Maafkan aku Ibu, Aku terpaksa melakukannya! (part 1)

Aku berjalan gontai, menelusuri trotoar. Hiruk pikuk suara kendaraan berlalu lalang mengiringi langkahku. Sudah hampir jam 8 malam, suara kendaraan semakin ramai, apalagi ini malam minggu.
Pikiranku melayang, menerawang tak tentu arah. Terngiang-ngiang kembali ucapan dokter di rumah sakit sore tadi.

"Ibumu harus segera di operasi..." kata dokter laki-laki itu, "kalau tidak, kami tidak bisa menjamin beliau akan bertahan lebih dari 3 hari." lanjutnya. Aku menangis lagi, mendengar penjelasan itu.
Entah sudah berapa banyak air mata yang aku habiskan, sejak Ibu masuk rumah sakit dan di vonis memiliki kanker serviks. Aku tak tahu, harus mengadu kepada siapa.

Ayahku sudah lama meninggal. Ibu membesarkanku sendiri, sejak kecil. Bekerja sebagai buruh cuci, Ibu hanya mampu membiayai aku sekolah hingga SMA.
Tamat dari SMA, aku mencoba mencari kerja untuk membantu Ibu. Dengan modal ijazah SMA, aku hanya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga toko di sebuah mall, yang gaji nya tak seberapa.
Dari keterangan dokter, sebenarnya Ibu sudah lama menderita penyakit itu, namun Ibu sepertinya memang sengaja menyembunyikannnya dariku. Aku tahu, Ibu tak ingin merepotkan dan membebaniku. Tapi sekarang penyakit Ibu semakin parah dan harus segera di operasi.

"Jika sampai besok pagi, Ibumu tak segera di operasi, kami khawatir beliau tidak bisa bertahan lagi.." dokter itu berujar lagi, ia menatapku tajam.

Aku hanya terdiam, menahan tangisku. Rasanya beban ini terlalu berat untuk kupikul sendiri.

"diperkirakan biaya operasinya sekitar tujuh puluh juta, dan besok uang itu sudah harus ada, paling tidak separohnya. Agar operasi segera bisa kami laksanakan.." ucap dokter itu lagi.
Aku hanya terhenyak, tujuh puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja aku belum pernah seumur hidup.

Apa yang mesti aku lakukan sekarang? Kami tidak punya apa-apa. Bahkan rumah saja kami masih ngontrak. Tapi aku harus menolong Ibuku. Tak peduli bagaimana pun caranya, Ibu harus segera di operasi.
Aku tak mau kehilangan Ibu. Aku harus mendapatkan uang itu. Bathinku meringis.

"apa gak bisa pakai BPJS saja, El..." bisik Reyhan, yang duduk di sampingku. Reyhan adalah sahabatku sejak kecil. Selama ini ia cukup banyak membantu aku dan Ibu. Tapi Reyhan bukanlah dari keluarga berada. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan. Reyhan sendiri juga tidak bisa kuliah, karena tidak ada biaya. Ia terpaksa ikut Ayahnya jadi kuli bangunan.
"kamu tahu, kami gak punya itu, Rey..."
"tapi kan bisa kita urus..."
"Ibuku harus dioperasi besok pagi, Rey. Bukan tahun depan! Kamu tahu sendiri, bagaimana susahnya mengurus hal-hal seperti itu. Apa lagi untuk orang-orang seperti kita.." suaraku sedikit meninggi.
Reyhan kembali bungkam.
Aku tahu Reyhan berniat baik. Tapi pikiran benar-benar kacau.

**********
Aku duduk sendiri, di sebuah bangku halte. Pikiran ku masih sangat kacau, membuatku jadi enggan untuk pulang. Tiba-tiba seseorang memegang pundak ku dari samping. Spontan aku menoleh dan mengerutkan kening. Orang itu, seorang wanita paroh baya, aku mencoba mengenalinya. Tapi pikiran ku terlalu berat. Aku tak mampu mengingatnya.
"kamu Elsa, kan..?" ucap wanita itu. Aku hanya diam, sambil terus menatapnya.
"anaknya Bu Rita?" lanjutnya bertanya lagi.
Kali ini repleks aku mengangguk.
"Saya tante Lina. Masih ingat?" ia melanjutkan.
Pikiranku meleyang sejenak, mengingat-ingat tante yang sekarang ada di sampingku. Ia duduk dengan santai di sampingku. Dengan pakaian yang sedikit seksi dan setengah terbuka.

"waktu kamu kecil. Tante sering main kerumah kamu. Tante teman Ibu kamu dulu.." katanya lagi. Wajah itu memang tidak begitu asing bagiku. Dan tiba-tiba aku mengingatnya. Ya, tante Lina yang dulu sering membawakan aku permen, jika ia main kerumah. Tante Lina memang dulu sangat dekat dengan Ibu. Tapi sudah bertahun-tahun, tante Lina tak pernah lagi datang ke rumah.
"Iya, tante. Elsa ingat.." jawabku akhirnya. Kulihat tante Lina tersenyum.

"gimana kabar Ibu..?" tanya tante Lina selanjutnya. Yang membuatku kembali murung, pikiran ku kembali mengingat Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit. Tak berdaya.
"kamu kenapa?" lanjut tante Lina bertanya, melihat aku yang tertunduk lesuh.



Aku gak tahu, apa aku harus cerita sama tante Lina atau tetap diam saja. Nmaun mengingat tante Lina dulu pernah begitu dekat dengan Ibu, aku berpikir apa salahnya menceritakan semua ini sama tante Lina. Aku memang tak punya siapa-siapa lagi, kecuali Ibu. Dan juga Reyhan, sahabatku.


Tante Lina menatapku lama. Setelah aku selesai menceritakan hal yang menimpa Ibu saat ini.
"dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu, hanya dalam satu malam..?" ucapku kepada tante Lina, mengakhiri cerita ku. Suaraku parau.
Tante Lina meneguk minumannya lagi. Kami duduk di dalam sebuah kafe, tante Lina sengaja mengajakku kesini. Biar lebih nyaman, katanya.

Tante Lina menghela nafas. "sebenarnya tante ingin sekali membantu, tapi tante juga tak punya uang sebanyak itu.." ucapnya setelah cukup lama kami terdiam.
"namun jika kamu mau, tante tahu, bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam.." lanjutnya. Aku menatap tante Lina lama. Seakan tak percaya dengan yang barusan diucapkannya. "Bagaimana caranya tante?" tanyaku akhirnya, antara penasaran dan tak percaya.

"jujur, tante adalah seorang germo." ucapnya, yang membuatku terdiam, dari cara nya berpakaian sekarang, aku bisa percaya. "dan jika kamu mau, tante bisa mencarikan pelanggan tante yang punya banyak uang dan mau membeli kesucian kamu.." lanjutnya santai, seakan hal itu sudah biasa ia lakukan.

Aku terperangah. Mulutku menganga setangah tak percaya, kalau tante Lina akan menawarkan hal itu padaku.
"kamu harus pikirkan Ibumu, Elsa." ucapan tegas tante Lina membuatku tersadar. Ya, Ibu sangat membutuhkan ku saat ini. Ibu membutuhkan uang yang sangat besar untuk biaya operasi. Tapi apa harus dengan menjual diriku? aku membathin.
"ingat, Elsa. waktumu hanya satu malam untuk menyelamatkan Ibumu. Jadi saran tante, kamu gak usah terlalu banyak pikir, jika kamu memang sayang Ibumu." lanjutnya lagi. "aku...aku.. takut, tante.." ucapku tergagap. Mataku mulai berair lagi.
"kamu gak usah takut, rahasia kamu aman. Dan tante akan mencarikan pelanggan tante yang bisa memperlakukanmu dengan lembut." jawabnya.
Sejujurnya, aku sering mendengar cerita tentang orang-orang yang menjual diri demi mendapatkan uang. Tapi selama ini, aku menganggap orang-orang itu bodoh dan tak punya harga diri.
Tapi sekarang?
Aku bingung. Benar-benar bingung. Jika aku menolak tawaran tante Lina, aku tak punya cara lagi untuk mendapatkan uang tujuh puluh juta dalam waktu tidak sampai 12 jam lagi. Namun jika aku menerimanya, itu berarti aku harus menyerahkan kesucianku pada orang yang tak ku kenal. Dan itu juga berarti aku sudah kehilangan harga diriku. Bagaimana jika Ibu tahu? tanyaku membathin.

"kamu tenang saja. Ibu mu gak bakalan tahu." ucap tante Lina, seperti bisa menebak apa yang aku pikirkan. "Dan lagi pula setelah kamu selesai nanti, kamu bisa terima uangnya. Kamu bisa pergi dan tak perlu melakukannya lagi. Kamu bebas. Kamu tidak terikat apa pun...." lanjut tante Lina menjelaskan.
Aku terdiam. Kepalaku terasa sangat sakit. Mengapa hal ini harus menimpaku?

*********

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate