Sedih banget, “Aku gak sekolah lagi, Ayah. Tapi gak apa-apa, kok…”

Selesai melaksanakan sholat ied, Al, anak laki-laki yang berusia sekitar sembilan tahun itu, melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ujung gang yang berada tak jauh dari masjid tempat ia sholat tadi. Kaki kecil itu melangkah tertatih.

Hati Al bergemuruh, menahan rindu. Ditatapinya sandal jepit yang dipakainya, ada lobang kecil dihampir setiap ujung jarinya. Al hanya tersenyum kecil melihat itu, ia merasa lucu.

Kemudian tatapannya dialihkan kearah sarung bermotif kotak-kotak warna jingga bercampur abu-abu yang dipakainya. Senyumnya mengembang lagi, sarung itu ia temukan di dekat jembatan. Ada yang sengaja membuangnya disana. Al memungutnya, karena sarungnya masih bisa dipakai, meski ada sobekan panjang dibagian atasnya. Tapi kan gak kelihatan, pikirnya.

Baju yang dipakainya warna biru muda, sebuah baju kemeja. Itu baju baru yang dibelikan Ayahnya, untuk lebaran tahun lalu. Mengingat hal itu, Al semakin melebarkan langkahnya, tujuannya semakin dekat.

Sesampai di gerbang, Al berhenti sejanak sambil membaca do’a yang pernah ia pelajari untuk memasuki sebuah pemakaman. Yah, yang dituju Al adalah sebuah pemakaman.

Al semakin memacu langkahnya, hingga ia sampai disebuah kuburan yang masih baru. Di samping kuburan baru itu terdapat, sebuah kuburan yang sudah cukup lama. Al segera duduk diantara dua kuburan tersebut. Tak pedulikan kain sarung yang dipakainya, kotor oleh tanah lumpur kuburan tersebut. Al mengusap kedua batu nisan yang terbuat dari papan tersebut. Yang satu masih kelihatan baru, yang satu lagi, sudah tidak utuh lagi karena lapuk dan dimakan rayap.

“Al ada kabar gembira, buat Mak. Buat Ayah juga.” Katanya pelan, “Al tahun ini puasanya lancar, gak ada bolong-bolongnya, Mak. Sama kayak tahun kemaren, Yah.” Al melanjutkan lagi sambil menatap bergantian kedua kuburan tersebut.

“Al senang, bisa menamatkan puasa lagi tahun ini. Meski Al gak dapat hadiah apa-apa. Gak ada baju baru buat lebaran juga gak apa-apa. Yang penting Mak dan Ayah, bisa bangga melihat Al yang puasanya lancar. Iyakan, Yah? Ayah kan dulu pernah ngomong gitu sama Al.”

“gak seperti Dian, tetangga kita dulu, yang katanya akan dikasih hadiah Hp baru kalau puasanya lancar. Juga seperti Alim yang dapat dua baju baru tahun ini. Dita juga, Yah. Dia dapat sepeda baru lagi tahun ini. Senang deh melihat mereka. Atau si Adit, Yah. Katanya tahun ini dia mau liburan ke Batam, karena puasanya lancar. Batam! Yah. Itu salah satu kota impian yang ingin Al kunjungi. Do’a kan Al ya Mak, Yah. Moga suatu saat nanti bisa ke Batam…”

“Al gak sedih kok, Yah. Al gak nangis juga. Al kan kuat. Seperti kata Ayah, Al gak boleh cengeng. Al harus tetap tegar.” Al mencoba membersihkan beberapa helai daun yang berada diatas kedua pusara tersebut.

“tahun ini Al berbukaya sendirian aja, Yah. Sahurnya juga. Gak seperti tahun kemarin. Tahun kemarin kan masih ada Ayah. Sekarang Ayah lebih memilih untuk ikut Bersama Emak. Al gak apa-apa, Yah. Ditinggal sendiri. Kan kasihan Mak, udah lima tahun, kata Ayah, Emak tidur sendirian disini. Sekarang Mak sudah ada temannya disini bersama Ayah…”

“Yah, sekarang Al udah empat bulan gak sekolah. Kata Ibu guru, Al udah empat bulan gak bayar uang sekolah, jadi gak boleh sekolah lagi. Gak apa-apa, Yah. Al gak sekolah lagi. Al kan udah kelas lima, Yah. Udah bisa baca juga. Kata Ayah, yang penting bisa baca, biar gak ditipu orang.”

“Al gak apa-apa gak sekolah lagi, Yah. Kan sepatu yang Ayah beli dua tahun lalu udah bolong-bolong, baju sekolah Al juga udah pada sempit semua. Kan gak mungkin Al sekolah pakai sandal dan pakai baju ini..” Al menunjuk baju yang ia pakai.

“Al gak apa-apa gak sekolah lagi, Yah. Jadi sekarang Al berangkat kerjanya bisa dari habis subuh. Al bisa kerja seharian. Gak harus mikirkan pelajaran lagi. Gak harus mikirin PR lagi. Oh, yah, Mak. Ayah. Sekarang Al kerja jadi tukang semir sepatu. Al kerja di depan Gedung tinggi yang megah itu. Dulu Ayah kan pernah bilang, kalau suatu saat nanti Al bakalan bekerja di Gedung itu. Sekarang Al udah kerja disana, Yah. Tapi Al hanya berada diluar pagarnya saja, Yah. Sambil nunggu orang-orang buat semir sepatu.”

“Al hebat ya, Yah. Bisa mendiri. Bisa kerja sendiri. Kata pak Somat gitu, Yah. Pak Somat itu yang jadi satpam di Gedung itu, Yah. Pak Somat sangat baik sama Al. Beliau sering traktir Al makan siang, sehabis sholat Dzuhur.”

“Al sekarang sholatnya udah gak bolong-bolong lagi. Al juga setiap malam baca Qur’an dan kirim do’a buat Mak dan Ayah. Kata pak Ustadz kalau Al selalu do’a kan Mak dan Ayah, Mak dan Ayah bakal selalu tersenyum. Al hanya ingin Mak dan Ayah selalu tersenyum…”

“Al udah tiga hari ini tinggal dibawah jembatan yang ada dipinggiran kota itu, Yah. Karena Al udah sebulan gak bisa bayar sewa rumah kontrakan kecil kita lagi. Semua barang dirumah kita, sudah Al jual. Buat bayar kontrakan, sekarang gak ada lagi barang yang bisa Al jual.”

“Buk Ros, menyuruh Al pergi, karena ada yang mau nyewa katanya. Al gak apa-apa tinggal dibawah jembatan, Yah. Yang penting Al gak kehujanan. Al ada teman juga disana. Sama-sama tinggal disana. Mereka baik kok, Yah. Sering bantu Al juga.”

“Al pengen deh, Yah. Silahturrahmi sama keluarga kita. Tapi Al kan gak ada yang kenal, Yah. Kata Ayah, semua keluarga Ayah ada dikampung, keluarga Mak juga. Sejak Al lahir, kita kan gak pernah pulang kampung. Jadi Al gak tahu, mau silahturrahmi ke rumah siapa. Paling juga ke rumah pak Somat, tapi Al juga gak tahu rumahnya.”

“kata pak Somat, dulu Ayah sering main ke rumahnya. Waktu masih sama-sama kerja di pabrik. Al pernah diajak ke rumahnya. Tapi Al gak mau, Yah. Kata Ayah dulu, kita gak boleh ngerepotin orang lain. Kita harus mandiri.”

“Al gak sedih kok, Yah. Al gak pernah nangis lagi sekarang. Al kan kuat, seperti Ayah. Al pernah digangguin preman, Yah. Dimintain uang, tapi Al bilang kalau Al anak Ayah. Orang itu gak jadi minta uang, ia bilang Ayah dulu pernah bantu dia. Ayah orang baik, karena itu lah Al jadi gak cengeng sekarang..”

“Al ingin seperti Ayah. Al sayang Ayah. Sayang Mak juga. Tapi Al gak bisa setiap hari jengukin Mak dan Ayah disini. Karena Al harus kerja. Al mau ngumpulin uang yang banyak. Biar nanti bisa bikin batu nisan yang bagus buat Mak dan Ayah, kayak kuburan yang lain.”

“Al gak sedih kok, Mak. Gak nangis juga. Al harus kuat. Al ingat, waktu Mak pergi dulu, Ayah gak nangis. Karena Ayah kuat. Al juga gak nangis, waktu Mak pergi. Waktu Ayah pergi juga, Al gak nangis. Al kan masih bisa ngobrol sama Mak, sama Ayah. Tapi Al gak bisa sering datang kesini untuk ngobrol, karena sekarang Al tinggalnya jauh…”

“terkadang Al merasa capek juga, Yah. Pengen juga Al istirahat, kayak Mak dan Ayah sekarang. Al pengen tidur bareng Mak dan Ayah disini. Al lelah sendirian, Mak. Al cuma mau ngobrol, Mak. Al mau ngobrol sama Ayah, sama Mak setiap hari…”

“udah dulu ya, Mak. Ya, Ayah. Al mau pamit dulu. Al mau mulai kerja lagi hari ini. Mumpung orang-orang lagi ramai sekarang. Mak dan Ayah kan juga mau istirahat. Al pasti datang lagi nanti. Selamat lebaran Mak, Ayah. Mohon maaf lahir bathin…”

Selesai berucap begitu, Al bangkit berdiri. Ditatapnya kedua pusara itu sekali lagi. Lalu melangkah ringan meninggalkan perkuburan tersebut. Hatinya lega, bisa berbagi dengan Mak dan Ayahnya. Walau tetes demi tetes air matanya mulai berjatuhan.

“maafkan Al, Mak. Ayah. Sebenarnya Al masih cengeng, masih sering nangis juga. Tapi Al gak ingin Mak dan Ayah jadi sedih, kalau liat Al nangis. Al harus tetap terlihat kuat di depan Mak dan Ayah….” Rintihnya tak kuasa menahan tangisnya.

Air matanya tumpah sepanjang perjalanan. Tangisnya sudah tak bisa ia tahan. Langkahnya kian gontai. Ia merasa begitu rapuh. Tapi Mak dan Ayah tak perlu tahu, rintihnya dalam hati. Dia harus kuat, demi Mak dan Ayah….

******

Sekian ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate