Kutatap wajah cowok itu lekat-lekat, mencari setitik kejujuran dari setiap kalimat yang barusan diucapkan dengan jelas ditelingaku.
Cowok itu menundukkan pandangannya.
Kutarik napasku perlahan, hanya untuk menenangkan hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kumainkan sapu tangan merah jambu yang kupegang sejak tadi. Aku memang selalu membawa sapu tangan itu, kemana pun aku pergi. Bukan apa-apa, sakit flu ku sudah hampir dua bulan ini belum sembuh-sembuh.
Melihat cowok itu tertunduk, aku segera mengalihkan pandanganku ke depan. Menatap hilir mudik para nelayan ikan yang mengayuh sampan mereka dengan sedikit terlihat lelah. Kami duduk dipinggiran sungai, di ujung kampung. Sebuah tempat yang indah dan menenangkan. Dari sini kami bisa melihat para nelayan yang sedang menjaring ikan disungai, dan juga melihat rumah-rumah penduduk, yang tersusun acak sepanjang pinggiran sungai, dari kejauhan. Aku dan beberapa orang teman memang sering nongkrong disini, hanya sekedar menghindari kesibukan kami dirumah.
Cowok itu masih tertunduk.
"sekarang terserah kamu, Mar." suara berat cowok itu terdengar lagi, "yang penting aku sudah ungkapkan semuanya.."
"aku bingung, Am..." hanya itu yang keluar dari mulut keringku. Matahari memang cukup menyengat sore itu.
Am, cowok itu, sedikit mengangkat kepalanya keatas dan menatapku lembut. Tatapan yang begitu mempesona bagiku. Mata sendu cowok itu, mampu memikat cewek mana pun yang ia inginkan. Aku mengagumi mata itu.
"kenapa?" tanyanya.
"kemarin aku bertemu Izul." balasku ringan, kulihat Am mengerutkan kening.
"lalu?" tanyanya lagi, seperti penasaran, "bukannya kalian sudah lama putus?" lanjutnya.
"dia ingin kami balikan lagi.."
"kamu masih mencintainya?"
"entahlah, Am. Aku bingung dengan perasaanku sekarang..." balasku, sambil membersit hidungku yang berair. Kusapu hidungku dengan sapu tangan.
"apa itu artinya aku tidak punya kesempatan sama sekali?" Am berujar lagi, suaranya terdengar serak.
"kalian bersahabat sudah sejak lama, Am. Bahkan jauh sebelum aku dan Izul jadian dulu." balasku.
Aku ingat waktu pertama kali dulu Izul mengungkapkan cintanya padaku, Am bahkan ketika itu ikut membantu meyakinkanku, kalau Izul benar-benar serius.
Aku memang menyukai Izul waktu itu, cowok itu memiliki wajah yang tampan. Banyak cewek lain yang mendambakannya, tapi ia memilihku untuk jadi pacarnya.
Namun ternyata hubungan kami tidak bertahan lebih dari setahun. Izul memutuskanku tanpa alasan. Aku sempat patah hati dan kecewa. Tapi aku mencoba menerima keputusan itu, walau dengan hati sakit.
Beberapa hari yang lalu, Izul meminta aku untuk balikan lagi sama dia. Aku belum memberi jawaban apa-apa. Enam bulan kami putus, rasanya hatiku masih sakit. Luka itu belum benar-benar kering. Aku mulai berpikir, kalau Izul hanya sekedar mempermainkanku.
Dan sekarang, Am, sahabat baik Izul, dengan jelas tadi mengatakan kalau ia juga menyukaiku. Bahkan sudah sejak lama. Namun karena ia tahu aku dan Izul berpacaran, ia hanya memendamnya selama ini.
Terus terang, aku memang mengagumi sosok Am. Cowok itu sangat baik dan perhatian. Kalau soal tampang, keduanya punya kelebihannya masing-masing. Izul dengan lesung pipinya yang manis dan Am dengan tatapan matanya yang sendu.
Namun ini bukan lagi tentang fisik, tapi juga tentang hati.
Izul yang sempat menghiasi hidupku dengan cintanya yang indah hampir setahun, telah membuatku hampir mengenalinya secara utuh. Meski pada akhirnya aku harus menelan kekecewaan, karena keputusannya yang tiba-tiba. Tanpa sebab. Tanpa alasan yang jelas.
Sedangkan Am, dengan segala kesederhanaannya datang dalam kehidupanku, pada saat aku justru butuh tempat untuk berbagi. Dia yang selalu menemaniku selama ini. Selama masa-masa kekecewaanku. Hampir enam bulan aku dan Am berteman dekat, sedikit banyaknya aku tahu bagaimana sifat Am. Dia juga yang telah membuatku bangkit dari kekecewaanku.
"kamu itu cantik, Mar. Banyak cowok yang menginginkan kamu. Kenapa Kamu harus hidup dalam kekecewaan terus menerus, hanya karena cowok seperti Izul.." begitu ucap Am selalu, setiap kali melihat aku bersedih.
Aku tahu, sejak Izul memutuskanku, hubungan persahabatan Izul dan Am kian renggang. Aku juga tahu, kalau Am sebenarnya sangat marah pada Izul, karena telah membuatku kecewa. Biar bagaimanapun ia merasa ikut bertanggungjawab, karena dulu ia yang bersikeras agar aku mau menerima cinta Izul.
"kalau kamu bingung, kamu tak harus jawab sekarang." suara Am membuyarkan lamunanku.
Aku tatap lagi cowok itu, ada segurat kekecewaan kulihat dimatanya yang sendu.
"aku tahu, aku datang pada saat yang kurang tepat." lanjut Am, "tapi aku tak ingin terlambat lagi, seperti dulu..."
"terlambat lagi..?" desahku.
"iya. Seperti dulu, waktu Izul bilang suka sama kamu. Sebenarnya aku juga ingin mengungkapkan perasaanku waktu itu, tapi karena Izul sudah berterus terang kalau ia suka sama kamu. Aku mundur. Dan mencoba ikut bahagia dengan hubungan kalian, walau hati kecilku tetap tidak rela.."
Aku mendengar ketulusan dari suara itu. Hatiku semakin bimbang.
****************
"aku hanya mau tahu, mengapa kamu memutuskanku tiba-tiba waktu itu?" tanyaku pada Izul yang duduk tenang di sampingku. Setelah seminggu, Izul akhirnya mengajakku bertemu lagi, hanya untuk memastikan jawabanku. Kami bertemu di tempat biasa. Di ujung kampung.
Ku dengar Izul menarik napas, cukup panjang. Kemudian ia hempaskan napas itu perlahan.
"haruskah aku jawab?" ia justru balik bertanya.
"iya!" ucapku tegas. "karena sekarang kamu ingin kita balikan lagi, Zul. Dan aku harus tahu alasan kamu. Aku hanya tak ingin jadi permainan kamu, Zul.." lanjutku lebih lembut.
Izul kembali menarik napas berat. "karena aku tidak ingin bahagia diatas penderitaan sahabatku sendiri.." ucapnya kemudian.
Aku menatapnya tajam, "maksud kamu?"
"aku tahu Am juga mencintai kamu, Mar. Sejak dulu malah. Tapi ia sengaja mengalah untukku." jawab Izul, suaranya datar. "awalnya aku mencoba untuk tidak memperdulikan hal itu, karena aku memang benar-benar mencintai kamu, Mar. Tapi kemudian aku sadar, kalau kebahagiaanku denganmu, telah menghancurkan hati sahabatku sendiri. Untuk itu aku memilih untuk mengakhiri hubungan kita." Izul melempar sebongkah batu kecil ke tengah sungai. "aku tahu kamu sakit dengan keputusanku, dan Am juga sangat marah padaku. Tapi menurutku itu mungkin jauh lebih baik. Aku sengaja menghindar dari Am, hanya agar dia punya waktu lebih untuk menghibur kamu.."
Aku tercenung beberapa saat, mencoba memahami semuanya. Tapi aku tetap belum bisa menerima semua itu. "lalu mengapa sekarang, kamu ingin kita kembali lagi?" tanyaku pada akhirnya, dalam ketidakrelaan hatiku.
"karena aku telah sadar, bahwa jauh darimu adalah sebuah penyiksaan bagiku. Penyiksaan yang teramat sakit! Aku tak mampu menghapus bayangan wajahmu dari benakku. Aku tersadar, kalau sebenarnya aku tak mampu melanjutkan hidupku, tanpa ada kamu di sisiku.." ucapan itu benar-benar membuatku tertunduk. Tak kusangka begitu besar cinta Izul untukku. Tak kusangka juga, kalau ia rela mengorbankan cintanya demi menjaga persahabatannya.
Tiba-tiba aku merasa terharu.
"lalu bagaimana dengan Am sekarang?" tanyaku dengan suara parau.
"aku tahu, Am sangat mencintai kamu, Mar. Aku juga tahu, kalau Am sudah mengungkapkan itu semua padamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa ikhlas, kalau kamu harus bersama Am."
"aku tak ingin merusak persahabatan kalian, Zul."
"tidak ada yang merusak persahabatan kami, Mar. Tidak juga kamu. Tapi waktu dan keadaan lah yang telah mengubah segalanya. Kalau pun ada yang telah merusaknya, itu adalah perasaan kami sendiri."
Aku tercenung lagi. Senja sudah mulai datang, aku menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Kepalaku terasa berdenyut. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa saat ini.
"siapa pun yang kamu pilih pada akhirnya, Mar. Tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi! Tidak juga akan memperbaiki persahabatan kami..." suara Izul menggema di gendang telingaku.
Pelan aku bangkit dan berdiri, aku melangkah meninggalkan Izul sendirian, tanpa sepatah kata pun.
************
"Marisa! Tunggu!" Sebuah suara menghentikan langkahku. Aku memutar tubuh. Dewi, teman dekatku, berlari kecil mendekatiku. Sudah hampir seminggu, aku tidak pernah bertemu Izul atau pun Am lagi. Aku masih terlalu takut untuk memutuskannya. Disatu sisi aku memang mengagumi sosok Am yang sederhana dan santun. Namun di sisi lain hatiku, aku juga belum bisa melupakan Izul seutuhnya. Dan terlebih lagi, aku benar-benar tak ingin merusak hubungan persahabatan mereka.
"ada apa?" tanyaku, ketika Dewi sudah berdiri di depanku dengan napas terengah.
"nih!" secarik kertas diberikannya padaku.
"apa ini?" tanyaku lagi.
"kamu buka aja.." jawab Dewi, sambil mengatur napasnya.
Kubuka lipatan kertas itu, sebait tulisan tertulis disana.
"maafkan aku. Aku harus pergi. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku. Tapi aku harus pergi, karena hatiku belum siap untuk terluka. Hatiku belum siap melihat kamu bahagia dengan orang lain, sekalipun itu sahabatku sendiri. Aku tahu kalian saling mencintai, dan aku tak ingin jadi penghalang untuk cinta kalian berdua."
Kenapa kamu harus pergi, Am. Padahal aku belum memutuskan apa-apa. Bathinku merintih.
"kenapa?" tanya Dewi, melihat mataku yang tiba-tiba berkaca.
Aku hanya menggeleng. Kulipat lagi kertas itu.
"Izul tulis apa sih, Mar? Sampai kamu harus sesedih itu.." ucap Dewi lagi, yang membuatku menatapnya tak mengerti.
"Izul?" tanyaku.
"Iya. Izul, Mar. Izul yang memberikan kertas itu padaku. Dia pesan, agar aku segera memberikannya padamu." jawaban Dewi justru membuatku semakin berkaca. Sekuat mungkin aku menahan hatiku, aku tak ingin tangisku tumpah saat itu.
"sekarang dimana dia?" tanyaku dengan suara serak, menahan gejolak dihatiku.
Dewi hanya mengangkat kedua bahunya, sambil menggeleng. Keningnya berkerut, penuh tanya. Direbutnya kertas itu dari tanganku. Lalu membacanya.
"pantas.." ucap Dewi pelan, setelah selesai membaca kalimat itu.
"pantas kenapa?" tanyaku penasaran.
"tadi waktu Izul memberikan kertas ini, ia sepertinya buru-buru dan berpakaian cukup rapi. Dan ia juga membawa tas besar.." jelas Dewi, yang membuatku semakin nelangsa. Tanpa sadar air mataku pun menetes perlahan...
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar