Gadis kecil itu melirik dagangannya sekilas. Tak satupun dagangannya laku hari ini. Meski ia sudah berkeliling sekian jauh, bahkan lebih jauh dari hari biasanya.
Matahari sudah mulai meninggi, biasanya dagangannya sudah laku lebih dari separoh. Sampai siang dagangannya akan habis.
Tapi hari ini tak ada satupun orang-orang yang mau melirik dagangannya, bahkan pelanggan yang biasanya setiap hari membeli kue nya, hari ini tidak ada yang membeli.
"maaf, dek. Tadi Ibu udah beli kue di warung.." salah seorang Ibu langganannya beralasan. Gadis kecil itu hanya menghela napas, dia melanjutkan langkahnya.
Tapi gadis kecil itu belum berputus asa. Dia terus menangkah sambil menjajakan dagangannya.
"kue, kue..." serunya disepanjang gang yang ia lewati. Namun tetap saja tidak ada satu pun yang memanggilnya untuk membeli.
Gadis kecil itu merasa lelah, kemudian ia istirahat sejenak di ujung gang, tak jauh dari jalan besar. Hiruk pikuk kendaraan terdengar sangat ramai di telinganya.
Kue-kue nya sudah mulai dingin.
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. "adek jualan kue?" tanya orang itu pelan.
Gadis kecil itu menatap kearah orang itu, seorang laki-laki muda dengan pakaian rapi, duduk disampingnya.
Gadis itu menggangguk. "boleh saya coba?" tanya laki-laki itu lagi.
"boleh om.." balas gadis itu, sambil membuka tutup keranjang tempat kuenya.
Laki-laki itu mengambil sebuah kue tersebut dan mulai memakannya.
"hhmm.. enak kuenya.." ujar laki-laki itu, "kamu jual berapa satu bijinya?"
"seribu, om.." jawab Gadis itu tersenyum senang.
"oh.. siapa yang bikin?" tanya laki-laki itu lagi, sambil terus mengunyah.
"Ibu, om.."
"kamu gak sekolah?"
"gak, om. Kata Ibu, biar adik-adik saja yang sekolah.."
"adik kamu ada berapa?"
"dua, om. Yang kecil belum sekolah. Yang satu udah kelas dua SD."
"kamu usianya berapa?"
"sepuluh tahun.."
"selain buat kue, Ibu kamu kerja apa?"
"Ibu gak kerja. Ibu hanya bisa bikin kue."
"kenapa?"
"Ibu mengalami kecelakaan dua tahun yang lalu. Kakinya harus di amputasi. Sekarang Ibu gak bisa jalan. Ibu hanya bisa bikin kue dirumah, sambil saya bantu."
"Ayah kamu?"
"udah meninggal, om. Waktu kecelakaan sama Ibu.."
Laki-laki itu menatap gadis itu dengan rasa iba.
"kamu gak malu, jualan seperti ini?" tanya laki-laki itu lagi.
"gak, om. Kata Ibu, yang penting kita gak mengemis.."
"tadi saya lihat kamu murung. Kenapa?"
"hari ini kue saya belum ada yang beli. Padahal Ibu lagi butuh tambahan uang, buat bayar kontrakan."
Laki-laki itu manggut-manggut kecil. Rasa iba nya semakin menjadi. Ia membayangkan anak sekecil itu sudah harus bersusah payah untuk mencari uang, dengan berjualan kue keliling. Semua itu ia lakukan untuk membantu Ibunya yang cacat.
Laki-laki itu berpikir keras sejenak.
"kamu lihat toko diseberang sana?" tanya laki-laki itu kemudian.
Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia melihat dis seberang ada sebuah toko roti yang sedang ramai.
"itu toko om.." ujar laki-laki itu lagi.
Gadis kecil itu tertunduk, ia tatap kue-kuenya. Tentu saja, dibandingkan roti-roti yang ada di dalam toko tersebut, kuenya tidak ada apa-apanya.
"roti-roti disana pasti mahal-mahal, om. Tapi masih banyak yang beli. Saya hanya jual kue ini seribu, tetap saja tidak ada yang mau beli.." ucap gadis itu lemas.
Laki-laki muda itu menyentuh pundak gadis kecil itu. "berdagang itu, bukan hanya soal harga. Tapi juga kualitas.."
"tapi kue buatan Ibu ku enak kok, om. Banyak yang bilang begitu.." balas gadis itu sedikit sengit.
"iya. Om tahu. Kue kamu memang enak. Tapi pembeli juga melihat kemasannya. Kamu jualan kue hanya memakai keranjang begini. Orang-orang jadi ragu, kue kamu itu bersih atau tidak."
"bersih kok, om.."
"iya. Itu menurut kamu. Tapi tidak semua orang menilainya begitu.."
"selama ini orang-orang banyak yang beli kue saya, hari ini saja yang belum laku.."
"itu karena orang-orang banyak yang kasihan melihat kamu. Masih kecil begini sudah jualan kue. Lagian yang beli pasti kebanyakan orang-orang yang sudah tahu kondisi keluarga kamu.." ucap laki-laki itu pelan.
Gadis kecil itu hanya termangu. Mencoba memahami ucapan laki-laki itu barusan. Harus ia akui, kalau selama ini yang beli kuenya memang orang-orang yang tinggal di komplek perumahannya, dan sebagian besar memang orang-orang yang sudah ia kenal.
"itu namanya strategi pemasaran. Ibu kamu memanfaatkan kamu untuk menjajakan kue, agar orang merasa kasihan dan akhirnya membeli kue kamu.."
"tapi, om.."
"iya. Om tahu. Ibu kamu memang tidak bermaksud begitu. Tapi itu adalah fakta yang terjadi." potong laki-laki itu cepat. "Ibumu gak salah. Kamu juga gak salah. Keadaanlah yang memaksa kalian untuk melakukan semua itu. Om ngerti.." lanjutnya.
Gadis kecil itu terdiam kembali. Otak kecilnya mencoba memahami maksud dari semua perkataan laki-laki muda tersebut. Ada perasaan tersinggung di hati kecilnya. Tapi ia hanya tetap diam.
"lalu sampai kapan kalian akan bertahan dengan kondisi seperti itu?" tanya laki-laki itu.
Gadsi kecil itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti. Yang ia tahu, ia harus berjualan setiap hari, agar bisa menghasilkan uang untuk membeli keperluan hidup mereka sehari-hari. Walau hasil dagangannya hanya bisa untuk membeli bahan-bahan untuk membuat kue, dan sisanya akan habis menjelang malam. Selalu begitu setiap hari. Sementara kebutuhan mereka semakin hari semakin banyak. Tapi gadis itu tidak berpikir sampai sejauh itu. Dia hanya seorang gadis kecil yang berusaha membantu Ibu dan adik-adiknya agar tetap bisa menghasilkan uang.
"kita sama-sama menjual kue. Cuma bedanya, saya memasarkannya dengan cara yang modern. Dan kamu memasarkannya dengan cara tradisional. Tentu saja hasilnya akan jauh berbeda.." laki-laki itu berucap lagi, sambil menatap gadis itu lama.
"maafkan om, ya. Om tidak bermaksud apa-apa. Om hanya mengajarkan kamu beberapa hal dalam hidup. Selain bekerja keras, hidup juga harus cerdas.."
"dulu waktu masih sekolah, saya juga cerdas, om. Saya selalu rangking satu di kelas.." ucap gadis itu, dengan sedikit bangga.
Laki-laki itu tersenyum. "tapi nyatanya sekarang kamu hanya jualan kue, kan?"
Gadis kecil itu tertunduk lesu. "itu artinya kamu belum benar-benar cerdas.." laki-laki itu melanjutkan ucapannya.
"kamu tahu, bagaimana caranya agar kamu semakin cerdas?"
Gadis itu menggeleng lemah.
"kamu harus sekolah!" jawab laki-laki itu.
"saya pengen banget sekolah, om. Tapi kalau saya sekolah, siapa yang bantu Ibu buat jualkan kue-kue nya. Lagi pula Ibu juga tidak mampu bayar sekolah saya.." gadis kecil itu berkata lagi dengan wajah murung.
"kamu mau sekolah lagi?" tanya laki-laki itu.
Gadis itu hanya mengangguk lemah. Ia sadar betul, impiannya untuk bisa sekolah lagi tidak mungkin bisa terwujud. Meski sudah hampir dua tahun ini ia selalu berharap bisa sekolah lagi.
"kamu mau, om kasih tahu caranya, agar bisa sekolah lagi, tapi tetap bisa bantu Ibu kamu berjualan kue?" tanya laki-laki itu dengan mimik serius.
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki itu cukup lama.
"gimana caranya, om?" tanya gadis itu.
"setiap pagi kamu bawa kue jualan yang dibuat Ibu kamu ke toko seberang sana. Kamu titip kue kamu di toko itu, nanti saya suruh karyawan saya membungkus kue kamu dengan rapi, agar lebih menarik. Kue kamu saya beli seribu perbijinya. Saya jual lagi seribu lima ratus, untuk upah bungkusnya. Dan sepulang sekolah kamu bisa mampir lagi ke toko, untuk mengambil uang hasil penjualan kue kamu hari itu. Semakin banyak kue yang kamu jual, semakin besar keuntungan yang kamu dapat."
Gadis itu mengangguk kecil, mencoba memahami lagi setiap kalimat yang diucapkan laki-laki muda tersebut. Meski sedikit bingung, tapi gadis itu paham apa yang dimaksud laki-laki itu.
"lalu sekolah saya, om?" tanyanya.
"kamu gak usah kuatir. Gak usah memikirkan soal biaya sekolah kamu juga. Om yang akan urus semuanya. Om akan membiayai sekolah kamu, sampai kamu bisa mandiri. Dan tolong sampaikan sama Ibu kamu, agar membuat kue lebih banyak dari biasanya serta buatlah kue dengan berbagai jenis.." ucap laki-laki itu sambil mengusap lembut kepala gadis kecil itu.
Setelah berpikir sejenak. Gadis itu akhirnya tersenyum lebar. "ini benaran kan, om?" tanyanya, "saya bisa sekolah lagi..?" lanjutnya sedikit girang.
Laki-laki itu tersenyum lembut dan mengangguk.
"terima kasih, om.." ucap gadis kecil itu, sambil berusaha memeluk laki-laki itu.
Laki-laki muda itu merangkul gadis kecil itu, matanya berkaca. Ia terharu melihat betapa gembiranya gadis kecil itu bisa sekolah lagi.
"dan hari ini, kue kamu om borong semua, biar Ibumu bisa bayar kontrakan." ucap laki-laki itu sambil melepaskan dekapannya. "tapi kamu harus janji sama om. Kalau kamu harus belajar dengan rajin. Dan kamu harus jadi anak yang cerdas.."
"iya, om. Saya akan belajar yang rajin, agar menjadi anak yang cerdas.." Gadis itu berkata penuh semangat.
**************
Gadis kecil penjual kue itu, berlari-lari kecil menuju komplek perumahannya, sambil sedikit bersenandung riang. Hatinya begitu bahagia. Akhirnya ia bisa sekolah lagi, sambil tetap bisa bantu Ibunya berjualan. Ia ingin cepat pulang, ia ingin cepat sampai di rumah. Ia ingin segera menceritakan semua kabar gembira yang ia dapat hari ini, kepada sang Ibu.
Ibunya pasti sangat senang. Pikir gadis kecil itu, sambil terus melangkah.
Sementara itu, dari kejauhan laki-laki muda tersebut menatap kepergian sang gadis dengan perasaan campur aduk. Air mata yang tadinya ia tahan, akhirnya menetes perlahan membasahi pipinya. Pikirannya menerawang. Ia teringat kembali peristiwa dua tahun silam. Peristiwa yang terus membebaninya selama dua tahun ini.
Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Ketika waktu itu laki-laki muda tersebut harus buru-buru pulang kembali, walau ia baru saja sampai ke tokonya. Karena ia baru saja dapat kabar dari Ibunya, kalau Ayahnya tiba-tiba terkena serangan jantung dan harus segera di bawa ke rumah sakit.
Laki-laki muda tersebut menyetir mobilnya dengan kecepatan penuh dan dengan perasaan cemas, takut ia terlambat sampai ke rumah. Sehingga tanpa ia sadari, sebuah sepeda motor, tiba-tiba muncul dari sebuah gang yang membuat laki-laki muda itu kaget dan segera membanting stir mobilnya. Namun ternyata ia sudah terlambat, sepeda motor itu mengenai ban belakang mobilnya, sehingga mengakibatkan sepeda motor tersebut terlempar ke trotoar jalan.
Laki-laki itu semakin kaget, ia termangu beberapa saat. Namun kembali ia teringat akan Ibunya yang sedang menunggunya di rumah, untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit.
Segera laki-laki menginjak pedal gas mobilnya lagi, tak pedulikan keadaan pengendara sepede motor yang menabrak mobilnya. Sekilas laki-laki itu melihat melalui spion mobilnya, orang-orang mulai berkerumunan mendekati pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan tersebut. Laki-laki muda tersebut juga masih sempat melihat, kalau pengendara sepeda motor tersebut ialah seorang laki-laki yang membonceng seorang perempuan. Namun laki-laki itu, terus saja melaju menuju rumahnya, meski dengan perasaan penuh rasa bersalah.
Berbulan-bulan laki-laki muda itu berusaha mencari tahu, tentang korban kecelakaan pada hari itu. Akhirnya setelah dengan sangat susah payah, ia mendapatkan info tentang pengendara sepede motor tersebut, yang dikabarkan meninggal, sedangkan wanita yang diboncenginya mengalami cedera pada kakinya. Laki-laki itu tidak pernah menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Peristiwa hari itu, benar-benar membuat ia terguncang. Meski ia berhasil membawa Ayahnya ke rumah sakit, namun selang beberapa hari, Ayahnya pun akhirnya meninggal karena serangan jantung.
Perasaan sedih karena kehilangan Ayahnya, sekaligus perasaan bersalah karena telah mengakibatkan sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang yang tidak bersalah, selalu menghantuinya sepanjang malam.
Diam-diam laki-laki muda itu, mencari tentang keberadaan wanita yang cedera tersebut. Sampai akhirnya ia tahu, kalau wanita itu ternyata mengalami cacat pada kakinya yang mengakibatkan ia tidak bisa berjalan. Sementara wanita itu masih punya tiga anak yang harus ia besarkan tanpa suaminya yang telah meninggal.
Perasaan bersalahnya kian besar dari hari ke hari, namun ia tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk menembus rasa bersalah tersebut.
Saat laki-laki muda itu tahu, kalau gadis kecil penjual kue tersebut adalah anak dari korban kecelakaan tersebut, ia berusaha mencari cara agar bisa membantu keluarga tersebut.
"gadis kecil penjual kue tersebut tidak boleh tahu. Mereka tidak boleh tahu, kalau aku adalah yang telah mengakibatkan gadis kecil itu kehilangan Ayahnya.." laki-laki itu membathin penuh penyesalan. "biarlah semua tetap seperti ini. Tidak ada yang perlu tahu, karena itu tidak akan merubah apa pun yang telah terjadi.." bathinnya lagi, sambil melangkah meninggalkan gang tersebut menuju tokonya.
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar