"makasih, ya.." ucap lelaki itu, sambil berlalu pergi.
Rani hanya tersenyum, menatap kepergian lelaki itu. Sudah lebih seminggu lelaki itu rutin datang ke toko buku tempat Rani bekerja. Awalnya ia mencari sebuah buku klasik yang sudah lama tidak diterbitkan. Hari berikutnya, lelaki itu datang lagi masih menanyakan buku yang sama.
Rani jadi penasaran, dan mencoba mencari-cari buku tersebut di gudang tempat buku-buku lama disimpan. Toko buku itu tidak terlalu besar, yang Rani bangun atas usahanya sendiri bersama seorang sahabatnya yang sama-sama hobi membaca.
Sudah beberapa hari Rani mencoba mencari buku yang diinginkan lelaki tersebut di gudang. Disana memang terdapat banyak tertimbun buku-buku lama yang sengaja mereka taruh disana, karena sudah tidak diminati lagi.
"cari buku apa sih, Ran?" dengan penasaran, Dita, sahabat Rani, akhirnya bertanya.
"itu buku Rantau satu muara karya Anwar Fuadi. Kamu bantu cari ya.." jawab Rani, sambil mengangkat beberapa buku.
"seberapa pentingkah?" tanya Dita lagi, mencoba melihat satu persatu buku yang tersusun acak di rak.
"ada seseorang yang nyari dari kemarin, udah seminggu dia rutin ke toko hanya menanyakan buku yang sama.." jawab Rani, "saya gak tahu sepenting apa buku itu baginya.." lanjutnya.
"ini dia!" teriak Rani kegirangan. Ia acungkan buku itu keatas, sekilas Dita meliriknya sambil menghembuskan nafas. Sudah hampir tiga jam mereka mencarinya, untunglah tidak ada pelanggan yang datang.
Mereka segera menuju ke depan lagi dengan perasaan lega.
Hari berikutnya lelaki itu datang lagi, Rani pun memperlihatkan buku tersebut. Lelaki itu terlihat girang dan memperlihatkan senyum manisnya.
"hobi baca novel juga, ya?" tanya Rani berbasa-basi.
"Iya. Tapi saya lebih suka baca novel-novel klasik kayak gini.." balas lelaki itu.
"oh, ya. Saya Aril." lelaki itu memperkenalkan diri, mereka duduk di meja baca, yang memang tersedia di toko itu.
"Rani." jawab Rani singkat, sambil melepaskan jabatan tangannya.
"kamu suka baca juga?" tanya lelaki itu lagi.
"ya, lumayan.."
"kamu punya banyak koleksi buku novel klasik seperti ini?"
"gak banyak, sih. Tapi memang ada beberapa novel yang suka saya koleksi.."
"kita tukeran, ya.." Aril menatap serius, "aku ada banyak di rumah.." lanjutnya.
Rani hanya mengangguk setuju.
Semenjak itu, mereka kian dekat. Aril sering datang ke toko, dengan membawa beberapa buku. Mereka sering membahas tentang buku-buku yang mereka baca.
Meski Rani sebenarnya sedikit heran, bagaimana Aril tahu, tentang buku-buku yang ia suka dan dari mana ia mendapatkan koleksi buku tersebut?
Namun Rani membiarkan semua tanya itu. Ia tak ingin mempertanyakannya pada Aril.
"ciee.. yang sudah move on.." goda Dita suatu hari.
"iih.. apaan, sih. gak kok. kami cuma teman. Kebetulan punya hobi yang sama.." balas Rani.
"kalau iya pun juga gak apa-apa, Ran. Mala bagus, kan? dari pada kamu larut dalam penantian yang tak pasti.." Dita berujar lagi.
Tiba-tiba Rani terdiam, mendengar ucapan sahabatnya barusan. Sekilas bayangan seraut wajah tampan melintas dibenaknya.
"kamu kenapa. Ran?" tanya Dita, melihat wajah Rani yang tiba-tiba murung, matanya berkaca.
Rani menggeleng, "kamu tahu kan, Dit. Cintaku pada Azam begitu besar. Tidak mudah bagiku, untuk bisa melupakannya.." suara Rani serak.
"tapi Azam sudah pergi, Ran. Kamu harus terima kenyataan itu. Mau sampai kapan kamu akan menunggunya. Sudah lebih dari enam bulan ia menghilang, Ran. Tanpa kabar!"
"iya. aku tahu, Dit. Tapi aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Aku yakin Azam punya alasan melakukan ini semua. Aku yakin ia pasti kembali." suara Rani semakin serak, air matanya tiba-tiba menetes.
Pikiran Rani melayang ke peristiwa beberapa tahun silam. Saat ia tak sengaja bertemu dengan Azam, yang waktu itu sama-sama antri di sebuah kasir super market. Azam bahkan mambantunya membawakan beberapa barang, yang kemudian membuat mereka saling berkenalan.
Perkenalan itu akhirnya menumbuhkan kidung-kidung cinta di relung hati mereka berdua.
Dua tahun mereka pacaran. Dua tahun mereka bersama. Rani sudah menyerahkan seluruh hatinya untuk Azam. Cinta mereka begitu indah.
"aku akan menemui orang tuamu minggu depan.." begitu ucap Azam padanya suatu hari.
"kamu serius?" tanya Rani dengan perasaan bahagia.
Azam mengangguk, lalu kemudian mengecup lembut kening Rani.
Sehari menjelang janji Azam untuk menemui kedua orang tuanya, tiba-tiba ia menghilang. Dia menghilang bak ditelan bumi. Tidak ada satu orang pun yang tahu keberadaannya. Rani sudah berusaha mencari dan bertanya kepada orang-orang yang ia kenal. Tapi Azam benar-benar menghilang. Satu pun kontak yang ia miliki tidak bisa dihubingi. Rani bingung dan panik.
Rani tahu, keluarga Azam semuanya ada di Bandung, bukan di kota Batam ini. Dan tak ada satu pun keluarga Azam yang Rani kenal.
Yang Rani tahu, Azam bekerja di sebuah perusahaan property di Batam ini. Dan tak ada seorang pun teman kantor Azam yang tahu, kemana Azam.
"dia hanya pamit mau pulang kampung katanya, kemudian tak ada lagi kabar sampai sekarang ini.." salah seorang teman kerja Azam mencoba menjawab kebingungan Rani.
Akhirnya Rani hanya bisa pasrah dan menunggu. Hatinya terasa sakit. Teganya Azam pergi tanpa mengabarinya. Rani hanya bisa menangisi semua itu sendiri.
"maksudnya apa coba?" Ucap Dita, setelah Rani menceritakan semuanya. "kalau memang ia di Bandung sekarang, ya kasih tahu, kek!" lanjutnya.
"entahlah, Dit. Aku juga bingung." jawab Rani lesuh.
*******************
"selain membaca, aku juga suka nulis." Aril berucap sambil menyantap makanannya. Mereka bertemu disebuah kafe. Itu adalah makan malam pertama mereka berdua. Setelah dengan susah payah Aril mengajak Rani untuk makan malam bersama.
"menulis bisa membuatku menjadi tenang dan dengan menulis aku merasa punya tempat untuk mencurahkan tentang apa pun yang terjadi dalam hidup." lanjutnya.
Rani hanya tersenyum mendengar penuturan Aril tersebut.
"kamu suka nulis?" tanya Aril.
Rani menggeleng, "selain nulis diary tentunya.." ucapnya tersenyum.
Terus terang Rani cukup kagum dengan segala perjuangan Aril untuk mendekatinya. Aril juga sosok yang menyenangkan dan pintar. Ada banyak kesamaan diantara mereka. Meski Rani belum bisa membuka hatinya untuk kehadiran lelaki lain. Tapi Aril sepertinya tak mudah menyerah.
"maaf, Ril. Tapi saya gak bisa.." jawab Rani, setelah dengan begitu romantis Aril mengungkapkan perasaannya. Mereka sudah hampir empat bulan berkenalan dan jalan bareng.
"kenapa?" tanya Aril datar.
Sejenak Rani terdiam. Dia ingin berterus terang. Dia tidak ingin Aril berharap banyak dan pada akhirnya menjadi kecewa.
"ada seseorang di masa lalu ku, Ril. Dan sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan sosoknya di hatiku. Maaf! Tapi aku harus jujur. Aku tak ingin kamu berharap lebih.."
"tapi bukannya ia sudah menghilang berbulan-bulan yang lalu.." ucap Aril, yang membuat Rani menatapnya penuh tanya. "Dita yang cerita.." lanjut Aril, menjawab keheranan Rani dengan sedikit gelagapan.
"aku hanya butuh waktu, Ril. Tidak mudah bagiku saat ini.."
"yah. Aku ngerti, Ran. Aku juga tidak memintamu untuk menjawabnya sekarang.."
**********************
"bagaimana?" suara berat lelaki itu membuyarkan lamunan Aril.
"apanya?" tanya Aril sedikit kaget.
"Rani, Ril.." lelaki itu menjawab, sambil menahan batuk.
"kamu tahu, apa yang paling menyakitkan dari semua ini?" Aril balik bertanya, ia menatap lelaki yang duduk di hadapannya. Lelaki itu hanya diam. "aku bahkan telah benar-benar jatuh cinta pada gadis itu. Namun sudah hampir satu tahun, Rani masih mengharapkan kamu kembali. Rani tidak bisa melupakanmu, Zam.." lanjut Aril sendu.
Lelaki itu mendehem, menahan batuknya lagi.
"mungkin akan lebih baik, jika kamu berterus terang saja tentang keadaan kamu saat ini sama Rani!" ucap Aril lagi, melihat lelaki itu hanya diam.
"aku sangat mencintai Rani, Ril." lelaki itu, Azam, berkata terbata, "aku tak ingin dia tahu keadaanku sekarang, karena aku tak ingin membebaninya. Rani pasti akan melakukan apa saja, jika ia tahu keadaanku yang sebenarnya. Rani juga akan merasa sangat terpukul..."
"lalu dengan menghilang tanpa kabar seperti ini, kamu pikir Rani tidak merasa terpukul?"
"untuk itu aku meminta kamu mendekati Rani, Ril. Aku hanya ingin Rani bahagia. Aku ingin Raniku tersenyum lagi.."
"tapi kenapa harus aku?"
"karena aku tak ingin Rani dimiliki orang lain, Ril. Aku percaya kamu bisa membuat dia bahagia.."
"tapi tetap saja ini tak mudah.."
"ya. aku tahu. Tapi sakitku semakin parah, Ril. Aku ingin mendengar kabar baik, sebelum aku benar-benar pergi.." pelan suara itu, tapi mampu membuat mata bening Aril berkaca.
Azam adalah sahabat Aril sejak kecil. Bahkan lebih dari itu, keluarga Azam lah yang telah merawat dan membesarkan Aril, sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Aril kecil yang sangat terpukul karena kematian kedua orang tuanya, bisa tersenyum kembali. Azam lah yang telah bersusah payah menghiburnya dan mengajaknya tinggal bersama keluarganya.
Kedua orang tua Aril sangat baik padanya, demikian juga Aril. Mereka menjadi sangat dekat, layaknya dua orang yang bersaudara.
Setelah melewati masa kuliah, Azam memutuskan menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan property di Batam, dan meninggalkan Bandung. Aril sendiri memutuskan untuk menekuni hobi menulisnya di Bandung.
Bertahun-tahun berada tinggal di perantauan, tiba-tiba Azam meminta Aril untuk datang ke Batam. Azam pun mengabarkan kalau ia di vonis mengidap penyakit kanker pankreas dan komplikasi yang sulit disembuhkan, bahkan sudah stadiom akhir. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Dokter memvonis kalau Azam hanya bisa bertahan paling lama setahun. Azam sendiri enggan untuk melakukan operasi atau pun pengobatan keluar negeri, meski ia mampu. Azam sudah pasrah dengan penyakit yang di deritanya.
"aku ingin kamu mendekati Rani dan mendapatkan hatinya. Dan aku tidak ingin ia tahu, keadaanku yang sekarang. Aku juga tak ingin ia tahu tentang hubungan persahabatan kita. Itu permintaan terakhirku, Ril." begitu ucap Azam padanya. Tak ada alasan apa pun bagi Aril untuk bisa menolak permintaan tersebut. Permintaan terakhir sahabatnya itu. Permintaan seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya.
"besok aku pulang ke Bandung.." suara Azam mengagetkan Aril lagi.
"kenapa?" tanya Aril spontan.
"Ibu yang minta. Lagi pula disana aku mungkin akan mendapatkan perawatan yang lebih baik.." jawab Azam, sambil berdiri tertatih.
Aril berusaha membantunya. Sebenarnya sudah dari awal Ibunya meminta Azam agar pulang saja ke Bandung. Tapi Azam bersikeras untuk tetap di Batam, ia hanya ingin memastikan kalau Aril benar-benar memenuhi permintaannya.
"aku harap, tak lama lagi aku sudah mendengar kabar baik dari kamu, Ril.." ucapnya sambil berjalan menuju kamarnya.
*************
Seminggu kemudian, Aril mendapat kabar dari Ibu Azam, kalau Azam masuk rumah sakit lagi. semenjak di vonis, Azam memang sudah sering keluar masuk rumah sakit. Sebenarnya dokter menganjurkan untuk Azam dirawat inap, tapi Azam selalu menolak.
"aku tak mau menghabiskan masa akhir hidupku, hanya dengan berbaring di rumah sakit.." alasannya.
"keadaan Azam makin parah, Ril. Dia sudah tidak sadarkan diri. Kamu harus segera pulang ke Bandung.." suara parau Ibu terdengar di telinga Aril melalui telepon selulernya.
Segera Aril berkemas dan menuju bandara.
Sesampai di rumah sakit tempat Azam dirawat, Aril disambut dengan tangis histeris sang Ibu. Tangisan Ibu memuncah dalam dekapan Aril.
Aril mencoba menenangkan Ibu. Bagi Aril, Ibu Azam sudah dianggap seperti Ibunya sndiri. Beliau yang selama ini merawat dan membesarkannya.
"Azam kenapa, Bu?" tanya Aril, matanya mulai berkaca.
"Azam sudah tiada, Ril." Bapak yang menjawab, dengan suara terbata. Beliau berdiri tak jauh dari mereka. Aril tak tahu apa yang ia rasakan saat itu. Tubuhnya terguncang. Hatinya meringis. Ia tahu ini bakal terjadi, tapi tetap saja ia belum siap.
Air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Pelan Ibu melepaskan dekapannya yang masih dalam isak tangisnya. Aril menghempaskan kepalanya ke dinding ruang tunggu rumah sakit itu.
Tangisnya benar-benar tumpah. Ada begitu banyak kekesalan dalam hatinya.
"kita harus ikhlas, Ril.." pelan suara Bapak, mencoba menenangkannya. Tapi Aril belum bisa terima. Aril belum bisa menerima kepergian Azam. Permintaan terakhir Azam bahkan belum bisa ia penuhi.
Bapak merangkulnya. Aril tahu, sebenarnya yang paling kehilangan saat itu adalah Bapak. Karena Bapak orang pertama yang menolak kepergian Azam ke Batam. Namun karena keinginan Azam yang begitu kuat, akhirnya Bapak luluh.
Dan Sekarang Azam telah pergi untuk selamanya.
Suasana pemakaman itu begitu mengharukan, terutama bagi Aril. Matanya memerah, semalaman ia tidak tidur. Memikirkan hal apa yang terbaik yang harus ia lakukan selanjutnya. Kepergian Azam benar-benar membuatnya terpukul, seperti ia terpukul saat kehilangan kedua orang tuanya dulu. Kepergian Azam benar-benar membuat ia semakin bingung dengan perasaannya. Terutama tentang Rani. Haruskah ia menceritakan semuanya? Atau ia biarkan saja, kisah cinta Azam dan Rani tenggelam oleh waktu? Hatinya merintih.
Para pelayat sudah mulai meninggalkan pemakaman, namun Aril masih berdiri di dekat pusara itu. Begitu berat rasanya kakinya melangkah. Ketika Aril hendak membalikkan badan, tiba-tiba sekelebat ia melihat seorang gadis berkerudung hitam dari kejauhan. Melihat Aril yang menatapnya, gadis itu seperti kaget dan segera memutar tubuhnya, lalu berjalan tergesa meninggalkan perkuburan itu.
Aril hendak mengejar, namun sebuah tangan menuntunnya untuk kembali ke mobil.
Aril sangat yakin ia tidak salah lihat, gadis yang dilihatnya tadi adalah Rani.
Bagaimana Rani bisa berada disini? Bagaiman ia tahu tentang kematian Azam? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikirannya, yang membuatnya semakin bingung.
***************
"Beni yang cerita.." pelan suara Rani.
"Beni?" Aril mengernyitkan kening.
"teman kerjanya Azam.."
"oh.." Aril membulatkan bibir, "ia cerita apa aja?" tanya Aril penasaran.
Sudah lebih sebulan semenjak Azam meninggal. Sebulan Aril hanya mengurung diri di Bandung. Ia enggan kembali ke Batam. Meski hatinya masih bertanya-tanya, tentang kehadiran Rani pada saat pemakaman Azam. Tapi hatinya masih bimbang.
Ia juga tidak berniat menghubungi Rani, meski hatinya menginginkannya.
Hingga tiba-tiba Rani menghubunginya, meminta untuk bertemu dengannya. Segera ia berangkat ke Batam, untuk menemui Rani. Aku harus menyelesaikan ini semua. Bathinnya bertekad.
"tidak banyak, sih. Beni cerita kalau sebenarnya Azam terkena kanker, ia juga baru tahu. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa. Sampai ia tahu, kalau Azam meninggal dan ia mengabarkanku segera. Pagi itu aku langsung berangkat ke Bandung.." jelas Rani.
Aril menarik napas panjang, ia masih melihat guratan bekas di mata Rani. Ia yakin, Rani sangat terpukul dengan kepergian Azam.
"aku menangis semalaman, Ril. Bahkan berminggu-minggu aku masih menangisi semua itu..." ucap Rani lagi. "aku tak tahu, mana yang paling menyakitkan dari semua ini. Antara aku kehilangan Azam tanpa kabar atau aku harus kehilangan Azam untuk selamanya.." lanjutnya pilu.
Aril menghempaskan napasnya. Bebannya masih terasa berat, "lalu apa yang membuat kamu menghubungiku dan meminta kita untuk bertemu?" tanya Aril akhirnya.
"aku hanya penasaran. Apa sebenarnya hubunganmu dengan Azam? Sampai kamu juga berada di pemakaman Azam?" Rani bertanya, sambil menatap tajam ke arah Aril yang tertunduk lesuh.
Aril tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia memang sempat terpikir untuk berterus terang kepada Rani. Tapi bukan sekarang. Aril harus menunggu waktu yang tepat.
Namun sekarang rasanya tak ada lagi yang harus ia sembunyikan. Ia harus menceritakan semuanya.
"begitulah, Ran. Aku tak mungkin menolak permintaan Azam.." ucap Aril mengakhiri ceritanya.
Rani terdiam cukup lama. Ia tatap lelaki di depannya, mencoba memahami setiap cerita yang diucapkannya. Berbagai perasaan berkecamuk di benaknya. Hatinya merintih, seakan sembilu menggores lukanya yang belum kering. Tapi..
"mengapa kamu baru cerita sekarang?" hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
"seperti yang aku ceritakan, Ran. Itu semua atas permintaan Azam.."
Rani menelan ludah pahit.
"kamu tahu, Ril. Semenjak kehadiran kamu, mengisi hari-hariku. Perlahan aku mulai melupakan sosok Azam. Perlahan aku mulai ingin membuka hatiku untuk kehadiran lelaki lain. Terus terang aku mulai tertarik padamu, dan aku mencoba menambal celah-celah dihatiku yang koyak akibat luka akan kehilangan Azam. Meski aku tahu itu tidak mudah.." Rani berujar, sambil sesekali memainkan jari jemarinya sendiri.
"tapi setelah mendengar semua cerita kamu tadi. Sekarang aku ragu, apa aku benar-benar tertarik padamu? Apa kamu benar-benar mampu menggantikan sosok Azam di hatiku?" lanjut Rani lagi, yang membuat Aril mendongak menatapnya.
"aku benar-benar telah jatuh cinta padamu, Ran. Terlepas dari permintaan Azam atau bukan. Aku jatuh cinta padamu, karena kamu wanita yang mandiri dan tangguh.." Aril tak hendak melepaskan tatapannya.
Rani tercenung sesaat. Hatinya benar-benar kacau. Semua yang Aril ceritakan tadi, benar-benar telah merubah pendiriannya.
"maaf, Ril. Aku harus pergi. Mungkin akan lebih baik untuk kita tidak bertemu lagi.." Rani berujar sambil bangkit dari tempat duduknya. Lalu kemudian melangkah, meninggalkan Aril sendirian.
Aril hanya terdiam. Ia tatap kepergian Rani yang semakin menjauh. Tiba-tiba sebuah rasa bersalah, menyeruak dihatinya. "maaf.." ucapnya pelan, tak terdengar siapa-siapa, dan entah kepada siapa?
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar