Sebuah Cerpen : Rahasia Hati Indra...

"kamu kenapa, Ndra?" suara lembut Nela mengagetkanku, yang sejak tadi termenung sendiri. di bangku taman sekolah. Pikiranku menerawang, hingga aku tidak sadar, kalau Nela sudah berdiri di sampingku.
Aku menatap sekilas kearah Nela, "gak kenapa-kenapa, kok.." jawabku sedikit acuh.
"Indra. kita sudah berteman sejak kecil," ucap Nela, sambil ia ikut duduk di sampingku, "aku tahu persis bagaimana kamu. Kalau kamu udah menyendiri seperti ini, itu artinya kamu lagi ada masalah." lanjutnya, mata Nela mengawasiku yang tiba-tiba merasa sedikit kaku.
"aku gak apa-apa kok, Nel. Cuma lagi pengen sendiri aja.." balasku, menghindari tatapan Nela.

"kamu marah sama aku?" tanya Nela, setelah beberapa saat kami terdiam.
"marah? kenapa aku harus marah?" aku justru balik nanya, kali ini aku beranikan untuk menatap kearah Nela. Mata kami bertemu pandang, namun segera aku memalingkan muka.
Kudengar Nela menarik napas, "sejak aku jadian sama Andi, aku perhatikan kamu lebih sering murung dan menyendiri.." ucapnya.
Aku menatap Nela kembali, dengan sedikit susah payah aku tersenyum. "kamu apaan sih, Nel. Aku biasa aja, kok.."
"aku tahu, Ndra. sekarang kita jadi jarang jalan bareng, main bareng, gak kayak dulu lagi. Tapi kita kan tetap sahabatan, Ndra."
"iya, Nel. Kita tetap sahabatan. Gak ada yang berubah, kok. Kalau kita sekarang jadi jarang main bareng lagi, ya gak apa-apa. Kamu kan memang harus punya waktu juga buat Andi. Aku ngerti, kok!" kali ini aku sedikit menunduk. Hatiku meringis.

Cerpen : Rahasia hati Indra


Aku dan Nela, memang sudah berteman sejak kecil. Sejak kami masih sama-sama di Sekolah Dasar. Kami masuk SMP yang sama, dan sudah dua tahun kami berada di SMA yang sama.
Kami sering main bareng dan belajar bareng, karena memang rumah kami satu komplek. Hubungan kami selama ini sangat dekat, meski hanya sebatas sahabat. Aku sering main ke rumah Nela, begitu juga sebaliknya. Kami selalu bersama-sama. Melakukan banyak hal bersama. Kami tumbuh dengan persahabatan yang indah
Nela gadis yang periang, cantik dan pintar. Terus terang aku memang sangat mengagumi sosok Nela. Beranjak remaja, perasaanku justru kian berkembang. Aku bukan lagi sekedar mengagumi Nela. Tapi juga telah jatuh cinta padanya.
Namun aku tak pernah berani mengungkapkan itu semua. Aku selalu berusaha bersikap biasa saja di depan Nela. Aku sadar, kalau hubungan kami, hanya sebatas sahabat. Meski jauh dari lubuk hatiku, aku berharap suatu saat kelak aku dan Nela bisa berpacaran, bukan lagi sebatas sahabat.
Aku sering membayangkan hal itu. Bahkan hampir setiap malam.

"sebenarnya kalian itu pasangan yang cocok, loh.." seru Tina, salah seorang teman sekelas kami. "yang satu pendiam, yang satu lagi suka nyerocos! kenapa kalian gak pacaran aja, sih?" lanjutnya, yang membuat Nela tertawa ngakak. Aku hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Tina.
Banyak sih, teman-teman yang menyangka kami pacaran, saking dekatnya. Tapi kami tak pedulikan hal itu. Terus terang aku senang dibilang pacaran sama Nela. Dan aku berharap Nela juga merasakan hal yang sama.
Nela memang selalu blak-blakan padaku. Mungkin karena ia merasa sudah tidak ada jarak antara kami. Hampir tidak ada rahasia bagi Nela buatku.
Aku yang memang pendiam, justru lebih sering jadi pendengar yang baik buat Nela. Tapi aku suka. Aku suka mendengar cerita Nela yang blak-blakan, jujur dan apa adanya. Justru itu yang membuat aku semakin mengagumi Nela.
Tapi....

"Andi nembak aku, Ndra. Ia ternyata selama ini juga suka sama aku." cerita Nela suatu sore di rumahnya.
Aku bagai mendengar suara petir di siang yang cerah itu. Akhir-akhir ini, Nela memang sering cerita tentang Andi, kakak senior kami di sekolah.
Awalnya aku menanggapinya biasa saja. Namun hampir setiap hari Nela cerita tentang Andi, dan itu membuat aku merasa cemburu. Meski aku selalu berusaha bersikap biasa saja, saat Nela bercerita tentang Andi.
"kamu terima?" tanyaku sedikit penasaran, suaraku terdengar bergetar.
Nela mengangguk dengan senyum mengembang, wajahnya memancarkan kebahagiaan.
"aku kan udah bilang, Ndra. Kalau aku memang suka sama Andi. Dia tuh dewasa banget.." ucapnya, yang semakin membuat hatiku teriris.
"jadi aku gak dewasa?" desahku pelan.
"maksud kamu?" Nela mengerutkan kening.
"gak. Gak apa-apa. Lupakan saja!" balasku, sambil berdiri. "aku pulang, ya.." lanjutku sambil melangkah keluar.

Sejak saat itu, aku memang sengaja menjaga jarak dengan Nela. Hatiku terasa hancur. Aku tak sanggup mendengar cerita Nela tentang Andi.
Tapi sepertinya Nela sangat bahagia. Aku sering memperhatikan mereka berdua.
Rasanya ada sebagian dari diriku yang hilang. Hampa!
Tapi aku harus ikhlas. Nela berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.

"kamu benar gak marah, Ndra?" suara Nela mengagetkan aku lagi.
Aku hanya menggeleng. "selama kamu bahagia, aku juga ikut bahagia, Nel. Bukankah itu arti persahabatan, yang sering kamu katakan." balasku ringan. "lagi pula Andi anaknya baik. Dia pasti bisa bikin kamu bahagia.."
Kulihat Nela tersenyum. Senyum yang begitu manis. Matanya berbinar. Aku suka mata itu.
Huh! Aku mendengus. Entah mengapa semuanya terasa begitu berat.
Sadar, Ndra. Sadar! Nela itu hanya menganggap kamu sahabat! Bathinku.
Suara bel terdengar dari kejauhan. Nela segera bangkit dan dengan sedikit berlari ia menuju kelas.

**************

Sudah lebih delapan bulan Nela dan Andi berpacaran. Aku sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku. Meratapi kepatah hatianku. Meski cintaku untuk Nela tak pernah luntur.
Kami memang masih bersahabat, meski tak seerat dulu. Nela sudah jarang main ke rumah, begitu juga aku. Setiap kali aku ke rumah Nela, selalu saja ada Andi di sana.
Aku masih bisa menatap Nela dari kejauhan, melihat senyumnya yang selalu mengembang. Membayangkan wajahnya yang cantik dan tatapan matanya yang berbinar indah.
Yah, aku hanya bisa membayangkannya!

Entah mengapa, desakan haru dan rasa kagum itu selalu ada. Setiap kali menatap mata beningnya dan setiap kali mendengar tawanya. Kejujuran, senyuman dan ceria yang tak pernah ia paksakan bagai air segar bagi hatiku yang tawar.
Bicaranya yang ceplas-ceplos, blak-blakan, sederhana dan jujur. Aku seperti memandang setetes embun yang bening, bersih dan belum terkotori. Berada di dekatnya, aku bagai mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Betapa kubutuh dirinya!
Kadang Ingin rasanya aku selalu berada di dekatnya, sekedar mendengar cerita dan candanya. Aku ingin selalu ada di dekatnya.
Menjaga saat suntuk menyergapnya, saat kesunyian menyelimuti hatinya. Menawarkan hatinya yang lagi gusar atau menampung curhat dan candanya, lalu berbagi suka dan duka.

Ah… Mungkinkah itu aku lakukan ..?!
Justru sebaliknya, ia yang selalu berhasil membuatku tertawa dan tersenyum. Ketika aku hampir menyerah oleh kehidupan yang kurasa mulai membosankan dan menggerogoti nafasku perlahan.
Dia selalu jadi penawar, ketika kuanggap hidupku terasa hambar dan datar. Dan ketika kuanggap hidupku sudah tiada berarti, hampa dan tak bergairah…

Dia selalu buat aku tersenyum dan merasa berarti. Kadang ingin ku menjadi bagian dari dirinya dan selalu berada disamping nya.
Tapi mustahil, ada jarak diantara kami.

Aku hanya berharap semoga dia tetap menjadi seseorang yang aku kagumi.
Moga ceria dan sinar itu gak lekang, semoga ia tetap mampu menawarkan hati orang-orang disekelilingnya, yang butuh kasih dan keceriaan.
Seperti ia mampu membuat ku tersenyum, tertawa dan kadang menangis, karena kangen mendengar tawa nya, rindu mendengar cerita nya.

Saat ini, memang ada jarak diantara kami!
Tapi rasanya hatiku selalu dekat, selalu butuh candanya yang kocak, ceritanya yang blak-blakan atau senyumnya yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

Dia seperti cahaya bagi ku ….
Dia selalu menjadi inspirasi bagiku. Masa depannya seperti guratan cat di kanvas, dia bebas mencoretnya dengan warna biru, merah atau putih sekalipun.
Aku bangga bisa menjadi sahabatnya.
Tapi tetap saja, rasa cintaku padanya membuat aku sakit.

***********

Nela menatapku tak percaya. Keningnya berkerut.
"kamu yakin?" tanyanya.
Aku menarik napas pelan, kemudian mengangguk.
"kenapa kamu tak pernah cerita?" tanya Nela lagi.
"maaf, Nel. Tadinya aku ingin cerita. Tapi menurutku percuma. Kamu juga gak bakal peduli.."
"kamu ngomong apa sih, Ndra!" Nela menyela dengan nada tinggi, "kamu pikir dengan aku pacaran sama Andi, akan merubah persahabatan kita?"
"tidak ada yang berubah, Nel. Tapi aku memang harus pergi.." suaraku pelan.
"iya. Tapi mengapa tiba-tiba, Ndra?"
"tiba-tiba apanya?"
"kamu mendadak ingin kuliah ke luar negeri, Ndra. Kamu tak pernah cerita hal ini sebelumnya. Bahkan kita pernah berjanji, kalau kita bakal tetap bersama sampai kita kuliah.."
"itu janji masa kecil, Nel. Waktu itu kita belum tahu, akan jadi apa kita setelah dewasa..."

Nela terdiam. Ia mainkan jemarinya. Aku coba menatap wajah cantik itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"kamu sekarang sudah punya Andi, Nel. Kamu gak bakal kesepian tanpa aku." ucapku akhirnya.
"apa karena itu?"
"maksud kamu?"
"karena aku sekarang pacaran dengan Andi. Dan kamu merasa kalau aku telah melupakan persahabatan kita. Kamu merasa kalau aku telah mengabaikan kamu?"
Aku menyunggingkan senyum. Andai saja kamu tahu, Nel. Betapa aku tersiksa selama ini. Sejak kamu jadian sama Andi! Rintihku.
"ini tak ada hubungannya dengan semua itu, Nel. Keputusanku untuk kuliah ke luar negeri adalah karena aku ingin mengejar mimpiku. Ingin mengejar cita-citaku.." ucapku tertahan.
"cita-cita? Bukankah dulu kamu hanya bercita-cita untuk bisa kuliah bersama-sama? Tak pernah sekalipun kamu bercerita tentang ke luar negeri, Ndra!" suara Nela terdengar ketus. "ternyata kamu memang telah berubah, Ndra!"

Kamu yang berubah, Nel. Kamu juga yang membuat aku berubah. Bathinku pilu.
Tapi aku tak mungkin menyalahkan Nela. Aku yang terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku. Aku yang terlalu berharap!
Seandainya saja aku tidak jatuh cinta sedalam ini pada Nela. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.
Aku yang salah. Telah membiarkan benih-benih cinta itu tumbuh dengan subur di hatiku. Harusnya aku bisa mengatasi ini. Harusnya aku bisa menganggap Nela hanya sebatas sahabat, seperti yang ia lakukan padaku.

Tapi semua sudah terlambat, cinta itu telah tumbuh subur dalam hatiku. Aku tak bisa membunuhnya. Aku tak bisa membunuh perasaanku pada Nela.
Dan lebih menyakitkannya lagi, aku juga tidak bisa mengungkapkannya!
Biarlah semua hanya menjadi rahasia. Tidak akan ada siapa pun yang tahu.
Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa terus disini. Aku harus bisa melupakan Nela. Meski aku tahu, itu butuh waktu bahkan seumur hidup...

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate