa?"
"karena..." sesaat Maruz terdiam dan tertunduk, ia memejamkan mata. Lalu dengan terbata berkata kembali, "karena sebenarnya aku tidak menerima sepeser pun uang dari laki-laki tersebut. Aku setuju untuk memenuhi permintaannya agar meninggalkanmu, karena aku tahu, ia benar. Bahwa aku memang tidak layak dan tidak pantas buat kamu..."
Keira terpaku kembali. "lalu bagaimana dengan Ibu mu?"
"beliau wafat, sebelum aku sampai ke kampung. Dan aku bersyukur tidak menerima uang itu, paling tidak aku telah menyelamatkan harga diriku, meski aku gagal menyelamatkan nyawa ibu ku."
"siapa dia?" tanya Keira sedikit emosi.
"dia siapa?"
"laki-laki itu?"
"jika ku katakan, itu tidak akan merubah apa pun, Kei." tegas suara Maruz.
"kamu egosi! terlalu banyak yang kamu rahasiakan dari aku.." suara Keira mulai bergetar.
"oke!" Maruz berkata sedikit keras, ia menatap sekeliling. Kantin masih sepi. "orang itu papa kamu, Kei. Dan aku tidak punya alasan untuk menolak kebenaran yang telah beliau ucapkan."
Setelah berkata seperti itu, Maruz berbalik dan berjalan tergesa. Ia lega. Namun juga sakit.
Sementara Keira terpaku. Tak percaya mengapa papa nya setega itu. Ia tak menyangka.
Namun Maruz tak mungkin berbohong. Ia tahu orang seperti apa Maruz. Ia juga tahu, kalau papanya juga, tidak akan suka ia berhubungan dengan Maruz. Tapi ia tak mengira, papa nya sampai melakukan hal tersebut.
Keira ingin berteriak memanggil Maruz. Namun sayang, kantin sudah mulai ramai dan Maruz sudah semakin jauh.
Namun Keira punya pilihan. Kamu benar Maruz. bathinnya. Hidup ini pilihan, dan Maruz telah membuat pilihan nya sendiri.
Mungkin saatnya Keira harus membuat pilihan. Merengkuh kembali cintanya dengan Maruz, yang telah di ombang-ambingkan oleh papanya. Atau menerima kehadiran Zul, yang datang dalam kehidupannya tanpa beban.
Keira bimbang. Namun ia melangkahkan kakinya keluar kantin. Sedikit berlari menuju gerbang kampus. Langkahnya semakin mantap, bersamaan dengan pilihan yang telah diambilnya. Sebagai sebuah pilihan. Sebuah pilihan terakhir.
Sekian...
Ada segenap perasaan sakit di hatinya. Kejadian sore tadi masih berkelana dalam benaknya.
Keira, gadis itu, bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamarnya yang sekarang terasa membosankan baginya.
Dia ingin tidur. Dia ingin memejamkan mata, agar bayangan itu bisa pergi dari benaknya. Namun setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan itu selalu muncul. Lagi dan lagi.
Keira menangis kembali mengingatnya. Kejadian sore tadi, sore yang ingin Keira hapus dalam perjalanan hidupnya. Kejadiannya begitu jelas dan sangat menyakitkan bagi Keira.
Maruz, laki-laki yang ia cintai sudah hampir tiga tahun ini, dengan mudahnya memutuskan hubungan mereka. Tanpa alasan, tanpa penjelasan.
"aku ingin kita putus...!" tegas suara Maruz, ia berdiri menatap tajam ke arah Keira.
Sesaat Keira terperangah, ia tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Namun kata-kata itu cukup jelas. Tapi kemudian ia anggap itu hanya lelucon. Maruz emang suka bercanda, pikirnya.
"aku serius," suara Maruz lebih tegas, "aku sudah tak sanggup lagi menjalani semua ini..."
"maksud kamu?"
"yah, hubungan kita ini! Aku capek..."
"Iya. Tapi kenapa?" berkerut kening Keira, memikirkan kisah mereka. Seingatnya hubungan mereka baik-baik saja. Semua masih seperti biasa. Tapi mengapa tiba-tiba Maruz ingin hubungan mereka berakhir? Rintih bathin Keira.
"aku yakin pada akhirnya kamu akan mengerti..." suara Maruz mulai sedikit melemah.
"tidak. Mar. Aku tidak akan pernah dan tidak akan mau mengerti..." Keira menjawab hampir menjerit, tangan kanannya memegang keningnya sendiri. "kalau kamu memang lelah dengan hubungan ini, sebaiknya untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu," Keira melanjutkan dan mencoba menatap ke dalam mata Marus, mencari kejujuran di sana. "aku sarankan kamu pulang dulu, tenangkan pikiranmu. Nanti kita bicara lagi..."
"tidak, Kei. Keputusan ku sudah bulat. Aku sudah terlalu sering memikirkan ini.." Maruz berucap sambil mengalihkan pandangannya menghindari tatapan Keira. "dan lagi pula aku akan pergi jauh, keluar kota. Aku tak akan ada lagi di sini. Aku tak akan pernah kembali.." lanjutnya.
"kemana?!" spontan Keira bertanya.
"Kamu tidak harus tahu..."
"tapi, Mar. Meski pun kita jauh, kita masih tetap bisa berhubungan, kan? gak harus di akhiri seperti ini..." parau suara Keira, terasa ada yang terhiris di hatinya.
"Kei..." lembut suara Maruz, ia pegangi kedua pundak Keira. "bukan karena aku harus pergi, yang membuat kita harus putus. Tapi karena kita harus putus, makanya aku harus pergi..." lanjutnya, sambil melepaskan kedua tangannya.
Kening Keira berkerut kembali, "harus..? tidak ada yang mengharuskan kita putus, Mar! Ini hanya keinginan kamu saja, bukan..?" Keira bergetar, ia berusaha menahan air matanya sendiri. "atau mungkin karena ada yang lain?" tanya nya berusaha lebih tegar.
"tidak. Kei!" Maruz menjawab spontan. Sungguh ia tak tega melihat Keira seperti itu, hatinya hancur, "sumpah demi Tuhan, aku masih sangat mencintaimu sampai saat ini.." Maruz mengepalkan tangannya. "tapi aku tidak bisa dan tidak sanggup lagi meneruskan semua hubungan ini" suaranya semakin pelan.
Ingin rasanya Maruz, mengungkapkan semua yang terjadi, ingin ia mengungkapkan alasan mengapa ia harus mengakhiri hubungan indah mereka. Ingin rasanya ia berkata banyak, tapi yang keluar hanyalah, "aku harap kamu mengerti. Bagi ku semua nya sudah berakhir..."
Miris hati Keira mendengar semua itu. Hati nya benar-benar hancur. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Maruz memilih mengakhiri hubungan mereka. Setelah hampir tiga tahun mereka merajut kasih, tanpa ada masalah yang berarti. Semua nya baik-baik saja.
Keira masih ingat, ketika pertama kali ia bertemu dengan pemuda itu, Maruz. Di suatu sore, ketika mereka sama-sama terjebak hujan dan beteduh di sebuah halte. Saat itu, Keira baru saja selesai kuliah dan hendak pulang. Sopir yang biasa menjemputnya, tiba-tiba pulang kampung, karena ada kelurganya yang meninggal. Keira terpaksa harus naik busway hari itu.
Di sana ia bertemu Maruz, yang saat itu juga sedang berada di halte. Mereka hanya berdua disana.
Suara petir menggelegar di langit. Keira ketakutan. Ia memang selalu takut, setiap kali mendengar suara petir menyambar. Apa lagi sore itu, suara petir juga di iringi hembusan angin yang cukup kencang, membuat Keira semakin ketakutan.
"maaf.." ucapnya pada Maruz, waktu itu. Ketika tanpa sengaja ia memegang tangan Maruz, karena kaget. "saya takut petir..." lanjutnya meringis.
Pemuda itu tersenyum maklum. "tidak apa-apa.." ucapnya.
Keira tahu, pemuda itu orang baik. Dan karena hujan yang tak kunjung reda, sedangkan busway yang ia tunggu belum juga datang. Ia tak punya pilihan lain, selain tetap berada di dekat pemuda tersebut.
"apa masih lama?" Keira mulai agak tenang.
"apanya?" tanya pemuda itu balik..
"bus nya.."
"oh.. mungkin terjebak macet.."
Pemuda itu ternyata seorang petugas penjual karcis dan penjaga halte tersebut. Mereka pun berkenalan. Keira merasa nyaman. Pemuda itu cukup menarik perhatiannya. Seorang pemuda sederhana, yang mempunyai bentuk wajah yang lumayan tampan.
Sejak saat itu, Keira lebih rajin naik busway, ia tak mau lagi di antar sopirnya ke kampus.
Maruz benar-benar menarik perhatiannya. Pemuda itu mampu membuka hatinya dan perlahan membuat Keira jatuh cinta.
"aku hanya seorang penjual karcis..." untuk kesekian kali nya Maruz berusaha mengingatkan Keira akan status nya. Setelah mereka akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan asmara, "apa kamu tak akan menyesal..?" lanjutnya.
"ya. aku tahu. " jawab Keira santai. "tapi itu tidak akan mengubah perasaan ku padamu.."
"tapi kita juga harus realistis. Kamu siapa dan aku ini siapa.."
"aku tak peduli! yang aku tahu, kita saling mencintai. Terlepas dari semua perbedaan yang ada..."
"kamu bisa gak peduli. Tapi bagaimana dengan teman-teman kampus kamu? Bagaimana dengan keluarga dan orang tua kamu...?" Maruz masih berusaha, untuk membuat Keira sadar akan status dirinya.
"hatiku memilih kamu, Mar. Meski begitu banyak teman kuliahku yang menginginkan ku. Aku tak peduli. Aku memilih kamu, dan itu pilihanku. Tidak ada yang akan mampu mengubahnya. Dan tolong jangan ragukan hal itu.." Keira berusaha meyakinkan Maruz akan perasaannya.
"lalu bagaimana dengan keluargamu..? Orang tua kamu?"
"kita akan coba pelan-pelan, Mar. Yang penting kita berjuang bersama-sama. Aku yakin mama papa akan bisa memahaminya..."
Begitulah awalnya, hubungan mereka semakin indah dan serius. Maruz selalu berhasil membuat Keira merasa bahagia dan nyaman dengan segala kesederhanaannya. Sungguh Keira merasa beruntung, bisa bersama-sama Maruz. Cinta mereka terasa menakjubkan. Hingga mereka mampu bertahan hampir tiga tahun, meski hubungan mereka belum di ketahui oleh kedua orang tua Keira. Mereka tetap bersama dan merasa sangat bahagia.
Dan itu semua membuat hati Keira semakin sakit dan perih. Bagaimana mungkin hubungan mereka yang begitu manis, dengan begitu mudah Maruz akhiri sebelah pihak dan tanpa penjelasan apa pun.
Apa salahku? bathin Keira meringis. Mengapa Maruz menyakitinya? Ia tak bisa terima.
Pagi itu, Keira mencari Maruz ke tempat kerjanya, ia harus mendapatkan penjelasan. Tapi teman kerja Maruz bilang, kalau Maruz sudah berhenti dan mengundurkan diri. Keira coba datangi kost-nya, Namun teman kost-nya bilang kalau Maruz sudah pergi sehari yang lalu.
Keira semakin sakit. Maruz benar-benar pergi, tidak saja dari hatinya, tapi juga dari kehidupannya.
Keira nelangsa.
*******************************
Dua tahun berlalu, Keira tak lagi mengingat tentang Maruz. atau setidaknya ia berusaha untuk tidak mengingatnya. Terutama kejadian sore itu. Meski, tak bisa Keira pungkiri, kerap kali bayangan Maruz hadir dalam angannya. Namun kesibukannya sebagai aktivis, membuatnya hampir tak punya waktu untuk memikirkan Maruz.
Apa lagi saat ini, ada Zul, pemuda yang sudah sejak ia masuk kuliah, sudah menyukainya. Zul sangat baik, perhatian dan sangat menyayanginya. Meski Keira sendiri ragu dengan hatinya. Karena baginya Zul hanya sebatas sahabat, perasaan nya tak kian berkembang. Namun kebaikan Zul, membuat ia sulit untuk menolak, ketika akhirnya Zul memintanya untuk menjadi kekasihnya.
Hari-harinya dengan Zul memang tak seindah ketika ia bersama Maruz. Keira tak bisa merasakan bahagia yang utuh, seperti yang ia rasakan saat bersama Maruz.
Namun Keira harus akui, kalau Zul jauh lebih tegas dan jauh lebih pasti dari pada Maruz yang telah meninggalkannya tanpa sebab.
Hingga suatu pagi, ketika saat itu Keira merasa bosan dengan mata kuliah kewirausahaan yang di ikutinya. Keira memutuskan untuk duduk di kantin kampus sendirian.
Tak lama berselang, Keira di kejutkan oleh kehadiran seorang cowok yang ia benci namun juga ia rindui.
"Maruz?" katanya setengah tak percaya, kalau cowok yang berdiri di depannya adalah cowok yang telah meninggalkannya. "ngapain kamu kesini?" lanjutnya.
Cowok itu kemudian duduk di hadapannya, tanpa pedulikan pertanyaan Keira.
Maruz tersenyum kecut, suasana kantin di pagi itu memang masih sangat sepi.
"aku ingin minta maaf.." Maruz mulai membuka suara.
"setelah semua yang terjadi, lalu kamu menghilang tanpa kabar. Kemudian tiba-tiba kamu datang untuk maaf..?"
"yah, aku tahu aku salah dan ini sebenarnya sangat berat bagiku." jawab Maruz cepat, "namun aku harus menjelaskan semuanya. Aku tak ingin semua rasa bersalah ini, terus menerus menghantui ku setiap malam..." lanjutnya.
Kening Keira berkerut. Setiap malam?pikirnya. Berarti selama dua tahun ini Maruz masih memikirkannya? Lalu mengapa ia harus pergi?
Melihat Keira yang terdiam, Maruz akhirnya berbicara lagi, "waktu itu, aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sakit parah dan harus segera di operasi. Dan aku harus pulang.." Maruz menarik nafas agak lama, menunggu reaksi Keira. Namun Keira masih terdiam.
"aku tidak punya uang untuk biaya operasi ibu. Aku sudah coba cari pinjaman kemana-mana, namun tak ada satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya seseorang datang menemuiku. Ia menawarkan aku sejumlah uang melebihi dari yang aku butuhkan. Namun uang itu bukan pinjaman. Ia memberikan uang itu secara cuma-cuma, namun ada syarat yang harus aku lakukan.."
"apa syaratnya?" tiba-tiba Keira bereaksi.
"syaratnya aku harus pergi dari kehidupan kamu selamanya.."
Keira cukup kaget, ia menatap Maruz penuh tanya. "lalu kamu menerimanya?"
"aku sangat menyayangi Ibu ku. Apa pun akan aku lakukan, untuk menyelamatkan nyawanya. Dan saat itu aku tidak punya banyak pilihan. Ibu ku harus segera di operasi." Maruz menghela nafas lagi.
"siapa dia? maksud ku siapa orang yang telah memberi mu uang? dan kenapa?" Keira semakin penasaran. Ia meneguk minumannya.
"menurutku dia lelaki yang baik. Jika aku jadi dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia rela melakukan apa saja, asal kamu bahagia. Dan menurutnya, kebahagiaanmu bukanlah bersamaku. Kamu pantas mendapatkan lelaki yang layak dan sepadan denganmu. Di matanya aku bukanlah lelaki yang layak untuk bersamamu.." Maruz mengusap keringat di dahinya.
Keira hanya termangu. Ia mulai mengerti arah pembicaraan Maruz.
"aku harus memilih, Kei. Meski hatiku sakit karenanya.." Maruz berujar lagi.
"dan kamu pikir aku tidak merasa sakit?" lantang suara Keira. Seketika ia menatap sekeliling, kantin masih sepi.
"aku tidak punya apa-apa, Kei. Aku hanya punya harga diri. Dan aku harus menyelamatkan harga diriku." Maruz berujar, sambil sekali lagi menyeka keringat di wajahnya. "aku tahu kamu sakit dan kecewa padaku, karena itu aku datang lagi kesini. Aku hanya ingin minta maaf..."
"kenapa kamu tidak menceritakan semua ini padaku saat itu?'
"karena itu termasuk syarat. Kamu memang tidak boleh tahu..."
"dan sekarang?"
"dan sekarang aku sadar, aku tidak harus memenuhi syarat yang itu..."
"kenapa tidak?"
"maaf, Kei. Aku harus pergi. Kewajibanku hanya meminta maaf. Selanjutnya terserah kamu.." Maruz berdiri dan mulai melangkah.
"tunggu!" Keira berusaha mencoba menahan langkah Maruz, ia ikut berdiri."setidaknya katakan padaku, siapa laki-laki yang kamu maksud?"
Maruz terhenti dan kembali menatap Keira, "itu tidak penting lagi..."
"kenapa?"
"karena..." sesaat Maruz terdiam dan tertunduk, ia memejamkan mata. Lalu dengan terbata berkata kembali, "karena sebenarnya aku tidak menerima sepeser pun uang dari laki-laki tersebut. Aku setuju untuk memenuhi permintaannya agar meninggalkanmu, karena aku tahu, ia benar. Bahwa aku memang tidak layak dan tidak pantas buat kamu..."
Keira terpaku kembali. "lalu bagaimana dengan Ibu mu?"
"beliau wafat, sebelum aku sampai ke kampung. Dan aku bersyukur tidak menerima uang itu, paling tidak aku telah menyelamatkan harga diriku, meski aku gagal menyelamatkan nyawa ibu ku."
"siapa dia?" tanya Keira sedikit emosi.
"dia siapa?"
"laki-laki itu?"
"jika ku katakan, itu tidak akan merubah apa pun, Kei." tegas suara Maruz.
"kamu egosi! terlalu banyak yang kamu rahasiakan dari aku.." suara Keira mulai bergetar.
"oke!" Maruz berkata sedikit keras, ia menatap sekeliling. Kantin masih sepi. "orang itu papa kamu, Kei. Dan aku tidak punya alasan untuk menolak kebenaran yang telah beliau ucapkan."
Setelah berkata seperti itu, Maruz berbalik dan berjalan tergesa. Ia lega. Namun juga sakit.
Sementara Keira terpaku. Tak percaya mengapa papa nya setega itu. Ia tak menyangka.
Namun Maruz tak mungkin berbohong. Ia tahu orang seperti apa Maruz. Ia juga tahu, kalau papanya juga, tidak akan suka ia berhubungan dengan Maruz. Tapi ia tak mengira, papa nya sampai melakukan hal tersebut.
Keira ingin berteriak memanggil Maruz. Namun sayang, kantin sudah mulai ramai dan Maruz sudah semakin jauh.
Namun Keira punya pilihan. Kamu benar Maruz. bathinnya. Hidup ini pilihan, dan Maruz telah membuat pilihan nya sendiri.
Mungkin saatnya Keira harus membuat pilihan. Merengkuh kembali cintanya dengan Maruz, yang telah di ombang-ambingkan oleh papanya. Atau menerima kehadiran Zul, yang datang dalam kehidupannya tanpa beban.
Keira bimbang. Namun ia melangkahkan kakinya keluar kantin. Sedikit berlari menuju gerbang kampus. Langkahnya semakin mantap, bersamaan dengan pilihan yang telah diambilnya. Sebagai sebuah pilihan. Sebuah pilihan terakhir.
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar