"kita baru kenal satu bulan, Rul.." ucap gadis itu, sambil menatap Arul, cowok yang berada di sampingnya.
"yah, aku tahu." timpal cowok itu, "tapi hati itu sesuatu yang unik, Mita. Kita tidak bisa menebak kapan kita akan jatuh cinta." lanjutnya pelan.
Gadis itu, Mita, memalingkan pandangannya. Menatap jauh ke tengah lautan yang membentang luas di hadapan mereka. Mereka duduk di atas pasir pantai yang memutih. Sore itu mereka bertemu lagi seperti biasa.
Sudah sebulan mereka rutin bertemu di pantai itu, sejak mereka saling kenal. Mereka bertemu pertama kali, pada hari pertama Arul memulai kegiatan KKN di desa tempat Mita tinggal. Mita yang bekerja di kantor desa hari itu mengantarkan Arul dan teman-temannya, ke tempat Arul dan teman-temannya tinggal selama mereka melakukan kegiatan KKN.
Perkenalan singkat itu telah menumbuhkan kesan yang mendalam bagi mereka berdua, sehingga membuat mereka jadi sering bertemu dan saling mengenal lebih dekat.
Mita yang bekerja di kantor desa dan juga aktif di kegiatan pemuda, sering membantu Arul dan teman-temannya, selama mereka berada di sana.
Desa Mita memang terletak di tepi laut, mereka sering bertemu dan ngobrol di pantai yang terletak tidak jauh dari desa. Pertemuan-pertemuan itu, membuat Arul yakin akan perasaannya kepada Mita, hingga ia dengan cukup berani mengungkapkan perasaannya sore itu. Setelah sebulan lebih mereka saling kenal.
Tapi Mita sendiri belum yakin dengan perasaannya. Ia memang menyukai Arul yang sederhana dan juga pintar. Arul yang ia tahu, juga seorang laki-laki yang baik.
"tapi tetap saja bagi saya, ini terlalu cepat, Rul." Mita berujar lagi, setelah sejenak mereka tenggelam dengan perasaan mereka masing-masing.
"kamu gak harus jawab sekarang kok, Mit." balas Arul. "tapi setidaknya kamu sekarang sudah tahu, bagaimana perasaanku padamu." lanjutnya tegas.
Mita memainkan pasir putih itu dengan jemari lembutnya. Perasaannya tak karuan. Campur aduk!
Bagi Mita, ia dan Arul belum benar-benar saling kenal. Jika pun akhirnya, setelah satu bulan mereka saling kenal, telah menumbuhkan perasaan yang lebih dari sekedar teman biasa. Tapi tetap saja bagi Mita, itu tidak mudah.
Ada bagian dari dalam hatinya yang masih menyimpan keraguan. Bahkan bagi Mita, bukan hanya sekedar keraguan, tapi juga rasa takut.
Ya. Harus Mita akui, kalau kisah cintanya di masa lalu masih terus membayanginya sampai saat ini. Kisah cinta yang meninggalkan rasa sakit yang mendalam. Tidak mudah bagi Mita, menerima kehadiran laki-laki lain di hatinya. Mita masih sangat trauma dan sakit.
Tiba-tiba pikiran Mita menerawang jauh ke masa lalunya. Kisah cinta di masa lalunya terpapar jelas di ingatannya. Mita memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Tapi bayangan itu semakin jelas. Sesosok wajah tampan dengan senyuman manis itu kembali melintas di benaknya.
Namanya Hafis, seakan tak mau hilang nama itu di hati Mita. Laki-laki yang periang itu, telah menghiasi hari-hari indah Mita lebih dari empat tahun, sebelum akhirnya ia pergi dan meninggalkan Mita sendirian. Yang membuat Mita harus menelan pahitnya sebuah perpisahan.
"maaf, Mit. Tapi aku harus pergi..." begitu ucap laki-laki itu waktu itu. Saat Mita menatapnya dengan mata berkaca.
"kamu jangan berkata begitu, Fis. Kamu pasti bisa sembuh.." suara Mita parau, ia berusaha menahan air matanya. Tangannya mengelus lembut rambut Hafis yang mulai memanjang. Sudah tiga bulan Hafis terbaring di kamar rumah sakit itu. Mita bahkan tidak tega melihatnya. Tubuh laki-laki itu semakin kurus dan lemah.
"sakitku semakin parah, Mit. Bahkan dokter saja sudah menyerah.." suara Hafis yang terbata itu, masih terdengar jelas di telinga Mita, yang membuatnya menelan ludah pahit.
"tapi kamu gak boleh menyerah, Fis. Kamu harus kuat. Demi aku. Demi cinta kita..." hibur Mita, berusaha menguatkan hatinya sendiri.
Tapi ternyata Hafis akhirnya benar-benar pergi. Penyakit kanker hati dan komplikasi yang di deritanya, telah merenggut nyawa Hafis lebih cepat. Jauh lebih cepat dari yang Mita takutkan. Mita menangis histeris, ketika ia melihat dengan jelas, tubuh laki-laki itu yang telah di kafani, masuk ke liang lahat. Beberapa orang berusaha menenangkannya dan membawanya pulang. Tapi Mita benar-benar tidak kuat, ia akhinya tidak sadarkan diri. Lebih dari seminggu, Mita tidak melakukan apa pun. Ia hanya mengurung diri di kamar.
"Mita! Kamu harus makan, nak. Kamu tidak boleh terus begini! Hafis juga tidak ingin kamu jadi seperti ini..." suara Ibunya yang setiap hari memanggilnya dari luar kamar pun tak pernah ia hiraukan.
Sampai akhirnya ia jatuh sakit dan Ibunya dengan cemas membawanya ke rumah sakit.
"ia tidak apa-apa, hanya kelelahan dan kurang makan saja.." ucap dokter, yang membuat Ibunya sedikit tenang.
"kamu harus ikhlas, Mita. Hafis sudah tenang disana. Tuhan lebih menyayanginya, Mit." ucap Ayu, sahabat Mita, mencoba menghibur Mita.
Mita perlahan mulai bangkit. Ia berusaha sekuat mungkin untuk bisa ikhlas dan merelakan kepergian Hafis. Tapi itu tidak mudah bagi Mita. Berbulan-bulan ia hidup dalam bayangan kisah cintanya dengan Hafis. Berharap semua itu hanyalah sebuah mimpi. Berharap ia bisa bertemu Hafis kembali, walau hanya dalam mimpi. Tapi hafis tak kunjung mendatanginya. Hafis benar-benar pergi!
Mita mencoba menyibukkan diri, agar ia tidak dihantui oleh bayangan wajah Hafis lagi. Ia menerima tawaran untuk bekerja di kantor desa. Sebagai pengisi kesibukannya.
Sudah lebih dari setahun Mita bekerja disana. Pelan-pelan ia sudah bisa merelakan kepergian Hafis dari hidupnya.
"gitu, dong. Senyum. Ceria gitu kan enak liatnya.." celoteh Gian, teman kerja Mita suatu hari.
Mita hanya tersenyum.
"kata pak Kades, hari ini anak-anak KKN itu akan datang.." suara Dhea dari meja kerjanya.
"baguslah! nanti kita kenalin Mita sama mereka. Siapa tahu ada yang cocok...." timpal Gian, dengan nada menggoda.
Mita sekali lagi hanya tersenyum. Terus terang, kekonyolan rekan-rekan kerjanya memang membuat Mita sering terhibur. Mita senang berada disana. Rekan-rekan kerjanya selalu bisa membuat ia tersenyum.
************
"besok kami pulang." Arul berkata dengan nada lembut, ia manatap gadis di depannya.
Sudah hampir dua bulan, Arul dan teman-temannya melaksanakan KKN disana. Tugas KKN nya sudah selesai.
"tapi aku belum mendapatkan jawaban dari kamu, Mit." lanjutnya.
Mita hanya menghela napas berat.
"kamu belum benar-benar tahu siapa aku, Rul." ucapnya ringan.
Arul mengalihkan pandangan. "secara keseluruhan mungkin tidak, Mit. Tapi Ayu sudah cerita banyak padaku." ujar Arul.
Sekilas Mita melirik ke arah laki-laki itu. Ia cukup kaget, tapi mencoba memaklumi. Ayu pasti sudah cerita banyak pada Arul tentang masa laluku. Mengingat Arul dan teman-temannya memang tinggal di rumah Ayu. Mita menarik napas lagi. Mungkin memang lebih baik Arul tahu. Pikirnya.
"aku mungkin tidak sesempurna Hafis.." Arul berujar lagi, melihat Mita hanya terdiam. "aku juga mungkin tidak mampu, menyembuhkan rasa sakit di hatimu. Apalagi menghapus kisah cinta di masa lalumu..." Arul menarik napas sejenak, "yang aku tahu, aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu! Aku tak peduli dengan apa yang terjadi di masa lalumu, Mit. Aku hanya telah jatuh cinta padamu! Itu saja!" lanjut Arul dengan suara bergetar.
Mita meremas jemarinya sendiri. "tapi tetap saja, ini tidak mudah bagiku, Rul.." ucapnya.
"setiap orang punya masa lalu, Mit. Tak terkecuali saya. Tapi kita hidup untuk masa depan, Mit. Karena masa lalu itu telah kita lewati." Arul berbicara sambil ia berdiri dan menatap kearah ombak-ombak kecil air laut yang membasahi pinggiran pantai. "tidak mudah memang, melupakan sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Tapi biar bagaimanapun, itu semua tetaplah hanya sebuah masa lalu. Tidak mungkin terulang atau pun kembali. Apa pun itu, kita hanya harus ikhlas..." lanjut Arul lagi, ia memunggungi Mita, yang masih saja terduduk di bangku pantai.
Mita memejamkan mata sejenak. Sedikitpun ia tidak memungkiri apa yang barusan Arul ucapkan. Arul benar, Hafis hanyalah cerita di masa lalunya.
"tapi aku takut, Rul. Aku takut, kamu hanya akan menjadi tempat pelarian dari semua kesepianku selama ini.."
"aku hanya ingin tahu, Mit. Bagaimana perasaan kamu sebenarnya padaku saat ini?" Arul memutar tubuh, ia kembali menatap Mita.
"terus terang, aku bingung dengan perasaanku sendiri, Rul. Harus kuakui, kalau aku memang menyukaimu. Aku menyukai segala kesederhanaanmu. Aku suka, saat kamu bilang kalau kamu menyukaiku. Tapi itu belum membuat aku yakin, kalau aku telah membuka hatiku.."
"setidaknya beri aku kesempatan, Mit. Untuk aku bisa menyembuhkan rasa sakitmu."
Mita hanya terdiam. Hatinya meragu.
"kesempatan seperti apa yang kamu harapkan dari orang yang pernah patah hati seperti saya, Rul?" tanya Mita akhirnya, setelah ia terdiam cukup lama.
"aku tidak bisa menjanjikan kamu apa-apa, Mit. Aku juga tidak bisa meramal masa depan. Tapi aku yakin, dengan cinta yang aku punya saat ini. Aku bisa membuatmu selalu tersenyum dan menemukan kembali kebahagiaanmu yang sempat hilang." Arul berujar, sambil sedikit menunduk. Menatap lebih lekat wajah cantik gadis yang ada di hadapannya.
"aku hanya butuh waktu, Rul. Aku butuh waktu, untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku memang mencintai kamu." Mita menatap mata teduh milik Arul cukup lama, sekedar meyakinkan dirinya sendiri, kalau Arul akan mampu membuatnya bangkit.
Arul mengangguk pelan. "yah, aku tahu. Aku akan kembali lagi nanti. Saat kamu sudah benar-benar yakin dan siap untuk memulai masa depan yang jauh lebih baik.." ucapnya. Arul berdiri kembali. Ditariknya napasnya perlahan. Menikmati angin sore yang semilir. Deburan suara ombak bergemuruh riang. Tapi bagi Arul, itu semua hanyalah nyanyian akan sebuah harapan yang tidak pernah bisa ia tebak. Mita mungkin akan mencintainya, tapi ia yakin butuh waktu lebih lama lagi, untuk Mita bisa menghapus nama Hafis di hatinya.
Arul menarik napas lagi dan memejamkan matanya, udara sore itu benar-benar membuatnya penuh harapan. Meski hatinya meragu...
Sekian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar