Sebuah cerpen : Asa diujung senja

Hafis menggigit bibirnya sendiri. Hatinya perih. Luka itu terlalu dalam ia rasakan. Ia menarik napas berat.
"maafkan aku, Yu!" Hafis menatap gadis disampingnya, "aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu lemah." lanjutnya pelan.
Gadis disampingnya, hanya menatapnya sekilas. Pandangannya dialihkan kearah ombak air laut yang bergelombang. Tatapannya terlihat kosong, matanya berkaca.
"kamu gak perlu minta maaf, Fis. Kamu gak salah apa-apa dalam hal ini." ucapnya. "kita memang tidak bisa berbuat apa-apa sekarang."

Hafis kembali mengalihkan pandangannya ke depan, ikut menatap luasnya lautan. Beberapa orang terlihat sedang asyik bermain air laut. Beberapa orang lagi saling berkejaran di pinggir pantai. Sungguh suasana sore yang indah. Tapi bagi Hafis, suasana seperti itu justru membuat ia merasa semakin sakit.
Sekelebat kisah cintanya dengan Ayu, gadis yang berada di sampingnya sekarang, melintas di benaknya.

Hampir dua tahun mereka manjalin hubungan indah. Dua tahun yang teramat manis bagi Hafis. Berawal dari perkenalan mereka yang tak sengaja. Pada saat pesta pernikahan kak Ratna, kakak Hafis satu-satunya.
"sendirian?" sapa Hafis waktu itu, melihat seorang gadis yang memiliki kecantikan alami bak seorang gadis desa yang lugu, yang duduk sendirian diantara hiruk pikuknya sebuah pesta.
Gadis itu terlihat kaget, namun segera ia tersenyum, "bareng teman-teman, sih. Tapi mereka lagi sibuk berpose disana.." ia menjawab santai, sambil mengarahkan pandangannya kearah teman-temannya yang sedang asyik berpose ria diatas pelaminan.

Hafis ikut mengarahkan pandangannya kesana dan tersenyum, "kamu gak ikutan?" tanyanya.
Gadis itu menggeleng. Kemudian spontan bertanya, setelah melihat cowok yang belum ia kenal itu sudah duduk dikursi di depannya, "kamu?"
"oh. yang jadi pengantin itu kakakku." jawabnya. "kamu kenal kak Ratna?" lanjutnya bertanya.
Gadis itu mengangguk, "kak Ratna dulu pernah KKN di desa kami." balasnya.
"oh. ya. Saya Hafis." ia berujar sambil menyodorkan tangan. Gadis itu menatap cowok bermata sendu itu sekilas, kemudian menyambut tangan itu.
"Ayu.." ucapnya terdengar merdu.

Begitulah awalnya. Pertemuan tak sengaja itu telah menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka berdua. Berawal dari saling tukar nomor handphone, mereka jadi lebih sering saling berhubungan. Hafis bahkan jadi sering berkunjung ke desa tempat Ayu tinggal, yang berjarak kurang lebih 40 km dari kota tempat ia tinggal. Mereka sepakat untuk menjalin hubungan asmara, meski secara diam-diam, karena Ayu belum berani memperkenalkan Hafis pada keluarganya, terutama pada Ayahnya.
Ayu tahu betul bagaimana watak Ayahnya. Meski Ayu sebenarnya sudah cukup dewasa, 22 tahun usianya saat itu.

Mereka sering bertemu, bahkan hampir setiap minggu, ditepian pantai yang berada tidak begitu jauh dari desa tempat Ayu tinggal. Hubungan mereka semakin serius. Hafis sangat bahagia dengan semua itu. Tapi sekarang...

"aku benar-benar tak bisa menolak perjodohan ini, Fis." Ayu membersit hidungnya yang berair, "keputusan Ayah sudah bulat. Tak ada satupun yang bisa menolaknya."
Miris hati Hafis mendengar itu semua. Dua tahun terindah dalam hidupnya, harus berakhir dengan begitu menyakitkan.
Mereka datang ke pantai sore tadi, sesuai perjanjian. Hafis pikir, sore ini, ia akan menikmati sore yang indah, seperti sore minggu-minggu sebelumnya. Tapi ia justru mendengarkan kabar yang paling menyakitkan. Ayu dengan terbata menceritakan, kalau ia akan dinikahkan oleh Ayahnya dengan anak seorang juragan tanah di desanya. Pernikahan itu akan dilangsungkan bulan depan.
"Ayah punya banyak hutang pada juragan itu, jalan satu-satunya untuk melunasi hutang itu, hanyalah dengan menjodohkanku dengan anak juragan itu.." Ayu mengakhiri kalimatnya dengan beberapa butir air matanya yang jatuh menetes.

"aku harap kamu tidak membenciku setelah ini, Fis." suara Ayu terdengar serak.
Hafis kembali menatap gadis itu, ia tahu apa yang dirasakan Ayu saat ini. Sakit yang ia rasa, mungkin tak sebanding dengan apa yang Ayu rasakan. Bagaimana mungkin ia membenci gadis yang sangat ia cintai itu. Hafis hanya membathin. Ia tak berniat menjawab ucapan Ayu barusan.

"bagaimana kalau kita kawin lari?" Hafis berujar, setelah cukup lama mereka terdiam.
Spontan Ayu menatap cowok disampingnya, cowok yang sangat ia cintai itu.  Masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Ditatap seperti itu Hafis berujar lagi, "maaf, Yu. Aku hanya tak ingin kehilangan kamu.."
"Hutang Ayah sudah terlalu banyak. Jika aku tidak jadi menikah, maka itu sama saja aku membiarkan Ayahku dipenjara.." Ayu menjawab juga akhirnya.
Hafis tergugu lagi. Hatinya semakin sakit. Terpikir olehnya untuk membantu melunasi hutang-hutang Ayah Ayu, tapi pasti hutang itu sangat banyak. Ia jelas tidak punya uang. Kehidupannya sendiri pun tidak jauh lebih baik. Ayahnya hanya seorang satpam disebuah Bank. Untuk kuliahnya saja, Hafis sering terlambat membayar uang semester.

"maafkan aku, Fis." Ayu berujar sambil berdiri. "aku kesini hanya ingin menyampaikan itu." lanjutnya. Sekali lagi ia melihat kearah Hafis, yang masih duduk tertunduk. "mulai besok kita tidak bisa bertemu dan berhubungan lagi..".
Hafis menengadahkan kepalanya, melihat kearah Ayu yang berdiri memunggunginya. Ia tak menyangka kisah cintanya akan berakhir tragis seperti ini. Tapi Hafis coba menabahkan hatinya.
Mungkin benar cinta tidak harus saling memiliki. Bisik hatinya. Mungkin benar mereka saling mencinta, tapi tidak untuk bersama selamanya. Mereka memang saling mencintai. Tapi mereka tetap saja tidak berjodoh. Hafis terus saja membathin. Mengiringi langkah Ayu yang dengan pelan tapi pasti pergi meninggalkannya sendirian, di ujung senja yang begitu tamaram. Asanya telah sirna. Baginya tidak ada lagi keindahan di pantai itu, yang ada hanya seribu kenangan yang terlalu pahit untuk ia kenang.

******

Setahun berlalu, bayangan kenangan indahnya dengan Ayu masih sering melintas dalam pikiran Hafis. Dia belum benar-benar mampu melupakan semuanya. Meski hatinya sudah mengikhlaskan Ayu. Tapi cinta dan rasa luka yang ada dihatinya tidak mudah ia hapus. Baginya Ayu adalah hal termanis yang pernah singgah dalam hidupnya.

Hafis melangkah pelan menuju kantin kampus, perutnya sudah rewel sejak tadi. Ia menatap jam ditangannya. Jam dua belas teng. Beberapa meter menjelang ia sampai, sebuah suara menghentikan langkahnya, "maaf, kak. Mau tanya. Kalau mau ke musholla lewat mana, ya?" lembut suara itu, Hafis memutar tubuhnya. Seorang gadis cantik berhijab, berdiri didekatnya tersenyum.
Hafis mengerutkan kening, "kamu anak baru?" tanya Hafis sedikit heran.
Gadis itu menggeleng. "saya bukan mahasiswi sini, kak." jawabnya.
Hafis membulatkan bibir. Kemudian mengarahkan telunjuknya sambil berucap, "tuh disana. Kamu ikuti saja jalan itu, pasti ketemu. Mushola ada dibalik gedung itu."
Gadis itu mengarahkan pandangannya, kemudian mengangguk. "terima kasih, kak." ucapnya sambil mulai melangkah.
"ei, tunggu!" ucapan Hafis membuat gadis itu membatalkan langkahnya dan kembali menatap Hafis. "kalau kamu bukan mahasiswi sini, lalu sedang apa kamu disini?" tanya Hafis penasaran.
Gadis itu tertunduk, kemudian buru-buru ia memutar tubuhnya. "maaf, kak. Saya buru-buru," ucapnya sambil terus melangkah dengan cepat.
Hafis hanya terlongo. Aneh! Pikir Hafis. Ia memutar tubuh dan melangkah menuju kantin.

Selesai makan, Hafis hendak ke mushola untuk melaksanakan sholat, meski sudah terlambat. Tak apa-apalah terlambat dari pada tidak sama sekali. Pikirnya.
Hafis memang sering terlambat untuk melaksanakan perintah agamanya yang satu itu. Tapi yang pasti ia tak pernah meninggalkannya.
Selesai sholat, Hafis merasa sedikit lega. Ia hendak langsung pulang. Tiba-tiba ia melihat gadis yang tadi bertanya padanya, termenung sendiri di depan teras mushola. Dengan rasa masih penasaran, Hafis mendekati gadis itu.
"kamu masih disini?" pertanyaan Hafis membuat gadis itu terlonjak kaget. Ia menatap Hafis sesaat.
"iya, kak."
"menunggu seseorang?" tanya Hafis lagi.
Gadis itu menggeleng lemah.
"aku sedang mencari seseorang, kak. Katanya ia kuliah disini. Namanya David. Kakak kenal?" ucap gadis itu kemudian.
Hafis coba mengingat-ingat seseorang, kemudian berucap, "ada beberapa orang bernama David disini. Ciri-cirinya gimana?"
"kurang jelas, kak. Aku kenal dia hanya lewat facebook, belum pernah ketemu langsung. Dia ambil barang sama saya, baju. Barang sudah saya kirim, tapi uangnya sudah seminggu gak ditransfer. Aku telpon sudah tidak aktif lagi. Akun saya juga diblok. Yang aku tahu ia kuliah disini, itu saja." jelas gadis itu panjang lebar.
Hafis tersenyum sinis, "kamu penjual online?"
Gadis itu mengangguk.
"ya udah. Ikhlaskan saja. Orang kayak gitu mah banyak di Indonesia. Penipuan itu namanya. Bisa aja akunnya juga palsu."
"iya sih, kak. Maunya diikhlaskan. Tapi apa salahnya saya mencoba berusaha, mana tahu masih rejeki saya. Dan bisa ketemu orangnya disini."
Spontan Hafis tertawa.
Gadis itu melotot menatap Hafis, "kenapa kakak ketawa?" tanyanya sedikit gondok.
"habis kamu lucu, sih. Masa' nyari penipu di mushola?!" ucap Hafis menghentikan tawanya.
Gadis itu hanya merengut, "tadi saya udah keliling kok, memang gak ketemu, ya udah saya istirahat dulu disini, sebelum pulang."
"oh.." balas Hafis masih dengan tersenyum. "rumah kamu dimana?" lanjutnya.
Gadis itu menyebutkan alamatnya.
"itu daerah dekat rumah saya. Berarti kita tetanggaan dong." ucap Hafis. "Pulang bareng, yuk!" ajaknya kemudian.
Gadis itu sekali lagi menatap Hafis. Ia juga sudah berniat untuk pulang. Jadi tak ada salahnya. Pikirnya.

Mereka berjalan beriring. Jarak rumah Hafis dengan kampus memang tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dengan jalan kaki.
"oh. ya. Kita belum kenalan." ucap Hafis sambil terus melangkah. "saya Hafis.." lanjutnya.
"Oktavia! Panggil Via aja.." balas gadis itu.
"kamu kuliah atau.."
"saya kuliah sambil jualan online, kak. Masih semester dua sih.."
"kuliah dimana?"
"UIN, kak."
"wah jauh, ya. Kenapa gak pilih di dekat rumah aja?"
"kebetulan diterimanya disana, kak. Lagian itung-itung ganti suasana.."
"he..he..he.. Iya juga, ya.." balas Hafis tersenyum manis.

Hari-hari selanjutnya mereka jadi sering bersama, jalan bareng, makan bareng atau sekedar belajar bareng. Via belajar banyak dari Hafis.
Hafis sendiri begitu terbuka menerima kehadiran Via. Hatinya yang pernah terluka, perlahan mulai mengering. Hari-harinya sudah mulai ceria lagi dengan kehadiran Via.

"saya mau ngomong, boleh?" tanya Hafis, mereka duduk di sebuah taman.
"apa?" tanya Via santai.
"aku suka sama kamu, Vi." tegas suara Hafis. Via tertegun sejenak, lalu menatap mata Hafis.
"kamu mau gak, jadi pacarku?" lanjut Hafis to the point. Sudah hampir lima bulan mereka saling kenal dan jalan bareng, Hafis tak bisa memungkiri kalau ia telah jatuh cinta lagi.
Via masih terdiam, diteguknya minuman yang dari tadi dipegangnya. Harus ia akui, kalau ia juga menyukai sosok Hafis. Hafis yang memiliki senyum manis itu, telah mampu membuka hatinya. Tapi ia pikir tidak akan secepat ini.
Namun akhirnya ia mengangguk. Seraut senyum kebahagiaan mencuat di bibir Hafis. Via melihat senyum itu semakin manis. Hafis merangkul tubuh ramping itu dalam dekapannya. Via menyandarkan tubuhnya ke dalam dekapan tubuh atletis milik Hafis.

Hari-hari berikutnya mereka lalui dengan panuh kebahagiaan. Hafis telah mampu melupakan semua kisah cintanya di masa lalu. Baginya Ayu sekarang hanyalah sebuah masa lalu. Dan kehadiran Via telah membuka lembaran baru dalam kisah cintanya. Luka dihatinya benar-benar telah memudar, tergantikan oleh cinta Via yang begitu indah.

*******

"kamu kenal, kak Ayu?" suara Via pelan. Sudah dua bulan mereka pacaran. Mereka bertemu sore itu disebuah kafe, tempat mereka biasa bertemu.
Hafis mengernyitkan kening. Dia berharap bukan Ayu dimasa lalunya yang Via maksud.
"ada banyak Ayu. Ayu yang mana?" tanya Hafis berusaha sesantai mungkin.
"kak Ayu itu sepupu saya, Fis. Kami jarang ketemu, sih. Karena ia tinggal di desa." berdetak jantung Hafis mendengar kalimat itu. "beberapa hari yang lalu, kak Ayu datang ke rumah. nginap disini. Katanya ia mau cari kerja di kota. Tadi malam tak sengaja ia liat photo kita berdua di Hp saya. Ia kaget, dan bertanya tentang hubungan kita. Saya cerita semuanya." Via menghentikan kalimatnya, menatap reaksi Hafis yang tiba-tiba gelisah. "kemudian ia juga cerita tentang kisah cinta kalian dimasa lalu.." suara Via semakin pelan.
Sekuat mungkin Hafis menahan gejolak dihatinya. Lebih dari setahun, ia berusaha menghapus segala kenangannya dengan Ayu. Tapi mengapa dunia menjadi sesempit ini bagi Hafis? Kenapa Via harus sepupunya Ayu? Tanya Hafis membathin.

"sebenarnya pernikahan kak Ayu dibatalkan. Karena pada hari pernikahan, seorang perempuan datang mengaku sebagai tunangannya calon suami kak Ayu. Ia mengamuk sebelum acara ijab kabul dimulai. Akhirnya pihak keluarga membatalkan pernikahan itu." jelas Via lagi, yang membuat Hafis semakin tak karuan. Kalau memang iya, mengapa Ayu tidak mengabarinya? Mengapa Ayu tidak menghubunginya? atau datang ke rumahnya? berbagai pertanyaan justru menghantui Hafis sekarang.
"kak Ayu sengaja tak memberi tahu kamu, Fis." lanjut Via lagi, seakan mencoba membaca apa yang ada dalam pikiran Hafis. "dia malu untuk bertemu kamu lagi, Fis. Dia tahu kamu sangat terluka saat itu, dan mungkin saja kamu sangat membencinya. Untuk itu dia tak berniat untuk mencari atau pun menghubungi kamu.."

"namun sekarang ia ke kota, salah satu tujuannya ialah untuk bertemu kamu lagi. Dia hanya menunggu saat yang tepat untuk bisa menceritakan semuanya sama kamu. Tapi karena ia tahu, kita sudah jadian. Ia memilih untuk mundur dan kembali ke kampung..." Via mengakhiri kalimatnya dengan meremas jemarinya sendiri.

Hafis tertegun mendengar semua itu. Dia pikir kisah cintanya dengan Ayu sudah berakhir. Dan dia telah dengan susah payah membangun kisah cintanya yang baru bersama Via. Tapi mengapa semuanya jadi semakin rumit? Mengapa semuanya harus saling berkaitan? Antara masa lalu dan kisah cintanya yang baru?
Hafis benar-benar dibuat bingung. Hafis menatap Via yang duduk tertunduk disampingnya.
"Aku mencintai kamu, Fis. Apa adanya. Tak peduli juga dengan kisah cintamu dimasa lalu. Tapi rasanya saat ini, aku telah melukai hati kak Ayu." Via berucap lagi.
"ini bukan salahmu, Vi.."
"Iya. Kak Ayu juga bilang begitu. Tapi rasanya terlalu egois, jika aku tetap berusaha untuk bersama kamu. Sementara aku harus melukai hati wanita lain.."
"meski itu berarti, kamu akan melukai hatimu sendiri.."
"entahlah, Fis. Seandainya saja bukan kak Ayu. Mungkin aku juga tidak akan begitu peduli."
"tapi bukannya Ayu sendiri sudah ikhlas?"
"Iya. Dia memang berkata begitu. Tapi aku juga wanita, Fis. Aku tahu persis apa yang kak Ayu rasakan. Lebih dari setahun ia mencoba melupakanmu. Tapi nyatanya ia tak berhasil. Namun sekarang, ia hampir tidak punya harapan lagi, untuk menggapai cinta masa lalunya. Semua itu karena aku.." Suara Via terdengar parau.

"kamu tak harus menghukum dirimu sendiri, Vi.." Hafis coba menghibur. "Ayu hanyalah sepenggal kisah di masa lalu ku. Dan kamu adalah harapan masa depanku.." lanjutnya.
Via menghembuskan napas pendek. Ia tahu Hafis mencintainya. Ia juga percaya, kalau Hafis sudah melupakan kak Ayu. Tapi ia hanya tak ingin merasa bahagia diatas penderitaan orang lain. Apa lagi orang itu kakak sepupunya sendiri.

Senja mulai meremang diluar. Mentari mulai meredup. Suasana kafe itu justru kian ramai.  Via meneguk minuman terakhirnya. Lalu ia berdiri, "aku pulang. Mungkin untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu.." ucapnya sambil melangkah keluar.
Hafis menatap heran. Ia tak sempat berkata apa-apa. Via sudah berada didepan pintu keluar. Hafis berdiri lalu berusaha menyusul. Tapi Via sudah menyetop sebuah taksi dan bergegas masuk ke dalam. Taksi itupun melaju, Hafis hanya mampu menatap dari pintu kafe itu dengan perasaan tak karuan...

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate