Cerpen Jadul : Akuilah Arjuna...

Aku menghela napas panjang. Seolah sebuah beban berat telah menyesakkan dadaku. Bayangan Nina melintas kembali di anganku. Itu yang membuat sesak! Itu baru melintas di angan. Ceritanya akan lebih paarah lagi jika aku mendapatkan sorot mata Nina, bukan hanya sesak napas, aku juga akan salah tingkah. Dan saat dia menyapa, aku malah bertingkah salah. Pura-pura tidak mendengar sapaannya, padahal aku tidak budek, menghindar lalu kabur dari depannya. Padahal, saat Nina tak ada aku sering berkhayal bisa berdua-duaan dengan cewek manis itu. Tak salah lagi, seonggok virus telah bersarang di hatiku. Virus cinta namanya!

"ngelamun, Rul...!" sapaan Andi mengusir sosok Nina dari lamunanku. Lamunan indah ku berserakan.
"siapa juga yang melamun," sangkalku.
Aku tak ingin dia tahu, kalau aku sering melamunkan Nina. Walaupun, Andi dengan Nina tak ada hubungan apa-apa lagi, tapi rasanya enggak mungkin untuk memilikki Nina. Andi dan Nina baru putus sebulan yang lalu.

"ngelamunin siapa, sih?" desak Andi. Tapi aku masih berkelit, berani sumpah kalau aku enggak mikirin siapa-siapa. "pasti deh, ngelamunin Nina."
Kalimat terakhir Andi membuat aku terlonjak. Kedua bola mataku membulat, seperti hendak keluar dari sarangnya.Sejak kapan Andi bisa membaca isi lamunan seseorang? bathinku. Aku menelan ludah.Mencoba membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba kering mendengar kalimat Andi barusan.
"eh, jangan asal, yah! Itu sih fitnah namanya. Kamu kali yang sering ngelamunin Nina, tapi aku yang kamu kambing hitamkan."
Andi terkekeh, "dikambing hitamkan? kamu sih tinggal dikambingkan, toh kulitmu sudah hitam."

Aku bukannya ikut tertawa. Aku takut Andi benar-benar curiga kalau aku sering melamunkan Nina.
"benarkan, Rul. Kamu suka ngelamunin Nina?" Andi menggoda lagi.
"gak! suwer. Kamu aja yang cakep gak cocokkan sama Nina, apa lagi aku!"
"Rul. Cinta gak liat cakep apa enggaknya. Apa lagi menurutku, kamu tuh cuma punya satu kekurangan..."
"apa itu?" serangku penasaran.
"kekuranganmu cuma satu yaitu kamu gak punya kelebihan apa-apa." ucapnya yang diakhiri dengan tawa yang meledak. Dan tawa itu aku hentikan dengan melemparkan guling ke wajahnya.

"sekali lagi, Ndi. Aku enggak naksir ke Nina." tegasku saat kulihat dia mau bercerita lagi soal Nina.
"syukur deh, kalau gitu. Soalnya selama ini aku ada niat untuk balik ke Nina!"
Dinding dan langit-langit kamar seakan roboh. Dan bongkahannya menimpa tubuhku. Andi jatuh cinta lagi ke Nina? pikirku. Tanpa sadar aku melemparkan tubuhku ke tempat tidur. Seluruh tubuhku lemas. Andi ikut merebahkan diri di sampingku. Tatapan kami menerawang ke arah yang sama, ke langit-langit kamar.
"sebagai sahabat aku minta do'a restumu."
Duh, ingin rasanya aku menangis. Tatapanku belum juga lepas dari langit-langit kamar. Sementara Andi sudah sedari tadi mengalihkan pandangannya ke arahku meminta do'a restu. Tapi bagaimana mungkin aku memberi do'a restu, sementara hatiku telah terlanjur terisak karena luka. Ya, aku terluka!
"kamu gak setuju aku balik ke Nina?"
"ah, enggak. Aku setuju banget. Tapi apa kamu yakin Nina mau terima kamu lagi?" tanyaku tanpa selera.
"makanya aku minta kamu comblangin aku."
Aku tersentak. "comblangin kamu?" mataku terbelalak.
"kenapa emangnya? atau kamu memang enggak serius dengan do'a restumu tadi?"
"restu sih, restu. Tapi..."
"kala memang restu. Besok kamu antarkan suratku untuk Nina."
Aku terdiam. Terpaku menikmati pahitnya pil kecewa yang harus kutelan malam ini. Dulu aku bahagia, bisa memilikki Nina meski hanya sebatas anganku. Aku bahkan berjanji untuk membangun kekuatan sedikit demia sedikit untuk mendekati Nina. Sekaligus meminta pertimbangan Andi, itu kalau aku sudah merasa sudah aman dan Andi tidak menilai aku merasa senang dengan retaknya hubungan mereka dulu.
Tapi malam ini, angan itu bercerai berai. Bangunan kekuatan yang hampir rampung itu, kini harus ambruk. Andi sahabatku datang menengahi. Membawa cinta yang juga untuk Nina.

******
 
Pagi sekali. Sepucuk surat bersampul biru langit kini di genggamanku. Tapi aku berharap hari ini Nina tidak masuk sekolah. Aku tak sanggup menyampaikan surat cinta itu pada Nina. Cintaku untuk Nina yang tak mengijinkan untuk itu. Meskipun di depan Andi, sahabatku, untuk tulus untuk melepaskan Nina. Melepaskan? akh, kata yang kurang tepat bagiku. Bukankah aku bukan siapa-siapa bagi Nina? bathinku.

"Rul, tumben kamu datang pagi?" Nina menyapa santai.
Surat Andi yang tadi ku genggam, langsung ku masukin ke tas. Masih ada perasaan tak tega untuk melukai hatiku sendiri dengan memberikan surat itu kepada Nina.
"ngng... gimana ya. Oh iya... a...a..aku...aku ada peer fisika yang belum kuselesaikan." gugupku tanpa berani menatap Nina terlalu lama. Penyakit gagapku kambuh lagi. Dan itu hanya ada jika berhadapan dengan Nina.
"bukan peer dong namanya, kalau dikerjakan di sekolah..."
"tinggal satu nomor, kok."
Aku tersenyum malu. Bayangan surat bersampul biru langit kembali berkelebat di anganku. Melukai perasaanku. Kuserahkan apa gak ya? Sebagai sahabat yang baik, aku memang harus menyerahkannya. Tapi apa untuk menjadi sahabat yang baik harus berkorban perasaan? Akh, aku bingung.

"Nin.." ucapku menyebut namanya saat Nina hendak berlalu dariku.
Nina berbalik. Menghadiahkan tatapan untukku. "ada yang bisa aku bantu, Rul?"
Tanganku yang sudah merogoh tas untuk meraih surat dari Andi, kini terdiam. Suara lembut Nina, tatapan teduh Nina, tak bisa membuatku tulus untuk melepaskannya. Untuk siapa pun. Meski itu untuk Andi, sahabatku.
Aku sadar Nina sekarang masih menatapku, tapi sedikitpun aku tak berani untuk membalas tatapannya. Teduhnya tatapan itu malah membuat hatiku bisu diantara debaran yang tak menentu. Padahal, dulu Andi mengaku jika tatapan Nina mampu membuat hatinya tenang. Bahkan detak jantungnya berdetak tanpa suara melihat tatapan teduh itu. Lalu ada apa dengan hatiku?

"kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu menyelesaikan peer fisika yang satu nomor itu." ucapnya menawarkan jasa.
"ng...enggak. Aku bisa selesaikan sendiri, kok."
Akh, bodoh! Kenapa aku tak serahkan saja surat Andi itu. Biar urusanku selesai! Sesalku saat Nina berlalu ke kelasnya.

Baru beberapa menit Nina berlalu, Andi telah berdiri di hadapanku. Aku sedikit gugup karena aku belum menyerahkan suratnya untuk Nina. Apa lagi tatapan Andi sepertinya sedang memendam amarah untukku.
"Ndi.."
"aku memperhatikanmu dari tadi. Sepertinya ada yang gak beres denganmu, Rul! Jangan-jangan kamu curi kesempatan untuk berdua-duaan dengan Nina."
"maksud kamu?" aku masih pura-pura gak tahu.
"gak usah pura-pura, Rul! gak nyangka, kamu yang kuanggap sahabat sejati malah gak lebih dari pagar makanan tanaman." ungkap Andi membuatku semakin tak tahu harus berucap dan bergerak.
Aku mematung! Menerima tatapan tajamnya yang seolah hendak menerkamku.
"aku minta maaf!" ucapku. Tapi Andi meninggalkanku seolah-olah tak mendengar permintaan maaf itu.

Sekolah semakin ramai. Aku memutuskan untuk kembali mencari Nina. Aku tak ingin kehilangan Andi sebagai sahabat. Bagaimana pun Andi yang pertama mengenal dan memilikki Nina, meski harus terputus ditengah jalan. Dan memang salahku jika moment itu kuambil sebagai kesempatan untuk memilikki Nina. Bagaimana pun kedekatanku dengan Nina kelak tetap akan berkesan sebagai perampas kebahagiaan sahabatku sendiri.

"Nina!" panggilku lantang. Tanpa beban! Tekadku untuk mempersatukan kembali Nina dengan Andi telah bulat, meski itu sakit!
"Surat dari siapa?" tanyanya saat aku menyerahkan surat Andi.
Tatapannya tak mampu membuatku berani menjawab pertanyaannya. Kunikmati tatapan teduh itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"kamu serius, Rul?" terlihat jelas ada bahagia terpancar dari tatapan itu, setelah membaca surat Andi.
Akh, Andi dan Nina memang mungkin tak bisa berpisah untuk selamanya. Buktinya, Nina begitu bahagia membaca surat itu.
"Rul, kamu serius?" ulangnya lagi. Aku hanya bisa mengangguk.
"tapi kenapa kamu tak pernah mengakuinya di depanku, padahal aku pun telah lama menanti kehadiranmu di hatiku."
Kalimat Nina membuatku bingung. Keningku berkerut!
"ya, aku pun mencintai kamu! Hubunganku dengan Andi retak karena aku yang tak bisa mengingkari kata hatiku bahwa aku lebih mencintai kamu."

Aku masih membisu. Ku coba meraih surat Andi yang masih di tangan Nina.

Nina,
Ternyata Arul mencintai kamu. Jika itu bisa membuatmu bahagia aku pun akan merasakan kebahagiaan itu.
Nina, jangan kecewakan sahabatku! Dia mencintaimu tulus.

Akh, ternyata Andi mengerjaiku! Membaca surat itu membuat gugupku kambuh lagi. Dadaku terasa menanggung beban yang begitu berat. Sesak! Lidahku pun keluh untuk berucap, meski itu satu kata.
"duh, gugup begitu. Akui saja, kamu mencintai Nina, kan?" Andi tiba-tiba datang menepuk bahuku. Ternyata Andi mengawasiku dari jauh.
Kuberanikan diri mengangkat kepala dan mencari sorot mata Nina. Dia tersenyum, manis sekali! Senyum itu hanya bisa aku balas dengan anggukan. Dan semoga dia mengerti jika itu adalah sebuah pengakuan bahwa aku siap untuk menjalani hari-hari cinta bersamanya.

******
Sekian ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate